Sinar matahari baru saja muncul dari langit dan menembus celah-celah dinding kokoh perguruan Taring Rajawali, saat Ayu Utari berjalan ke arah aula utama dengan wajah cemas. Dia yakin Kakeknya itu akan marah besar kali ini dan menghukumnya setelah kejadian penyerangan kemarin yang hampir membuatnya tewas.
Sebagai cucu satu-satunya yang sedang dipersiapkan untuk menggantikannya kelak, Anggara Seta memang mendidik Ayu dengan sangat keras. Dia bahkan tidak diizinkan keluar perguruan sendirian tanpa pengawalan karena khawatir para pendekar aliran Hitam akan menggunakan kesempatan itu untuk membunuhnya."Kakek pasti akan memarahiku habis-habisan," umpatnya dalam hati.Sudah terbayang dalam pikiran Ayu, Kakeknya itu akan mengungkit semua kesalahannya selama ini, dan membandingkan dengan Ibunya yang merupakan pendekar wanita terbaik Taring Rajawali sebelum tewas dalam sebuah pertarungan dengan pendekar misterius."Kakek pasti akan membandingkan aku dengan Ibu tanpa memikirkan .... " Wajah Ayu semakin buruk ketika melihat seorang pemuda tampan menyambutnya di gerbang aula utama dengan senyum manis sambil menundukkan kepalanya."Nona Ayu, Guru sudah menunggu anda di dalam. Mohon jangan terlalu khawatir karena aku akan meminta …. ""Tidak perlu, aku bisa menghadapi masalahku sendiri," potong Ayu dingin sambil melengos pergi.Pemuda itu hanya menundukkan kepalanya dan memandang kepergian Ayu dengan senyum sinis."Suatu saat, anda akan tunduk padaku gadis sombong," ucap Cakra dalam hati.Ayu memang tidak pernah suka dengan Cakra Birawa, salah satu murid paling berbakat milik Taring Rajawali dan juga kesayangan kakeknya itu. Dia merasa Cakra memiliki ambisi besar untuk menjadi ketua Taring Rajawali dan cenderung menggunakan segala cara untuk mencapai tujuannya, termasuk menjilat Kakeknya."Dasar bodoh, kenapa aku harus melihat wajahnya di saat seperti ini," gerutu Ayu dalam hati sebelum menghentikan langkahnya di depan pintu ruangan yang paling besar.Butuh waktu cukup lama bagi Ayu untuk mengumpulkan keberanian dan mengetuk pintu ruangan Kakeknya itu."Kakek, aku .... " Ucapan Ayu langsung tertahan saat mendengar percakapan dari dalam ruangan."Paman Tantra?" Dari suaranya, Ayu yakin itu adalah Tantra Kelana, adik seperguruan Kakeknya yang merupakan ketua Taring Emas, sebuah kelompok pendekar elite milik Taring Rajawali."Anda harus segera mengusir pemuda itu Ketua," suara Tantra terdengar meninggi."Tidak, aku tidak akan melakukannya Tantra. Apa kau sadar dia akan tewas sebelum berhasil keluar dari Alas Purwo jika perguruan Pisau Terbang dan Pilar Langit mengetahui identitasnya," balas Anggara Seta cepat."Kita tidak punya pilihan lain Ketua, setidaknya kematiannya jauh lebih baik dari pada mereka mengetahui kita menyembunyikan pendekar aliran sesat di dalam perguruan. Apa Ketua ingin menempatkan Taring Rajawali dalam masalah besar?" Sahut Tantra kembali."Jauh lebih baik katamu? Bagaimana jika kelak Cucuku yang berada di posisi pemuda itu, terkurung di dalam wilayah aliran hitam? Apa kau juga akan mengatakan dia lebih baik tewas? Lagipula, jika pemuda itu tewas di wilayah kita, Lembah Siluman pasti tidak akan tinggal diam dan pada akhirnya menempatkan kita dalam masalah besar," Bentak Anggara Seta."Bukan itu maksudku Ketua, tolong jangan salah paham. Kami tidak mungkin membiarkan .... ""Dengarkan aku Tantra, permusuhan yang sudah terjadi antara aliran hitam dan putih tidak harus membuatmu kehilangan sifat belas kasih, karena itu yang membedakan kita dengan hewan buas. Aku sudah memutuskannya, pemuda itu akan keluar dari alas Purwo dengan pengawalan Taring Emas," potong Anggara Seta tegas.Tantra terdiam untuk beberapa saat sebelum mengangguk pelan. Dia sadar, tak ada lagi yang bisa dilakukan jika Anggara sudah memutuskan sesuatu."Baik jika itu yang anda inginkan Ketua, besok aku akan memerintahkan beberapa pendekar Taring Emas untuk mengantarkannya keluar alas Purwo. Semoga apa yang anda lakukan ini tidak menyeret perguruan kita dalam bahaya," jawab Tantra dengan nada tidak suka sebelum melangkah pergi dengan wajah kecewa.Anggara Seta menarik nafasnya panjang sambil menatap kepergian adik seperguruannya itu. Dia sudah menduga keputusannya ini akan ditentang habis-habisan oleh Tantra."Paman Tantra .... " Ayu Utari yang sedang berdiri di depan pintu langsung menundukkan kepalanya ketika Tantra muncul dari balik pintu."Ayu, apa itu kau?" Tanya Anggara Seta dari dalam ruangan.Ayu menganggukkan kepalanya dan melangkah masuk dengan perasaan takut, dia terus memutar otaknya untuk meredakan amarah Kakeknya itu."Kakek, apa kau tau jika tadi malam aku bertemu Ibu dalam mimpi, dia …. ""Duduk!" Potong Anggara Seta cepat.Ayu menghela nafasnya panjang dan melangkah gontai ke sebuah kursi, yang sudah disiapkan Kakeknya setelah rayuannya kali ini tidak berhasil."Apa ada yang ingin kau katakan pada Kakek?" tanya Anggara Seta pelan."Maaf Kek," jawab Ayu pasrah."Hanya itu?"Ayu Utari mengangguk pelan sambil menundukkan kepalanya, dia benar-benar tidak berani menatap wajah orang yang telah merawatnya itu."Apa kau tidak pernah memikirkan perasaan Kakek saat melarikan diri? Bagaimana jika Kakek kemarin datang terlambat dan sesuatu terjadi padamu? Kau berbeda dengan Ibumu yang memiliki …. " Anggara Seta tidak melanjutkan ucapannya saat melihat air mata mulai menetes di pipi cucunya."Aku hanya ingin mencari udara segar Kek, lagi pula .... ""Kakek sudah kehilangan Ibumu dan tidak ingin merasakan kesedihan itu lagi. Saat ini pergerakan Lembah Siluman semakin membabi buta, bagaimana jika mereka mengincar nyawamu? Jika kau memang bosan dan ingin mencari udara segar, setidaknya bicara pada Kakek agar ada yang menemanimu," sahut Anggara Seta dengan suara bergetar."Aku minta maaf Kek," jawab Ayu pelan.Anggara Seta kembali menarik napasnya panjang, hatinya selalu luluh saat melihat cucu kesayangannya itu menangis."Tapi kau harus tetap di hukum karena kesalahan ini. Kakek akan melatih lagi jurus Langkah Dewa milikmu selama satu purnama sampai tingkat empat," ucap Anggara Seta."Satu Purnama?" Wajah Ayu langsung lemas seketika, berlatih bersama kakeknya adalah hal yang paling ingin dia hindari karena menurutnya itu sama saja masuk ke dalam neraka dunia.Kakeknya akan melatihnya siang dan malam, dan hanya memberi waktu istirahat yang menurutnya tidak masuk akal."Kau keberatan?" Anggara Seta mengangkat Alisnya sebelah."Apa lagi yang bisa aku lakukan jika Kakek sudah memutuskannya?" Balas Ayu kesal yang langsung dijawab tawa kemenangan Anggara Seta."Ah iya ... Sebenarnya ada sesuatu yang ingin Kakek tanyakan padamu mengenai pemuda itu. Bagaimana kau bisa bersama dengan pemuda itu?" Tanya Anggara Seta pelan."Pemuda? Maksud Kakek orang berwajah bodoh yang kemarin itu? Aku juga tidak tau Kek, dia muncul begitu saja saat aku dikejar oleh pendekar Elang Merah," jawab Ayu cepat."Muncul begitu saja ya?" Anggara Seta mengelus janggutnya yang sudah memutih sambil mengernyitkan dahinya."Apa ada sesuatu yang aneh dengannya Kek? Apa dia benar dari aliran hitam?" Cecar Ayu penasaran.Anggara Seta tak langsung menjawab pertanyaan Ayu, dia masih penasaran bagaimana pemuda itu bisa masuk ke dalam wilayah aliran putih tanpa diketahui oleh para pendekar penjaga."Pintu masuk ke alas Purwo hanya ada satu dan itu dijaga oleh pendekar dari tiga perguruan. Apa mungkin ada seseorang yang membantunya masuk dan melewati penjagaan?" Gumam Anggara Seta bingung."Kakek? Apa terjadi sesuatu?" Tanya Ayu kembali."Ah tidak ... Kakek hanya merasa pemuda itu sangat aneh. Gerakan yang dia tunjukkan kemarin sangat mirip dengan ilmu penghancur batu karang milik Tetua Sudarta, tapi jurus yang digunakannya adalah tapak Wajah Setan. Bagaimana bisa dua jurus yang sangat bertentangan itu digunakan di waktu yang bersamaan?” Jawab Anggara Seta."Sudarta? Aku seperti pernah mendengar nama itu .... " Ayu menggaruk kepalanya yang tidak gatal."Tetua Sudarta adalah salah satu dari lima pendekar yang dijuluki Serigala aliran Putih. Dia menghilang tahun lalu setelah Lembah Siluman menghancurkan perguruannya," Anggara Seta tampak memejamkan matanya, dia benar-benar bingung dengan situasi yang dihadapinya ini."Jika pemuda itu memang pernah bertemu dengan Sudarta, lalu kenapa Tetua bersedia mengajarkan ilmu kanuragannya pada musuh bebuyutan? Siapa sebenarnya pemuda itu?"Di bawah guyuran hujan dan sambaran petir yang menggelegar, dua orang pria setengah baya terlihat berdiri sambil mengatur nafasnya. Keduanya hanya diam dan saling menatap satu sama lain tanpa bergerak sedikit pun.Sekilas, tak ada yang aneh dengan mereka, namun jika dilihat lebih teliti, tetesan air hujan yang mengguyur tubuh mereka berubah memerah karena bercampur dengan darah yang terus keluar dari luka sayatan pedang di tubuh masing-masing.Salah satu pendekar yang terlihat lebih tua dan berwajah tegas, tiba-tiba menyarungkan kembali pedangnya menandakan sudah bersiap dengan serangan terakhirnya.Melihat lawannya sudah menyarungkan pedangnya, pendekar satunya yang mengenakan penutup wajah bergambar pedang menyilang mulai meningkatkan kembali konsentrasinya. Dia sadar, dalam ilmu pedang, serangan paling berbahaya adalah ketika pedang itu pertama kali meninggalkan sarungnya.Tak mudah untuk menghadapi tipe jurus pedang seperti itu karena tidak ada yang benar-benar tahu ke mana arah d
Seratus tahun kemudian…Suasana Hutan Alas Purwo masih tampak gelap ketika seorang pemuda melesat dengan kecepatan tinggi, menembus rimbunnya hutan itu. Sambil sesekali menoleh kebelakang, dia bergerak lincah dari satu pohon ke pohon lainnya tanpa peduli udara dingin yang menusuk hingga ke tulangnya."Kali ini aku tidak boleh tertangkap lagi oleh si tua itu atau…." Wajah pemuda itu tiba tiba berubah kesal ketika sesosok bayangan yang mengejarnya sudah terlihat dibelakang, padahal dia sangat yakin sudah berlari dengan sekuat tenaga dan meninggalkannya cukup jauh di belakang."Bagaimana bisa tua bangka itu bergerak secepat ini," dengan nafas yang sudah tak beraturan, pemuda itu mencoba meningkatkan kecepatannya agar tidak tertangkap untuk kesekian kalinya."Mau sampai kapan kau terus berlari seperti itu Wira? Ilmu meringankan tubuhmu memang sangat mengejutkan untuk seseorang yang tidak pernah belajar kanuragan, tapi itu semua tidak akan berarti di hadapanku," Melihat kecepatan pemuda it
"Apa katamu!! Wiratama melarikan diri lagi?" Seorang pria setengah baya berwajah tegas langsung menggebrak meja saat mendengar laporan bahwa cucu kesayangannya telah melarikan diri dari perguruan."Mohon maafkan aku ketua, tuan muda sepertinya melarikan diri melalui pintu belakang saat terjadi pergantian penjagaan. Kami sudah berusaha mengejarnya sekuat tenaga sampai kaki gunung Semeru tapi tak berhasil," Jawab pemuda berperawakan kurus dengan suara bergetar menahan takut."Mengejar cucuku?! Apa kalian pikir mampu melakukannya?" Bentak pria itu kesal.Pemuda itu langsung terdiam dengan wajah tertunduk. Dia tampak pasrah karena bagi para pendekar Lembah Siluman, gagal menjalankan tugas sama saja dengan mati."Sifat anak itu benar benar mirip dengan ibunya yang selalu mempermalukan aku dan perguruan Lembah Siluman!!" Pria tua itu terdiam sesaat, dia berusaha mengendalikan amarahnya terlebih dahulu sebelum memberikan perintah."Airin, bawa beberapa pendekar Lembah Siluman Perak dan temu
"Kakang Setya !!" Para pendekar Tapak Beracun tersentak kaget saat melihat tubuh temannya sudah melayang di udara dalam posisi telapak tangan menempel di dada Wiratama."Cepat bantu aku, pemuda sialan ini terus menghisap tenaga dalam dan energi kehidupanku!" Teriak Setya panik.Dengan wajah yang semakin memucat, Setya terlihat berusaha melepaskan tangannya dari tubuh Wiratama. Namun, sekuat apapun dia berusaha, lengannya seperti menyatu dengan kulit pemuda itu.Setya semakin berteriak kesakitan ketika tenaga dalam yang terhisap keluar dengan kecepatan tinggi itu mulai melukai urat nadinya."Menghisap tenaga dalam? Tua bangka sialan! Jurus terlarang apa yang kau ajarkan pada bocah itu," Melihat tubuh Setya berubah keriput dan mengering dengan sangat cepat, dua pendekar Tapak Beracun itu langsung bergerak melewati Sudarta untuk membantu temannya."Hei tunggu, jangan mendekatinya! Kalian bisa ikut terbunuh jika menyentuh tubuhnya!" Sudarta berusaha memperingatkan para pendekar itu namun
Beberapa jam setelah terjatuh dan tak sadarkan diri di dekat mulut gua, Wiratama mulai mendapatkan kembali kesadarannya. Walau masih merasakan sakit di bagian kepala, tapi dia tetap memaksakan tubuhnya bergerak dan bersandar di dinding gua."Aku masih hidup?" Untuk beberapa saat, Wiratama terdiam dalam posisi tubuh bersandar. Dia ingin meredam rasa sakitnya itu terlebih dahulu sebelum memikirkan rencana lainnya."Andai aku menguasai ilmu kanuragan sehebat kakek, mungkin rasa sakit ini .... " Ucapan Wiratama tiba-tiba terhenti, saat teringat dengan kata-kata kakeknya ketika dia dipaksa berlatih ilmu kanuragan."Alirkan tenaga dalammu ke seluruh tubuh secara perlahan ketika sedang terluka. Itu akan sedikit meredakan rasa sakit sebelum kau mendapatkan pertolongan lebih lanjut.""Mengalirkan tenaga dalam keseluruh tubuh? Apa dia pikir itu mudah?!!" Wiratama sempat mengumpat kesal, namun pada akhirnya, dia mencoba menggunakan jurus itu karena sudah tidak tahan dengan rasa sakit di kepalany
"Anggara Seta?! Gawat, aku berada dalam masalah besar kali ini," ucap pendekar itu terkejut sambil menahan rasa sakit disekujur tubuhnya."Kakek, bagaimana kau bisa ada di .... ""Cukup Ayu! Kau tau apa yang akan terjadi jika Kakek datang terlambat? Setelah masalah ini selesai, Kakek akan memastikan kau dihukum berat," Pria tua itu menggerakkan tangannya ke depan dan bersiap menyerang."Perguruan Taring Rajawali tidak pernah mencari masalah dengan siapa pun, tapi jika ada yang memulainya duluan, pantang bagi si Tua ini berdiam diri," Pria yang dipanggil Anggara Seta itu tiba-tiba bergerak menyerang dengan kecepatan tinggi."Sial, si Tua ini jelas bukan lawan yang mudah untuk dihadapi. Aku harus segera mencari cara untuk melarikan diri jika tidak ingin mati konyol," Pendekar itu menyambut serangan yang terarah padanya dengan hati-hati.Keduanya langsung bertukar jurus di udara dan dalam waktu singkat, mulai terlihat jelas perbedaan kekuatan di antara mereka. Kecepatan dan variasi serang
Sinar matahari baru saja muncul dari langit dan menembus celah-celah dinding kokoh perguruan Taring Rajawali, saat Ayu Utari berjalan ke arah aula utama dengan wajah cemas. Dia yakin Kakeknya itu akan marah besar kali ini dan menghukumnya setelah kejadian penyerangan kemarin yang hampir membuatnya tewas. Sebagai cucu satu-satunya yang sedang dipersiapkan untuk menggantikannya kelak, Anggara Seta memang mendidik Ayu dengan sangat keras. Dia bahkan tidak diizinkan keluar perguruan sendirian tanpa pengawalan karena khawatir para pendekar aliran Hitam akan menggunakan kesempatan itu untuk membunuhnya. "Kakek pasti akan memarahiku habis-habisan," umpatnya dalam hati.Sudah terbayang dalam pikiran Ayu, Kakeknya itu akan mengungkit semua kesalahannya selama ini, dan membandingkan dengan Ibunya yang merupakan pendekar wanita terbaik Taring Rajawali sebelum tewas dalam sebuah pertarungan dengan pendekar misterius."Kakek pasti akan membandingkan aku dengan Ibu tanpa memikirkan .... " Wajah A
"Anggara Seta?! Gawat, aku berada dalam masalah besar kali ini," ucap pendekar itu terkejut sambil menahan rasa sakit disekujur tubuhnya."Kakek, bagaimana kau bisa ada di .... ""Cukup Ayu! Kau tau apa yang akan terjadi jika Kakek datang terlambat? Setelah masalah ini selesai, Kakek akan memastikan kau dihukum berat," Pria tua itu menggerakkan tangannya ke depan dan bersiap menyerang."Perguruan Taring Rajawali tidak pernah mencari masalah dengan siapa pun, tapi jika ada yang memulainya duluan, pantang bagi si Tua ini berdiam diri," Pria yang dipanggil Anggara Seta itu tiba-tiba bergerak menyerang dengan kecepatan tinggi."Sial, si Tua ini jelas bukan lawan yang mudah untuk dihadapi. Aku harus segera mencari cara untuk melarikan diri jika tidak ingin mati konyol," Pendekar itu menyambut serangan yang terarah padanya dengan hati-hati.Keduanya langsung bertukar jurus di udara dan dalam waktu singkat, mulai terlihat jelas perbedaan kekuatan di antara mereka. Kecepatan dan variasi serang
Beberapa jam setelah terjatuh dan tak sadarkan diri di dekat mulut gua, Wiratama mulai mendapatkan kembali kesadarannya. Walau masih merasakan sakit di bagian kepala, tapi dia tetap memaksakan tubuhnya bergerak dan bersandar di dinding gua."Aku masih hidup?" Untuk beberapa saat, Wiratama terdiam dalam posisi tubuh bersandar. Dia ingin meredam rasa sakitnya itu terlebih dahulu sebelum memikirkan rencana lainnya."Andai aku menguasai ilmu kanuragan sehebat kakek, mungkin rasa sakit ini .... " Ucapan Wiratama tiba-tiba terhenti, saat teringat dengan kata-kata kakeknya ketika dia dipaksa berlatih ilmu kanuragan."Alirkan tenaga dalammu ke seluruh tubuh secara perlahan ketika sedang terluka. Itu akan sedikit meredakan rasa sakit sebelum kau mendapatkan pertolongan lebih lanjut.""Mengalirkan tenaga dalam keseluruh tubuh? Apa dia pikir itu mudah?!!" Wiratama sempat mengumpat kesal, namun pada akhirnya, dia mencoba menggunakan jurus itu karena sudah tidak tahan dengan rasa sakit di kepalany
"Kakang Setya !!" Para pendekar Tapak Beracun tersentak kaget saat melihat tubuh temannya sudah melayang di udara dalam posisi telapak tangan menempel di dada Wiratama."Cepat bantu aku, pemuda sialan ini terus menghisap tenaga dalam dan energi kehidupanku!" Teriak Setya panik.Dengan wajah yang semakin memucat, Setya terlihat berusaha melepaskan tangannya dari tubuh Wiratama. Namun, sekuat apapun dia berusaha, lengannya seperti menyatu dengan kulit pemuda itu.Setya semakin berteriak kesakitan ketika tenaga dalam yang terhisap keluar dengan kecepatan tinggi itu mulai melukai urat nadinya."Menghisap tenaga dalam? Tua bangka sialan! Jurus terlarang apa yang kau ajarkan pada bocah itu," Melihat tubuh Setya berubah keriput dan mengering dengan sangat cepat, dua pendekar Tapak Beracun itu langsung bergerak melewati Sudarta untuk membantu temannya."Hei tunggu, jangan mendekatinya! Kalian bisa ikut terbunuh jika menyentuh tubuhnya!" Sudarta berusaha memperingatkan para pendekar itu namun
"Apa katamu!! Wiratama melarikan diri lagi?" Seorang pria setengah baya berwajah tegas langsung menggebrak meja saat mendengar laporan bahwa cucu kesayangannya telah melarikan diri dari perguruan."Mohon maafkan aku ketua, tuan muda sepertinya melarikan diri melalui pintu belakang saat terjadi pergantian penjagaan. Kami sudah berusaha mengejarnya sekuat tenaga sampai kaki gunung Semeru tapi tak berhasil," Jawab pemuda berperawakan kurus dengan suara bergetar menahan takut."Mengejar cucuku?! Apa kalian pikir mampu melakukannya?" Bentak pria itu kesal.Pemuda itu langsung terdiam dengan wajah tertunduk. Dia tampak pasrah karena bagi para pendekar Lembah Siluman, gagal menjalankan tugas sama saja dengan mati."Sifat anak itu benar benar mirip dengan ibunya yang selalu mempermalukan aku dan perguruan Lembah Siluman!!" Pria tua itu terdiam sesaat, dia berusaha mengendalikan amarahnya terlebih dahulu sebelum memberikan perintah."Airin, bawa beberapa pendekar Lembah Siluman Perak dan temu
Seratus tahun kemudian…Suasana Hutan Alas Purwo masih tampak gelap ketika seorang pemuda melesat dengan kecepatan tinggi, menembus rimbunnya hutan itu. Sambil sesekali menoleh kebelakang, dia bergerak lincah dari satu pohon ke pohon lainnya tanpa peduli udara dingin yang menusuk hingga ke tulangnya."Kali ini aku tidak boleh tertangkap lagi oleh si tua itu atau…." Wajah pemuda itu tiba tiba berubah kesal ketika sesosok bayangan yang mengejarnya sudah terlihat dibelakang, padahal dia sangat yakin sudah berlari dengan sekuat tenaga dan meninggalkannya cukup jauh di belakang."Bagaimana bisa tua bangka itu bergerak secepat ini," dengan nafas yang sudah tak beraturan, pemuda itu mencoba meningkatkan kecepatannya agar tidak tertangkap untuk kesekian kalinya."Mau sampai kapan kau terus berlari seperti itu Wira? Ilmu meringankan tubuhmu memang sangat mengejutkan untuk seseorang yang tidak pernah belajar kanuragan, tapi itu semua tidak akan berarti di hadapanku," Melihat kecepatan pemuda it
Di bawah guyuran hujan dan sambaran petir yang menggelegar, dua orang pria setengah baya terlihat berdiri sambil mengatur nafasnya. Keduanya hanya diam dan saling menatap satu sama lain tanpa bergerak sedikit pun.Sekilas, tak ada yang aneh dengan mereka, namun jika dilihat lebih teliti, tetesan air hujan yang mengguyur tubuh mereka berubah memerah karena bercampur dengan darah yang terus keluar dari luka sayatan pedang di tubuh masing-masing.Salah satu pendekar yang terlihat lebih tua dan berwajah tegas, tiba-tiba menyarungkan kembali pedangnya menandakan sudah bersiap dengan serangan terakhirnya.Melihat lawannya sudah menyarungkan pedangnya, pendekar satunya yang mengenakan penutup wajah bergambar pedang menyilang mulai meningkatkan kembali konsentrasinya. Dia sadar, dalam ilmu pedang, serangan paling berbahaya adalah ketika pedang itu pertama kali meninggalkan sarungnya.Tak mudah untuk menghadapi tipe jurus pedang seperti itu karena tidak ada yang benar-benar tahu ke mana arah d