Lara menatap Alex tak percaya.
"Ngomong apa barusan?!""Maksudku, siapa tau kamu mau trima aku jadi selinganmu, secarakan Rey waktunya hampir tidak ada buat kamu. Anggaplah sebagai pengisi waktu kosongmu," kata Alex dengan mimik lucu, menahan tawa."Kamu tu ya ... nggak ngotak tau nggak ... teman sendiri mau kamu tikung!""Ha-ha-ha ... canda juga kali, serius banget. Dari tadi aku ngajak ngomong nggak nganggap, pas ngomong gitu langsung kamu respon." Alex terbahak-bahak memandang wajah Lara yang cemberut."Jadi kapan nih wak- ""Emangnya kerjaan kamu udah selesai? Ngoceh aja dari tadi," potong Lara jengah, yang merasa kerjaannya tidak bisa cepat selesai karena terganggu. Padahal rencananya Lara ingin meyelesaikan semua tugasnya, biar bisa fokus untuk mengurus rencana pernikahannya nanti. Alex selalu usil. Biasanya ditanggapi tapi kali ini Lara ingin kerjaannya cepat selesai.Pria bertubuh atletis itu, balik badan menuju mejanya, menghadapi tumpukan kertas. Otaknya serasa tidak mau diajak kerja sama saat ini. Ada rasa yang mengganggu saat melihat Rey melamar Lara di restoran tadi.Ada perasaan tak rela kerena Lara akan menjadi milik orang lain Cintanya untuk Lara tidak pernah hilang namun juga ada perasaan bersalah karena masih mencintai pacar sahabatnya sendiri.'Kamu akan selalu memiliki tempat yang istimewah di hati ini, walaupun aku tidak bisa memilikimu. Akan aku pastikan kamu akan selalu berbahagia bersama Rey,' batin Alex sambil memandang wajah gadis pujaannya, yang sedang serius dengan lembaran-lembaran kertas dihadapannya.***Lara melihat gawaynya berkali-kali namun masih sama, centang satu. Jam sudah menunjukan pukul 11 malam tapi ponsel Rey belum aktif juga."Selalu seperti ini," gerutu Lara."Lagi dan lagi!" "Ya Tuhan apakah aku sanggup mendampingi seorang prajurit? rasa-rasanya aku tak mampu tapi aku begitu mencintainya, Tuhan."Lara bermonolog."Aku ingin habiskan tiap saat dengan dia, tidak seperti ini! Apakah aku sanggup menjalani hidupku dengan orang yang tidak akan selalu ada di sampingku." mata sendu itu memancarkan keraguan.Lara mengusap wajahnya mencoba menghalau rasa yang berkecamuk di dada. Setelah siang tadi hatinya dibuat melambung tinggi dengan janji dan kata-kata romantis dari Rey, sekarang perasaannya seperti menggantung, dengan kehadiran Rey yang selalu tidak dapat diprediksi.Ia mulai goyah untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih serius, ketakutan terbesarnya adalah keselamatan Rey, perasaan was-was itu selalu merengut rasa nyaman di hatinya. Namun rasa cinta yang begitu besar selalu mengalahkan perang batin dalam dirinya, untuk tetap bertahan, dengan lelaki yang memiliki keterbatasan waktu bagi dirinya.Lara memeluk guling sambil menatap foto Rey yang terpajang di meja riasnya, sosok lelaki tampan dengan seragam lorengnya dilengkapi baret merah.Rasa rindu itu kian menyiksanya, setelah di amar dadakan siang tadi, malam ini sudah tidak ada kabar lagi. Padahal Lara ingin bermanja-manja meluapkan rasa bahagianya bersama Rey. Sambil merancang persiapan untuk pernikahan mereka nanti.Lara mengerti akan profesi Rey yang seorang prajurit, tapi ada sisi lain dalam dirinya yang menginginkan seorang kekasih seperti pasangan lainnya, yang selalu menghabiskan waktu bersama.Gadis itu menginginkan keluarga kecil yang bahagia, suami yang selalu ada disampingnya. Bersama-sama menghabiskan waktu membesarkan buah hati mereka. Impiannya itu tidak bisa tergapai bersama Rey.Kini ada rasa yang membuatnya ragu untuk menikah dengan Rey. Ada kebimbangan di hatinya untuk memutuskan hal yang akan membuat perubahan besar dalam hidupnya.Lara bangkit berdiri menuju meja rias, meraih foto Rey, memandangnya lekat-lekat. Air matanya jatuh mengenai wajah Rey di atas bingkai foto itu. Diusapnya bulir-bulir bening itu.Perasaannya seperti terkoyak, ada rasa tak rela untuk kehilangan lelaki yang begitu dicintainya. Lara membuka laci lalu memasukan bingkai foto itu. Tak lagi memajangnya." Aku harus mengakhiri semua ini, sayang."Sementara itu di apartemennya Rey baru saja membaringkan tubuhnya di sofa., setelah mengeringkan tubuhnya dengan handuk. Tubuhnya terekspos hanya boxer hitam yang menutupi bagian bawahnya.Dia tadi dari bandara menjemput Ambar, Ibu Panti yang sudah dianggap sebagai ibunya sendiri beserta Nindy dan beberapa anak panti untuk mewakili sebagai keluarganya.Mereka datang atas permintaan Rey untuk acara lamaran. Saat ini tinggal di apartemen milik Rey yang lainnya. Apartemen yang sekarang merupakan tempat prifasinya yang tidak ada seorangpun datang kecuali team inteligennya. Sering juga dijadikan markas jika ada pertemuan mendadak.Rey bangkit berdiri kembali, kakinya melangkah menuju sebuah lukisan besar yang tergantung di dinding, yang ternyata dibaliknya ada sebuah brangkas kecil yang menempel di dalam tembok. Tangannya memutar kode pada brangkas itu tak lama pintu kecil itu terbuka.Matanya tertuju pada dua amplop coklat di antara beberapa pucuk pistol yang tergeletak di atasnya. Tangannya terarah mengambil dua amplop itu, lalu berjalan menuju sofa kembali.Menghamburkan seluruh isinya di atas meja kaca di depannya. Matanya tertuju pada beberapa kartu kecil yang merupakan identitas barunya, melihatnya sejenak lalu fokus dengan beberapa lembaran kertas putih. Mengisinya kembali ke dalam amplopnya.Lalu membuka amplop berikutnya."Devin ...CEO ... hhmm ... menarik," gumam Rey sambil mengamati nama yang tertera pada kartu kecil itu. Penyamarannya kali ini menjadi seorang CEO dari perusahaan yang memproduksi alat berat.Pandangannya beralih pada lembaran-lembaran putih yang berisi informasi tentang tugas yang akan di laksanakan, kemudian mata elang itu fokus mengamati beberapa foto targetnya, hingga tatapannya beralih pada salah satu foto seorang wanita cantik dengan gayanya yang glamour.Rey menghempaskan napasnya, baginya lebih mudah menjalankan misi yang berurusan dengan mafia atau terosis daripada berurusan dengan wanita apalagi sampai harus menggunakan pesonanya untuk menjerat targetnya.Bayangan Lara tiba-tiba melintas di benaknya, ada rindu yang menyelinap untuk gadis itu. Ia kembali merapikan isi amplop dan menaruhnya ke tempat semula. Lalu meraih benda pipih di atas nakas samping ranjangnya. Namun layarnya gelap kehabisan baterai.Ditatapnya benda bulat pada dinding sudah menunjukan pukul dua dini hari."Aku merindukanmu sayang," bisik Rey sambil membaringkan tubuhnya di ranjang.***[Pagi sayang, lagi ngapain maaf pesanmu baru terbaca.] Rey mengirimkan pesan begitu terbangun. Namun tak ada balasan dari sebrang.[Kok dibaca aja? Lagi sibuk ya?][Malam aku ke rumah.]Dibaca lagi tanpa dibalas. Rey menarik napas, di hempaskannya dengan kasar, tak biasanya Lara mengacuhkan pesannya. 'Apakah dia lagi sibuk?' batin Rey.Dengan gayanya yang parlente, Rey menuju apartemen yang ditinggali Ambar dan Nindy, membawa kebutuhan yang diperlukan sekalian membahas rencana pinangan nanti. Selepas dari sana Rey kemudian menuju markas.Langit telah memerah ketika Rey kembali ke apartemennya. Meletakan barang bawaan yang merupakan keperluan misinya nanti. Memeriksa ponselnya kembali, namun hasilnya masih sama."Ada apa denganmu sayang?" gumam Rey.Rey mematut dirinya di cermin, aroma tubuhnya memancarkan aroma maskulin, setelah di semprot pewangi kenamaan, sehabis mandi.Pria berwajah karismatik itu memacu kuda besinya, menuju rumah Lara, dengan berbagai tanya yang berkecamuk di kepalanya. Tidak seperti biasanya Lara mengacuhkan pesannya.Pria berwajah tegas itu turun dari motornya. Hendak memencet bel, tapi pintu itu tiba-tiba terbuka. Gadis cantik dengan baju rumahan muncul di depan Rey, terkesan natural dan sangat menarik.Senyum terukir di bibir lelaki itu, keningnya mengeryit saat pelukan hangatnya ditolak, lagi-lagi tidak seperti biasanya. Tanpa mempedulikan penolakannya, Rey menarik tubuh seksi itu semakin erat dalam pelukannya."Aku sangat merindukanmu." bisik Rey sambil mendusal hidungnya di rambut gadis itu. Lara terdiam menahan gemuruh di dadanya tiap kali berdekatan dengan Rey.Hening."Hhmm ... maaf kemarin seharian sibuk di markas, terus ngantar Ibu ke apartemen, tidak sempat balas chat kamu, karna ponselku padam. Mami dan Papi ke mana, kok sunyi?" ujar Rey sambil menelisik wajah gadis di depannya, wajah imut yang selalu terbayang.Lara tiba-tiba meraih tangan Rey lalu meletakkan sesuatu di sana. Mata lelaki itu melebar, ditatapnya benda bulat bertahta berlian di telapak tangannya, lalu kembali menatap sepasang netra bening di depannya. Senyum khas yang semula terukir di bibir lelaki itu, menjadi kaku, perlahan menghilang."Apa maksudmu?!" Suara Rey tegas, tatapannya menghujam manik di depannya. Tujuannya datang ke sini untuk menyampaikan maksud kedatangan keluarganya nanti, hendak meminang Lara pada orang tuanya namun gadis itu malah menyambut sebaliknya."Maaf ... aku sudah memutuskan sebaiknya kita akhiri hubungan kita."Rey ternganga.Kamu sedang tidak bercanda kan, Lara Angeswari?!""Apa aku kelihatan bercanda, Mas?""Tapi kenapa ... bukannya kita baik-baik saja?!"Namun gadis itu tiba-tiba berbalik dan lari ke dalam rumahnya. Ditutupnya dengan cepat pintu jati itu, tetapi dengan sigap, Rey menghalang dengan kakinya.Lara berlari, dengan gesit Rey menangkap lengan gadis itu, menahannya di antara ruang tamu berbatasan dengan ruang tengah."Ada apa, Mas butuh penjelasan."Mereka berdiri berhadapan.Rey mengangkat dagu itu perlahan."Jelaskan ada apa, Dek? Bukannya kita baik-baik saja? Kita akan menikah. Kenapa malah tiba-tiba kamu ingin mengakhiri hubungan kita, apa mas punya salah?Lara menggeleng."Aku baru sadar, ternyata aku tidak pernah mencintaimu, Mas," ujar Lara sambil mengalihkan pandangannya dari netra kelam itu. Hidung mancung gadis itu kembang kempis, ada rasa yang ingin meledak dari dalam dirinya.Untuk sesaat Rey terkejut. "Pandang aku kalo bicara." Menangkup wajah Lara, mengarahkan padanya, kedua mata
Rey melangkah menjauh, punggung tegap itu menghilang dari pandangan Lara yang masih menatap kosong. Pulang dengan membawa luka yang mulai merajam hatinya, yang semula bersemi karena cinta. Pulang dalam kesendirian. Begitu inginnya menjadikan kekasihnya sebagai tempat untuk pulang, tetapi justru dia menutup pintunya. Sesaat terdengar bunyi motor yang menghilang di kegelapan malam. Lara tersadar dari lamunannya, dengan cepat dikejar bayangan lelaki itu."Maaasss ... " Suaranya terdengar memecah keheningan malam, berharap Rey mendengar dan kembali .Sunyi ... tak terdengar suara apapun. Langkahnya gontai kembali ke dalam,. Terduduk menatap titik noda darah di lantai putih itu. Diusap lalu dibersihkan, menatap noda merah yang telah berpindah ke tangannya, tangisnya pecah."Selamanya aku akan tetap mencintaimu mas ..." gumam Lara lirih, sambil membawa genggaman tangan yang bernoda itu ke dadanya.***Rey membersihkan darah di tangannya. Menarik napas perlahan, menghempaskan tubuhnya di s
"Apakah ini alasanmu menolakku," desis Rey, jari-jari tangannya memutih mencengkram erat setir."Kamu harus jelaskan semua ini, Lara Angeswari!"Bagaikan elang yang mengintai mangsanya, tatapan Rey tak lepas dari sepasang manusia yang sedang berbicara, sesekali terdengar gelak tawa di antara mereka yang terlihat bahagia sekali.Badai berdesakan di dada Rey seakan berebutan untuk keluar. Tanpa kedip, gerak gerik mereka tak lepas dari pantauannya. Tubuhnya menegak ketika melihat Lara berdiri lalu menuju ke dalam, mata Rey mengikutinya, terlihat kalau Lara akan menuju kamarnya.Rey segera keluar dari mobil, menyebrangi jalan menuju ke rumah Lara. Tak menunggu lama, dengan gerakan tubuhnya yang sudah terlatih, dengan gesitnya Rey memanjat ke lantai dua rumah itu, hingga sampai di jendela kamar Lara. Tak sulit bagi Rey untuk membuka paksa jendela, lalu dengan segera menyelinap masuk. Terdengar Lara yang masih berbincang di depan pintu. Tak lama pintu itu terdorong dari luar, setengah terbu
"Malam ini kamu milikku sayang.""Maas ...." suara Lara tercekat dengan nafas tersengal, dadanya turun naik. Napasnya seperti terhenti saat Rey mengukungnya. Selama pacaran baru kali ini mereka seranjang."Mas ingin menghabiskan malam ini dengan kamu sayang."Tubuh Lara gemetar. Rey memposisikan Kedua tangan menopang tubuhnya. Sebelah tangannya mengusap wajah Lara, memyimpirkan anak rambut yang jatuh di dahi, perlahan mengecup dahi itu dengan kelembutan."Mas sangat menyayangimu, tiap saat yang terbayang hanya wajahmu ..." ujung jarinya menyusuri setiap lekukan wajah Lara. Lara terpejam, dadanya seakan mau meledak merasakan sensasi yang baru dirasakannya. Kulitnya tiba-tiba menjadi sangat sensitif."Jagalah dirimu selama aku pergi. Jangan pernah singkirkan Mas dari hatimu." kata-kata Rey terdengar begitu lembut dan menghanyutkan.Rey menunduk menyusuri wajah Lara dengan kecupannya. Sesaat terhenti menatap kembali kedua mata yang terpejam, yang terlihat sedang mengigit bibirnya, h
"Jadilah bagian terindah dalam hidupku, Mas."Rey tersenyum bahagia."Aku pasti akan kembali, tidak sabar untuk menjadikan kamu sebagai istriku. Tunggulah Mas sayang, jadilah bagian terindah dalam hidupku." Rey mengecup kening Lara lembut."Jadilah rumahku, tempat tujuanku untuk pulang. Mas janji akan selalu membahagiakanmu, memberimu hari-hari bahagia yang tak akan kamu lupakan."Kata-katanya sendiri sempat membangkitkan hasratnya, namun di tekannya. Rey tak ingin menodai kesucian Lara sebelum waktunya."Tapi Janji Mas tidak akan macam-macam di luar sana." Manik Lara indah menuntut kesetiaan Rey.Rey menatap Lara dalam."Percayalah pada hatimu. Apakah Mas akan mengkhianati cinta kita, terbayang pun tidak pernah apalagi sampai melakukannya.""Trima kasih Mas, aku percaya Mas orang yang setia.""Jangan dekat-dekat sepupumu itu."Lara mendongak, menatap Rey penuh tanya."Adrian?"
Mata Lara membulat, mendengar permintaan Rey yang rasanya tak masuk akal. Beringsut menjauh dari Rey."Apa Mas tidak mencintaiku, ini hanya siasat Mas saja untuk meninggalkan aku kan, Mas ingin balas dendam karna aku menolak Mas, kan?" "Bagaimana mungkin kamu bisa berpikiran seperti itu, sayang." Rey menatap lama wajah Lara lalu meraup wajahnya kasar."Aku tidak mungkin dan selamanya tidak rela untuk menyerahkan kamu ke laki-laki lain.""Lucu! Bukannya barusan Mas nyuruh aku untuk menikah dengan Alex ?!""Kenapa begitu sulit untuk membuatmu mengerti sayang. Maksud dari perkataan Mas tadi, jika Mas tidak kembali karna gagal dalam misi Mas, hanya pulang nama saja. Menikahlah dengan Alex, jangan berlarut-larut dalam kesedihanmu, kamu harus bahagia walaupun tanpa Mas." Mata Rey memerah rasanya seperti menelan ribuan jarum.Rey tahu misinya kali ini sangat berbahaya, hanya ada dua hal, pulang dengan raga yang bernyawa atau pulang nama saja. Alex pun tidak tahu tentang misi ini, yang Alex
"A-apa aku sudah tidak perawan lagi, Mas?" Mata Lara berkaca-kaca menatap pada Rey dengan pias."Tapi, Mas tidak melakukannya sayang, tadi Mas hanya pake mulut kok, masa bisa sih?" Dahi Rey mengerut mencoba mengingat adegan mereka tadi, jangan sampai dia kebablasan dan tidak menyadarinya karena terlalu asyik. Senyum terukir tatkala menyadari sumber darahnya. Ternyata darah itu berasal dari tangannya yang digigit Lara waktu itu, yang berdarah lagi karena mereka keasyikan. Apalagi tadi Lara sampai mencengkram dengan kuku yang tertancap pada tubuhnya.Rey mendekat, memeluk gadis itu dengan posisi duduk di atas ranjang sementara Lara berdiri di depannya."Udah mau gimana lagi, udah terlanjur, bukannya tadi kamu yang maksa-maksa untuk Mas ambil. Ayo sekalian Mas jebol." goda Rey.Mata Lara melebar."Bisa-bisanya Mas, aku lagi ... " suaranya terhenti saat Rey mengangkat tangannya yang terluka."Jadi aku masih prawan Mas?" Matanya memincing. Ternyata dia masih bisa menyimpan mahkotanya y
Rey langsung memagut bibir Lara. Disedotnya dalam-dalam benda kenyal itu."Mas janji seperti tadi, tidak lebih."Lagi-lagi Lara hanya sanggup menggangguk.Rey mengantar Lara pada puncak kemenangan, puncak nirwana.Rey mengecup kening Lara penuh kelembutan. Hanya deru napas memburu yang tersisa. Ditatap wajah kekasihnya yang berpeluh, udara AC mulai membalut tubuh mereka dalam kedinginan. Dia mengambil handuk lalu mengeringkan peluh Lara. Pandangannya tak lepas dari wajah gadis yang begitu disayanginya. Gadis yang masih bermahkota."Mas akan sangat merindukanmu sayang," ucap Rey sepenuh hati. Lara yang semula terpejam membuka kedua matanya."Mas merasa kepergian kali ini sangat berat dari sebelumnya," ujar Rey lagi, dengan cepat Lara mendongak."Ke-kenapa, Mas?"tanya Lara kuatir."Setelah apa yang telah kita lakukan. Mas merasa sangat berat meninggalkan kamu, dengan wajahmu yang terbayang saja Mas kesulitan tid