"A-apa maksudmu?" Lara menatap nanar ke arah Rey. Udara di sekitarnya tiba-tiba terasa panas, menjalar sampai ke kulit wajahnya, yang mendadak terasa kaku.
Lara menyeruputice lychee tea menandasnya sampai habis, demi membasahi jalur di lehernya yang tiba-tiba terasa kering.Rey tersenyum penuh arti, melihat perubahan di wajah Lara."Aku seorang prajurit ... otomatis ... kesetiaanku yang paling utama untuk NKRI." ujar Rey sambil terkekeh. Lara memberengut sambil mencubit lengan Rey.Suasana restoran tiba-tiba riuh kembali."Ohhh ... my soldier, jadikan aku yang ketiga, aku rela," celetuk salah satu cewek bertubuh gempal, dari ke empat cewek yang duduk di meja seberang. Suaranya dibuat-buat seimut mungkin sambil tangannya memegang kedua pipinya. Suara ngakak pecah di antara mereka."Eh ... ngehalu aja lo, nyadar dong. Jadiin yang ke seribu juga babang soldier-nya, yang nggak rela," tukas seorang temannya, sambil menower jidat gadis gempal itu."Body lu aja seperti kasur lipat gitu.," sambungnya lagi."Ehh ... jangan salah, kasur lipat gini kalau dibawa ke hutan lebih praktis buat ditidurin.""Ngapain juga ke hutan?""Lah ... kan babang soldiernya kalau tugas kebanyakan ke hutan.""Emang sih ... lebih praktis kalau dibawa ke hutan.""Naaahhhh itu Lo tau.""Buat ditidurin gorila," lanjut si cepak, sontak teman-temannya ngakak berjamaah.Lara dan Rey senyam-senyum melihat tingkah geng cewek yang absur."Memangnya apa yang kamu pikirkan, saat aku bilang kamu yang kedua?" goda Rey sambil merapikan anakan rambut Lara yang menutupi wajah imut itu."Menyebalkan, bikin sport jantung, tau nggak!" Lara mencubit lengan Rey lagi. Yang dicubit pura-pura meringis kesakitan."Lho bukannya memang benar, apa yang aku katakan?" Tarikan di sudut matanya menandakan, jika lelaki itu sedang tersenyum dibalik maskernya."Kamu pasti sudah tau konsekuensinya menjadi istri seorang prajurit. Menjadi yang kedua setelah ibu Pertiwi, siap ditinggal sewaktu-waktu," ujar Rey serius."Kepada Ibu Pertiwi aja aku setia, apalagi kepada seorang Lara Angeswari," lanjut lelaki yang bergaris wajah tegas nan kharisma itu."Setelah kita menikah aku tidak bisa seperti suami kebanyakan, yang bisa hadir selalu di rumah. Tidak bisa selalu menemani malam-malammu, tapi di mana pun aku melangkah, aku akan tetap setia. Aku harap kamu juga akan selalu setia, bisa menjaga dirimu, bisa juga menjaga nama yang kamu sandang sebagai ibu Persit nanti," Rey berkata dengan serius."So sweet ... aku pasti akan selalu setia." Lara tanpa malu meraih lengan Rey lalu memeluknya. Lelaki yang dulu, awal ketemu sempat membuatnya takut, tetapi terpesona dalam diamnya. Wajah yang tidak pernah senyum, dengan tatapan mengintimidasi. Bicara juga seperlunya saja, tapi begitu mengenal lebih dalam, membuat Lara jatuh cinta setengah mati dengan pribadi Rey. Selain penyayang, Rey sangat pengertian dan romantis.Tiba-tiba terdengar bunyi ponsel. Rey mengeluarkan benda pipih itu dari sakunya, melihat layarnya sejenak lalu dengan segera meletakkan benda pipih itu di telinganya."Siap! Saya akan segera kembali," kata Rey sambil menatap perubahan di wajah Lara. Lagi-lagi ia mengecewakan Lara, harus pergi saat mereka belum puas melepas rindu."Sayang aku harus segera balik ke markas," ujar Rey lalu meletakkan sejumlah uang di atas meja untuk membayar pesanan mereka. Mengecup puncak kepala Lara. Hendak berlalu, tak tega menatap wajah imut itu berlama-lama, hati tak rela untuk meninggalkannya lagi. Lara dengan segera memegang tangan Rey."Kamu harus kembali sekarang?" Lara menatap kedua manik mata Rey, berharap Rey bisa bertahan sejenak. Ada rasa yang tak rela jika Rey harus pergi, rasanya baru sebentar mereka bersama.Rey mengusap tangan itu lembut, mengelus pipi mulus itu sambil menggangukkan kepalanya. Menatap dalam pada manik itu, tatapan tak rela ada kerinduan yang tak pernah tertuntaskan, tapi demi tugas negara harus dilakukan. Lara mengangguk pasrah, menatap punggung gagah itu sampai menghilang di balik pintu restoran.Sudah menjadi hal yang biasa bagi Lara, selama menjalin hubungan dengan Rey menjelang tiga tahun. Rey selalu tiba-tiba harus pergi lagi, begitu ada panggilan mendadak. Ada yang terasa hilang saat Lara merasa belum puas menikmati kebersamaan mereka.Rey tergabung dalam group 3, sandy Yudha yang merupakan pasukan elite di jajaran TNI AD. Personil intelijen yang kerap menjalankan misi-misi khusus dan rahasia. Sering diterjunkan untuk melakukan tugas operasi intelijen tempur, yang turun terlebih dulu, untuk memantau dan mengetahui kondisi dan situasi lapangan sebelum pasukan besar melakukan operasi militer.***Lara berlari kecil memasuki bank di mana dia bekerja. Sudah telat sepuluh menit dari jam makan siangnya. Ia mengangguk ramah membalas sapaan satpam yang dilewati di depan pintu masuk.Di dalam ruang credit department ternyata sudah ada Alex yang sama-sama bertugas di bagian analisis kredit."Thank's ya Lex," ujar Lara sambil mengambil alih surat-surat pengajuan kredit."Susah kalau orang sedang jatuh cinta, sampai lupa waktu.""Eh, ibu Santi belum datang ya?" tukas Lara mengalihkan pembicaraan."Kelamaan nunggu Ibu Persit! Jadi sudah pulang. Katanya nanti besok kembali lagi. Soalnya ada keperluan mendadak. Tuh formulirnya udah ditanda tangan." Mata teduh milik Lara membesar menatap Alex dengan tatapan penuh ancaman. Memanggilnya dengan ibu Persit."What ?! Ada yang salah dengan kata-kataku?" Alex mengangkat bahunya dengan kedua tangan menengadah berlagak bloon.Alex, lelaki 27 tahun itu merupakan rekan kerja Lara juga sahabat dari Rey. Bahkan lebih dari itu mereka adalah team, yang tanpa sepengetahuan Lara, dan orang-orang di lingkungannya. Mereka hanya tahu jika Alex dulu memang seorang anggota Kopassus tapi sudah dipecat karena suatu kasus, di mana kasus itu hanya merupakan rekayasa dari komando tertinggi agar penyamaran Alex meyakinkan.Alex sebenarnya juga salah satu Anggota Kopassus bagian intelijen, yang sedang menjalankan misinya dengan menyamar sebagai pegawai bank, untuk melakukan penyelidikan kasus pencucian uang dan perdagangan senjata.Dengan perawakan yang juga tinggi tegap, yang tak kalah gantengnya dari Rey. Sejak dulu telah jatuh cinta dengan Lara, malah pernah mengungkapkan perasaannya, tapi ditolak. Rasa cinta pada Lara tidak pernah bisa hilang, walau telah mencoba menghilangkan perasaan itu dengan melabuhkan cintanya pada gadis lain.Di liriknya gadis cantik yang sedang serius menekuni lembaran kertas di depannya.Alex menghempaskan tubuhnya di depan Lara."Nih !" Alex menyodorkan handphonenya."Apa? aku lagi sibuk!""Acara lamaran kalian tadi tranding topik.""What?!' Lara terkejut, lalu cepat-cepat digesernya layar ponsel Alex.Lara, mengamati dengan seksama, Vidio dan fotonya bersama Rey ada di media sosial, namun yang terlihat hanya punggung Rey saja. Hal itu yang Lara takutkan, dia sudah tahu bagaimana tugas Rey, takut wajah kekasihnya menjadi familiar di mata orang.Namun yang dikuatirkan tidak mungkin terjadi karena wajah Rey tidak nampak jelas. Pemilik akun tersebut ternyata salah satu dari Genk cewek yang bertubuh gempal tadi, dalam waktu singkat sudah dua ribu komentar yang menyematkan tagar lamaran."Huuff, dunia sekarang gerak dikit aja, semua orang pada tau." Lara kembalikan benda hitam itu tanpa ingin tahu lebih lanjut."Yaah ... Kalau mau yang privasi jangan di tempat umum lah," tukas Alex anteng."Sudah siap nih jadi ibu Persit?" Yang ditanya cuek saja sambil menekuni tumpukan kertas di depannya."Padahal aku masih cinta loh sama kamu, entah sampai kapan rasa ini akan hilang, aku masih berharap kamu trima aku."Hhaah !Lara melongoh.Lara menatap Alex tak percaya."Ngomong apa barusan?!" "Maksudku, siapa tau kamu mau trima aku jadi selinganmu, secarakan Rey waktunya hampir tidak ada buat kamu. Anggaplah sebagai pengisi waktu kosongmu," kata Alex dengan mimik lucu, menahan tawa."Kamu tu ya ... nggak ngotak tau nggak ... teman sendiri mau kamu tikung!""Ha-ha-ha ... canda juga kali, serius banget. Dari tadi aku ngajak ngomong nggak nganggap, pas ngomong gitu langsung kamu respon." Alex terbahak-bahak memandang wajah Lara yang cemberut."Jadi kapan nih wak- ""Emangnya kerjaan kamu udah selesai? Ngoceh aja dari tadi," potong Lara jengah, yang merasa kerjaannya tidak bisa cepat selesai karena terganggu. Padahal rencananya Lara ingin meyelesaikan semua tugasnya, biar bisa fokus untuk mengurus rencana pernikahannya nanti. Alex selalu usil. Biasanya ditanggapi tapi kali ini Lara ingin kerjaannya cepat selesai.Pria bertubuh atletis itu, balik badan menuju mejanya, menghadapi tumpukan kertas. Otaknya serasa tidak mau d
Kamu sedang tidak bercanda kan, Lara Angeswari?!""Apa aku kelihatan bercanda, Mas?""Tapi kenapa ... bukannya kita baik-baik saja?!"Namun gadis itu tiba-tiba berbalik dan lari ke dalam rumahnya. Ditutupnya dengan cepat pintu jati itu, tetapi dengan sigap, Rey menghalang dengan kakinya.Lara berlari, dengan gesit Rey menangkap lengan gadis itu, menahannya di antara ruang tamu berbatasan dengan ruang tengah."Ada apa, Mas butuh penjelasan."Mereka berdiri berhadapan.Rey mengangkat dagu itu perlahan."Jelaskan ada apa, Dek? Bukannya kita baik-baik saja? Kita akan menikah. Kenapa malah tiba-tiba kamu ingin mengakhiri hubungan kita, apa mas punya salah?Lara menggeleng."Aku baru sadar, ternyata aku tidak pernah mencintaimu, Mas," ujar Lara sambil mengalihkan pandangannya dari netra kelam itu. Hidung mancung gadis itu kembang kempis, ada rasa yang ingin meledak dari dalam dirinya.Untuk sesaat Rey terkejut. "Pandang aku kalo bicara." Menangkup wajah Lara, mengarahkan padanya, kedua mata
Rey melangkah menjauh, punggung tegap itu menghilang dari pandangan Lara yang masih menatap kosong. Pulang dengan membawa luka yang mulai merajam hatinya, yang semula bersemi karena cinta. Pulang dalam kesendirian. Begitu inginnya menjadikan kekasihnya sebagai tempat untuk pulang, tetapi justru dia menutup pintunya. Sesaat terdengar bunyi motor yang menghilang di kegelapan malam. Lara tersadar dari lamunannya, dengan cepat dikejar bayangan lelaki itu."Maaasss ... " Suaranya terdengar memecah keheningan malam, berharap Rey mendengar dan kembali .Sunyi ... tak terdengar suara apapun. Langkahnya gontai kembali ke dalam,. Terduduk menatap titik noda darah di lantai putih itu. Diusap lalu dibersihkan, menatap noda merah yang telah berpindah ke tangannya, tangisnya pecah."Selamanya aku akan tetap mencintaimu mas ..." gumam Lara lirih, sambil membawa genggaman tangan yang bernoda itu ke dadanya.***Rey membersihkan darah di tangannya. Menarik napas perlahan, menghempaskan tubuhnya di s
"Apakah ini alasanmu menolakku," desis Rey, jari-jari tangannya memutih mencengkram erat setir."Kamu harus jelaskan semua ini, Lara Angeswari!"Bagaikan elang yang mengintai mangsanya, tatapan Rey tak lepas dari sepasang manusia yang sedang berbicara, sesekali terdengar gelak tawa di antara mereka yang terlihat bahagia sekali.Badai berdesakan di dada Rey seakan berebutan untuk keluar. Tanpa kedip, gerak gerik mereka tak lepas dari pantauannya. Tubuhnya menegak ketika melihat Lara berdiri lalu menuju ke dalam, mata Rey mengikutinya, terlihat kalau Lara akan menuju kamarnya.Rey segera keluar dari mobil, menyebrangi jalan menuju ke rumah Lara. Tak menunggu lama, dengan gerakan tubuhnya yang sudah terlatih, dengan gesitnya Rey memanjat ke lantai dua rumah itu, hingga sampai di jendela kamar Lara. Tak sulit bagi Rey untuk membuka paksa jendela, lalu dengan segera menyelinap masuk. Terdengar Lara yang masih berbincang di depan pintu. Tak lama pintu itu terdorong dari luar, setengah terbu
"Malam ini kamu milikku sayang.""Maas ...." suara Lara tercekat dengan nafas tersengal, dadanya turun naik. Napasnya seperti terhenti saat Rey mengukungnya. Selama pacaran baru kali ini mereka seranjang."Mas ingin menghabiskan malam ini dengan kamu sayang."Tubuh Lara gemetar. Rey memposisikan Kedua tangan menopang tubuhnya. Sebelah tangannya mengusap wajah Lara, memyimpirkan anak rambut yang jatuh di dahi, perlahan mengecup dahi itu dengan kelembutan."Mas sangat menyayangimu, tiap saat yang terbayang hanya wajahmu ..." ujung jarinya menyusuri setiap lekukan wajah Lara. Lara terpejam, dadanya seakan mau meledak merasakan sensasi yang baru dirasakannya. Kulitnya tiba-tiba menjadi sangat sensitif."Jagalah dirimu selama aku pergi. Jangan pernah singkirkan Mas dari hatimu." kata-kata Rey terdengar begitu lembut dan menghanyutkan.Rey menunduk menyusuri wajah Lara dengan kecupannya. Sesaat terhenti menatap kembali kedua mata yang terpejam, yang terlihat sedang mengigit bibirnya, h
"Jadilah bagian terindah dalam hidupku, Mas."Rey tersenyum bahagia."Aku pasti akan kembali, tidak sabar untuk menjadikan kamu sebagai istriku. Tunggulah Mas sayang, jadilah bagian terindah dalam hidupku." Rey mengecup kening Lara lembut."Jadilah rumahku, tempat tujuanku untuk pulang. Mas janji akan selalu membahagiakanmu, memberimu hari-hari bahagia yang tak akan kamu lupakan."Kata-katanya sendiri sempat membangkitkan hasratnya, namun di tekannya. Rey tak ingin menodai kesucian Lara sebelum waktunya."Tapi Janji Mas tidak akan macam-macam di luar sana." Manik Lara indah menuntut kesetiaan Rey.Rey menatap Lara dalam."Percayalah pada hatimu. Apakah Mas akan mengkhianati cinta kita, terbayang pun tidak pernah apalagi sampai melakukannya.""Trima kasih Mas, aku percaya Mas orang yang setia.""Jangan dekat-dekat sepupumu itu."Lara mendongak, menatap Rey penuh tanya."Adrian?"
Mata Lara membulat, mendengar permintaan Rey yang rasanya tak masuk akal. Beringsut menjauh dari Rey."Apa Mas tidak mencintaiku, ini hanya siasat Mas saja untuk meninggalkan aku kan, Mas ingin balas dendam karna aku menolak Mas, kan?" "Bagaimana mungkin kamu bisa berpikiran seperti itu, sayang." Rey menatap lama wajah Lara lalu meraup wajahnya kasar."Aku tidak mungkin dan selamanya tidak rela untuk menyerahkan kamu ke laki-laki lain.""Lucu! Bukannya barusan Mas nyuruh aku untuk menikah dengan Alex ?!""Kenapa begitu sulit untuk membuatmu mengerti sayang. Maksud dari perkataan Mas tadi, jika Mas tidak kembali karna gagal dalam misi Mas, hanya pulang nama saja. Menikahlah dengan Alex, jangan berlarut-larut dalam kesedihanmu, kamu harus bahagia walaupun tanpa Mas." Mata Rey memerah rasanya seperti menelan ribuan jarum.Rey tahu misinya kali ini sangat berbahaya, hanya ada dua hal, pulang dengan raga yang bernyawa atau pulang nama saja. Alex pun tidak tahu tentang misi ini, yang Alex
"A-apa aku sudah tidak perawan lagi, Mas?" Mata Lara berkaca-kaca menatap pada Rey dengan pias."Tapi, Mas tidak melakukannya sayang, tadi Mas hanya pake mulut kok, masa bisa sih?" Dahi Rey mengerut mencoba mengingat adegan mereka tadi, jangan sampai dia kebablasan dan tidak menyadarinya karena terlalu asyik. Senyum terukir tatkala menyadari sumber darahnya. Ternyata darah itu berasal dari tangannya yang digigit Lara waktu itu, yang berdarah lagi karena mereka keasyikan. Apalagi tadi Lara sampai mencengkram dengan kuku yang tertancap pada tubuhnya.Rey mendekat, memeluk gadis itu dengan posisi duduk di atas ranjang sementara Lara berdiri di depannya."Udah mau gimana lagi, udah terlanjur, bukannya tadi kamu yang maksa-maksa untuk Mas ambil. Ayo sekalian Mas jebol." goda Rey.Mata Lara melebar."Bisa-bisanya Mas, aku lagi ... " suaranya terhenti saat Rey mengangkat tangannya yang terluka."Jadi aku masih prawan Mas?" Matanya memincing. Ternyata dia masih bisa menyimpan mahkotanya y
Hengky memencet nomor yang ditujunya, hendak melakukan panggilan kepada seseorang yang sangat penting baginya. Orang yang saat ini menjadi satu-satunya orang kepercayaannya, yang akan menyelamatkan dirinya dan keluarganya.[Bagaimana keadaannya? Apakah dia sudah melewati masa kritisnya?] tanya Hengky pada seseorang di seberang sana dengan raut kuatir.[Sudah tuan Hengky. Masa kritisnya telah lewat cuma sampai saat ini belum sadarkan diri.][Tidak mengapa, yang terpenting dia sudah melewati masa kritisnya. Lakukan pelayanan yang terbaik. Apapun itu, lakukanlah saya tidak ingin kehilangan dia.][Bagaimana jika dia siuman dan ingin kembali lagi ke Indonesia?][Saya tidak ingin dia kembali lagi ke sini. Jika kita tidak menyelamatkan dia, tentu saja saat ini dia sudah tiada. Mereka semua pengkhianat, karna itu kedua orang tuanya tiada. Saya tidak akan membiarkan hal itu terjadi lagi.][Dia orang yang berdedikasi pasti akan kembali pada negara dan keluarganya.][Kamu tidak usah kuatir, ha
"Aku punya rahasia," bisik Lara.Alis tebal Alex tertaut, dengan wajah penuh tanya."Kamu ingin tau?"Alex mengganguk ragu."Mereka akan mengambil anak-anakku," bisik Lara tepat di telinga Alex."Jika aku bersedih mereka akan mengambil anak-anakku," ulang Lara dengan wajah serius."Jangan bilang-bilang sama mereka jika aku hanya berpura-pura bahagia, agar mereka tidak mengambil anak-anakku.""Janji kamu tidak akan memberitahu siapapun ya?"Alex mengganguk seperti orang kehilangan akal. Dengan mata lekat pada dua netra bening yang berselimut duka."Mereka siapa?""Dokter dan suster.""Dokter dan suster?""Ssttt ... jangan keras-keras, nanti kedengaran." Mata Lara melebar dengan telunjuk di bibirnya, seolah pembicaraan mereka sangat rahasia dan tidak boleh ada yang mendengarnya. Dengan mata melirik kiri kanan, kuatir ada orang lain di sekitar mereka.Alex menegakkan badannya bersandar di kursi, mengurut-ngurut pelipisnya yang berdenyut nyeri. Dia bingung dengan tingkah Lara yang ambigu,
"A-apa ini kamu, Bang?" tanya Alex sangsi, ketika melihat tubuh yang terbujur kaku dengan seragam kebanggaannya.Saat ini Alex sedang berdiri di depan peti jenasah, yang telah berada di rumah Lara. Baru saja ibadah penutupan untuk selanjutnya akan mengantar jenasah menuju tempat peristirahatannya yang terakhir.Alex yang penasaran mencoba membuka penutup benda yang terbuat dari kayu jati itu dengan ukiran di tiap sisinya. Namun tidak bisa, memang sudah didesain demikian agar tidak lagi bisa terbuka, harus membuka memakai kunci khusus. Alex hanya dapat melihat tanpa menyentuhnya, penutupnya terdiri dari dua lapisan. lapisan teratas terbuat dari kayu yang melindungi lapisan bawahnya yang terbuat dari kaca tapi hanya sebagian saja, dari batas dada ke atas kepala."I-ini bukan kamu, Bang! Aku tau ini bukan kamu." Alex menggeleng tak percaya, karena wajah itu tak dikenalinya. Sudah tak utuh, dan ada perban yang menutupi sebagian wajahnya. Mungkin untuk menutupi agar terlihat lebih baik
Metha berdiri berusaha menenangkan putrinya, namun kedua kakinya pun melemah, hingga sempoyongan, mencengkram piggiran ranjang. Bibi Sri panik, cepat-cepat membantu Metha."Maaass, sakiiit!" lengking Lara dengan kedua tangan masih memegang perutnya, wajahnya terlihat menahan kesakitan yang luar biasa."Dokter, suster!" teriak Bi Sri sekuat-kuatnya, tidak peduli jika itu akan mengganggu pasien lainnya. Memperbaiki duduk Metha lalu menuju tombol menekannya berulang-ulang. Kembali menahan tubuh Metha jangan sampai terjatuh. Metha berusaha mempertahankan dirinya sendiri, kesadarannya hampir hilang, namun kekuatiran pada putrinya membuatnya berusaha untuk tetap sadar."Tolong!"Merasa tidak ada yang mendengar, Bi Sri berlari menuju pintu."Tolooong. Dokter, Suster!"Suara Bi Sri menggema di koridor yang sunyi itu. Memancing gerakan dari orang sekitarnya yang langsung keluar dari ruangan masing-masing. Beberapa orang sudah menuju ruangan Lara lalu berusaha menenangkan Lara dan Metha. Seba
Lara terbangun, melirik ke arah Metha dan kedua kakak perempuannya di samping. Dia tidak tahu jika ayahnya dan Alex sudah menuju bandara untuk penyambutan dan penyerahan jenasah. Sebentar kedua kakaknya akan ikut serta juga, tentunya secara diam-diam tanpa diketahui oleh Lara."Mi, apa belum dapat ponsel Dedek, Mi?" tanya Lara pada Metha yang sedang sibuk menyiapkan sarapannya.Metha menjadi panik mendapat pertanyaan seperti itu lagi dari Lara. Sebelumnya mereka selalu beralasan jika ponselnya belum ditemukan. Sekarang akan tampak mencurigakan bila mengatakan hal itu lagi. Alex sudah menyarankan jika sebaiknya ponselnya diberikan. Sama juga, jika Lara hubungi suaminya, tidak akan tersambung, karena sejak hari itu ponsel Rey tidak aktif lagi.Metha melirik pada kedua saudara Lara yang juga tampak bingung. Kebohongan apalagi yang harus mereka buat untuk menutupi semua itu."Sebentar, Bik Sri akan bawakan, katanya sudah ketemu Dek." Metha mengambil ponselnya, mengirim pesan untuk Bi S
Kenapa kamu mencintaiku," tanya Alex tiba-tiba.Tari menoleh ke arah Alex dengan mimik heran. Tidak biasanya Alex menanyakan hal itu."Kenapa aku mencintaimu?" Tari mengulangi pertanyaan Alex."Iya, kenapa kamu mencintaiku?""A-aku ... apa aku harus menjawabnya?""Aku bertanya karna ingin mendengar jawabannya,tentu saja kamu harus menjawabnya.""Aku .... "Alex mengangkat keningnya menanti jawaban Tari. Tatapannya menghanyutkan. Semua wanita yang melihatnya akan terhanyut dalam pesonanya. Satu-satunya wanita yang tidak terseret dalam arusnya hanya Lara, karena dia telah memiliki Rey. Namun kini Rey telah pergi, menciptakan ketakutan tersendiri bagi Tari."Karena sejak awal aku menyukaimu. Semakin hari semakin dalam, bukan sekedar menyukai ... tapi sudah sangat mencintaimu, dan ... hatiku tidak bisa berpaling pada yang lain." Kedua pasang netra mereka saling memindai."Kenapa tiba-tiba menanyakan hal seperti itu?" lanjut Tari.Alex berjalan mendekat. Serta merta membawa Tari dalam p
Tangan Alex menggenggam erat ponselnya hingga jari tangannya memutih. Dia baru saja menerima kabar jika jasat Rey telah ditemukan, bersama ketiga jasad lainnya.Sudah lima hari sejak penyambutan dua jenasah yang diterbangkan duluan. Hari ini baru mereka memberi kabar jika jenasah akan diterbangkan setelah melakukan persiapan di sana. Sesegera mungkin, paling terlambat besok, karena kondisi jasad yang tidak memungkinkan lagi untuk bertahan lebih lama.Dunia Alex kembali hancur, sangat terasa lebih hancur dari sebelumnya. Setelah berangan-angan ada sedikit harapan dengan belum ditemukan jasad Rey, masih ada asa saat itu. Berharap Rey berada di suatu tempat dengan nyawa yang masih berada di badannya. Ternyata itu hanya harapan kosong. Rey telah pergi, semuanya sirna sudah.Bagaimana dengan Lara dan kembarnya, bagaimana dengan amanat yang Rey tinggalkan tiap kali dia pergi satgas, bagaimana dengan Tari? Semua itu berkecamuk dalam pikiran Alex."Kenapa kamu menempatkan aku dalam posis
"Aku mau mengecek persiapan penyambutan Jenasah. Setelah urusanku beres kita akan membahasnya.""Kamu tidak berubah pikirankan, Lex?" Mata Tari yang berkaca-kaca mulai menciptakan kristal. Dia ingin segera mendapat jawaban Alex agar hatinya tenang.Alex menoleh ke dalam, Lara masih terlelap. Meraup wajahnya lalu berpaling ke arah Tari. Sesaat dia bimbang, lalu kemudian menarik Tari dalam pelukkannya."Kasih aku waktu dua hari ini, untuk mengurus segalanya. Setelah itu kita bertemu."Tari mengganguk terpaksa."A-aku .... Aku takut kamu berubah pikiran." Kristal bening itu luruh begitu saja. Alex trenyuh menatap Tari, diusap pelan butiran yang mengalir. Dia telah memiliki impian untuk menghabiskan masa tua bersamanya. Ruang hatinya hampir terisi penuh oleh Tari."Kamu pake apa ke sini.""Taksi. Kamu tau mobilku ada di bengkel. Tidak mungkin aku pake motor, karna kamu pasti marah."Tari pernah dua kali kecelakaan dengan motor hingga tulangnya patah, karena balapan. Hal yang disukainya du
[Aku lagi di rumah sakit, sedang menjaga Lara.] Tari dengan cepat membaca pesan Alex yang masuk. Saat tahu jika orang yang melamarnya sedang bersama wanita idamannya, hati Tari menjadi tak karuan. Apalagi dia baru saja mengetahui kabar gugurnya Rey dari ayahnya. Tari semakin tak tenang saat nomor Alex tak lagi aktif.Tari mencoba tidak berpikir berlebihan. Hal yang wajar jika Alex ada di rumah sakit karena istri sahabatnya pasti syok, mendengar berita suaminya. Apalagi saat ini sedang hamil. Tari ingin memahami hal itu, namun sisi dirinya yang lain sangat kuatir. Kini tidak ada halangan lagi bagi Alex jika dia ingin meraih hati Lara.Tadinya Tari ingin menanyakan berita tentang Rey, dia akan membahas hal itu setelah mereka bertemu namun rupanya sudah terjawab, Lara berada di rumah sakit pasti karena berita itu. Tari memukul-mukul pelan kepalanya berulang kali."Kenapa kamu masih memikirkan hal konyol seperti itu, sudah jelas-jelas akan menikah kenapa masih cemburu juga." Tari beru