Rey langsung memagut bibir Lara. Disedotnya dalam-dalam benda kenyal itu."Mas janji seperti tadi, tidak lebih."Lagi-lagi Lara hanya sanggup menggangguk.Rey mengantar Lara pada puncak kemenangan, puncak nirwana.Rey mengecup kening Lara penuh kelembutan. Hanya deru napas memburu yang tersisa. Ditatap wajah kekasihnya yang berpeluh, udara AC mulai membalut tubuh mereka dalam kedinginan. Dia mengambil handuk lalu mengeringkan peluh Lara. Pandangannya tak lepas dari wajah gadis yang begitu disayanginya. Gadis yang masih bermahkota."Mas akan sangat merindukanmu sayang," ucap Rey sepenuh hati. Lara yang semula terpejam membuka kedua matanya."Mas merasa kepergian kali ini sangat berat dari sebelumnya," ujar Rey lagi, dengan cepat Lara mendongak."Ke-kenapa, Mas?"tanya Lara kuatir."Setelah apa yang telah kita lakukan. Mas merasa sangat berat meninggalkan kamu, dengan wajahmu yang terbayang saja Mas kesulitan tid
"Maaas ...." Panggil Lara setengah berbisik. Tangan Lara memutar kenop pintu yang tidak terkunci, terbengong saat dilihat ruangan itu kosong.Hampa.Terasa ada yang terenggut dari sudut hatinya, rasa kehilangan yang sangat mendera. Kehampaan yang meremas-remas jiwanya. Dia tergugu, mengusap bening yang mengaburkan penglihatannya.Lagi rasa itu menderanya, tiap kali Rey pergi bertugas. Tubuh Lara luruh, terduduk di lantai. Memeluk erat kedua kakinya, bayangan Rey terpatri jelas di pelupuk mata. Rasanya ingin berteriak sekencang-kencangnya, untuk menghalau suatu rasa yang mengoyak hatinya. Ingatannya terbang pada keinginan Rey agar dia menjadi wanita yang tangguh."Kuat Lara, kamu harus kuat." Monolog Lara memberi semangat pada dirinya sendiri. Sambil berdiri menyusut air matanya."Kamu bukan hanya mencintai dirinya, kamu juga harus mencintai profesinya," gumam Lara mencoba menghalau rasa yang mencabik jiwanya."Hati-hati sayang, berjuanglah demi negri ini. Kembalilah dengan selamat. A
Sementara itu Rey sedang berada di atas awan. Di dalam burung besi yang akan membawanya ke negara kangguru, Australia.Negara yang terkenal dengan ikon Sydney Harbour Bridge itu mulai terlihat. Pesawat mulai menurunkan ketinggiannya, pemandangan menakjubkan terlihat dari jendela kaca. Bandara yang dikelilingi oleh samudra dan kota serta jembatan yang indah. Pesawat landing dengan mulus.Setelah melewati proses imigrasi dan mengambil bagasi, Rey dikejutkan dengan pesan yang masuk di gawaynya, yang mengharuskan dia kembali ke Indonesia lagi besok. Misi di negara itu batal.Rey yang tidak tidur semalaman saat bersama Lara, hendak menghabiskan waktunya dengan istirahat di hotel yang terdekat dengan bandara.Namun niatnya terhalang saat ada pesan yang masuk membuat rasa kantuknya hilang dalam sekejab, ketika melihat vidio yang dikirim padanya.Vidio yang mengerikan, terjadi lagi pembantaian tujuh warga sipil. Dengan terang-terangan kelompok separatis melakukan live, membantai para pekerj
Tak sabar Lara langsung melakukan Vidio call."Mas di mana, memangnya udah balik, kok cepat sekali?" tanya Lara dengan mulut menganga saat wajah Rey muncul di layar."Apa kamu sengaja menggoda, Mas.""Hah, apanya.""Hanya dengan handuk gitu, sengaja mau goda Mas.""Hah, ya ampun Mas, aku tidak sadar kalo belum pake baju."Senyum Rey terkulum saat tiba-tiba yang terlihat hanya langit-langit kamar."Kenapa langsung dipake padahal Mas pengen cuci mata. Barusan mandi ya, aromamu tercium sampe sini.""Iihh ... dasar. Mas udah balik beneran?""Iya, besok fligh lg. Ada yang harus Mas selesaikan, sekarang sudah di apartemen. Kamu bisa ke sini nggak. Masih ada yang harus Mas kerjakan tapi kangen kamu.""Apartemen yang mana, Mas nggak pernah ngajak aku ke situ.""Nanti Mas sharelok.""Pake taksi aja, jangan bawa motor. Pamit sama mami sekalian bawa baju kerjanya.""Aku sendirian di rumah sama, Bi Arum. Mami dan papi lagi ke Bandung.""Ok, Mas tunggu."Rey menutup telponnya lalu berjalan menuju
Rey cepat-cepat menghalangi tubuh Lara begitu menyadari keberadaan Alex."Maaf, aku tidak sangka kalo kalian ada di sini." Alex memutar badannya membelakangi mereka, melangkah menjauh.Rey dan Lara mematung untuk sesaat. Wajah Lara memerah seperti udang rebus."Aku malu Mas, apa tadi dia melihat kita." Lara menutup wajah dengan kedua tangannya."Tidak usah dipikirkan, tadi terhalang oleh, Mas.""Mas panggil dia untuk makan sekalian dengan kita boleh?" tanya Rey yang dianggukkin Lara.Walaupun Lara malu, tapi dia tidak mau karena dia hubungan Rey dan Alex merenggang. Lara tahu bagaimana persahabatan mereka yang telah terjalin sejak dulu."Maaf bro, aku tidak sangka kalo kalian ada di sini. Padahal waktu masuk tadi sudah aku panggil-panggil waktu lihat labtopmu di meja.""Sudah, ayo kita makan. Tunggu aku ambil baju Lara dulu."Rey menyelinap ke kamar dan keluar dengan baju menuju dapur."Pake ini sayang.""Alex belum pergi, Mas?" tanya Lara sambil menyarungkan baju."Belum, udah Mas bi
"Ke kamar, yuk."Rey langsung menggendongnya, Lara mengalungkan tangannya.Dengan hati-hati membaringkan tubuh gadis itu di atas pembaringan.Tiba-tiba bunyi ponsel memecah konsentrasi mereka. Dengan tatapan tak rela Rey menyambar benda di atas nakas yang masih bergetar.Membacanya sekilas, raut wajahnya berubah. Lara memperhatikan tiap perubahan di wajah lelaki itu."Mas harus kerja sayang, tidak apa kan?"Lara mengangguk cepat. Rey mendaratkan ciumannya sekilas pada bibir Lara, kakinya sudah terjejak pada lantai namun kembali naik lagi ke ranjang mengukung Lara."Maas ... nanti kerjaan mas tidak selesai-selesai kalo gini terus." ujar Lara sambil mendorong tubuh Rey."Huuf, Mas kerja dulu sayang."Lara tertawa kecil melihat raut Rey yang seperti orang frustasi.Rey dengan segera menghidupkan labtopnya. Membuka data-data file yang dikirimkan padanya.[Saya sudah melihatnya, sesuai dengan rencana saya akan ke sana besok dengan fligh pagi, secepatnya saya akan mengumpulkan semua bukti,
Lara menuju dapur, menutup kembali makanan yang telah disiapkan. Melihat-lihat apa yang kira-kira bisa dibereskan, namun semua terlihat rapi. Seperti ada sentuhan tangan wanita, bersih, rapi, dan terasa nyaman.Melangkah ke kamar melewati meja kerja Rey. Rasanya ingin merapikan kertas-kertas yang agak berantakan namun diurungkan. Dia takut malah melakukan kesalahan. Kakinya hendak melangkah namun sesuatu menarik perhatiannya. Lara mendekat semakin memperjelas penglihatannya. Ditarik pelan kertas yang agak sedikit menghalangi.Matanya melebar saat melihat foto wanita cantik yang tercetak di kertas putih, sepertinya baru habis diprint. Tangan Lara gemetar, perasaan asing menjalar di dinding dadanya.'Siapa ini?' Hati Lara bertanya-tanya. Dengan tangan masih gemetar, membalik kertas itu mungkin ada sesuatu yang bisa ditemukan.Anggela!Nama yang tertera di belakang kertas itu dengan tanggal.'Bukankah tanggal ini ...? Apakah Mas pergi menemuinya?'Mata indah itu bergerak-gerak ke sana
"Trima kasih atas kerja samanya. Saya merasa sangat tersanjung, anda mau menggandeng saya dalam proyek besar anda." Rey menjabat tangan Hengki Wiguna mantan petinggi negri, pemilik beberapa perusahaan yang mengelola pariwisata, dan beberapa perusahaan alat berat yang tersebar di beberapa negara ini, hingga manca negara."Dari dulu impian saya untuk melebarkan sayap ke timur Indonesia, baru terealisasi sekarang.""Ooo ... benarkah? Asal jangan jadikan saya sebagai umpan saja." sindir Rey.Hengky tertawa terbahak-bahak. "Anda sangat terus terang, saya suka," ujar Hengky dengan tawa yang masih berderai. "Saya tidak menyangka anda masih muda, sampai saya menyuruh sekretaris saya untuk mengecek dokumennya kembali, kuatir ada kesalahan data.""Yah, nama sebelumnya itu menggunakan nama parnert saya. Kami berdua memang terlibat kerja sama, namun setelah saya pikir, jika saya bisa menangkap ikannya sendiri kenapa saya harus menggunakan pancing orang lain. Setidaknya saya tidak perlu untuk m
Hengky memencet nomor yang ditujunya, hendak melakukan panggilan kepada seseorang yang sangat penting baginya. Orang yang saat ini menjadi satu-satunya orang kepercayaannya, yang akan menyelamatkan dirinya dan keluarganya.[Bagaimana keadaannya? Apakah dia sudah melewati masa kritisnya?] tanya Hengky pada seseorang di seberang sana dengan raut kuatir.[Sudah tuan Hengky. Masa kritisnya telah lewat cuma sampai saat ini belum sadarkan diri.][Tidak mengapa, yang terpenting dia sudah melewati masa kritisnya. Lakukan pelayanan yang terbaik. Apapun itu, lakukanlah saya tidak ingin kehilangan dia.][Bagaimana jika dia siuman dan ingin kembali lagi ke Indonesia?][Saya tidak ingin dia kembali lagi ke sini. Jika kita tidak menyelamatkan dia, tentu saja saat ini dia sudah tiada. Mereka semua pengkhianat, karna itu kedua orang tuanya tiada. Saya tidak akan membiarkan hal itu terjadi lagi.][Dia orang yang berdedikasi pasti akan kembali pada negara dan keluarganya.][Kamu tidak usah kuatir, ha
"Aku punya rahasia," bisik Lara.Alis tebal Alex tertaut, dengan wajah penuh tanya."Kamu ingin tau?"Alex mengganguk ragu."Mereka akan mengambil anak-anakku," bisik Lara tepat di telinga Alex."Jika aku bersedih mereka akan mengambil anak-anakku," ulang Lara dengan wajah serius."Jangan bilang-bilang sama mereka jika aku hanya berpura-pura bahagia, agar mereka tidak mengambil anak-anakku.""Janji kamu tidak akan memberitahu siapapun ya?"Alex mengganguk seperti orang kehilangan akal. Dengan mata lekat pada dua netra bening yang berselimut duka."Mereka siapa?""Dokter dan suster.""Dokter dan suster?""Ssttt ... jangan keras-keras, nanti kedengaran." Mata Lara melebar dengan telunjuk di bibirnya, seolah pembicaraan mereka sangat rahasia dan tidak boleh ada yang mendengarnya. Dengan mata melirik kiri kanan, kuatir ada orang lain di sekitar mereka.Alex menegakkan badannya bersandar di kursi, mengurut-ngurut pelipisnya yang berdenyut nyeri. Dia bingung dengan tingkah Lara yang ambigu,
"A-apa ini kamu, Bang?" tanya Alex sangsi, ketika melihat tubuh yang terbujur kaku dengan seragam kebanggaannya.Saat ini Alex sedang berdiri di depan peti jenasah, yang telah berada di rumah Lara. Baru saja ibadah penutupan untuk selanjutnya akan mengantar jenasah menuju tempat peristirahatannya yang terakhir.Alex yang penasaran mencoba membuka penutup benda yang terbuat dari kayu jati itu dengan ukiran di tiap sisinya. Namun tidak bisa, memang sudah didesain demikian agar tidak lagi bisa terbuka, harus membuka memakai kunci khusus. Alex hanya dapat melihat tanpa menyentuhnya, penutupnya terdiri dari dua lapisan. lapisan teratas terbuat dari kayu yang melindungi lapisan bawahnya yang terbuat dari kaca tapi hanya sebagian saja, dari batas dada ke atas kepala."I-ini bukan kamu, Bang! Aku tau ini bukan kamu." Alex menggeleng tak percaya, karena wajah itu tak dikenalinya. Sudah tak utuh, dan ada perban yang menutupi sebagian wajahnya. Mungkin untuk menutupi agar terlihat lebih baik
Metha berdiri berusaha menenangkan putrinya, namun kedua kakinya pun melemah, hingga sempoyongan, mencengkram piggiran ranjang. Bibi Sri panik, cepat-cepat membantu Metha."Maaass, sakiiit!" lengking Lara dengan kedua tangan masih memegang perutnya, wajahnya terlihat menahan kesakitan yang luar biasa."Dokter, suster!" teriak Bi Sri sekuat-kuatnya, tidak peduli jika itu akan mengganggu pasien lainnya. Memperbaiki duduk Metha lalu menuju tombol menekannya berulang-ulang. Kembali menahan tubuh Metha jangan sampai terjatuh. Metha berusaha mempertahankan dirinya sendiri, kesadarannya hampir hilang, namun kekuatiran pada putrinya membuatnya berusaha untuk tetap sadar."Tolong!"Merasa tidak ada yang mendengar, Bi Sri berlari menuju pintu."Tolooong. Dokter, Suster!"Suara Bi Sri menggema di koridor yang sunyi itu. Memancing gerakan dari orang sekitarnya yang langsung keluar dari ruangan masing-masing. Beberapa orang sudah menuju ruangan Lara lalu berusaha menenangkan Lara dan Metha. Seba
Lara terbangun, melirik ke arah Metha dan kedua kakak perempuannya di samping. Dia tidak tahu jika ayahnya dan Alex sudah menuju bandara untuk penyambutan dan penyerahan jenasah. Sebentar kedua kakaknya akan ikut serta juga, tentunya secara diam-diam tanpa diketahui oleh Lara."Mi, apa belum dapat ponsel Dedek, Mi?" tanya Lara pada Metha yang sedang sibuk menyiapkan sarapannya.Metha menjadi panik mendapat pertanyaan seperti itu lagi dari Lara. Sebelumnya mereka selalu beralasan jika ponselnya belum ditemukan. Sekarang akan tampak mencurigakan bila mengatakan hal itu lagi. Alex sudah menyarankan jika sebaiknya ponselnya diberikan. Sama juga, jika Lara hubungi suaminya, tidak akan tersambung, karena sejak hari itu ponsel Rey tidak aktif lagi.Metha melirik pada kedua saudara Lara yang juga tampak bingung. Kebohongan apalagi yang harus mereka buat untuk menutupi semua itu."Sebentar, Bik Sri akan bawakan, katanya sudah ketemu Dek." Metha mengambil ponselnya, mengirim pesan untuk Bi S
Kenapa kamu mencintaiku," tanya Alex tiba-tiba.Tari menoleh ke arah Alex dengan mimik heran. Tidak biasanya Alex menanyakan hal itu."Kenapa aku mencintaimu?" Tari mengulangi pertanyaan Alex."Iya, kenapa kamu mencintaiku?""A-aku ... apa aku harus menjawabnya?""Aku bertanya karna ingin mendengar jawabannya,tentu saja kamu harus menjawabnya.""Aku .... "Alex mengangkat keningnya menanti jawaban Tari. Tatapannya menghanyutkan. Semua wanita yang melihatnya akan terhanyut dalam pesonanya. Satu-satunya wanita yang tidak terseret dalam arusnya hanya Lara, karena dia telah memiliki Rey. Namun kini Rey telah pergi, menciptakan ketakutan tersendiri bagi Tari."Karena sejak awal aku menyukaimu. Semakin hari semakin dalam, bukan sekedar menyukai ... tapi sudah sangat mencintaimu, dan ... hatiku tidak bisa berpaling pada yang lain." Kedua pasang netra mereka saling memindai."Kenapa tiba-tiba menanyakan hal seperti itu?" lanjut Tari.Alex berjalan mendekat. Serta merta membawa Tari dalam p
Tangan Alex menggenggam erat ponselnya hingga jari tangannya memutih. Dia baru saja menerima kabar jika jasat Rey telah ditemukan, bersama ketiga jasad lainnya.Sudah lima hari sejak penyambutan dua jenasah yang diterbangkan duluan. Hari ini baru mereka memberi kabar jika jenasah akan diterbangkan setelah melakukan persiapan di sana. Sesegera mungkin, paling terlambat besok, karena kondisi jasad yang tidak memungkinkan lagi untuk bertahan lebih lama.Dunia Alex kembali hancur, sangat terasa lebih hancur dari sebelumnya. Setelah berangan-angan ada sedikit harapan dengan belum ditemukan jasad Rey, masih ada asa saat itu. Berharap Rey berada di suatu tempat dengan nyawa yang masih berada di badannya. Ternyata itu hanya harapan kosong. Rey telah pergi, semuanya sirna sudah.Bagaimana dengan Lara dan kembarnya, bagaimana dengan amanat yang Rey tinggalkan tiap kali dia pergi satgas, bagaimana dengan Tari? Semua itu berkecamuk dalam pikiran Alex."Kenapa kamu menempatkan aku dalam posis
"Aku mau mengecek persiapan penyambutan Jenasah. Setelah urusanku beres kita akan membahasnya.""Kamu tidak berubah pikirankan, Lex?" Mata Tari yang berkaca-kaca mulai menciptakan kristal. Dia ingin segera mendapat jawaban Alex agar hatinya tenang.Alex menoleh ke dalam, Lara masih terlelap. Meraup wajahnya lalu berpaling ke arah Tari. Sesaat dia bimbang, lalu kemudian menarik Tari dalam pelukkannya."Kasih aku waktu dua hari ini, untuk mengurus segalanya. Setelah itu kita bertemu."Tari mengganguk terpaksa."A-aku .... Aku takut kamu berubah pikiran." Kristal bening itu luruh begitu saja. Alex trenyuh menatap Tari, diusap pelan butiran yang mengalir. Dia telah memiliki impian untuk menghabiskan masa tua bersamanya. Ruang hatinya hampir terisi penuh oleh Tari."Kamu pake apa ke sini.""Taksi. Kamu tau mobilku ada di bengkel. Tidak mungkin aku pake motor, karna kamu pasti marah."Tari pernah dua kali kecelakaan dengan motor hingga tulangnya patah, karena balapan. Hal yang disukainya du
[Aku lagi di rumah sakit, sedang menjaga Lara.] Tari dengan cepat membaca pesan Alex yang masuk. Saat tahu jika orang yang melamarnya sedang bersama wanita idamannya, hati Tari menjadi tak karuan. Apalagi dia baru saja mengetahui kabar gugurnya Rey dari ayahnya. Tari semakin tak tenang saat nomor Alex tak lagi aktif.Tari mencoba tidak berpikir berlebihan. Hal yang wajar jika Alex ada di rumah sakit karena istri sahabatnya pasti syok, mendengar berita suaminya. Apalagi saat ini sedang hamil. Tari ingin memahami hal itu, namun sisi dirinya yang lain sangat kuatir. Kini tidak ada halangan lagi bagi Alex jika dia ingin meraih hati Lara.Tadinya Tari ingin menanyakan berita tentang Rey, dia akan membahas hal itu setelah mereka bertemu namun rupanya sudah terjawab, Lara berada di rumah sakit pasti karena berita itu. Tari memukul-mukul pelan kepalanya berulang kali."Kenapa kamu masih memikirkan hal konyol seperti itu, sudah jelas-jelas akan menikah kenapa masih cemburu juga." Tari beru