Kamu sedang tidak bercanda kan, Lara Angeswari?!"
"Apa aku kelihatan bercanda, Mas?""Tapi kenapa ... bukannya kita baik-baik saja?!"Namun gadis itu tiba-tiba berbalik dan lari ke dalam rumahnya. Ditutupnya dengan cepat pintu jati itu, tetapi dengan sigap, Rey menghalang dengan kakinya.Lara berlari, dengan gesit Rey menangkap lengan gadis itu, menahannya di antara ruang tamu berbatasan dengan ruang tengah."Ada apa, Mas butuh penjelasan."Mereka berdiri berhadapan.Rey mengangkat dagu itu perlahan."Jelaskan ada apa, Dek? Bukannya kita baik-baik saja? Kita akan menikah. Kenapa malah tiba-tiba kamu ingin mengakhiri hubungan kita, apa mas punya salah?Lara menggeleng."Aku baru sadar, ternyata aku tidak pernah mencintaimu, Mas," ujar Lara sambil mengalihkan pandangannya dari netra kelam itu. Hidung mancung gadis itu kembang kempis, ada rasa yang ingin meledak dari dalam dirinya.Untuk sesaat Rey terkejut. "Pandang aku kalo bicara." Menangkup wajah Lara, mengarahkan padanya, kedua mata itu bersirobok."Katakan kalo kamu tidak mencintai aku.""Aku tidak mencintai kamu." tegas Lara dengan suara yang serak dan bergetar. Kedua bola matanya bergerak di antara kedua netra di depannya.Rey menatap lekat kedua netra itu. Bulir bening dengan deras tiba-tiba meluncur di kedua pipi mulus itu, tanpa bisa dicegah lagi.Perlahan lelaki yang memiliki senyum khasnya, menghapus jejak kristal yang masih mengalir. Direngkuhnya tubuh yang mulai berguncang karena gejolak yang berusaha ditahan. Ujung hidungnya memerah, juga dengan bibirnya yang basah mengkilat tertimpa cahaya lampu. Terlihat sangat menggoda di mata Rey."Kenapa yang aku lihat sebaliknya?" Kedua mata Rey menghujam pada manik indah di depan, tegas namun ada kelembutan di dalamnya. Kedua tangannya yang kokoh memegang kedua bahu gadis yang begitu dicintainya.Lara memalingkan wajahnya tidak ingin manatap mata elang itu.Namun Rey kembali menangkup wajah gadis itu lagi.Dadanya bergemuruh saat Rey menatapnya, fokus."Kamu mengatakan tidak mencintai, tapi matamu menyimpan cinta yang begitu dalam. Ada apa?" Rey yang seorang jebolan Intel tentunya tidak bisa dibohongi begitu saja.Matanya beralih pada bibir sensual gadis ituPerlahan diusap dengan jarinya, mendekatkan wajahnya lalu mengulum benda kenyal itu penuh perasaan. Sesaat Lara terbuai, membalas dengan penuh kerinduan. Namun cepat-cepat didorongnya tubuh atletis itu.Tetapi tangan yang kekar semakin erat menekan tengkuk Lara, melanjutkan aksinya.Lara mendorong tubuh isetengah kuat, hingga menciptakan jarak di antara mereka.Sesaat terdiam, menenangkan deru napas yang memburu."Katakan sejujurnya, ada apa, kita akan membuka lembaran baru.""A-aku rasa ... aku tidak sanggup untuk menjadi istri seorang prajurit.""Alasan macam apa itu? Apa kamu sedang mencari-cari alasan, berilah alasan yang tepat!""Aku tidak sanggup! Aku bukan salah satu dari perempuan-perempuan tangguh yang mendampingi prajurit negara. Aku bukan mereka! Aku tidak bisa seperti mereka, yang tetap kuat walaupun tidak bisa terlelap karena was-was memikirkan suaminya yang sedang berjuang bertaruh nyawa," pekik Lara. Bulir-bulir bening mengalir di pipi gadis cantik itu.Hening."Tiga tahun cukup menjadi cerminan. Tiga tahun kehadiran, Mas, bisa dihitung dengan jari. Aku tidak sanggup, menjalani kehidupan seperti itu Mas. Mimpiku punya keluarga kecil yang bahagia. Memiliki suami yang selalu ada di sisiku tiap saat, bersama dengan anak-anak. Aku tidak bisa dapatkan itu semua dari Mas. Seharusnya dari awal aku tidak menjalani hubungan seperti ini."Rey tertegun. Seperti tertampar, karena selama ini tidak menyadari ternyata wanita yang begitu dicintainya punya mimpi yang bertolak belakang dengan profesinya sebagai seorang prajurit.Mimpi yang wajar, dan tidak muluk-muluk namun Rey tahu kalau dia tidak bisa mewujudkan mimpi sederhana itu. Apalagi tugasnya sebagai inteligen yang hampir seluruh waktunya tersita oleh misi-misi yang tidak menentu dan terjadwal.Tugas seorang prajurit Intel yang mengabdikan hidup seutuhnya bagi negara. Yang mau tak mau, harus siap sedia tiap saat melaksakan tugasnya, apapun situasinya. Dia butuh pendamping hidup yang bisa menerima dan mendukung dia sepenuhnya, dalam tugasnya.Lara mematung, tubuhnya terguncang menahan tangis. Ada perasaan tak rela dalam dirinya untuk mengakhiri hubungan mereka karena bagaimana pun dia masih sangat mencintai Rey dan mungkin selamanya.Tubuhnya semakin terguncang menahan sesak. Lelaki itu mendekat lalu memeluk Lara. Tangisnya semakin pecah."Setahun lalu mas menghilang. Mas tidak tau betapa tersiksanya aku tiap saat. Walaupun aku tau mas sedang melaksanakan misi, tapi ... aku tetap tidak bisa tenang. Tiap saat mendengar berita prajurit yang tewas di tv nyawaku seperti tercabut. Aku kuatir mas kenapa-kenapa, pikiran-pikiran buruk selalu menghantuiku. Mas tidak tau betapa tersiksanya, aku." Suara Lara serak menahan tangis. Segukan yang berubah menjadi tangis yang menyayat.Rey memeluknya semakin erat. Dia dapat memahami apa yang Lara rasakan, karena dia juga merasakan hal yang sama.Terkadang di saat menghadapi keadaan yang mengancam nyawanya, terbayang orang-orang terkasihnya. Wajah mereka silih berganti. Dia takut jika terjadi sesuatu pada dirinya. Bukan takut menghadapi bahaya tapi takut meninggalkan kesedihan bagi orang-orang yang dikasihinya."Jika yang kamu pikirkan hanya hal-hal yang buruk, maka hal itu akan selalu mengganggu dirimu. Memang tugasku berbahaya, prajurit seperti kami kadang bisa tewas sewaktu-waktu dan nama kami lenyap begitu saja demi misi yang harus tetap dijaga. Namun segala hal yang terjadi percayalah ... itu semua atas kehendakNya." Rey mengusap air mata di pipi Lara penuh perasaan. Menariknya dalam rengkuhannya, disesapnya kembali bibir yang menggodanya sejak tadi, lama mereka saling meresapi melepas rindu."Aku sangat mencintaimu, bertahanlah ... Mas akan mengajarimu menghadapi ketakutanmu," bisik Rei dengan deru napas yang berat."Tapi aku tidak bisa memaksakan dirimu, jika kamu tidak bersedia menjadi istriku," tukas Rey. Rasa ingin memiliki orang yang dicintainya begitu besar namun ada juga rasa takut meninggalkan kesedihan yang mendalam, jika suatu saat nanti terjadi sesuatu dengan dirinya. Tak terhitung berapa kali dia lolos dari maut, bisa saja suatu hari tidak. Dia dapat memahami jiwa Lara yang rapuh.Lara menatap lelaki itu lekat. Ada kecewa yang terselip di hatinya. Memang dia yang menginginkan perpisahan itu, tapi begitu mudahnya Rey menyanggupinya. Sebagian hatinya terluka. 'Tidak bisakah kamu bersikeras, memaksaku melanjutkan ke pernikahan kita,' batin Lara. Entalah Lara bingung sendiri dengan perasaannya.Rey meraih tangan Lara, lalu merentangkan jemarinya, kemudian disisipnya cincin yang tadi dikembalikan, ke jari manis Lara."Jujur aku tidak bisa mengakhiri hubungan ini, karna aku sangat mencintaimu tapi aku juga tidak bisa memaksa jika kamu ingin mengakhirinya. Sesuatu yang dipaksakan tidak akan baik. Pakailah cincin ini, jika Mas masih tetap ada di hatimu, lepaskanlah jika memang Mas sudah tidak ada lagi di sana."Kedua netra itu bertemu, saling memindai. Mata kelam lelaki dengan kekecewaan yang tersirat didalamnya. Ada bendungan yang siap jebol lagi di manik indah milik Lara."Kamu membuat keputusan yang tidak sejalan dengan hatimu, akan terasa sangat berat. Mas tau kamu sangat mencintai Mas, juga sebaliknya.""Apakah kamu yakin jika kita berpisah kita akan baik-baik saja? Benar ini sudah menjadi keputusanmu, Dek?"Rey menyodorkan tangannya di depan wajah Lara."Gigitlah!""Nnggh?" Lara mendongak dengan raut menyiratkan tanya, menatap netra kelam itu."Segala sesuatu ada konsekuensinya, Mas butuh kepastian. Jika itu keputusanmu Mas akan terima tapi tidak serta merta mengakhiri hubungan kita, Mas akan beri waktu untuk kamu, berpikirlah lebih dewasa lagi."Rey semakin mengikis jarak di antara mereka "Apakah kamu sanggup jika suatu saat nanti melihat Mas dengan orang lain?"Lara terpana, menatap dalam pada manik di depannya.Memejamkan mata sambil menggelengkan kepalanya, menghalau bayangan perempuan lain yang akan ada di samping Rey nanti. Rey merengkuh tubuh ramping itu, memeluknya erat."Mas sangat mencintaimu, Mas juga tidak akan rela melihat orang lain di sampingmu.""Gigitlah, tinggalkan bekas luka di situ. Kembalilah pada mas sebelum bekas lukanya benar-benar menghilang."Lara menatap Rey ragu, sambil menggelengkan kepalanya. Lelaki itu menaruh tangannya tepat di bibir Lara."Gigitlah!" suara Rey tegas memerintah seperti pada anak buahnya."Tinggalkan bekas yang mendalam biar waktumu untuk kembali pada Mas lebih lama, jika sampai bekas luka menghilang sebelum kamu kembali, kita benar-benar berakhir." Manik sendu itu fokus pada manik elang di depannya.Lara bingung dengan perasaannya sendiri, dia menginginkan untuk berpisah tetapi sisi lain hatinya tak rela jika waktu untuknya kembali terlalu singkat.Lara membuka mulutnya, hanya mengisap tangan Rey tanpa menggigitnya."Gigitlah sekuatnya, berikan waktu untuk kamu berpikir lebih lama, jika kamu menggigit sekedar saja maka secepatnya akan sembuh, bekasnya akan cepat menghilang."Dengan sekuat tenaga Lara mengigit tangan itu, sekuat itu juga air mata yang mengalir. Lara mendongak menatap Rey namun tidak ada ekspresi apa-apa di sana. Tidak merasa sakit kah? Lara menghentikan gigitannya ketika terasa asin, lalu memandang tangan Rey yang berdarah. Sekali lagi menatap Rey namun seperti tadi, tidak ada ekspresi kesakitan di wajah itu.Rey memindai bibir Lara yang berjejak cairan merah di bibir ranum itu, mendekat, memiringkan wajahnya lalu perlahan mengusap jejak itu dengan bibirnya, lidahnya menyapu bersih cairan merah tadi, lalu memagutnya. Melepas pagutan itu setelah dirasanya jejak tadi sudah menghilang.Rey mengangkat tangan memperhatikan darah yang mengalir."Mas biar aku bersihkan, pasti sakit, maafkan aku." Rey menatap nanar wajah gadis di depannya lalu menggeleng. Ingin rasanya dia memeluk tubuh itu dan meminta untuk bertahan di sisinya, selamanya."Sakitnya tidak seberapa dengan sakit yang mas rasakan di sini," tunjuk Rey pada dadanya.Degh!Lara seperti dikembalikan pada dunia nyata, dia lupa kalo ada hati yang juga terluka dengan keputusannya. Dia hanya fokus untuk hatinya yang tak terima dengan keputusannya sendiri, antara logika dan hatinya tidak sinkron.Rey melangkah menjauh, punggung tegap itu menghilang dari pandangan Lara yang masih menatap kosong. Pulang dengan membawa luka yang mulai merajam hatinya, yang semula bersemi karena cinta. Pulang dalam kesendirian. Begitu inginnya menjadikan kekasihnya sebagai tempat untuk pulang, tetapi justru dia menutup pintunya. Sesaat terdengar bunyi motor yang menghilang di kegelapan malam. Lara tersadar dari lamunannya, dengan cepat dikejar bayangan lelaki itu."Maaasss ... " Suaranya terdengar memecah keheningan malam, berharap Rey mendengar dan kembali .Sunyi ... tak terdengar suara apapun. Langkahnya gontai kembali ke dalam,. Terduduk menatap titik noda darah di lantai putih itu. Diusap lalu dibersihkan, menatap noda merah yang telah berpindah ke tangannya, tangisnya pecah."Selamanya aku akan tetap mencintaimu mas ..." gumam Lara lirih, sambil membawa genggaman tangan yang bernoda itu ke dadanya.***Rey membersihkan darah di tangannya. Menarik napas perlahan, menghempaskan tubuhnya di s
"Apakah ini alasanmu menolakku," desis Rey, jari-jari tangannya memutih mencengkram erat setir."Kamu harus jelaskan semua ini, Lara Angeswari!"Bagaikan elang yang mengintai mangsanya, tatapan Rey tak lepas dari sepasang manusia yang sedang berbicara, sesekali terdengar gelak tawa di antara mereka yang terlihat bahagia sekali.Badai berdesakan di dada Rey seakan berebutan untuk keluar. Tanpa kedip, gerak gerik mereka tak lepas dari pantauannya. Tubuhnya menegak ketika melihat Lara berdiri lalu menuju ke dalam, mata Rey mengikutinya, terlihat kalau Lara akan menuju kamarnya.Rey segera keluar dari mobil, menyebrangi jalan menuju ke rumah Lara. Tak menunggu lama, dengan gerakan tubuhnya yang sudah terlatih, dengan gesitnya Rey memanjat ke lantai dua rumah itu, hingga sampai di jendela kamar Lara. Tak sulit bagi Rey untuk membuka paksa jendela, lalu dengan segera menyelinap masuk. Terdengar Lara yang masih berbincang di depan pintu. Tak lama pintu itu terdorong dari luar, setengah terbu
"Malam ini kamu milikku sayang.""Maas ...." suara Lara tercekat dengan nafas tersengal, dadanya turun naik. Napasnya seperti terhenti saat Rey mengukungnya. Selama pacaran baru kali ini mereka seranjang."Mas ingin menghabiskan malam ini dengan kamu sayang."Tubuh Lara gemetar. Rey memposisikan Kedua tangan menopang tubuhnya. Sebelah tangannya mengusap wajah Lara, memyimpirkan anak rambut yang jatuh di dahi, perlahan mengecup dahi itu dengan kelembutan."Mas sangat menyayangimu, tiap saat yang terbayang hanya wajahmu ..." ujung jarinya menyusuri setiap lekukan wajah Lara. Lara terpejam, dadanya seakan mau meledak merasakan sensasi yang baru dirasakannya. Kulitnya tiba-tiba menjadi sangat sensitif."Jagalah dirimu selama aku pergi. Jangan pernah singkirkan Mas dari hatimu." kata-kata Rey terdengar begitu lembut dan menghanyutkan.Rey menunduk menyusuri wajah Lara dengan kecupannya. Sesaat terhenti menatap kembali kedua mata yang terpejam, yang terlihat sedang mengigit bibirnya, h
"Jadilah bagian terindah dalam hidupku, Mas."Rey tersenyum bahagia."Aku pasti akan kembali, tidak sabar untuk menjadikan kamu sebagai istriku. Tunggulah Mas sayang, jadilah bagian terindah dalam hidupku." Rey mengecup kening Lara lembut."Jadilah rumahku, tempat tujuanku untuk pulang. Mas janji akan selalu membahagiakanmu, memberimu hari-hari bahagia yang tak akan kamu lupakan."Kata-katanya sendiri sempat membangkitkan hasratnya, namun di tekannya. Rey tak ingin menodai kesucian Lara sebelum waktunya."Tapi Janji Mas tidak akan macam-macam di luar sana." Manik Lara indah menuntut kesetiaan Rey.Rey menatap Lara dalam."Percayalah pada hatimu. Apakah Mas akan mengkhianati cinta kita, terbayang pun tidak pernah apalagi sampai melakukannya.""Trima kasih Mas, aku percaya Mas orang yang setia.""Jangan dekat-dekat sepupumu itu."Lara mendongak, menatap Rey penuh tanya."Adrian?"
Mata Lara membulat, mendengar permintaan Rey yang rasanya tak masuk akal. Beringsut menjauh dari Rey."Apa Mas tidak mencintaiku, ini hanya siasat Mas saja untuk meninggalkan aku kan, Mas ingin balas dendam karna aku menolak Mas, kan?" "Bagaimana mungkin kamu bisa berpikiran seperti itu, sayang." Rey menatap lama wajah Lara lalu meraup wajahnya kasar."Aku tidak mungkin dan selamanya tidak rela untuk menyerahkan kamu ke laki-laki lain.""Lucu! Bukannya barusan Mas nyuruh aku untuk menikah dengan Alex ?!""Kenapa begitu sulit untuk membuatmu mengerti sayang. Maksud dari perkataan Mas tadi, jika Mas tidak kembali karna gagal dalam misi Mas, hanya pulang nama saja. Menikahlah dengan Alex, jangan berlarut-larut dalam kesedihanmu, kamu harus bahagia walaupun tanpa Mas." Mata Rey memerah rasanya seperti menelan ribuan jarum.Rey tahu misinya kali ini sangat berbahaya, hanya ada dua hal, pulang dengan raga yang bernyawa atau pulang nama saja. Alex pun tidak tahu tentang misi ini, yang Alex
"A-apa aku sudah tidak perawan lagi, Mas?" Mata Lara berkaca-kaca menatap pada Rey dengan pias."Tapi, Mas tidak melakukannya sayang, tadi Mas hanya pake mulut kok, masa bisa sih?" Dahi Rey mengerut mencoba mengingat adegan mereka tadi, jangan sampai dia kebablasan dan tidak menyadarinya karena terlalu asyik. Senyum terukir tatkala menyadari sumber darahnya. Ternyata darah itu berasal dari tangannya yang digigit Lara waktu itu, yang berdarah lagi karena mereka keasyikan. Apalagi tadi Lara sampai mencengkram dengan kuku yang tertancap pada tubuhnya.Rey mendekat, memeluk gadis itu dengan posisi duduk di atas ranjang sementara Lara berdiri di depannya."Udah mau gimana lagi, udah terlanjur, bukannya tadi kamu yang maksa-maksa untuk Mas ambil. Ayo sekalian Mas jebol." goda Rey.Mata Lara melebar."Bisa-bisanya Mas, aku lagi ... " suaranya terhenti saat Rey mengangkat tangannya yang terluka."Jadi aku masih prawan Mas?" Matanya memincing. Ternyata dia masih bisa menyimpan mahkotanya y
Rey langsung memagut bibir Lara. Disedotnya dalam-dalam benda kenyal itu."Mas janji seperti tadi, tidak lebih."Lagi-lagi Lara hanya sanggup menggangguk.Rey mengantar Lara pada puncak kemenangan, puncak nirwana.Rey mengecup kening Lara penuh kelembutan. Hanya deru napas memburu yang tersisa. Ditatap wajah kekasihnya yang berpeluh, udara AC mulai membalut tubuh mereka dalam kedinginan. Dia mengambil handuk lalu mengeringkan peluh Lara. Pandangannya tak lepas dari wajah gadis yang begitu disayanginya. Gadis yang masih bermahkota."Mas akan sangat merindukanmu sayang," ucap Rey sepenuh hati. Lara yang semula terpejam membuka kedua matanya."Mas merasa kepergian kali ini sangat berat dari sebelumnya," ujar Rey lagi, dengan cepat Lara mendongak."Ke-kenapa, Mas?"tanya Lara kuatir."Setelah apa yang telah kita lakukan. Mas merasa sangat berat meninggalkan kamu, dengan wajahmu yang terbayang saja Mas kesulitan tid
"Maaas ...." Panggil Lara setengah berbisik. Tangan Lara memutar kenop pintu yang tidak terkunci, terbengong saat dilihat ruangan itu kosong.Hampa.Terasa ada yang terenggut dari sudut hatinya, rasa kehilangan yang sangat mendera. Kehampaan yang meremas-remas jiwanya. Dia tergugu, mengusap bening yang mengaburkan penglihatannya.Lagi rasa itu menderanya, tiap kali Rey pergi bertugas. Tubuh Lara luruh, terduduk di lantai. Memeluk erat kedua kakinya, bayangan Rey terpatri jelas di pelupuk mata. Rasanya ingin berteriak sekencang-kencangnya, untuk menghalau suatu rasa yang mengoyak hatinya. Ingatannya terbang pada keinginan Rey agar dia menjadi wanita yang tangguh."Kuat Lara, kamu harus kuat." Monolog Lara memberi semangat pada dirinya sendiri. Sambil berdiri menyusut air matanya."Kamu bukan hanya mencintai dirinya, kamu juga harus mencintai profesinya," gumam Lara mencoba menghalau rasa yang mencabik jiwanya."Hati-hati sayang, berjuanglah demi negri ini. Kembalilah dengan selamat. A
Hengky memencet nomor yang ditujunya, hendak melakukan panggilan kepada seseorang yang sangat penting baginya. Orang yang saat ini menjadi satu-satunya orang kepercayaannya, yang akan menyelamatkan dirinya dan keluarganya.[Bagaimana keadaannya? Apakah dia sudah melewati masa kritisnya?] tanya Hengky pada seseorang di seberang sana dengan raut kuatir.[Sudah tuan Hengky. Masa kritisnya telah lewat cuma sampai saat ini belum sadarkan diri.][Tidak mengapa, yang terpenting dia sudah melewati masa kritisnya. Lakukan pelayanan yang terbaik. Apapun itu, lakukanlah saya tidak ingin kehilangan dia.][Bagaimana jika dia siuman dan ingin kembali lagi ke Indonesia?][Saya tidak ingin dia kembali lagi ke sini. Jika kita tidak menyelamatkan dia, tentu saja saat ini dia sudah tiada. Mereka semua pengkhianat, karna itu kedua orang tuanya tiada. Saya tidak akan membiarkan hal itu terjadi lagi.][Dia orang yang berdedikasi pasti akan kembali pada negara dan keluarganya.][Kamu tidak usah kuatir, ha
"Aku punya rahasia," bisik Lara.Alis tebal Alex tertaut, dengan wajah penuh tanya."Kamu ingin tau?"Alex mengganguk ragu."Mereka akan mengambil anak-anakku," bisik Lara tepat di telinga Alex."Jika aku bersedih mereka akan mengambil anak-anakku," ulang Lara dengan wajah serius."Jangan bilang-bilang sama mereka jika aku hanya berpura-pura bahagia, agar mereka tidak mengambil anak-anakku.""Janji kamu tidak akan memberitahu siapapun ya?"Alex mengganguk seperti orang kehilangan akal. Dengan mata lekat pada dua netra bening yang berselimut duka."Mereka siapa?""Dokter dan suster.""Dokter dan suster?""Ssttt ... jangan keras-keras, nanti kedengaran." Mata Lara melebar dengan telunjuk di bibirnya, seolah pembicaraan mereka sangat rahasia dan tidak boleh ada yang mendengarnya. Dengan mata melirik kiri kanan, kuatir ada orang lain di sekitar mereka.Alex menegakkan badannya bersandar di kursi, mengurut-ngurut pelipisnya yang berdenyut nyeri. Dia bingung dengan tingkah Lara yang ambigu,
"A-apa ini kamu, Bang?" tanya Alex sangsi, ketika melihat tubuh yang terbujur kaku dengan seragam kebanggaannya.Saat ini Alex sedang berdiri di depan peti jenasah, yang telah berada di rumah Lara. Baru saja ibadah penutupan untuk selanjutnya akan mengantar jenasah menuju tempat peristirahatannya yang terakhir.Alex yang penasaran mencoba membuka penutup benda yang terbuat dari kayu jati itu dengan ukiran di tiap sisinya. Namun tidak bisa, memang sudah didesain demikian agar tidak lagi bisa terbuka, harus membuka memakai kunci khusus. Alex hanya dapat melihat tanpa menyentuhnya, penutupnya terdiri dari dua lapisan. lapisan teratas terbuat dari kayu yang melindungi lapisan bawahnya yang terbuat dari kaca tapi hanya sebagian saja, dari batas dada ke atas kepala."I-ini bukan kamu, Bang! Aku tau ini bukan kamu." Alex menggeleng tak percaya, karena wajah itu tak dikenalinya. Sudah tak utuh, dan ada perban yang menutupi sebagian wajahnya. Mungkin untuk menutupi agar terlihat lebih baik
Metha berdiri berusaha menenangkan putrinya, namun kedua kakinya pun melemah, hingga sempoyongan, mencengkram piggiran ranjang. Bibi Sri panik, cepat-cepat membantu Metha."Maaass, sakiiit!" lengking Lara dengan kedua tangan masih memegang perutnya, wajahnya terlihat menahan kesakitan yang luar biasa."Dokter, suster!" teriak Bi Sri sekuat-kuatnya, tidak peduli jika itu akan mengganggu pasien lainnya. Memperbaiki duduk Metha lalu menuju tombol menekannya berulang-ulang. Kembali menahan tubuh Metha jangan sampai terjatuh. Metha berusaha mempertahankan dirinya sendiri, kesadarannya hampir hilang, namun kekuatiran pada putrinya membuatnya berusaha untuk tetap sadar."Tolong!"Merasa tidak ada yang mendengar, Bi Sri berlari menuju pintu."Tolooong. Dokter, Suster!"Suara Bi Sri menggema di koridor yang sunyi itu. Memancing gerakan dari orang sekitarnya yang langsung keluar dari ruangan masing-masing. Beberapa orang sudah menuju ruangan Lara lalu berusaha menenangkan Lara dan Metha. Seba
Lara terbangun, melirik ke arah Metha dan kedua kakak perempuannya di samping. Dia tidak tahu jika ayahnya dan Alex sudah menuju bandara untuk penyambutan dan penyerahan jenasah. Sebentar kedua kakaknya akan ikut serta juga, tentunya secara diam-diam tanpa diketahui oleh Lara."Mi, apa belum dapat ponsel Dedek, Mi?" tanya Lara pada Metha yang sedang sibuk menyiapkan sarapannya.Metha menjadi panik mendapat pertanyaan seperti itu lagi dari Lara. Sebelumnya mereka selalu beralasan jika ponselnya belum ditemukan. Sekarang akan tampak mencurigakan bila mengatakan hal itu lagi. Alex sudah menyarankan jika sebaiknya ponselnya diberikan. Sama juga, jika Lara hubungi suaminya, tidak akan tersambung, karena sejak hari itu ponsel Rey tidak aktif lagi.Metha melirik pada kedua saudara Lara yang juga tampak bingung. Kebohongan apalagi yang harus mereka buat untuk menutupi semua itu."Sebentar, Bik Sri akan bawakan, katanya sudah ketemu Dek." Metha mengambil ponselnya, mengirim pesan untuk Bi S
Kenapa kamu mencintaiku," tanya Alex tiba-tiba.Tari menoleh ke arah Alex dengan mimik heran. Tidak biasanya Alex menanyakan hal itu."Kenapa aku mencintaimu?" Tari mengulangi pertanyaan Alex."Iya, kenapa kamu mencintaiku?""A-aku ... apa aku harus menjawabnya?""Aku bertanya karna ingin mendengar jawabannya,tentu saja kamu harus menjawabnya.""Aku .... "Alex mengangkat keningnya menanti jawaban Tari. Tatapannya menghanyutkan. Semua wanita yang melihatnya akan terhanyut dalam pesonanya. Satu-satunya wanita yang tidak terseret dalam arusnya hanya Lara, karena dia telah memiliki Rey. Namun kini Rey telah pergi, menciptakan ketakutan tersendiri bagi Tari."Karena sejak awal aku menyukaimu. Semakin hari semakin dalam, bukan sekedar menyukai ... tapi sudah sangat mencintaimu, dan ... hatiku tidak bisa berpaling pada yang lain." Kedua pasang netra mereka saling memindai."Kenapa tiba-tiba menanyakan hal seperti itu?" lanjut Tari.Alex berjalan mendekat. Serta merta membawa Tari dalam p
Tangan Alex menggenggam erat ponselnya hingga jari tangannya memutih. Dia baru saja menerima kabar jika jasat Rey telah ditemukan, bersama ketiga jasad lainnya.Sudah lima hari sejak penyambutan dua jenasah yang diterbangkan duluan. Hari ini baru mereka memberi kabar jika jenasah akan diterbangkan setelah melakukan persiapan di sana. Sesegera mungkin, paling terlambat besok, karena kondisi jasad yang tidak memungkinkan lagi untuk bertahan lebih lama.Dunia Alex kembali hancur, sangat terasa lebih hancur dari sebelumnya. Setelah berangan-angan ada sedikit harapan dengan belum ditemukan jasad Rey, masih ada asa saat itu. Berharap Rey berada di suatu tempat dengan nyawa yang masih berada di badannya. Ternyata itu hanya harapan kosong. Rey telah pergi, semuanya sirna sudah.Bagaimana dengan Lara dan kembarnya, bagaimana dengan amanat yang Rey tinggalkan tiap kali dia pergi satgas, bagaimana dengan Tari? Semua itu berkecamuk dalam pikiran Alex."Kenapa kamu menempatkan aku dalam posis
"Aku mau mengecek persiapan penyambutan Jenasah. Setelah urusanku beres kita akan membahasnya.""Kamu tidak berubah pikirankan, Lex?" Mata Tari yang berkaca-kaca mulai menciptakan kristal. Dia ingin segera mendapat jawaban Alex agar hatinya tenang.Alex menoleh ke dalam, Lara masih terlelap. Meraup wajahnya lalu berpaling ke arah Tari. Sesaat dia bimbang, lalu kemudian menarik Tari dalam pelukkannya."Kasih aku waktu dua hari ini, untuk mengurus segalanya. Setelah itu kita bertemu."Tari mengganguk terpaksa."A-aku .... Aku takut kamu berubah pikiran." Kristal bening itu luruh begitu saja. Alex trenyuh menatap Tari, diusap pelan butiran yang mengalir. Dia telah memiliki impian untuk menghabiskan masa tua bersamanya. Ruang hatinya hampir terisi penuh oleh Tari."Kamu pake apa ke sini.""Taksi. Kamu tau mobilku ada di bengkel. Tidak mungkin aku pake motor, karna kamu pasti marah."Tari pernah dua kali kecelakaan dengan motor hingga tulangnya patah, karena balapan. Hal yang disukainya du
[Aku lagi di rumah sakit, sedang menjaga Lara.] Tari dengan cepat membaca pesan Alex yang masuk. Saat tahu jika orang yang melamarnya sedang bersama wanita idamannya, hati Tari menjadi tak karuan. Apalagi dia baru saja mengetahui kabar gugurnya Rey dari ayahnya. Tari semakin tak tenang saat nomor Alex tak lagi aktif.Tari mencoba tidak berpikir berlebihan. Hal yang wajar jika Alex ada di rumah sakit karena istri sahabatnya pasti syok, mendengar berita suaminya. Apalagi saat ini sedang hamil. Tari ingin memahami hal itu, namun sisi dirinya yang lain sangat kuatir. Kini tidak ada halangan lagi bagi Alex jika dia ingin meraih hati Lara.Tadinya Tari ingin menanyakan berita tentang Rey, dia akan membahas hal itu setelah mereka bertemu namun rupanya sudah terjawab, Lara berada di rumah sakit pasti karena berita itu. Tari memukul-mukul pelan kepalanya berulang kali."Kenapa kamu masih memikirkan hal konyol seperti itu, sudah jelas-jelas akan menikah kenapa masih cemburu juga." Tari beru