"Assalamu'alaikum, Bu Fatimah," sapa Viola."Waalaikumsalam, Bunda Ammar. Maaf ya, Bunda. Bundanya Ammar ada waktu nggak sekarang?"Viola mulai tak karuan, detak jantungnya berpacu cepat, pikirannya sudah menerawang kemana-mana. Apalagi, mendengar suara Bu Fatimah selaku guru kelas Ammar yang begitu serius."Hmm, ada, Bu. Ada waktu. Kenapa ya, Bu?""Syukurlah. Bisa datang ke sekolah nggak sekarang, Bunda?""Bisa, Bund. Kalau boleh tahu kenapa ya, Bu? Ammar kenapa, Bu? Dia nggak sakit 'kan?" Viola mulai cemas apalagi disuruh datang ke sekolah mendadak seperti ini."Nanti saja saya jelaskan ya, Bunda.""Tapi Ammar nggak sakit 'kan, Bu?" Viola mencoba memastikan."In syaa Allah Ammar baik-baik saja, Bunda. Nanti kalau sudah sampai di sekolah, langsung ke ruangan saya ya, Bund!" perintah Bu Fatimah.Sambungan telepon terputus Viola langsung menuju lantai tiga rumahnya."Vivi, kamu sama Risa handle berdua dulu ya. Saya ada urusan ke sekolahnya Ammar," ucap Viola menginformasikan pada salah
Lelaki dewasa itu menelepon seseorang saat mobil Viola melewatinya yang masih berdiri di tempat semula."Tugas apa, Pak?" tanya lelaki berambut panjang tapi diikat bersamaan dengan membuang puntung rokok ke sembarang arah. Suaranya parau, matanya merah."Balaskan dendam saya pada seseorang, nanti saya kasih tahu kapan kamu harus bereaksi!" Lelaki dewasa itupun mematikan sambungan telepon dan berjalan masuk ke mobil bersama dengan Fadlan."Besok kamu ledekin lagi dia. Sekalian juga gigit anak itu, biar dia tahu rasa sakitnya seperti apa.""Siap, Pi. Tapi kalau seandainya aku dipanggil lagi gimana?""Itu urusan terakhir, biar papi yang urus."Tak jauh dari sekolah Ammar, ada mall, Viola membanting stir ke sana. Dia perlu mengajak Ammar untuk berbicara dari hati ke hati."Maafkan Bunda ya, Mmar. Kemarin Bunda nggak kontrol diri akhirnya teriakin kamu. Sekarang Bunda paham dan sangat menyesal."Viola menggenggam kuat kedua tangan Ammar di saat mereka menunggu pesanan makanan di salah satu
Viola menatap lekat Bu Fatimah yang terlihat gugup."Maaf, Bu. Saya sudah terlanjur mengatakan jika ibu ke sini siang ini. Karena saya beranggapan beliau benar-benar menyesali soal tingkah anaknya."Wajah Bu Fatimah seketika berubah cemas."Apa ibu yakin beliau akan melalukan hal buruk?"Terdengar hembusan napas berat Viola. Dia seketika tampak berpikir keras."Dilihat dari cara dia begitu antusias hingga bertanya pada ibu, saya semakin yakin kalau beliau berniat lain.""Gimana kalau jika tidak, Bu? Itu sama saja ibu sudah menuduh tanpa bukti dan ....""Jika salah, ya ... saya akan meminta maaf, Bu." Viola sangat tegas saat menjawab."Baiklah, Bu. Semoga semuanya baik-baik saja. Hmm ... Terima kasih sudah memberi kepercayaan kepada kami di sini. Dan, saya mewakili guru yang lain meminta maaf jika ada khilaf. Maaf juga kalau kejadian kemarin membuat Ammar harus keluar dari sekolah sebelum waktunya.""Sama-sama ya, Bu. Maaf jika ada sikap Ammar dan saya yang kurang berkenan baik secara
"Makasih banyak, Pak. Sudah mengantarkan saya dengan selamat. Maaf jika bapak turut terbawa dalam kondisi runyam ini," ucap Viola sembari berjabat tangan pada Bapak Kuswanto sekalian menyelipkan uang jajan.Viola dan Bapak Kuswanto akhirnya sampai juga dengan selamat. Setelah berperang dengan jantung yang terasa mau jatuh dari posisinya."Bu, itu bukan yang ngikutin kita deh." Ucapan Bapak Kuswanto membuyarkan ketegangan. Mereka berdua bernapas lega kala melihat yang turun dari mobil ibu-ibu paruh baya."Syukurlah kalau bukan, Pak. Kita lanjut pulang saja!" usul Viola cepat.Mobil melaju dalam kecepatan lumayan kencang menuju rumah. Kemacetan yang begitu parah adalah jalan Allah menolong Viola dan Bapak Kuswanto."Bu ini apa? Saya ikhlas kok nolongin ibu." Pak Kuswanto cukup kaget menerima uang kertas berwarna merah itu, agak tebal. Dia segan menerima uang lembaran itu."Tanda terima kasih saya, Pak. Mohon diterima ya, Pak. Bukan bermaksud gimana-gimana kok.""Duh, Bu. Saya jadi nggak
Viola terdiam sejenak."Hmm ... aku masih bingung, Tan. Belum bisa memutuskan apapun, banyak pertimbangan. Kalau pun iya, pasti ada plan A dan plan B nya, Tan."*Ya benar. Memang tidak mudah. Balik ke kamu, Vio. Menghindar sementara atau kamu pilih menghadapi dia dari sekarang, karena sampai kapanpun dia akan menjadi Boomerang untuk kamu dan Ammar."Viola menghela napas berat, dia kira urusan dengan lelaki pecundang itu akan lama dia hadapi, nyata tak sesuai ekspektasinya, lebih maju."Ammar mana? Masih tidur? Sekolahnya gimana, Vio?"Viola tersentak, dia baru sadar jika belum memberi Rinjani ataupun Rinata sama sekali."Aku hampir saja lupa ngasih tahu Tante soal Ammar.""Ammar kenapa? Cucu Tante baik-baik saja 'kan Viola?" Terdengar suara panik di seberang sana. Ammar adalah cucu pertama Rinjani meskipun tak kandung akan tetapi dia begitu menyayangi lelaki imut dan pintar itu."Ammar ..."Belum usai Viola melanjutkan ucapannya, Rinjani sudah lebih dulu memotong karena begitu khawati
"Jika saya tahu dari dulu bagaimana kisah Bu Viola mungkin saya selaku RT tidak mengizinkan Bu Viola untuk tinggal di sini, karena mohon maaf, Bu. Jangan sampai kesalahan masa lalu ibu, menjadi boomerang bagi kami di sini.""Bu, jangan mencampuradukkan semuanya. Meskipun saya pernah keliru di masa lalu, tapi saya berusaha menebus kesalahan lama itu. Dan, selama saya tinggal di sini juga saya tidak pernah memberikan hal buruk."Viola berusaha membela diri, sebagai seorang wanita dirinya jelas tidak mau disudutkan dengan kecerobohannya di masa lalu."Ya ... saya tahu itu sudah berlalu dan memang ibu tidak pernah melakukan hal buruk sejauh ini. Namun, perlu ibu ingat, dampaknya kan ada yang langsung, ada yang tidak. Nyatanya ... sekian tahun berlalu, kami jadi tahu siapa ibu Viola sebenarnya. Dan, saya pribadi sangat terkecoh dengan casing Bu Viola. Sukses dengan bisnis onlinenya, tapi ... Ah, tidak perlu saya teruskan.""Tapi saya membeli rumah itu secara cash, Bu. Dan, juga itu pakai u
Viola dan Ammar juga Rinata yang tadinya fokus ke makanan yang sedang dinikmati, sontak mengangkat kepala ke arah yang ditunjuk Rinjani."Panggil, Kak. Ajak ke sini, aku 'kan belum pernah kenalan sama dia," ujar Rinata membuat Viola sedikit canggung."Seganlah, Ri. Biarin aja dia yang ke sini, kalau emang liat kita.""Oma, mana Oom nya, kok aku nggak lihat?" Rupanya Ammar tidak menemukan sosok yang dimaksud, mungkin karena beberapa orang lalu lalang."Lagian orangnya juga udah nggak keliatan.""Udah pergi, Mmar. Dilanjutkan lagi makannya!" pinta Viola.Pulang dari mall mereka langsung bertolak ke rumah. Setelah kurang lebih dua jam beristirahat, Viola, Rinjani, dan Rinata pun duduk bersama di meja makan sembari menikmati cemilan yang dibuatkan oleh asisten rumah tangga Rinjani."Apa Ammar perlu kita bawa ke psikiater, Vio?"Rinata yang masih tahu, celingak-celinguk melempar pandangan ke arah Rinjani dan Viola sekarang bergantian."Maksudnya apa, Kak? Aku juga pengen tanya tadi, kenapa
"Bu, saya langsung ke pointnya saja ya. Kenapa jadi merembes kemana-mana ya? Sampai-sampai usaha online saya ikut diseret dan dicemarkan seperti ini.""Saya tidak paham dengan sikap ibu, yang begitu dengan gampangnya menelan mentah-mentah semuanya. Apa ibu disogok sama lelaki yang tidak punya hati itu?"Hari ketiga menginap di rumah Rinjani, Viola mendapat telepon dari karyawannya, bahwasanya penjualan semakin merosot tajam, bahkan ada sebuah rekaman video, dimana video tersebut sangat mencemarkan nama Viola selaku pemilik online shop, bahkan tak tanggung-tanggung, aib masa lalu Viola menjadi konsumsi publik."Eh, kok malah datang-datang nuduh saya." Bu RT tampak tidak terima dengan apa yang dikatakan Viola. "Emang kamu punya bukti, ingat lho saya bisa seret kamu ke polisi."Bu RT menantang tapi ada gurat wajah yang cukup asing yang terlihat. Merasa mungkin video yang sempat diunggahnya itu sudah dihapus."Ini! Ini ibu kan?" Viola memperlihatkan sebuah rekaman video pada Bu RT."Saya