Viola dan Ammar juga Rinata yang tadinya fokus ke makanan yang sedang dinikmati, sontak mengangkat kepala ke arah yang ditunjuk Rinjani."Panggil, Kak. Ajak ke sini, aku 'kan belum pernah kenalan sama dia," ujar Rinata membuat Viola sedikit canggung."Seganlah, Ri. Biarin aja dia yang ke sini, kalau emang liat kita.""Oma, mana Oom nya, kok aku nggak lihat?" Rupanya Ammar tidak menemukan sosok yang dimaksud, mungkin karena beberapa orang lalu lalang."Lagian orangnya juga udah nggak keliatan.""Udah pergi, Mmar. Dilanjutkan lagi makannya!" pinta Viola.Pulang dari mall mereka langsung bertolak ke rumah. Setelah kurang lebih dua jam beristirahat, Viola, Rinjani, dan Rinata pun duduk bersama di meja makan sembari menikmati cemilan yang dibuatkan oleh asisten rumah tangga Rinjani."Apa Ammar perlu kita bawa ke psikiater, Vio?"Rinata yang masih tahu, celingak-celinguk melempar pandangan ke arah Rinjani dan Viola sekarang bergantian."Maksudnya apa, Kak? Aku juga pengen tanya tadi, kenapa
"Bu, saya langsung ke pointnya saja ya. Kenapa jadi merembes kemana-mana ya? Sampai-sampai usaha online saya ikut diseret dan dicemarkan seperti ini.""Saya tidak paham dengan sikap ibu, yang begitu dengan gampangnya menelan mentah-mentah semuanya. Apa ibu disogok sama lelaki yang tidak punya hati itu?"Hari ketiga menginap di rumah Rinjani, Viola mendapat telepon dari karyawannya, bahwasanya penjualan semakin merosot tajam, bahkan ada sebuah rekaman video, dimana video tersebut sangat mencemarkan nama Viola selaku pemilik online shop, bahkan tak tanggung-tanggung, aib masa lalu Viola menjadi konsumsi publik."Eh, kok malah datang-datang nuduh saya." Bu RT tampak tidak terima dengan apa yang dikatakan Viola. "Emang kamu punya bukti, ingat lho saya bisa seret kamu ke polisi."Bu RT menantang tapi ada gurat wajah yang cukup asing yang terlihat. Merasa mungkin video yang sempat diunggahnya itu sudah dihapus."Ini! Ini ibu kan?" Viola memperlihatkan sebuah rekaman video pada Bu RT."Saya
"Ambil saja menurut ibu, Vio.""Iya, Tante sepakat juga sama pendapat ibu kamu."Viola memberi kabar yang sama sekali tidak pernah dia sangka pada ibu dan tantenya. Satu sisi dia bahagia, sisi lain dia juga mempertimbangkan Ammar.Selang tiga hari kejadian itu, video yang sempat beredar cukup viral. Disaat Bu RT dan Pak RT menanggung semua konsekuensi atas perbuatan yang dilakukan, Viola malah ketiban rezeki. Mulai dari orderan meningkat pesat. Sampai-sampai hal yang cukup mencengangkan."Ammar kan lagi nggak sekolah juga. Saran Tante, dia di sini dulu sama Tante sama ibu juga. Ntar dipanggil aja guru privat biar dia dipersiapkan untuk SD.""Betul, Vio. Kamu juga bisa kerja sambilan kuliah lagi. Teruskan lagi cita-citamu selagi muda.""Tapi aku merasa tidak pantas, Bu, Tan. Lagian kepikiran Ammar juga."Viola memang pernah berprinsip dan berjanji akan mengubur cita-citanya menjadi wanita karir yang bekerja di kantoran. Dan, online shop serta dropshipper yang selama ini dia tekuni mele
"Aku bukan bermaksud menuduh, hanya saja mengklarifikasi supaya aku nggak bertanya-tanya terus." "Ya nggak apa-apa, tanya saja. Sebisanya nanti aku jawab," sahut Bobby. "Mas kenal sama Pak Tito nggak?" Seketika tubuh Bobby memberi kode aneh, dia reflek mengerutkan kening. Banyak arti memang dengan sikap refleknya itu. "Pak Tito yang mana ya?" Ditanya malah Bobby melempar perrtanyaan balik. "Gini, aku banyak kenalan dengan namanya Tito soalnya," tambahnya kemudian. "Pak Tito yang bekerja sebagai Manager di perusahaan pemasaran. Kenalkan?" "Enggak, aku nggak kenal sama orang yang kamu maksud. Emangnya kenapa ya, Vio?" Bobby mengelak, entah benaran tidak tahu atau memang hanya punya kesamaan namanya saja saa Pak Tito menyebut nama Bobby tadi pagi. "Yakin nggak kenal, Mas?" Viola tampak ragu dengan jawaban Bobby. Namun, yang terjadi beberapa detik kemudian saat Viola mempertanyakan lagi, Bobby mengangguk ragu, "Iya, aku nggak kenal." "Okelah, kalau memang mas tidak kenal, mungkin
"Ya, Mas. Halo."Viola mengangkat telepon dari Bobby yang kebetulan menghubunginya di jam makan siang."Gimana? Kamu masih digangguin sama perempuan itu?""Hmm, aman, Mas.""Yakin aman?""Aman, Mas. Kenapa nelpon, Mas?""Nggak cuma mastiin aja, kalau misal dia ganggu kamu lagi, biar ditindak sama Pak Tito."Ada rasa agak lain di hati Viola."Nggak perlu, Mas. Nanti malah kesannya mematikan rezeki orang lain.""Okelah, tapi kalau ada yang isengin kamu lagi, kasih tahu ya.""Siap."Komunikasi antara Viola dan Bobby tak begitu intens tak selayaknya orang yang sedang pendekatan."Mas, kamu yang kirim kopi ke kantor?"Pukul tiga sore saat Viola sedang fokus belajar, tiba-tiba ada gofood untuk dirinya."Gimana? Udah dicobain, enak nggak?""Belum sih, ini baru aja diambil. Nggak usah repot-repot, Mas. Nggak enak soalnya.""Nggak repot kok, pas juga aku lagi mesan, ingat kamu, sekalian aja dipesanin juga. Lagian cocok nemenin kamu yang lagi belajar." Senyuman Viola terukir tipis. "Terima kas
"Hai, salam kenal. Aku kagum dengan kamu. Apalagi namamu begitu harum di kantor akhir-akhir ini. Semoga nanti kita bisa duduk bareng-JK"Begitulah deretan kata yang terangkai dalam kartu nama bercorak biru langit. Dihiasi dengan tinta emas. Viola melipat kembali kartu nama itu, kemudian menaruh ke posisi semula. Bunga mawar putih itu bukan palsu, melainkan bunga mawar asli yang terdiri dari sepuluh tangkai."Siapa pengirim ini? Siapa inisial JK ini?" tanyanya membatin. "Ah sudahlah, paling juga orang iseng.""Keren kamu, Vio. Baru beberapa Minggu di sini udah dapat kiriman bunga," celetuk Rani, teman satu jabatan."Iya yang udah setahun di sini nggak pernah ya. Pakai pelet apa sih, Vio!" seru Naya lantang.Ruangan tiga kali tiga meter itu hanya diisi oleh tiga orang. Bagian atasan beda lagi ruangannya.Viola tak menjawab, dirinya hanya melempar senyum pada kedua rekan kerjanya."Kemarin dapat gofood kopi, sekarang bunga. Besok apalagi ya?" Naya menebak-nebak."Kalau orangnya beda-beda
"Saya akan proses masalah ini serta memberi tahu atasan kamu, biar kamu nggak seenaknya bersikap.""Tapi, Pak. Yang ada saya akan dikasih surat peringatan."Ya, memang itu yang saya inginkan. Biar kamu bisa lebih dewasa, nggak bertingkah seperti anak kecil yang tidak punya pertimbangan.""Pak, saya mohon, jangan lakukan itu. Saya tidak akan mengulanginya lagi, tapi ....""Tidak ada protes, itu resiko kamu. Supaya tidak ada korban lain yang diperlakukan seperti Viola.""Sepertinya dia spesial disini ya, Pak. Saya kalau dengan orang yang statusnya masih probation.""Atau kamu ingin dikeluarkan dari perusahaan ini secara tidak hormat?" Suara Pak Tito mulai meninggi.Tak menjawab lagi, Mayang pun pergi setelah mendapat instruksi dari Pak Tito.Dirinya memilih untuk tidak berdebat lagi, daripada dipecat secara tidak hormat.Pukul setengah enam sore, saat bersiap untuk pulang ke rumah, tiba-tiba ponsel dalam genggamannya berdering. Dia mengangkat dan kembali duduk di kursi kerja."Ya, Mas."
Esok hari sesampainya di kantor, Viola menyisir pandangan dari basement menuju gedung. Biasanya sosok Mayang sangat tidak dia harapkan, tapi kali ini berbeda."Kemana dia? Tumben dia menunggu ku seperti biasanya." Dalam hati Viola terus bertanya-tanya."Apa perlu disusul ke ruang kerjanya saja?" pikirnya membatin kemudian.Viola masih menyisir pandangannya di lobby kantor berharap menemukan orang yang dia cari, akan tetapi masih saja tak ditemui sosok perempuan yang satu bulan belakangan ini sudah mengusik dirinya. Lantas, sekarang saat Mayang tak tampak lagi, kenapa Viola seperti mencari-cari keberadaan perempuan itu?Pikiran Viola sangat tidak tenang."Mbak Mayang, tunggu!"Saat menuju ruangan Mayang yang beda lantai dengannya, di koridor, ketika baru keluar dari lift Viola melihat sosok perempuan di depannya seperti Mayang."Mbak Mayang," panggil Viola sekali lagi, karena Mayang sama sekali tak menoleh apalagi menghentikan langkahnya. Melihat gelagat Mayang seolah acuh tak acuh, Vi