Hari ke hari, Ammar terlihat sering murung, dalam sehari mungkin ada tiga kali dia mengatakan ingin bertemu ayahnya. Namun, Viola masih bersikeras tak memberi ruang dengan berbagai alasan yang bisa dicerna Ammar. Hingga terakhir kemarin, hari Jumat, Ammar sampai tidak mau ke sekolah karena takut dibully oleh teman-temannya. Viola terus membujuk dan akhirnya berhasil, anak lelaki yang memiliki tahi lalat di ujung bibir sebelah kanan itu kembali merengek ingin bertemu."Kalau bunda ganti sama ayah baru aja apa kamu mau? 'Kan nantinya bisa nganterin Ammar ke sekolah, jadi sama kayak temen kamu yang lainnya. Gimana?""Hmm, memangnya orangnya sudah ada, Bund?""Ada sih, dikenalin sama Oma Rinjani, gimana? Kalau Ammar mau, bunda coba kenalan juga.""Mau ... biar Ammar bisa pamerin di sekolah kalau Ammar punya ayah sama kayak mereka.""Sstt ... nggak boleh gitu juga, Mmar. Nggak baik, Allah nggak suka," ucap Viola mengingatkan."Ya ... abis mereka sering mengejek Ammar, Bund. Mentang-mentang
Beberapa pasang mata tampak menjurus ke sumber suara, ada juga yang berlari mendekat."Saya tidak apa-apa," jawab Viola berusaha berdiri sendiri tanpa menjabat uluran tangan lelaki berkulit sawo matang itu. Tampak bundanya susah payah untuk berdiri, Ammar dengan sigap membantu."Biar Ammar bantu, Bund," ucap Ammar seraya memegang tangan kanan Viola.Lelaki yang menabrak tadi masih berdiri dengan rasa bersalahnya."Sekali lagi saya minta maaf, Mbak. Nggak sengaja tadi," ucap lelaki itu saat Viola sudah berdiri sediakala."Iya, Mas. Nggak papa.""Apa perlu diperiksa ke dokter?" tawar lelaki itu, bukan tanpa alasan tentunya, karena dia melihat Viola meringis menahan sakit."Oh, nggak perlu, Mas. Permisi."Lelaki yang memakai outfit casual itupun mundur beberapa langkah untuk memberi Viola dan Ammar jalan, dan hanya menatap ibu dan anak itu saat melewati dirinya.Ammar tetap memegang tangan Viola menuju pintu utama supermarket, langkah Viola tampak pincang sedikit."Bund, bagian mana yang
"Assalamu'alaikum, Bu Fatimah," sapa Viola."Waalaikumsalam, Bunda Ammar. Maaf ya, Bunda. Bundanya Ammar ada waktu nggak sekarang?"Viola mulai tak karuan, detak jantungnya berpacu cepat, pikirannya sudah menerawang kemana-mana. Apalagi, mendengar suara Bu Fatimah selaku guru kelas Ammar yang begitu serius."Hmm, ada, Bu. Ada waktu. Kenapa ya, Bu?""Syukurlah. Bisa datang ke sekolah nggak sekarang, Bunda?""Bisa, Bund. Kalau boleh tahu kenapa ya, Bu? Ammar kenapa, Bu? Dia nggak sakit 'kan?" Viola mulai cemas apalagi disuruh datang ke sekolah mendadak seperti ini."Nanti saja saya jelaskan ya, Bunda.""Tapi Ammar nggak sakit 'kan, Bu?" Viola mencoba memastikan."In syaa Allah Ammar baik-baik saja, Bunda. Nanti kalau sudah sampai di sekolah, langsung ke ruangan saya ya, Bund!" perintah Bu Fatimah.Sambungan telepon terputus Viola langsung menuju lantai tiga rumahnya."Vivi, kamu sama Risa handle berdua dulu ya. Saya ada urusan ke sekolahnya Ammar," ucap Viola menginformasikan pada salah
Lelaki dewasa itu menelepon seseorang saat mobil Viola melewatinya yang masih berdiri di tempat semula."Tugas apa, Pak?" tanya lelaki berambut panjang tapi diikat bersamaan dengan membuang puntung rokok ke sembarang arah. Suaranya parau, matanya merah."Balaskan dendam saya pada seseorang, nanti saya kasih tahu kapan kamu harus bereaksi!" Lelaki dewasa itupun mematikan sambungan telepon dan berjalan masuk ke mobil bersama dengan Fadlan."Besok kamu ledekin lagi dia. Sekalian juga gigit anak itu, biar dia tahu rasa sakitnya seperti apa.""Siap, Pi. Tapi kalau seandainya aku dipanggil lagi gimana?""Itu urusan terakhir, biar papi yang urus."Tak jauh dari sekolah Ammar, ada mall, Viola membanting stir ke sana. Dia perlu mengajak Ammar untuk berbicara dari hati ke hati."Maafkan Bunda ya, Mmar. Kemarin Bunda nggak kontrol diri akhirnya teriakin kamu. Sekarang Bunda paham dan sangat menyesal."Viola menggenggam kuat kedua tangan Ammar di saat mereka menunggu pesanan makanan di salah satu
Viola menatap lekat Bu Fatimah yang terlihat gugup."Maaf, Bu. Saya sudah terlanjur mengatakan jika ibu ke sini siang ini. Karena saya beranggapan beliau benar-benar menyesali soal tingkah anaknya."Wajah Bu Fatimah seketika berubah cemas."Apa ibu yakin beliau akan melalukan hal buruk?"Terdengar hembusan napas berat Viola. Dia seketika tampak berpikir keras."Dilihat dari cara dia begitu antusias hingga bertanya pada ibu, saya semakin yakin kalau beliau berniat lain.""Gimana kalau jika tidak, Bu? Itu sama saja ibu sudah menuduh tanpa bukti dan ....""Jika salah, ya ... saya akan meminta maaf, Bu." Viola sangat tegas saat menjawab."Baiklah, Bu. Semoga semuanya baik-baik saja. Hmm ... Terima kasih sudah memberi kepercayaan kepada kami di sini. Dan, saya mewakili guru yang lain meminta maaf jika ada khilaf. Maaf juga kalau kejadian kemarin membuat Ammar harus keluar dari sekolah sebelum waktunya.""Sama-sama ya, Bu. Maaf jika ada sikap Ammar dan saya yang kurang berkenan baik secara
"Makasih banyak, Pak. Sudah mengantarkan saya dengan selamat. Maaf jika bapak turut terbawa dalam kondisi runyam ini," ucap Viola sembari berjabat tangan pada Bapak Kuswanto sekalian menyelipkan uang jajan.Viola dan Bapak Kuswanto akhirnya sampai juga dengan selamat. Setelah berperang dengan jantung yang terasa mau jatuh dari posisinya."Bu, itu bukan yang ngikutin kita deh." Ucapan Bapak Kuswanto membuyarkan ketegangan. Mereka berdua bernapas lega kala melihat yang turun dari mobil ibu-ibu paruh baya."Syukurlah kalau bukan, Pak. Kita lanjut pulang saja!" usul Viola cepat.Mobil melaju dalam kecepatan lumayan kencang menuju rumah. Kemacetan yang begitu parah adalah jalan Allah menolong Viola dan Bapak Kuswanto."Bu ini apa? Saya ikhlas kok nolongin ibu." Pak Kuswanto cukup kaget menerima uang kertas berwarna merah itu, agak tebal. Dia segan menerima uang lembaran itu."Tanda terima kasih saya, Pak. Mohon diterima ya, Pak. Bukan bermaksud gimana-gimana kok.""Duh, Bu. Saya jadi nggak
Viola terdiam sejenak."Hmm ... aku masih bingung, Tan. Belum bisa memutuskan apapun, banyak pertimbangan. Kalau pun iya, pasti ada plan A dan plan B nya, Tan."*Ya benar. Memang tidak mudah. Balik ke kamu, Vio. Menghindar sementara atau kamu pilih menghadapi dia dari sekarang, karena sampai kapanpun dia akan menjadi Boomerang untuk kamu dan Ammar."Viola menghela napas berat, dia kira urusan dengan lelaki pecundang itu akan lama dia hadapi, nyata tak sesuai ekspektasinya, lebih maju."Ammar mana? Masih tidur? Sekolahnya gimana, Vio?"Viola tersentak, dia baru sadar jika belum memberi Rinjani ataupun Rinata sama sekali."Aku hampir saja lupa ngasih tahu Tante soal Ammar.""Ammar kenapa? Cucu Tante baik-baik saja 'kan Viola?" Terdengar suara panik di seberang sana. Ammar adalah cucu pertama Rinjani meskipun tak kandung akan tetapi dia begitu menyayangi lelaki imut dan pintar itu."Ammar ..."Belum usai Viola melanjutkan ucapannya, Rinjani sudah lebih dulu memotong karena begitu khawati
"Jika saya tahu dari dulu bagaimana kisah Bu Viola mungkin saya selaku RT tidak mengizinkan Bu Viola untuk tinggal di sini, karena mohon maaf, Bu. Jangan sampai kesalahan masa lalu ibu, menjadi boomerang bagi kami di sini.""Bu, jangan mencampuradukkan semuanya. Meskipun saya pernah keliru di masa lalu, tapi saya berusaha menebus kesalahan lama itu. Dan, selama saya tinggal di sini juga saya tidak pernah memberikan hal buruk."Viola berusaha membela diri, sebagai seorang wanita dirinya jelas tidak mau disudutkan dengan kecerobohannya di masa lalu."Ya ... saya tahu itu sudah berlalu dan memang ibu tidak pernah melakukan hal buruk sejauh ini. Namun, perlu ibu ingat, dampaknya kan ada yang langsung, ada yang tidak. Nyatanya ... sekian tahun berlalu, kami jadi tahu siapa ibu Viola sebenarnya. Dan, saya pribadi sangat terkecoh dengan casing Bu Viola. Sukses dengan bisnis onlinenya, tapi ... Ah, tidak perlu saya teruskan.""Tapi saya membeli rumah itu secara cash, Bu. Dan, juga itu pakai u