Bab 50. Bukan Wanita BiasaSiang itu, aku mengantarkan Naina dan ibunya pergi ke rumah sakit. Nyai Rosmah akan menjalankan terapi. Sebelumnya, Rani sudah mengizinkan. Dia ingin ikut menemani pergi, tetapi ibunya meminta untuk datang ke rumah. Katanya ada urusan penting masalah tanah warisan.Sepanjang jalan kami hanya diam tak saling berbicara. Hanya sesekali saja aku melirik ke arah Naina. Beberapa hari tinggal di rumah, wajahnya terlihat segar. Mungkin juga karena pengaruh pikiran. Bahkan, Naina tampak lebih sehat dari sebelumnya. Kini, senyumnya yang dulu manis bisa dilihat kembali."Maaf, Kang. Neng terus merepotkan. Meminta Kang Danu untuk mengantarkan ke rumah sakit.""Gapapa, Neng. Akang ikhlas kok membantu.""Terima kasih atas bantuan Kang Danu selama ini. Neng banyak berhutang budi.""Anggap aja ibadah, Neng."Hening. Naina hanya membalas senyum. Terlebih Nyai Rosmah yang terlihat pucat. Hidupnya hanya bergantung dengan obat. Mungkin tidak akan bertahan lama. Kemoterapi cuma
Bab 51. Melahirkan Sesuai dengan titah kakek hari itu, aku membawa Naina dan ibunya pindah dari rumah. Sengaja mengontrak rumah di area, yang tidak jauh dari rumah sakit. Agar Naina bisa segera pergi ke sana walau aku tidak bisa mengantarnya. Kuminta pada Naina untuk berpamitan. Sebelum pergi ke kontrakan yang baru. Rani membantu Naina bersiap-siap pindahan. Kuantarkan Naina menemui kakek di ruangan kerjanya. To tok tok! Mengetuk pintu pelan. Sebelum masuk ke ruangan kakek. Satu menit menunggu di luar, akhirnya Kakek meminta kami untuk masuk. "Masuk!" Ceklek! Kutarik gagang pintu perlahan. Agar tidak menimbulkan derit suara. Melihat kakek masih duduk di kursi kebesarannya. Dia sedang membaca buku salah satu author ternama. "Kakek," sapaku lembut dengan suara pelan. Namun, jelas terdengar. "Duduklah!" Kutarik kursi untuk Naina. Kemudian, kami sama-sama menjatuhkan bobot tubuh masing-masing. Menatap wajah kakek yang masih terlihat tampan. "Naina ingin berpamitan, Kek." "Apa ka
Bab 52. Azam"Selamat, Tuan. Bayi Anda sudah lahir ke dunia. Berat badannya tiga kilogram dengan panjang 50 cm," ucap dokter yang menangani persalinan Naina.Naina sudah melahirkan anaknya ke dunia dengan selamat dan sehat. Rasa bahagia menyelimuti perasaanku. Walau bayi yang dilihatikan bukan darah dagingku, tetapi aku ikut bahagia merasakannya."Terima kasih, Dokter.""Sama-sama.""Apa boleh saya menemuinya sekarang?""Silahkan! Oh, ya. Bayinya laki-laki. Saya kira Anda harus mengadzaninya juga ""Iya, baiklah."Dokter langsung pergi. Setelah itu, aku masuk untuk melihat keadaan Naina. Dia masih terbaring terkulai lemas di atas ranjang rumah sakit."Bagaimana keadaanmu, Neng?""Kang Danu?!" Seru Naina. Dia berusaha bangun dari posisi tidur."Tidak usah bangun, Neng. Kamu harus banyak istirahat.""Maaf, Neng sudah merepotkanmu lagi, Kang." Air mata Naina kembali jatuh membasahi pipinya."Ssset!" Kuhapus jejak air mata yang mengajak sungai di pipi Naina. "Tidak usah menangis, Neng. Ak
Bab 53. Pesan Terakhir"Kang Danu, Ibu harus dirawat di rumah sakit. Kondisi sekarang ngedrop. Kata dokter Ibu menderita gagal ginjal." Naina berkata terisak. Kedua matanya merah, dan sembab karena baru saja menangis."Kapan Ibu dibawa ke rumah sakit?""Tadi siang.""Semoga tidak terjadi apa-apa pada Ibu."Aku hanya duduk memandang Nyai Rosmah, yang kini terbaring lemah di atas bangsal. Wajahnya yang keriput terlihat memutih seperti kapas. Sementara, Haji Rusman hanya menunduk lesu. Menatap wanita yang sudah lebih dari dua puluh tahun, mendampingi hidupnya.Tak ada air mata ataupun kesedihan, yang biasa dihadapi pasangan suami. Hanya menatap kosong. Dimana sang istri sedang bertarung nyawa melawan sel kanker."Kamu lebih baik istirahat saja, Neng. Biar Akang yang akan bantu jaga malam ini.""Neng khawatir sama Ibu. Bagaimana bisa istirahat dengan tenang. Kalau keadaan Ibu masih belum sadarkan diri."Jujur, aku tidak tega melihat Naina yang terus bersedih. Baru beberapa hari yang lalu
Bab 54. MantanWajah Naina terlihat sendu. Ketika menyampaikan berita duka. Jelas, mata bening itu terlihat berkaca-kaca. Seolah sebentar lagi akan ada badai yang akan segera menghantam. Kehilangan ibu adalah duka yang mendalam.Aku langsung kembali menuju ke ruang ICU, yang baru saja tadi ditinggalkan. Di dalam ruang pasien terihat dokter, dan perawat sedang melepas alat-alat medis dari tubuh Nyai Rosmah. Sementara, bapak mertua hanya menunduk lesu, di samping jenazah istri tercintanya. Aku berusaha menghibur Haji Rusman dengan memberi semangat."Yang sabar, Pak. Semoga Ibu diterima disisi Gusti Allah. Dan keluarga ihklas menerima kepergian beliau," ucapku memberi semangat."Iya, Nak Danu. Bapak sudah mengikhlaskan kepergian Ibu menghadap Gusti Allah. Biar bagaimanapun manusia yang hidup pasti akan kembali ke pada Sang Pencipta," ucap bapak lirih. Sudut matanya berembun. Bahu yang terlihat kekar, kini terguncang. Dia begitu rapuh, saat pendamping hidupnya pergi lebih dulu.Dokter dan
Bab 55. Buaya Darat "Farhan?!" Lelaki yang kusebut namanya langsung menoleh. Ya, dia adalah Farhan. Pria yang menikahi Naina beberapa bulan yang lalu. Kini, kami dipertemukan kembali dalam situasi yang berbeda. Aku sangat marah pada Farhan, yang sudah membuang Naina layaknya seperti sampah. Seorang pria kaya, punya kedudukan tinggi tidak punya etika. Telah mencampakkan istri yang soleha, dan sebaik Naina. "Wau, Danu! Senang sekali bisa bertemu denganmu di sini. Apa kabar gembel? Apakah kau masih seperti dulu?" Farhan mencibir. Senyum tipis yang disunggingkan seolah mengejek. Aku hanya bisa diam mendengarkan dia berkata semau hatinya. "Oh, ya aku lupa. Kau sudah berubah. Aku dengar kakekmu orang kaya nomor dua di kota ini. Apa benar begitu?" ucap Farhan mencebik. Dia tersenyum sinis padaku. "Tidak usah basa-basi, Farhan. Kau pria bajingan!" Buk! Seketika tanganku mengepalkan tinju, lalu malayangkan ke wajah Farhan. Dia tidak sempat menghindar. Terjadilah baku hantam yang tak sei
Hari sudah sore ketika kami tiba di rumah. Saat itu, aku melihat kakek sudah duduk di ruang keluarga. Pandangannya tertuju padaku dan juga Rani."Danu," panggil kakek."Iya,""Duduklah!"Aku duduk tepat di hadapan kakek. Mata elangnya menatapku tajam. Dalam hati bertanya-tanya. Ada apakah Kakek memanggilku. Tidak biasanya, dia mengajak ngobrol bersama Rani.Suasana terasa canggung. Jantungku berpacu bagai kuda yang berlari kencang. Menebak-nebak apa yang akan Kakek sampaikan."Kakek ingin berbicara dengan kalian berdua," ucapnya dengan tenang. Seraya melipat satu kakinya ke atas."Masalah apa, Kek?""Ayahmu.""Ayahku?""Iya.""Maksudnya?""Selama ini, Kakek selalu menyembunyikan ayahmu. Dia masih hidup, Danu."Apa?Netraku menatap kakek tidak percaya. Mencari kebenaran pada pria sepuh di depanku. Memandangnya dengan penuh tanda tanya.Ibu pernah berkata, 'ayahmu telah pergi, Danu.' hanya itu yang dia ceritakan saat itu. Namun, ibu tak pernah mengatakan keberadaannya hingga ajal menjem
Bab 57. Pemakaman AyahLebih dari dua puluh tahun aku menunggu. Akan tetapi, ayah tak pernah pulang ke rumah. Selama ini, kami hanya hidup berdua saja dengan ibu.Kutekan dada yang terasa sesak. Menahan beban di hati yang terus menerus dilanda kebencian. Ayah terus saja meminta maaf, tetapi aku enggan untuk memaafkan.Satu hari, satu Minggu, satu bulan, bahkan lebih dari satu tahun aku menunggu kedatangannya. Namun, ayah tak pernah kembali menjemput kami. Sampai pada suatu hari, aku lelah menari. Pada akhirnya, aku mengerti. Ayah lebih memilih istri mudanya daripada ibu. Wanita yang sudah rela meninggalkan rumah, orang tua, dan juga harta."Ibu, aku tidak akan pernah menunggu Ayah lagi. Dia telah pergi bersama dengan perempuan itu," ucapku kala itu. Kucoret foto yang tergantung di atas dinding. Membakarnya hingga menjadi abu."Danu, suatu hari nanti ayahmu pasti akan kembali.""Danu tidak mau Ayah lagi, Ibu. Ayah jahat!""Biar bagaimanapun dia adalah ayahmu, Nak.""Iya, Ibu. Danu janj