Athalia menurut, kaki jenjangnya melangkah menghampiri Mahesa, lalu duduk di sebelahnya. Mahesa langsung merangkul pundak kiri Athalia sambil memainkan surai lembut wanita itu yang menguarkan aroma shampo.
Athalia mendongkak, menatap Mahesa. Alisnya bertaut saat menebak seperti ada sesuatu yang serius yang hendak dikatakan oleh lelaki itu.“Ada apa?” tanya Athalia, tak bisa membendung rasa penasarannya. “Kau ingin mengatakan sesuatu?” Mahesa menarik kedua sudut bibirnya, lalu menjawil hidung mancung Athalia, gemas.“Kau ini tahu saja kalau ada hal yang ingin kubicarakan. Jangan-jangan kau bisa menebak isi kepalaku.” “Dari ekspresimu, jika kau sudah terlihat serius, pasti kau ingin mengatakan sesuatu. Dan aku ingin tahu apa itu?” Mahesa terdiam sesaat, sedang berpikir bagaimana ia mengatakannya. Sebenarnya kalimat itu sudah berusaha ia pilah dan tata sebaik mungkin sebelum keluar dari muluAthalia ingat, ketika ia masih menjadi teman tidur Mahesa, tak pernah sekali pun mereka memakai pengaman. Bukankah hal itu akan beresiko besar terhadap jadinya pembuahan?Mata Athalia pun makin melebar, seiring suara terkesiap dari mulutnya.“Apa, apa jangan-jangan aku hamil?”*** Athalia tak bisa membiarkan dirinya terus gellisah dengan berbagai macam pikiran yang berkecamuk dalam benaknya.Akhir-akhir ini ia merasa mual. Dirinya pun tak kunjung datang bulan.Athalia harus memastikan kebenarannya. Maka dari itu ia pergi ke apotek dan membeli beberapa buah testpack. Lalu secara diam-diam mencobanya di dalam kamar mandi.Bola mata itu membeliak lebar saat melihat dua garis merah yang tertera di testpacknya.Mulut Athalia terbuka, nyaris tak percaya, tapi dua garis merah itu bukan hanya ia lihat di satu buah testpack. Melainkan di lima buah testpack dengan merek yang berbeda.Itu artinya, hasilnya benar-benar
Narsih mengangguk. Lalu duduk di balik meja makan, dan memilih untuk makan terlebih dahulu.“Yasna! Sudah dulu belajarnya. Temani Ibu makan!” Narsih sedikit berteriak, agar Yasna yang sedang duduk di depan TV sambil mengerjakan tugasnya, bisa mendengar.“Iya Bu!” Yasna menyahut, cepat membereskan tumpukan kertas di atas meja.Baru saja ia meraih remote dan hendak mematikan TV, Yasna tiba-tiba tertegun melihat layar televisi itu menayangkan sebuah berita tentang kecelakaan lalu lintas.Saat kamera menyorot pada seorang lelaki bertubuh jangkung yang sedang dibopong oleh beberapa orang dan dimasukkan ke dalam ambulan, Yasna langsung terkesiap membekap mulutnya, jatuh sudah remote itu ke lantai saat tangannya tak memiliki kekuatan untuk menggenggam.“Kak Athalia! Kak Athalia ke mari!” teriaknya, setengah menjerit.“Ada apa, Yasna?” Athalia mendekat, diikuti Narsih di belakangnya. Rupanya jeritan Ya
Athalia pikir, kenyataan terpahit dalam hidupnya adalah saat Mahesa tak sadarkan diri di atas ranjang rawat itu. Athalia pikir, setelah Mahesa terbangun dan melihatnya, maka semuanya akan menjadi lebih baik.Tapi ternyata semuanya tak sesederhana itu.Hari ini, ia dipukul oleh sebuah kenyataan yang terpahit lainnya. Mahesa sudah sadar setelah koma selama dua hari. Dan untuk pertama kali, Athalia diperbolehkan masuk ke dalam ruang rawat itu.“Mahesa? Apa yang kau rasakan?” tanya Leuwis, berdiri di samping kiri ranjang Mahesa. Bertanya pada lelaki yang baru sadar dari komanya delapan jam yang lalu.“Kepalaku sakit, tubuhku juga.”“Itu wajar, tapi nanti semuanya akan berangsur pulih setelah Mahesa menjalani perawatan intensif di rumah sakit ini. Yang terpenting sekarang, Mahesa telah melewati masa kritisnya dan dia juga sudah sadar dari komanya.” Dokter Erdi menyela. Leuwis mengangguk-anggukan kepalany
Mereka keluar dari kamar Mahesa. Setiap kali sepatunya berdecit dengan lantai saat melangkah menuju ke ruangan Dokter Erdi, jantung Athalia berdegup resah. Semoga apa yang akan disampaikan oleh Dokter Erdi bukanlah sebuah kabar buruk.***Tiga puluh menit berlalu…Pintu ruangan Dokter Erdi terbuka, Athalia keluar dari dalam sana. Langkahnya gontai, tatapannya yang teduh itu terlihat nyalang. Kedua tangannya terhempas ke sisi paha. Tak memiliki kekuatan untuk sekadar mengepal.Leuwis pun keluar setelah Athalia. Senyum miring tersungging di wajah tua itu. Matanya menatap penuh kepuasan.Saat langkah Athalia terhenti dan wanita itu menyenderkan tubuhnya ke tembok, Leuwis segera mengambil posisi, berdiri di hadapannya sambil berpangku tangan.“Aku harap kau sudah mendengar jelas apa yang dijelaskan oleh Dokter Erdi barusan. Aku yakin telingamu masih berfungsi dengan baik, Athalia. Jadi kurasa, kau tidak perlu lagi bertanya apa dan k
Sementara Yasna merasa kasihan pada kakaknya, tapi ia pun bingung harus melakukan apa. Usianya belum terlalu dewasa untuk memahami apa yang harus dilakukannya, selain hanya mengusap bahu ibunya yang bergetar.Narsih mengusap air matanya dengan tangan, gerakannya sedikit kasar. Lalu ia meraih kedua belah pipi Athalia, kemudian didongkakannya, hingga mata bulat basah itu kini saling menatap satu sama lain.“Tadi katamu kau terpaksa melakukannya? Boleh Ibu tahu apa yang membuatmu terpaksa?” tanya Narsih, tatapannya kali ini melembut, meski Athalia tahu sorot itu masih menyimpan kekecewaan yang mendalam.Meski malu, Athalia mengangguk untuk mengatakan apa yang sebenarnya terjadi pada ibunya. Ia pun berpikir bahwa mungkin sudah saatnya ia bicara.Dengan sedikit bergetar, bibir Athalia mulai merangkai kalimat untuk menjelaskan dari awal tentang mengapa ia bisa menjadi teman tidur Mahesa.Yang pertama terkejut mendengar ucapan Athalia adalah Yasna
“Kau tidak sadar juga kalau kau adalah pembawa sial bagi Mahesa. Karenamu, Mahesa mengalami kecelakaan. Seharusnya kau sadar diri dan pergi dari hidupnya. Itu pun, jika kau masih memiliki rasa malu!” cetus Leuwis, mendelik sinis sebelum kemudian melangkah menuju ruang rawat Mahesa.Setelah Leuwis masuk, Kiran melayangkan senyum penuh ejekan pada Athalia sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Seolah ia sedang berbangga diri atas posisinya saat ini.Athalia hanya menarik napas pelan dan menahan rasa sakit di dadanya setelah tubuh Kiran menyusul masuk ke dalam ruangan itu, ruangan dimana Mahesa berada.***Mahesa sedang duduk bersandar di kepala ranjang rumah sakit, sambil melamun saat pintu itu terbuka dan Leuwis masuk ke dalam. Bibirnya tersenyum lebar, lalu Kiran masuk setelahnya. Senyumnya amat manis saat menatap wajah tampan Mahesa. Kening Mahesa berkerut melihat Kiran, seakan ia menemukan
Imran menggebrak meja dengan keras, membuat Narsih dan Athalia terhenyak kaget."Tunggu apalagi, Pak RT? Dia sudah mengaku sekarang. Lebih baik usir saja Athalia, kalau perlu dengan ibu dan adiknya dari sini. Dia sudah mencemarkan nama baik wilayah ini."Athalia dan ibunya saling menggenggam tangan. Narsih menangkup punggung tangan Athalia, meski tangannya sendiri pun gemetaran."Jangan, Pak! Jangan usir kami. Saya mohon. Nanti kami akan tinggal di mana?" kali ini mata Athalia mulai berkaca-kaca. Tampaknya pertahanan itu pun roboh juga.Athalia tak bisa terus-menerus berusaha menjadi orang yang tegar menghadapi masalah. Apalagi saat ini seseorang sedang menghardik ibunya.Imran terus mencaci dan memaki Narsih juga Athalia. Bahkan ia berusaha mengompori Pak RT agar mengusir keluarga Athalia dari kontrakannya.Yasna tak bisa lagi menyibukkan diri dengan setumpuk PR, ketika teriakan seseorang terdengar sedang
Mahesa mengerjap, bahkan ia tak tahu siapa Yasna dan siapa ibu yang Athalia maksud."Tapi jika kau mengatakan jangan pergi, maka aku tidak akan pergi," lanjut Athalia, dengan sejuta harap yang bergejolak dalam dadanya.Mahesa masih bergeming."Jika kau mengatakan jangan, maka aku tidak akan pergi, Mahesa. Aku akan tetap di sini, menunggumu sampai kau ingat kembali semua tentangku. Tolong katakan jangan pergi, Mahesa! Tolong cegah aku!" dengan ujung-ujung jemari yang sedikit gemetar, Athalia menyentuh punggung tangan Mahesa, menatap wajah tampan itu dengan linangan air mata."Cegah aku Mahesa! Tahan aku di sisimu. Aku tidak akan pergi jika kau memintaku untuk jangan pergi." Athalia meraih tangan itu, menempelkannya di pipi, lantas meremasnya dengan penuh rindu."Pergilah." sampai sebuah kata membuat harap itu melebur begitu saja.Kata paling menyakitkan, akhirnya terlontar dari mulut orang yang sangat dicin
Mahesa menatap pada dokter dengan sorot penuh harap. Dan dokter itu menarik napas sebelum akhirnya berkata.“Keadaan Nyonya Athalia tetap sama. Tapi kita masih bersyukur operasi ini tak memperparah kondisinya. Setelah pulih dari melahirkan, Nyonya Athalia sudah bisa melakukan terapi kankernya di Indonesia. Dia wanita yang kuat, tak banyak yang berhasil bertahan sampai di titik ini,” ungkap dokter itu yang akhirnya membuat Mahesa mendesah lega.Mahesa sangat kagum pada Athalia. Kini ia menatap wajah bayi mungilnya yang tampak memerah. Bayi itu menangis, lalu perawat mengambil alihnya dari tangan Mahesa.“Maaf, Tuan. Kami harus segera memindahkan bayi perempuan Anda ke ruang inkubator.”Mahesa mengangguk mendengar ucapan perawat itu. “Boleh aku ikut mengantar bayiku?” tanya Mahesa, seakan tak rela jika harus berpisah barang hanya sejenak dengan malaikat kecilnya.Perawat dan dokter itu saling pandang,
Meski usia kandungan Athalia baru menginjak delapan bulan, namun dokter menyarankan agar bayi Athalia segera dikeluarkan dari kandungannya. Karena akan makin membahayakan kondisi Athalia.Awalnya Athalia sempat menolak dan berdebat kecil dengan Mahesa. Athalia takut terjadi hal buruk pada bayi mungilnya andai dilahirkan premature. Namun Mahesa bersikukuh meyakinkan bahwa dokter tahu yang terbaik. Mahesa juga takut terjadi hal buruk pada bayinya. Tapi ia lebih takut kehilangan Athalia.Akhirnya Athalia luluh setelah Mahesa meyakinkannya bahwa semua akan baik-baik saja.Dean dan Narsih sudah ada di rumah sakit. Mereka berdua datang ke Jerman. Sedangkan Yasna, Dirly dan keluarga Dean masih di Indonesia. Sengaja sekali Dean tak mau memberitahukan kabar Athalia yang akan dioperasi ini pada mereka agar tak merasa khawatir.“Mahesa, jangan pergi!” Athalia menggenggam erat tangan Mahesa saat perawat mendorong ranjangnya menuju ke ruang operasi.
“Dia baik-baik saja.” dokter berkata pada suster setelah ia memeriksa keadaan Athalia.“Tapi dia mengigau terus, dok.”“Tidak apa. Selama kondisinya stabil. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” pungkas dokter yang menangani Athalia. Dokter itu bernama Dokter Greg.Suster itu mengangguk. “Baik, dokter. “ sebenarnya suster itu khawatir terjadi apa-apa pada Athalia, juga karena ia dibayar oleh Dean untuk terus memantau kondisi Athalia dan menginformasikan setiap perkembangannya.Tepat di saat dokter baru saja akan berbalik keluar dari ruangan itu, tiba-tiba mereka mengerutkan kening saat melihat sosok lelaki yang tak dikenal, melangkah memasuki ruang ICU dan menghampiri ranjang Athalia.“Siapa dia?” dokter berbisik pada suster.“Saya tidak tahu, dok,” balas suster itu menggelengkan kepala.Lelaki asing itu adalah Mahesa. Yang ketika melihat pintu ruang ICU tak di
Tak ingin membuang waktu, Mahesa langsung mengurus keberangkatannya ke Jerman. Dan sebagai seorang ayah yang telah mendukung Mahesa, Leuwis turut membantu segala persiapan putranya.Kini mereka pun telah tiba di bandara. Sebelum masuk ke gate penerbangan, Leuwis menggenggam tangan kanan Mahesa dengan erat.“Apa kau yakin Papa tidak perlu menyusulmu ke sana?” tanya Leuwis, yang sebenarnya ingin ikut.“Tidak perlu, Pa. Papa tunggu saja di sini dan berikan doa yang terbaik untukku.” “Itu pasti. Kau tak perlu memintanya. Papa akan selalu mendoakanmu.”Mahesa tersenyum, sesaat memeluk ayahnya, sebelum kemudian mengurai pelukan dan pamit untuk pergi.Leuwis menghela napas pelan sambil melambaikan tangan, melepaskan kepergian Mahesa yang kini telah menghilang dari pandangan mata.“Semoga keberuntungan dan kebahagiaan selalu menyertaimu, Mahesa,” gumam Leuwis.***Tiba
Meski sudah larut malam, Dean tak bisa tidur. Ia masih duduk di ruang tengah sambil menonton TV.Namun, tiba-tiba terdengar suara bell rumahnya yang berdenting.“Ck! Siapa yang bertamu di malam-malam buta begini.” Dean bergumam lalu bangkit berdiri dan berjalan menuju ke pintu utama.Saat pintu itu dibuka, Dean langsung menghembuskan npaas kasar ketika melihat sosok Mahesa yang berdiri di hadapannya dengan penampilan yang cukup berantakan.Sepertinya Mahesa habis berkelahi. Terlihat dari rahang dan sudut bibirnya yang lebam dan berdarah.“Apa kau sudah gila? Bisakah kau bertamu di waktu yang tepat?” Dean menyindir, baru saja ia akan kembali menutup pintu rumahnya namun tangan Mahesa lebih dulu menahannya dengan kuat, hingga Dean menyerah dan pintu itu pun kembali terbuka lebar.“Sebenarnya apa maumu?” sentak Dean, kesal.“Aku mau kau beritahu aku di mana Athalia berada?” tegas
Leuwis tak sanggup saat melihat Mahesa yang sedang kacau seperti ini.“Mahesa,” desah Leuwis bersimpuh duduk di samping Mahesa dan membuat Mahesa membuka kedua matanya hingga bertemu pandang dengan bola mata ayahnya.“Pa … “ Mahesa berbisik pelan. Namun kedua matanya menyiratkan kesedihan. Terihat dari matanya yang memerah dan berkaca-kaca.“Kemarilah, Nak! Kemarilah!” Leuwis membuka tangannya lebar-lebar.Mahesa tahu isyarat itu. Ia pun beringsut duduk dan segera masuk ke dalam pelukan Leuwis. Menghambur memeluk tubuh Leuwis dan menumpahkan tangisnya di dada ayahnya.Mahesa menangis tanpa suara. Hanya saja Leuwis merasa bagian depan bajunya yang basah.“Pa, aku telah kehilangan dia! Aku telah kehilangan Athalia dan anakku! Athalia sedang hamil, Pa. Dia hamil darah dagingku. Berkali-kali aku membujuknya tapi dia tak mau kembali. Aku terlalu banyak menyakitinya. Aku ini lelaki bejat yang sangat menji
Hanya sebentar Leuwis dirawat di rumah sakit. Ia pun sudah boleh pulang ke rumahnya.Selama ada di rumah sakit, tak ada satu pun anggota keluarganya yang menjenguknya selain Mahesa.Entah karena memang mereka tidak tahu Leuwis dirawat, atau mungkin karena mereka tidak peduli sama sekali terhadapnya.Yang jelas, Leuwis merasa kecewa. Ayaz melihat dirinya yang hampir mati, namun sama sekali tak berniat menolongnya.Justru Mahesa lah yang melarikannya ke rumah sakit dan menemaninya meski mereka hanya saling diam dan tak ada satu pun yang berani bicara.“Kau gila, Ayaz! Kau berani melakukan itu pada Papamu? Bagaimana kalau dia masih hidup lalu mengusir kita semua dari rumah ini?”Baru saja Leuwis akan membuka pintu kamar Ayaz untuk menegur anak tirinya itu, namun gerakan Leuwis terhenti saat ia mendengar suara Jessica yang sepertinya sedang berbicara dengan Ayaz.“Masa bodo tentang Leuwis. Dia bukan Papaku. Aku bosan hidup di ba
“Selama ini aku bekerja untuk memenuhi hidupmu dan keluarga kita. Tapi mengapa kau tak menghargaiku? Setidaknya bantu aku untuk mencari jalan keluar dari permasalahan ini. Bukannya malah menambah masalah di kepalaku!” sentak Leuwis dengan keras.Leuwis marah, tentu saja.Bisa dibilang, Ayaz adalah anak tertua setelah Mahesa. Meskipun Ayaz hanya anak tirinya. Namun Leuwis pikir, sudah sepantasnya Ayaz ikut mengemban tanggung jawab untuk mengurus perusahaan dan membantunya.Bukannya malah hanya berfoya-foya.“Apa masalahnya, Pa? Aku memanggil dua wanita penghibur itu untuk sedikit menyenangkanku. Bagaimana aku bisa bekerja jika hatiku tidak senang?” Ayaz berkata dengan wajah santainya.Membuat bola mata Leuwis melebar.“Tapi kau bisa bersenang-senang di waktu dan tempat yang tepat! Tidak dalam situasi seperti ini!” Leuwis masih tak habis pikir. Ayaz sempat memikirkan kesenangannya di saat mereka terancam hid
Langit terlihat begitu mendung. Tak secerah tadi pagi, dimana saat mereka asyik bermain sepak bola di halaman belakang rumah Dean.Kini Dean melamun, menatap nanar pada wajah Athalia yang terbaring di atas ranjang rumah sakit. Dean menungguinya. Ia mengusir halus semua orang yang hendak ikut menemani Athalia di rumah sakit, termasuk Narsih dan Yasna.“Athalia, kau harus berjanji padaku! Kau akan tetap hidup sampai nanti, sampai Dirly dan anakmu dewasa. Sampai kau berhasil mendapatkan kebahagiaan sesungguhnya. Jangan pernah pergi sebelum semua itu terjadi. Berjanjilah padaku, Athalia!” Dean meraih tangan kanan Athalia, lalu menciumi jemarinya.Lelaki bertubuh kekar itu tak bisa menahan saat air mata meluruh jatuh melewati pipinya.Hari ini, saat Athalia dibawa ke rumah sakit, dokter memberitahu sebuah kabar yang membuat semua orang terkejut. Tak menyangka. Bahkan terluka.Bagaimana tidak, dokter mengatakan Athalia menderita kanker darah. Dan tak s