Imran menggebrak meja dengan keras, membuat Narsih dan Athalia terhenyak kaget.
"Tunggu apalagi, Pak RT? Dia sudah mengaku sekarang. Lebih baik usir saja Athalia, kalau perlu dengan ibu dan adiknya dari sini. Dia sudah mencemarkan nama baik wilayah ini."
Athalia dan ibunya saling menggenggam tangan. Narsih menangkup punggung tangan Athalia, meski tangannya sendiri pun gemetaran.
"Jangan, Pak! Jangan usir kami. Saya mohon. Nanti kami akan tinggal di mana?" kali ini mata Athalia mulai berkaca-kaca. Tampaknya pertahanan itu pun roboh juga.
Athalia tak bisa terus-menerus berusaha menjadi orang yang tegar menghadapi masalah. Apalagi saat ini seseorang sedang menghardik ibunya.
Imran terus mencaci dan memaki Narsih juga Athalia. Bahkan ia berusaha mengompori Pak RT agar mengusir keluarga Athalia dari kontrakannya.
Yasna tak bisa lagi menyibukkan diri dengan setumpuk PR, ketika teriakan seseorang terdengar sedang
Mahesa mengerjap, bahkan ia tak tahu siapa Yasna dan siapa ibu yang Athalia maksud."Tapi jika kau mengatakan jangan pergi, maka aku tidak akan pergi," lanjut Athalia, dengan sejuta harap yang bergejolak dalam dadanya.Mahesa masih bergeming."Jika kau mengatakan jangan, maka aku tidak akan pergi, Mahesa. Aku akan tetap di sini, menunggumu sampai kau ingat kembali semua tentangku. Tolong katakan jangan pergi, Mahesa! Tolong cegah aku!" dengan ujung-ujung jemari yang sedikit gemetar, Athalia menyentuh punggung tangan Mahesa, menatap wajah tampan itu dengan linangan air mata."Cegah aku Mahesa! Tahan aku di sisimu. Aku tidak akan pergi jika kau memintaku untuk jangan pergi." Athalia meraih tangan itu, menempelkannya di pipi, lantas meremasnya dengan penuh rindu."Pergilah." sampai sebuah kata membuat harap itu melebur begitu saja.Kata paling menyakitkan, akhirnya terlontar dari mulut orang yang sangat dicin
“Tidak ada satu pun hal yang paling membuatku bahagia di dunia ini selain melihatmu sudah kembali pulih. Aku senang bisa menatapmu seperti ini. Apa kau tahu, saat kau terbaring di ranjang rumah sakit dalam keadaan kritis, kupikir aku takkan pernah bisa memelukmu lagi.” Kiran mengeratkan pelukannya di lengan kekar Mahesa, sebelah tangannya tanpa ragu dan malu, mengusap dada bidang lelaki itu di hadapan Leuwis dan Tuan Gwen.Mereka tersenyum senang. Lebih lagi Tuan Gwen yang senang melihat senyum bahagia di wajah Kiran.Namun ekspresi Mahesa tak menyiratkan kebahagiaan sedikit pun. Bahkan saat telapak tangan Kiran singgah di dadanya, tak ada setitik pun desiran di dalam dirinya, seperti yang seharusnya dirasakan oleh seseorang saat disentuh oleh kekasihnya.Leuwis mempersilakan mereka untuk duduk kembali. Kali ini Kiran duduk di sebelah Mahesa. Mulanya Mahesa tidak mengerti apa yang hendak dan sedang dibicarakan oleh kedua lelaki paru
Yasna mengangguk kecil, lalu mengeluarkan koran yang tadi ia sembunyikan di belakang punggung, kemudian memberikannya pada Athalia.Athalia menerimanya dengan selarik senyum. Dibentangkannya koran itu, lalu matanya menatap pada salah satu bagian yang tercetak di sana.Hal itu memancing penasaran Yasna. Matanya mengerjap menatap kakaknya dengan raut ingin tahu.“Kenapa Kak Athalia senyum-senyum, apa kakak sudah menemukan lowongan kerja yang pas di koran itu?”Tanpa ragu Athalia mengangguk. “Benar, kakak sudah menemukannya.”“Di mana? Kak Athalia akan melamar kerja di mana?” Yasna berseru, takut jika Athalia akan memilih pekerjaan yang berat.Athalia mengulum senyum melihat raut penasaran adiknya, kemudian ia menunjuk salah satu bagian di koran itu.“Di sini, restoran Almadirly yang letaknya tak jauh dari kontrakan kita. Restoran ini sedang membutuhkan seorang waiters. Semoga kakak bisa diterima
“Kau ini benar-benar ya. Kau sudah tiga bulan bekerja di restoran ini, tapi sampai sekarang kau belum tahu juga siapa Pak Dean itu. Aku tahu kalau Pak Dean memang jarang berkunjung ke restoran. Tapi setidaknya kau bisa mencaritahu tentang sosoknya dari Pak Iksan. Asal kau tahu, Athalia. Pak Dean itu adalah boss kita, pemilik restoran ini.”“A-apa?” mata Athalia membulat setelah mendengar ucapan Sisy.***Di atas ranjang rawatnya, Dirly masih terbaring telentang. Sementara seorang dokter yang baru saja memeriksanya, mengulum senyum, pasalnya, ia sempat melihat kelopak mata bocah itu yang bergerak pelan.“Bagaimana, dokter?” Dean yang berdiri di sisi ranjang Dirly, langsung bertanya pada Dokter Indra. Matanya menatap penuh tanya.Dokter Indra membuang napas berat, lalu membalas tatapan Dean dengan raut serius.“Mari kita bicara di luar, Pak Dean. Ada hal serius yang ingin kuberitahukan padamu.” Dokter
Di depan ruang rawat Dirly, Dean berdiri sambil membenamkan kedua tangannya ke dalam saku celana.Rasanya ia ingin menangis. Menyakitkan memang, saat melihat Dirly terus menggumamkan bahwa ia habis bertemu dengan ibunya. Dean paham, Dirly mungkin saja sengaja mengarang untuk meluapkan rasa rindunya. Atau ingin merasakan bagaimana rasanya menatap wajah ibu dalam nyata.Dean menggeleng pelan, mengusap wajahnya dengan sebelah tangan.Kemudian Dean cepat merogoh ponselnya yang ada di dalam saku celana saat ia teringat sesuatu.“Hallo, Iksan.” “Iya, Pak Dean. Bagaimana keadaan Dirly? Aku harap dia baik-baik saja.”“Dia memang baik-baik saja. Aku menghubungimu karena ingin meminta bantuanmu.”“Apa itu, Pak Dean? Dengan senang hati aku akan melakukannya.”Dean terdiam sesaat, berpikir. Sebelum kemudian ia berkata.“Suruh orang yang telah menyelamatkan anak
Seakan tak percaya, Dean berdiri dari duduknya, manik matanya tak lepas memandangi wajah yang tak asing dalam hidupnya.Wajah Alma—mendiang istrinya yang telah tiada.Tapi … bagaimana bisa? Alma sudah meninggal.Melihat Dean yang terdiam dan tatapannya yang membuat Athalia merasa gugup, Athalia pun kembali bicara untuk menyadarkannya.“Pak?”Dean tersentak, mengerjapkan mata, lalu mengusap wajahnya dengan sebelah tangan, sebelum kemudian kembali mengunci pandangan pada wajah yang membuatnya tak bisa lepas itu.“Enghh … maaf. Duduklah, Athalia.”Dean menunjuk kursi di depannya. “Terima kasih, Pak.” Athalia mengangguk, menggeser kursi, lalu duduk di sana.Dean menghela napas sebentar, menetralkan debar jantungnya yang mulai mendominasi di dalam sana, di dadanya.Ia menyita perhatian pada wajah cantik di hadapannya. Memandang Athalia, membuat Dean merasa kembali menikmati ap
Narsih mendekat, berdiri di hadapan kedua putrinya.“Lalu, apa yang kau lakukan ini? Ibu masih bisa mengumpulkan uang untuk membeli sepatu Yasna.”Athalia menggeleng, meraih tangan Narsih lalu menggenggamnya.“Hari ini, boss pemilik restoran memberiku uang bonus yang sangat banyak. Aku menabung sisanya, sementara sebagian kubelikan barang-barang penting, termasuk sepatunya Yasna.”Manik mata Narsih membulat senang setelah mendengar itu.“Benarkah?” tanyanya, memastikan.Tanpa ragu Athalia langsung menganggukkan kepala. Lantas bibirnya mulai menceritakan apa saja yang terjadi hari ini, tentang Dirly, tentang Dean yang memanggilnya ke ruangan pribadinya di lantai tujuh, juga tentang bonus yang diberikan oleh lelaki itu.Tanpa ragu Athalia langsung menganggukkan kepala. Lantas bibirnya mulai menceritakan apa saja yang terjadi hari ini, tentang Dirly, tentang Dean yang memanggilnya ke ruangan pribadinya di lantai tuj
Kiran berseru riang, segera mengaitkan tangannya di lengan Mahesa, kemudian menarik lelaki itu menuju ke sebuah toko yang menyediakan banyak tas brended.“Sayang, menurutmu, aku lebih bagus pakai yang biru atau yang merah?” Kiran menunjukan dua tas dalam genggamannya di depan Mahesa. Lalu bergaya saat menenteng tas itu di lengannya.Ia sedang meminta pendapat dari Mahesa.“Terserah. Kau pilih saja yang kau suka,” balas Mahesa sekenanya.Perkataannya itu membuat Kiran merengutkan wajahnya. Merasa tak suka dengan sikap cuek lelaki itu.“Tapi aku sedang meminta pendapatmu. Jika kau menyukai yang biru, maka aku akan pilih yang biru. Tapi jika menurutmu aku lebih cocok menggunakan yang merah, maka aku akan pilih yang merah.”“Kalau begitu ambil yang merah saja.” tak ingin memperpanjang waktu, Mahesa segera menjawab asal, yang penting ia bisa segera balik ke kantor.Mahesa berdoa dal
Mahesa menatap pada dokter dengan sorot penuh harap. Dan dokter itu menarik napas sebelum akhirnya berkata.“Keadaan Nyonya Athalia tetap sama. Tapi kita masih bersyukur operasi ini tak memperparah kondisinya. Setelah pulih dari melahirkan, Nyonya Athalia sudah bisa melakukan terapi kankernya di Indonesia. Dia wanita yang kuat, tak banyak yang berhasil bertahan sampai di titik ini,” ungkap dokter itu yang akhirnya membuat Mahesa mendesah lega.Mahesa sangat kagum pada Athalia. Kini ia menatap wajah bayi mungilnya yang tampak memerah. Bayi itu menangis, lalu perawat mengambil alihnya dari tangan Mahesa.“Maaf, Tuan. Kami harus segera memindahkan bayi perempuan Anda ke ruang inkubator.”Mahesa mengangguk mendengar ucapan perawat itu. “Boleh aku ikut mengantar bayiku?” tanya Mahesa, seakan tak rela jika harus berpisah barang hanya sejenak dengan malaikat kecilnya.Perawat dan dokter itu saling pandang,
Meski usia kandungan Athalia baru menginjak delapan bulan, namun dokter menyarankan agar bayi Athalia segera dikeluarkan dari kandungannya. Karena akan makin membahayakan kondisi Athalia.Awalnya Athalia sempat menolak dan berdebat kecil dengan Mahesa. Athalia takut terjadi hal buruk pada bayi mungilnya andai dilahirkan premature. Namun Mahesa bersikukuh meyakinkan bahwa dokter tahu yang terbaik. Mahesa juga takut terjadi hal buruk pada bayinya. Tapi ia lebih takut kehilangan Athalia.Akhirnya Athalia luluh setelah Mahesa meyakinkannya bahwa semua akan baik-baik saja.Dean dan Narsih sudah ada di rumah sakit. Mereka berdua datang ke Jerman. Sedangkan Yasna, Dirly dan keluarga Dean masih di Indonesia. Sengaja sekali Dean tak mau memberitahukan kabar Athalia yang akan dioperasi ini pada mereka agar tak merasa khawatir.“Mahesa, jangan pergi!” Athalia menggenggam erat tangan Mahesa saat perawat mendorong ranjangnya menuju ke ruang operasi.
“Dia baik-baik saja.” dokter berkata pada suster setelah ia memeriksa keadaan Athalia.“Tapi dia mengigau terus, dok.”“Tidak apa. Selama kondisinya stabil. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” pungkas dokter yang menangani Athalia. Dokter itu bernama Dokter Greg.Suster itu mengangguk. “Baik, dokter. “ sebenarnya suster itu khawatir terjadi apa-apa pada Athalia, juga karena ia dibayar oleh Dean untuk terus memantau kondisi Athalia dan menginformasikan setiap perkembangannya.Tepat di saat dokter baru saja akan berbalik keluar dari ruangan itu, tiba-tiba mereka mengerutkan kening saat melihat sosok lelaki yang tak dikenal, melangkah memasuki ruang ICU dan menghampiri ranjang Athalia.“Siapa dia?” dokter berbisik pada suster.“Saya tidak tahu, dok,” balas suster itu menggelengkan kepala.Lelaki asing itu adalah Mahesa. Yang ketika melihat pintu ruang ICU tak di
Tak ingin membuang waktu, Mahesa langsung mengurus keberangkatannya ke Jerman. Dan sebagai seorang ayah yang telah mendukung Mahesa, Leuwis turut membantu segala persiapan putranya.Kini mereka pun telah tiba di bandara. Sebelum masuk ke gate penerbangan, Leuwis menggenggam tangan kanan Mahesa dengan erat.“Apa kau yakin Papa tidak perlu menyusulmu ke sana?” tanya Leuwis, yang sebenarnya ingin ikut.“Tidak perlu, Pa. Papa tunggu saja di sini dan berikan doa yang terbaik untukku.” “Itu pasti. Kau tak perlu memintanya. Papa akan selalu mendoakanmu.”Mahesa tersenyum, sesaat memeluk ayahnya, sebelum kemudian mengurai pelukan dan pamit untuk pergi.Leuwis menghela napas pelan sambil melambaikan tangan, melepaskan kepergian Mahesa yang kini telah menghilang dari pandangan mata.“Semoga keberuntungan dan kebahagiaan selalu menyertaimu, Mahesa,” gumam Leuwis.***Tiba
Meski sudah larut malam, Dean tak bisa tidur. Ia masih duduk di ruang tengah sambil menonton TV.Namun, tiba-tiba terdengar suara bell rumahnya yang berdenting.“Ck! Siapa yang bertamu di malam-malam buta begini.” Dean bergumam lalu bangkit berdiri dan berjalan menuju ke pintu utama.Saat pintu itu dibuka, Dean langsung menghembuskan npaas kasar ketika melihat sosok Mahesa yang berdiri di hadapannya dengan penampilan yang cukup berantakan.Sepertinya Mahesa habis berkelahi. Terlihat dari rahang dan sudut bibirnya yang lebam dan berdarah.“Apa kau sudah gila? Bisakah kau bertamu di waktu yang tepat?” Dean menyindir, baru saja ia akan kembali menutup pintu rumahnya namun tangan Mahesa lebih dulu menahannya dengan kuat, hingga Dean menyerah dan pintu itu pun kembali terbuka lebar.“Sebenarnya apa maumu?” sentak Dean, kesal.“Aku mau kau beritahu aku di mana Athalia berada?” tegas
Leuwis tak sanggup saat melihat Mahesa yang sedang kacau seperti ini.“Mahesa,” desah Leuwis bersimpuh duduk di samping Mahesa dan membuat Mahesa membuka kedua matanya hingga bertemu pandang dengan bola mata ayahnya.“Pa … “ Mahesa berbisik pelan. Namun kedua matanya menyiratkan kesedihan. Terihat dari matanya yang memerah dan berkaca-kaca.“Kemarilah, Nak! Kemarilah!” Leuwis membuka tangannya lebar-lebar.Mahesa tahu isyarat itu. Ia pun beringsut duduk dan segera masuk ke dalam pelukan Leuwis. Menghambur memeluk tubuh Leuwis dan menumpahkan tangisnya di dada ayahnya.Mahesa menangis tanpa suara. Hanya saja Leuwis merasa bagian depan bajunya yang basah.“Pa, aku telah kehilangan dia! Aku telah kehilangan Athalia dan anakku! Athalia sedang hamil, Pa. Dia hamil darah dagingku. Berkali-kali aku membujuknya tapi dia tak mau kembali. Aku terlalu banyak menyakitinya. Aku ini lelaki bejat yang sangat menji
Hanya sebentar Leuwis dirawat di rumah sakit. Ia pun sudah boleh pulang ke rumahnya.Selama ada di rumah sakit, tak ada satu pun anggota keluarganya yang menjenguknya selain Mahesa.Entah karena memang mereka tidak tahu Leuwis dirawat, atau mungkin karena mereka tidak peduli sama sekali terhadapnya.Yang jelas, Leuwis merasa kecewa. Ayaz melihat dirinya yang hampir mati, namun sama sekali tak berniat menolongnya.Justru Mahesa lah yang melarikannya ke rumah sakit dan menemaninya meski mereka hanya saling diam dan tak ada satu pun yang berani bicara.“Kau gila, Ayaz! Kau berani melakukan itu pada Papamu? Bagaimana kalau dia masih hidup lalu mengusir kita semua dari rumah ini?”Baru saja Leuwis akan membuka pintu kamar Ayaz untuk menegur anak tirinya itu, namun gerakan Leuwis terhenti saat ia mendengar suara Jessica yang sepertinya sedang berbicara dengan Ayaz.“Masa bodo tentang Leuwis. Dia bukan Papaku. Aku bosan hidup di ba
“Selama ini aku bekerja untuk memenuhi hidupmu dan keluarga kita. Tapi mengapa kau tak menghargaiku? Setidaknya bantu aku untuk mencari jalan keluar dari permasalahan ini. Bukannya malah menambah masalah di kepalaku!” sentak Leuwis dengan keras.Leuwis marah, tentu saja.Bisa dibilang, Ayaz adalah anak tertua setelah Mahesa. Meskipun Ayaz hanya anak tirinya. Namun Leuwis pikir, sudah sepantasnya Ayaz ikut mengemban tanggung jawab untuk mengurus perusahaan dan membantunya.Bukannya malah hanya berfoya-foya.“Apa masalahnya, Pa? Aku memanggil dua wanita penghibur itu untuk sedikit menyenangkanku. Bagaimana aku bisa bekerja jika hatiku tidak senang?” Ayaz berkata dengan wajah santainya.Membuat bola mata Leuwis melebar.“Tapi kau bisa bersenang-senang di waktu dan tempat yang tepat! Tidak dalam situasi seperti ini!” Leuwis masih tak habis pikir. Ayaz sempat memikirkan kesenangannya di saat mereka terancam hid
Langit terlihat begitu mendung. Tak secerah tadi pagi, dimana saat mereka asyik bermain sepak bola di halaman belakang rumah Dean.Kini Dean melamun, menatap nanar pada wajah Athalia yang terbaring di atas ranjang rumah sakit. Dean menungguinya. Ia mengusir halus semua orang yang hendak ikut menemani Athalia di rumah sakit, termasuk Narsih dan Yasna.“Athalia, kau harus berjanji padaku! Kau akan tetap hidup sampai nanti, sampai Dirly dan anakmu dewasa. Sampai kau berhasil mendapatkan kebahagiaan sesungguhnya. Jangan pernah pergi sebelum semua itu terjadi. Berjanjilah padaku, Athalia!” Dean meraih tangan kanan Athalia, lalu menciumi jemarinya.Lelaki bertubuh kekar itu tak bisa menahan saat air mata meluruh jatuh melewati pipinya.Hari ini, saat Athalia dibawa ke rumah sakit, dokter memberitahu sebuah kabar yang membuat semua orang terkejut. Tak menyangka. Bahkan terluka.Bagaimana tidak, dokter mengatakan Athalia menderita kanker darah. Dan tak s