“Kau ini benar-benar ya. Kau sudah tiga bulan bekerja di restoran ini, tapi sampai sekarang kau belum tahu juga siapa Pak Dean itu. Aku tahu kalau Pak Dean memang jarang berkunjung ke restoran. Tapi setidaknya kau bisa mencaritahu tentang sosoknya dari Pak Iksan. Asal kau tahu, Athalia. Pak Dean itu adalah boss kita, pemilik restoran ini.”
“A-apa?” mata Athalia membulat setelah mendengar ucapan Sisy.***Di atas ranjang rawatnya, Dirly masih terbaring telentang. Sementara seorang dokter yang baru saja memeriksanya, mengulum senyum, pasalnya, ia sempat melihat kelopak mata bocah itu yang bergerak pelan.“Bagaimana, dokter?” Dean yang berdiri di sisi ranjang Dirly, langsung bertanya pada Dokter Indra. Matanya menatap penuh tanya.Dokter Indra membuang napas berat, lalu membalas tatapan Dean dengan raut serius.“Mari kita bicara di luar, Pak Dean. Ada hal serius yang ingin kuberitahukan padamu.” DokterDi depan ruang rawat Dirly, Dean berdiri sambil membenamkan kedua tangannya ke dalam saku celana.Rasanya ia ingin menangis. Menyakitkan memang, saat melihat Dirly terus menggumamkan bahwa ia habis bertemu dengan ibunya. Dean paham, Dirly mungkin saja sengaja mengarang untuk meluapkan rasa rindunya. Atau ingin merasakan bagaimana rasanya menatap wajah ibu dalam nyata.Dean menggeleng pelan, mengusap wajahnya dengan sebelah tangan.Kemudian Dean cepat merogoh ponselnya yang ada di dalam saku celana saat ia teringat sesuatu.“Hallo, Iksan.” “Iya, Pak Dean. Bagaimana keadaan Dirly? Aku harap dia baik-baik saja.”“Dia memang baik-baik saja. Aku menghubungimu karena ingin meminta bantuanmu.”“Apa itu, Pak Dean? Dengan senang hati aku akan melakukannya.”Dean terdiam sesaat, berpikir. Sebelum kemudian ia berkata.“Suruh orang yang telah menyelamatkan anak
Seakan tak percaya, Dean berdiri dari duduknya, manik matanya tak lepas memandangi wajah yang tak asing dalam hidupnya.Wajah Alma—mendiang istrinya yang telah tiada.Tapi … bagaimana bisa? Alma sudah meninggal.Melihat Dean yang terdiam dan tatapannya yang membuat Athalia merasa gugup, Athalia pun kembali bicara untuk menyadarkannya.“Pak?”Dean tersentak, mengerjapkan mata, lalu mengusap wajahnya dengan sebelah tangan, sebelum kemudian kembali mengunci pandangan pada wajah yang membuatnya tak bisa lepas itu.“Enghh … maaf. Duduklah, Athalia.”Dean menunjuk kursi di depannya. “Terima kasih, Pak.” Athalia mengangguk, menggeser kursi, lalu duduk di sana.Dean menghela napas sebentar, menetralkan debar jantungnya yang mulai mendominasi di dalam sana, di dadanya.Ia menyita perhatian pada wajah cantik di hadapannya. Memandang Athalia, membuat Dean merasa kembali menikmati ap
Narsih mendekat, berdiri di hadapan kedua putrinya.“Lalu, apa yang kau lakukan ini? Ibu masih bisa mengumpulkan uang untuk membeli sepatu Yasna.”Athalia menggeleng, meraih tangan Narsih lalu menggenggamnya.“Hari ini, boss pemilik restoran memberiku uang bonus yang sangat banyak. Aku menabung sisanya, sementara sebagian kubelikan barang-barang penting, termasuk sepatunya Yasna.”Manik mata Narsih membulat senang setelah mendengar itu.“Benarkah?” tanyanya, memastikan.Tanpa ragu Athalia langsung menganggukkan kepala. Lantas bibirnya mulai menceritakan apa saja yang terjadi hari ini, tentang Dirly, tentang Dean yang memanggilnya ke ruangan pribadinya di lantai tujuh, juga tentang bonus yang diberikan oleh lelaki itu.Tanpa ragu Athalia langsung menganggukkan kepala. Lantas bibirnya mulai menceritakan apa saja yang terjadi hari ini, tentang Dirly, tentang Dean yang memanggilnya ke ruangan pribadinya di lantai tuj
Kiran berseru riang, segera mengaitkan tangannya di lengan Mahesa, kemudian menarik lelaki itu menuju ke sebuah toko yang menyediakan banyak tas brended.“Sayang, menurutmu, aku lebih bagus pakai yang biru atau yang merah?” Kiran menunjukan dua tas dalam genggamannya di depan Mahesa. Lalu bergaya saat menenteng tas itu di lengannya.Ia sedang meminta pendapat dari Mahesa.“Terserah. Kau pilih saja yang kau suka,” balas Mahesa sekenanya.Perkataannya itu membuat Kiran merengutkan wajahnya. Merasa tak suka dengan sikap cuek lelaki itu.“Tapi aku sedang meminta pendapatmu. Jika kau menyukai yang biru, maka aku akan pilih yang biru. Tapi jika menurutmu aku lebih cocok menggunakan yang merah, maka aku akan pilih yang merah.”“Kalau begitu ambil yang merah saja.” tak ingin memperpanjang waktu, Mahesa segera menjawab asal, yang penting ia bisa segera balik ke kantor.Mahesa berdoa dal
Tak ingin membiarkan Athalia salah paham, Dean merasa ia berkewajiban untuk menjelaskan yang segamblang-gamblangnya pada Athalia.Dean tahu bahwa Athalia pasti bertanya-tanya dalam hatinya. Dean juga takut merasa Athalia tak nyaman ketika Dirly beberapa kali memanggilnya dengan sebutan mama.Tapi kali ini, tepat saat sinar matahari mulai meredup, angin sore membelai rambut Athalia yang tergerai, hingga bergerak pelan, Dean mengajak Athalia duduk dan bicara.Di taman yang cukup sepi, yang letaknya ada di belakang restoran itu.“Jadi, mendiang istri Anda sangat mirip denganku?” Athalia awalnya tidak percaya, bagaimana mungkin seseorang bisa sangat mirip dengannya.Tapi ketika Dean mengangguk dan menunjukkan sebuah foto pernikahan yang biasa ia simpan rapi di dalam dompet, seketika Athalia terhenyak membuka mulutnya.Ternyata apa yang dikatakan oleh Dean memang benar, wanita yang bernama Alma itu sangat mirip dengannya.“Dia sudah me
Namun, saat Mahesa memejamkan matanya, saat itu juga, tiba-tiba berkelebatan bayangan seorang gadis berambut terurai, dengan gaun malam, memadu kasih dengannya di atas ranjang.Namun Mahesa tak bisa melihat wajah gadis itu dengan jelas, hanya samar.Terkejut, seketika Mahesa pun membuka matanya kembali. Ia tersentak pada kesadarannya. Deru napasnya kini bergerak naik-turun dengan sedikit cepat.“Siapa gadis itu? Gadis itu sering muncul dalam ingatanku hampir setiap malam. Tapi aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Hanya satu hal yang bisa kupastikan, gadis itu bukan Kiran. Aku tahu itu, dia bukan Kiran. Tapi siapa?” gumam Mahesa, bertanya pada heningnya malam yang hanya bisa menjawabnya dengan kebisuan.Merasa keningnya berdenyut, Mahesa memegangi kepalanya yang saat ini sudah tidak lagi dibalut dengan perban.Sedikit tertatih, Mahesa mendudukan dirinya di atas kursi balkon, kemudian menarik napas pelan.Ia ke
"Apakah sampai detik ini kau masih belum ingat aku?" Athalia bertanya, entah pada siapa.Mungkin pada angin malam yang masuk melalui jendela kamarnya yang sengaja ia buka. Angin itu menelisik dan menggoyangkan sedikit rambutnya.Mungkin juga pertanyaan itu ia tujukan pada sebuah kalung berlian berbandul biru di tangannya.Kalung itu, kalung yang dulu pernah diberikan oleh Mahesa padanya, tepat ketika acara ulang tahun perusahaan.Si pemberi kalung itu memberikan banyak kenangan pahit dan manis dalam hidup Athalia.Dan sialnya, malam ini Athalia merasa rindu."Sebenarnya aku bisa saja menjual kalung ini saat sedang mengalami kesulitan ekonomi setelah kami diusir. Apalagi kalung ini harganya sangat mahal. Tapi aku tidak melakukannya. Karena kalung ini sangat berharga bagiku. Dan aku berjanji, akan selalu menyimpannya dengan baik. Kalung ini pernah menjadi simbol ketulusanmu, saat kata cinta terucap untuk yang pertama ka
Pertanyaan itu langsung terjawab ketika tak berselang lama, Athalia kembali masuk ke dalam mobil."Sudah selesai, Nona?""Sudah, Pak. Ayo jalan lagi!"Dirly kembali menunduk dan mengalihkan pandangannya dari Athalia. Tapi, meski begitu, tadi ia sempat melihat benda apa yang Athalia bawa masuk ke dalam mobil."Ice cream?" Athalia membeli dua cup ice cream dan sekarang ia sedang menyodorkan salah satunya pada Dirly.Dirly menoleh, sejenak menatap pada ice cream di tangan Athalia.Tapi kemudian matanya terangkat hingga bertemu dengan kedua bola mata Athalia yang cokelat muda."Ambil saja, aku tahu kalah kau sangat suka dengan ice cream." Athalia sedikit menggoyangkan cup ice cream yang ia sodorkan pada Dirly.Dirly mengangguk, lalu meraih ice cream itu dari tangan Athalia."Terima kasih, Tante." sekarang sudah tak terdengar lagi sebutan mama untuk Athalia.Membuat Athalia menar