Seakan tak percaya, Dean berdiri dari duduknya, manik matanya tak lepas memandangi wajah yang tak asing dalam hidupnya.
Wajah Alma—mendiang istrinya yang telah tiada.Tapi … bagaimana bisa? Alma sudah meninggal.Melihat Dean yang terdiam dan tatapannya yang membuat Athalia merasa gugup, Athalia pun kembali bicara untuk menyadarkannya.“Pak?”Dean tersentak, mengerjapkan mata, lalu mengusap wajahnya dengan sebelah tangan, sebelum kemudian kembali mengunci pandangan pada wajah yang membuatnya tak bisa lepas itu.“Enghh … maaf. Duduklah, Athalia.”Dean menunjuk kursi di depannya. “Terima kasih, Pak.” Athalia mengangguk, menggeser kursi, lalu duduk di sana.Dean menghela napas sebentar, menetralkan debar jantungnya yang mulai mendominasi di dalam sana, di dadanya.Ia menyita perhatian pada wajah cantik di hadapannya. Memandang Athalia, membuat Dean merasa kembali menikmati apNarsih mendekat, berdiri di hadapan kedua putrinya.“Lalu, apa yang kau lakukan ini? Ibu masih bisa mengumpulkan uang untuk membeli sepatu Yasna.”Athalia menggeleng, meraih tangan Narsih lalu menggenggamnya.“Hari ini, boss pemilik restoran memberiku uang bonus yang sangat banyak. Aku menabung sisanya, sementara sebagian kubelikan barang-barang penting, termasuk sepatunya Yasna.”Manik mata Narsih membulat senang setelah mendengar itu.“Benarkah?” tanyanya, memastikan.Tanpa ragu Athalia langsung menganggukkan kepala. Lantas bibirnya mulai menceritakan apa saja yang terjadi hari ini, tentang Dirly, tentang Dean yang memanggilnya ke ruangan pribadinya di lantai tujuh, juga tentang bonus yang diberikan oleh lelaki itu.Tanpa ragu Athalia langsung menganggukkan kepala. Lantas bibirnya mulai menceritakan apa saja yang terjadi hari ini, tentang Dirly, tentang Dean yang memanggilnya ke ruangan pribadinya di lantai tuj
Kiran berseru riang, segera mengaitkan tangannya di lengan Mahesa, kemudian menarik lelaki itu menuju ke sebuah toko yang menyediakan banyak tas brended.“Sayang, menurutmu, aku lebih bagus pakai yang biru atau yang merah?” Kiran menunjukan dua tas dalam genggamannya di depan Mahesa. Lalu bergaya saat menenteng tas itu di lengannya.Ia sedang meminta pendapat dari Mahesa.“Terserah. Kau pilih saja yang kau suka,” balas Mahesa sekenanya.Perkataannya itu membuat Kiran merengutkan wajahnya. Merasa tak suka dengan sikap cuek lelaki itu.“Tapi aku sedang meminta pendapatmu. Jika kau menyukai yang biru, maka aku akan pilih yang biru. Tapi jika menurutmu aku lebih cocok menggunakan yang merah, maka aku akan pilih yang merah.”“Kalau begitu ambil yang merah saja.” tak ingin memperpanjang waktu, Mahesa segera menjawab asal, yang penting ia bisa segera balik ke kantor.Mahesa berdoa dal
Tak ingin membiarkan Athalia salah paham, Dean merasa ia berkewajiban untuk menjelaskan yang segamblang-gamblangnya pada Athalia.Dean tahu bahwa Athalia pasti bertanya-tanya dalam hatinya. Dean juga takut merasa Athalia tak nyaman ketika Dirly beberapa kali memanggilnya dengan sebutan mama.Tapi kali ini, tepat saat sinar matahari mulai meredup, angin sore membelai rambut Athalia yang tergerai, hingga bergerak pelan, Dean mengajak Athalia duduk dan bicara.Di taman yang cukup sepi, yang letaknya ada di belakang restoran itu.“Jadi, mendiang istri Anda sangat mirip denganku?” Athalia awalnya tidak percaya, bagaimana mungkin seseorang bisa sangat mirip dengannya.Tapi ketika Dean mengangguk dan menunjukkan sebuah foto pernikahan yang biasa ia simpan rapi di dalam dompet, seketika Athalia terhenyak membuka mulutnya.Ternyata apa yang dikatakan oleh Dean memang benar, wanita yang bernama Alma itu sangat mirip dengannya.“Dia sudah me
Namun, saat Mahesa memejamkan matanya, saat itu juga, tiba-tiba berkelebatan bayangan seorang gadis berambut terurai, dengan gaun malam, memadu kasih dengannya di atas ranjang.Namun Mahesa tak bisa melihat wajah gadis itu dengan jelas, hanya samar.Terkejut, seketika Mahesa pun membuka matanya kembali. Ia tersentak pada kesadarannya. Deru napasnya kini bergerak naik-turun dengan sedikit cepat.“Siapa gadis itu? Gadis itu sering muncul dalam ingatanku hampir setiap malam. Tapi aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Hanya satu hal yang bisa kupastikan, gadis itu bukan Kiran. Aku tahu itu, dia bukan Kiran. Tapi siapa?” gumam Mahesa, bertanya pada heningnya malam yang hanya bisa menjawabnya dengan kebisuan.Merasa keningnya berdenyut, Mahesa memegangi kepalanya yang saat ini sudah tidak lagi dibalut dengan perban.Sedikit tertatih, Mahesa mendudukan dirinya di atas kursi balkon, kemudian menarik napas pelan.Ia ke
"Apakah sampai detik ini kau masih belum ingat aku?" Athalia bertanya, entah pada siapa.Mungkin pada angin malam yang masuk melalui jendela kamarnya yang sengaja ia buka. Angin itu menelisik dan menggoyangkan sedikit rambutnya.Mungkin juga pertanyaan itu ia tujukan pada sebuah kalung berlian berbandul biru di tangannya.Kalung itu, kalung yang dulu pernah diberikan oleh Mahesa padanya, tepat ketika acara ulang tahun perusahaan.Si pemberi kalung itu memberikan banyak kenangan pahit dan manis dalam hidup Athalia.Dan sialnya, malam ini Athalia merasa rindu."Sebenarnya aku bisa saja menjual kalung ini saat sedang mengalami kesulitan ekonomi setelah kami diusir. Apalagi kalung ini harganya sangat mahal. Tapi aku tidak melakukannya. Karena kalung ini sangat berharga bagiku. Dan aku berjanji, akan selalu menyimpannya dengan baik. Kalung ini pernah menjadi simbol ketulusanmu, saat kata cinta terucap untuk yang pertama ka
Pertanyaan itu langsung terjawab ketika tak berselang lama, Athalia kembali masuk ke dalam mobil."Sudah selesai, Nona?""Sudah, Pak. Ayo jalan lagi!"Dirly kembali menunduk dan mengalihkan pandangannya dari Athalia. Tapi, meski begitu, tadi ia sempat melihat benda apa yang Athalia bawa masuk ke dalam mobil."Ice cream?" Athalia membeli dua cup ice cream dan sekarang ia sedang menyodorkan salah satunya pada Dirly.Dirly menoleh, sejenak menatap pada ice cream di tangan Athalia.Tapi kemudian matanya terangkat hingga bertemu dengan kedua bola mata Athalia yang cokelat muda."Ambil saja, aku tahu kalah kau sangat suka dengan ice cream." Athalia sedikit menggoyangkan cup ice cream yang ia sodorkan pada Dirly.Dirly mengangguk, lalu meraih ice cream itu dari tangan Athalia."Terima kasih, Tante." sekarang sudah tak terdengar lagi sebutan mama untuk Athalia.Membuat Athalia menar
Tawa Mahesa yang berderai itu, seakan menular pada Dean.Dean terkekeh seraya menggeleng-gelengkan kepalanya."Dia pasti sangat menggemaskan," ucap Mahesa mengenai Dirly.Dean mengangguk setuju."Ya, begitulah. Kata orang, buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya." Dean berseloroh.Mahesa kembali tertawa, kali ini sambil memijiti keningnya.Dean meraih air minum di samping piringnya, kemudian meneguknya."Oh ya, bagaimana kabar istrimu? Aku belum pernah bertemu dengannya karena waktu itu tidak bisa hadir di pernikahan kalian."Pertanyaan Mahesa berhasil membuat gerakan meneguk Dean terhenti.Dean menjauhkan gelas dari bibir, matanya menatap nyalang, lalu senyum tipis penuh kekecewaan tersungging di bibirnya."Alma ... Dia sudah meninggal setelah melahirkan Dirly," jawab Dean.Terlihat raut terkejut di wajah Mahesa."Maaf, aku tidak tahu kalau-""Bu
Marah? Untuk apa Papa marah?" Dean menaikan sebelah alisnya.Ucapannya membuat Dirly berani mengangkat kepalanya dan menatap bola mata Dean.Sebenarnya, Dean sudah tahu dari Athalia apa alasan Dirly memukuli teman sekelasnya.Dean menganggap bahwa Dirly tak bersalah. Jadi ia tak akan mungkin memarahi orang yang tak melakukan kesalahan."Aku sudah membuat dua temanku masuk klinik. Papa tidak akan menghukumku?" tanya Dirly.Dean tersenyum kecil, memegangi kedua pundak Dirly sembari menatapnya lekat."Tante Athalia sudah memberitahu Papa semuanya. Dan Papa putuskan untuk tidak akan menghukummu, karena kau tidak salah. Tapi sikap kedua temanmu itu sangat tidak baik, mengatai dan membully orang lain yang tidak memiliki ibu. Itu adalah hal yang tidak dibenarkan. Jadi sekarang kau bebas dari hukuman maupun kemarahan Papa."Mendengar ucapan Dean, mata Dirly langsung berbinar."Sebenarnya, Papa memiliki a
Mahesa menatap pada dokter dengan sorot penuh harap. Dan dokter itu menarik napas sebelum akhirnya berkata.“Keadaan Nyonya Athalia tetap sama. Tapi kita masih bersyukur operasi ini tak memperparah kondisinya. Setelah pulih dari melahirkan, Nyonya Athalia sudah bisa melakukan terapi kankernya di Indonesia. Dia wanita yang kuat, tak banyak yang berhasil bertahan sampai di titik ini,” ungkap dokter itu yang akhirnya membuat Mahesa mendesah lega.Mahesa sangat kagum pada Athalia. Kini ia menatap wajah bayi mungilnya yang tampak memerah. Bayi itu menangis, lalu perawat mengambil alihnya dari tangan Mahesa.“Maaf, Tuan. Kami harus segera memindahkan bayi perempuan Anda ke ruang inkubator.”Mahesa mengangguk mendengar ucapan perawat itu. “Boleh aku ikut mengantar bayiku?” tanya Mahesa, seakan tak rela jika harus berpisah barang hanya sejenak dengan malaikat kecilnya.Perawat dan dokter itu saling pandang,
Meski usia kandungan Athalia baru menginjak delapan bulan, namun dokter menyarankan agar bayi Athalia segera dikeluarkan dari kandungannya. Karena akan makin membahayakan kondisi Athalia.Awalnya Athalia sempat menolak dan berdebat kecil dengan Mahesa. Athalia takut terjadi hal buruk pada bayi mungilnya andai dilahirkan premature. Namun Mahesa bersikukuh meyakinkan bahwa dokter tahu yang terbaik. Mahesa juga takut terjadi hal buruk pada bayinya. Tapi ia lebih takut kehilangan Athalia.Akhirnya Athalia luluh setelah Mahesa meyakinkannya bahwa semua akan baik-baik saja.Dean dan Narsih sudah ada di rumah sakit. Mereka berdua datang ke Jerman. Sedangkan Yasna, Dirly dan keluarga Dean masih di Indonesia. Sengaja sekali Dean tak mau memberitahukan kabar Athalia yang akan dioperasi ini pada mereka agar tak merasa khawatir.“Mahesa, jangan pergi!” Athalia menggenggam erat tangan Mahesa saat perawat mendorong ranjangnya menuju ke ruang operasi.
“Dia baik-baik saja.” dokter berkata pada suster setelah ia memeriksa keadaan Athalia.“Tapi dia mengigau terus, dok.”“Tidak apa. Selama kondisinya stabil. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” pungkas dokter yang menangani Athalia. Dokter itu bernama Dokter Greg.Suster itu mengangguk. “Baik, dokter. “ sebenarnya suster itu khawatir terjadi apa-apa pada Athalia, juga karena ia dibayar oleh Dean untuk terus memantau kondisi Athalia dan menginformasikan setiap perkembangannya.Tepat di saat dokter baru saja akan berbalik keluar dari ruangan itu, tiba-tiba mereka mengerutkan kening saat melihat sosok lelaki yang tak dikenal, melangkah memasuki ruang ICU dan menghampiri ranjang Athalia.“Siapa dia?” dokter berbisik pada suster.“Saya tidak tahu, dok,” balas suster itu menggelengkan kepala.Lelaki asing itu adalah Mahesa. Yang ketika melihat pintu ruang ICU tak di
Tak ingin membuang waktu, Mahesa langsung mengurus keberangkatannya ke Jerman. Dan sebagai seorang ayah yang telah mendukung Mahesa, Leuwis turut membantu segala persiapan putranya.Kini mereka pun telah tiba di bandara. Sebelum masuk ke gate penerbangan, Leuwis menggenggam tangan kanan Mahesa dengan erat.“Apa kau yakin Papa tidak perlu menyusulmu ke sana?” tanya Leuwis, yang sebenarnya ingin ikut.“Tidak perlu, Pa. Papa tunggu saja di sini dan berikan doa yang terbaik untukku.” “Itu pasti. Kau tak perlu memintanya. Papa akan selalu mendoakanmu.”Mahesa tersenyum, sesaat memeluk ayahnya, sebelum kemudian mengurai pelukan dan pamit untuk pergi.Leuwis menghela napas pelan sambil melambaikan tangan, melepaskan kepergian Mahesa yang kini telah menghilang dari pandangan mata.“Semoga keberuntungan dan kebahagiaan selalu menyertaimu, Mahesa,” gumam Leuwis.***Tiba
Meski sudah larut malam, Dean tak bisa tidur. Ia masih duduk di ruang tengah sambil menonton TV.Namun, tiba-tiba terdengar suara bell rumahnya yang berdenting.“Ck! Siapa yang bertamu di malam-malam buta begini.” Dean bergumam lalu bangkit berdiri dan berjalan menuju ke pintu utama.Saat pintu itu dibuka, Dean langsung menghembuskan npaas kasar ketika melihat sosok Mahesa yang berdiri di hadapannya dengan penampilan yang cukup berantakan.Sepertinya Mahesa habis berkelahi. Terlihat dari rahang dan sudut bibirnya yang lebam dan berdarah.“Apa kau sudah gila? Bisakah kau bertamu di waktu yang tepat?” Dean menyindir, baru saja ia akan kembali menutup pintu rumahnya namun tangan Mahesa lebih dulu menahannya dengan kuat, hingga Dean menyerah dan pintu itu pun kembali terbuka lebar.“Sebenarnya apa maumu?” sentak Dean, kesal.“Aku mau kau beritahu aku di mana Athalia berada?” tegas
Leuwis tak sanggup saat melihat Mahesa yang sedang kacau seperti ini.“Mahesa,” desah Leuwis bersimpuh duduk di samping Mahesa dan membuat Mahesa membuka kedua matanya hingga bertemu pandang dengan bola mata ayahnya.“Pa … “ Mahesa berbisik pelan. Namun kedua matanya menyiratkan kesedihan. Terihat dari matanya yang memerah dan berkaca-kaca.“Kemarilah, Nak! Kemarilah!” Leuwis membuka tangannya lebar-lebar.Mahesa tahu isyarat itu. Ia pun beringsut duduk dan segera masuk ke dalam pelukan Leuwis. Menghambur memeluk tubuh Leuwis dan menumpahkan tangisnya di dada ayahnya.Mahesa menangis tanpa suara. Hanya saja Leuwis merasa bagian depan bajunya yang basah.“Pa, aku telah kehilangan dia! Aku telah kehilangan Athalia dan anakku! Athalia sedang hamil, Pa. Dia hamil darah dagingku. Berkali-kali aku membujuknya tapi dia tak mau kembali. Aku terlalu banyak menyakitinya. Aku ini lelaki bejat yang sangat menji
Hanya sebentar Leuwis dirawat di rumah sakit. Ia pun sudah boleh pulang ke rumahnya.Selama ada di rumah sakit, tak ada satu pun anggota keluarganya yang menjenguknya selain Mahesa.Entah karena memang mereka tidak tahu Leuwis dirawat, atau mungkin karena mereka tidak peduli sama sekali terhadapnya.Yang jelas, Leuwis merasa kecewa. Ayaz melihat dirinya yang hampir mati, namun sama sekali tak berniat menolongnya.Justru Mahesa lah yang melarikannya ke rumah sakit dan menemaninya meski mereka hanya saling diam dan tak ada satu pun yang berani bicara.“Kau gila, Ayaz! Kau berani melakukan itu pada Papamu? Bagaimana kalau dia masih hidup lalu mengusir kita semua dari rumah ini?”Baru saja Leuwis akan membuka pintu kamar Ayaz untuk menegur anak tirinya itu, namun gerakan Leuwis terhenti saat ia mendengar suara Jessica yang sepertinya sedang berbicara dengan Ayaz.“Masa bodo tentang Leuwis. Dia bukan Papaku. Aku bosan hidup di ba
“Selama ini aku bekerja untuk memenuhi hidupmu dan keluarga kita. Tapi mengapa kau tak menghargaiku? Setidaknya bantu aku untuk mencari jalan keluar dari permasalahan ini. Bukannya malah menambah masalah di kepalaku!” sentak Leuwis dengan keras.Leuwis marah, tentu saja.Bisa dibilang, Ayaz adalah anak tertua setelah Mahesa. Meskipun Ayaz hanya anak tirinya. Namun Leuwis pikir, sudah sepantasnya Ayaz ikut mengemban tanggung jawab untuk mengurus perusahaan dan membantunya.Bukannya malah hanya berfoya-foya.“Apa masalahnya, Pa? Aku memanggil dua wanita penghibur itu untuk sedikit menyenangkanku. Bagaimana aku bisa bekerja jika hatiku tidak senang?” Ayaz berkata dengan wajah santainya.Membuat bola mata Leuwis melebar.“Tapi kau bisa bersenang-senang di waktu dan tempat yang tepat! Tidak dalam situasi seperti ini!” Leuwis masih tak habis pikir. Ayaz sempat memikirkan kesenangannya di saat mereka terancam hid
Langit terlihat begitu mendung. Tak secerah tadi pagi, dimana saat mereka asyik bermain sepak bola di halaman belakang rumah Dean.Kini Dean melamun, menatap nanar pada wajah Athalia yang terbaring di atas ranjang rumah sakit. Dean menungguinya. Ia mengusir halus semua orang yang hendak ikut menemani Athalia di rumah sakit, termasuk Narsih dan Yasna.“Athalia, kau harus berjanji padaku! Kau akan tetap hidup sampai nanti, sampai Dirly dan anakmu dewasa. Sampai kau berhasil mendapatkan kebahagiaan sesungguhnya. Jangan pernah pergi sebelum semua itu terjadi. Berjanjilah padaku, Athalia!” Dean meraih tangan kanan Athalia, lalu menciumi jemarinya.Lelaki bertubuh kekar itu tak bisa menahan saat air mata meluruh jatuh melewati pipinya.Hari ini, saat Athalia dibawa ke rumah sakit, dokter memberitahu sebuah kabar yang membuat semua orang terkejut. Tak menyangka. Bahkan terluka.Bagaimana tidak, dokter mengatakan Athalia menderita kanker darah. Dan tak s