Marah? Untuk apa Papa marah?" Dean menaikan sebelah alisnya.
Ucapannya membuat Dirly berani mengangkat kepalanya dan menatap bola mata Dean. Sebenarnya, Dean sudah tahu dari Athalia apa alasan Dirly memukuli teman sekelasnya. Dean menganggap bahwa Dirly tak bersalah. Jadi ia tak akan mungkin memarahi orang yang tak melakukan kesalahan. "Aku sudah membuat dua temanku masuk klinik. Papa tidak akan menghukumku?" tanya Dirly. Dean tersenyum kecil, memegangi kedua pundak Dirly sembari menatapnya lekat. "Tante Athalia sudah memberitahu Papa semuanya. Dan Papa putuskan untuk tidak akan menghukummu, karena kau tidak salah. Tapi sikap kedua temanmu itu sangat tidak baik, mengatai dan membully orang lain yang tidak memiliki ibu. Itu adalah hal yang tidak dibenarkan. Jadi sekarang kau bebas dari hukuman maupun kemarahan Papa."Mendengar ucapan Dean, mata Dirly langsung berbinar. "Sebenarnya, Papa memiliki a"Tapi aku sangat membutuhkan pekerjaan ini, Pa. Jika aku dipecat, aku tidak tahu harus ke mana lagi mencari kerja. Sementara mereka pasti tidak ada yang akan mau menerima pekerja yang sedang hamil sepertiku." Athalia terisak pelan, berbicara pada Dean sambil mengusap sudut matanya yang berair.Athalia menunduk, menyembunyikan tangisnya yang makin berderai.Akan tetapi, suara Dean membuatnya kembali mengangkat kepala."Aku memang akan memecatmu dari restoran ini. Tapi bukan berarti aku akan melepaskanmu begitu saja. Kau akan tetap bekerja denganku, Athalia. Tapi bedanya, kali ini kau bukan bekerja sebagai pelayan di restoranku," kata Dean.Athalia menautkan kedua alisnya hingga bertemu, matanya mengerjap menatap Dean dengan penuh penasaran."Lalu, aku akan bekerja sebagai apa?""Baby sitternya Dirly," jawab Dean.Mendengar itu, Athalia kembali terkejut.Menjadi baby sitter? Untuk seorang anak berusia enam tah
Tak sedikit pun Mahesa menghiraukan panggilan dari wanita itu. Ia tetap melangkah tegas menapaki anak tangga. Membuat Bianca meremas tangannya kuat, ia sangat kesal dan marah.Mengapa sulit untuk membuat Mahesa tergoda padanya? Apakah ia kurang seksi?"Andai bukan karena Papa memperingatiku, pasti aku sudah memberitahu Mahesa soal rencana pernikahannya dengan Athalia. Juga soal Kiran yang bukan siapa-siapa." Bianca berdecak kesal, mengentakkan sebelah kakinya ke lantai.Bianca ingin sekali memberitahu Mahesa soal Athalia. Bukan karena Bianca peduli pada Athalia, tetapi Karena ia ingin agar Mahesa berjauhan dengan Kiran.Sedangkan Athalia, Bianca tahu Athalia takkan kembali. Jadi ia tak merasa Athalia mengancam posisinya untuk mendapatkan Mahesa.Tapi sialnya, selain tak memiliki keberanian karena takut pada Leuwis, Bianca pun tak memiliki bukti yang bisa ia berikan pada Mahesa.Sebab, saat Mahesa masih men
"Kau benar, memang ada hal penting yang ingin kuberitahukan padamu. Karena kau tidak akan mungkin datang ke sini, jadi kubicarakan lewat telpon saja."Pintu lift terbuka, Dean mengayunkan kakinya keluar dan melangkah menuju sebuah ruangan yang selama ini menjadi ruangan pribadinya.Sebenarnya, sejak beberapa bulan lalu, Dean tak pernah datang ke restorannya sebab ia ada urusan di luar negeri.Itulah mengapa Athalia tak pernah bertemu dengan Dean sekali pun."Seberapa pentingkah sampai suaramu seserius itu?" Mahesa bertanya di ujung sana, ketika Dean baru saja mendudukan dirinya di atas kursi kerjanya.Dean menepikan punggung pada sandaran kursi, lalu menaikan kaki kanannya ke atas kaki kiri."Dua hari lagi, Dirly akan berulang tahun. Aku berniat mengadakan acara yang meriah untuk menyambut hari kelahirannya. Dan aku ingin kau datang. Meskipun belum pernah melihatmu, tapi aku yakin Dirly pasti akan senang bertemu denganmu," jelas Dean."Hari ulang t
Mungkin dalam hatinya, Dirly masih kecewa karena Athalia takkan menginap. Padahal Dirly ingin sekali bisa tidur dengan Athalia di sampingnya, mengusap kepalanya, memeluknya. Sama seperti hayalan-hayalan yang selalu ingin ia wujudkan selama ini.“Benar, Dirly. Aku pasti akan datang lagi besok.” Athalia ikut bicara. Ada rasa bersalah yang menyeruak dalam hati.Saat Dirly masih bergeming dan menatap selimutnya, Dean bertanya. “Dirly, are you okay?”Dirly mengangkat kepalanya, menatap Dean, lalu mengangguk kecil.“Yes, I’m okay.”Dean tersenyum tipis. “Bagus. Kalau begitu tidurlah sekarang. Jangan sampai terlalu larut, atau besok matamu akan berubah seperti mata panda.”Dean menepuk bantal, lalu membiarkan Dirly menjatuhkan kepalanya di sana. Setelahnya, Dean membenarkan letak selimut Dirly dan mengecup sebentar keningnya.Athalia tersenyum mengamati itu. Namun
Perlahan Mahesa melepaskan pegangan tangan Kiran di lengannya, lalu mendelik pada wanita itu.“Jika kau hanya ingin minum wine, kau tinggal saja sendiri. Aku memiliki tanggung jawab dalam perusahaan ini. Dan semua pekerjaan ini adalah tanggung jawabku, kau mengerti?”Mendengar suara Mahesa yang dingin, Kiran mengerucutkan bibir dan mau tak mau duduk di sofa sendirian.Kiran menuangkan winenya ke dalam gelas, bahkan Mahesa tak melirik ke arahnya sama sekali. Lelaki itu terus saja menatap mesra pada layar laptop di hadapannya.Dan itu membuat Kiran merasa jengah karena diabaikan.“Apakah dia tidak bisa sekali saja pergi denganku tanpa memikirkan soal pekerjaan? Sekarang aku berada di hadapannya, tapi dia malah mengabaikanku,” ucap Kiran dalam hati.Kiran kembali meneguk wine itu dalam satu kali tegukan. Kemudian, sebuah ide muncul dalam benaknya. Membuat bibirnya mengulas selarik senyum.“Kenapa aku tidak m
Kiran mengentakkan sebelah kakinya, kesal.“Nanti jika Mahesa sudah kembali, katakan padanya untuk segera aktifkan ponsel. Beritahu dia juga kalau aku baru saja datang ke sini,” suruh Kiran pada Ambar.“Baik, Nona Kiran.” Ambar mengangguk.Sambil cemberut, Kiran pun membalikan badan dan masuk ke dalam lift.Saat itulah Mahesa langsung menarik napas lega seraya mengusap dadanya. Ia tersenyum.“Akhirnya dia pulang juga. Jadi aku bisa bekerja dengan tenang hari ini,” gumam Mahesa menegakan tubuhnya, dan melangkah menuju ruang CEO.Saat melewati meja sekretaris, Mahesa berhenti sejenak. Menatap Ambar yang berdiri memberi hormat padanya.“Terima kasih, Ambar. Kau sangat membantuku,” ucap Mahesa.Ambar tersenyum. “Sama-sama, Tuan. Tapi sepertinya setelah ini, Nona Kiran pasti akan mengomel.”Mahesa mendengkus. “Nah, itu dia. Aku tidak tahu, kenapa dulu bis
“No! Tante Athalia, aku sudah bilang, jangan acak-acak rambutku! You know? Don’t touch my hair!” Dirly mendelik kesal.Namun raut kesal itu malah membuat Athalia terkekeh.Lihatlah, betapa menggemaskannya dia.Saat langkah mereka kembali berayun sambil menyusuri rak, tiba-tiba saja pandangan Athalia tertuju pada salah satu buku yang menarik perhatiannya.Seketika Athalia menghentikan langkah, mulutnya terperangah sambil menatap buku itu dengan sorot terluka.Dirly yang berdiri di belakang tubuh Athalia, mengerutkan kening, ia tidak tahu seperti apa ekspresi orang dewasa saat sedang patah hati.Athalia merapatkan bibir, menahan getaran di sana karena sebentar lagi isakan akan lolos dari bibirnya.Tapi Athalia mencoba menahan segala sesak yang menggunung di dalam dada.Tidak! Ia tidak boleh menangis.“Tante Athalia?” Dirly mulai memanggil.Namun Athalia seolah tak mendengar. Ia meraih buku itu
Terlihat kening Leuwis yang berkerut setelah mendengar ucapan Mahesa. Entah mengapa, Mahesa melihat ada raut terkejut di sana.“Kau masih ingat dengan temanmu?” tanya Leuwis, seperti ingin memastikan sesuatu.Tanpa ragu Mahesa menganggukan kepala. “Tentu saja. Dean itu temanku sejak dulu,” jawab Mahesa lagi.“Sudahlah, aku harus berangkat sekarang, Pa. Aku tidak mau terlambat sampai di sana.”Mahesa menarik diri dari hadapan Leuwis, ia melangkah melewati Leuwis. Namun, langkah itu terhenti seketika saat Leuwis berseru memanggilnya.“Mahesa!”Mahesa membuang napas kasar. Benaknya sudah bisa menebak apa yang akan Leuwis katakan setelah ini.“Kenapa kau tidak mengajak Kiran bersamamu?” Ya, tebakan Mahesa sangat tepat. Leuwis pasti akan menanyakan soal Kiran.Lagi dan lagi, tak ada hari dimana Leuwis membiarkannya bebas tanpa diusik oleh sosok Kiran yang sel