Kiran mengentakkan sebelah kakinya, kesal.
“Nanti jika Mahesa sudah kembali, katakan padanya untuk segera aktifkan ponsel. Beritahu dia juga kalau aku baru saja datang ke sini,” suruh Kiran pada Ambar.
“Baik, Nona Kiran.” Ambar mengangguk.
Sambil cemberut, Kiran pun membalikan badan dan masuk ke dalam lift.
Saat itulah Mahesa langsung menarik napas lega seraya mengusap dadanya. Ia tersenyum.
“Akhirnya dia pulang juga. Jadi aku bisa bekerja dengan tenang hari ini,” gumam Mahesa menegakan tubuhnya, dan melangkah menuju ruang CEO.
Saat melewati meja sekretaris, Mahesa berhenti sejenak. Menatap Ambar yang berdiri memberi hormat padanya.
“Terima kasih, Ambar. Kau sangat membantuku,” ucap Mahesa.
Ambar tersenyum. “Sama-sama, Tuan. Tapi sepertinya setelah ini, Nona Kiran pasti akan mengomel.”
Mahesa mendengkus. “Nah, itu dia. Aku tidak tahu, kenapa dulu bis
“No! Tante Athalia, aku sudah bilang, jangan acak-acak rambutku! You know? Don’t touch my hair!” Dirly mendelik kesal.Namun raut kesal itu malah membuat Athalia terkekeh.Lihatlah, betapa menggemaskannya dia.Saat langkah mereka kembali berayun sambil menyusuri rak, tiba-tiba saja pandangan Athalia tertuju pada salah satu buku yang menarik perhatiannya.Seketika Athalia menghentikan langkah, mulutnya terperangah sambil menatap buku itu dengan sorot terluka.Dirly yang berdiri di belakang tubuh Athalia, mengerutkan kening, ia tidak tahu seperti apa ekspresi orang dewasa saat sedang patah hati.Athalia merapatkan bibir, menahan getaran di sana karena sebentar lagi isakan akan lolos dari bibirnya.Tapi Athalia mencoba menahan segala sesak yang menggunung di dalam dada.Tidak! Ia tidak boleh menangis.“Tante Athalia?” Dirly mulai memanggil.Namun Athalia seolah tak mendengar. Ia meraih buku itu
Terlihat kening Leuwis yang berkerut setelah mendengar ucapan Mahesa. Entah mengapa, Mahesa melihat ada raut terkejut di sana.“Kau masih ingat dengan temanmu?” tanya Leuwis, seperti ingin memastikan sesuatu.Tanpa ragu Mahesa menganggukan kepala. “Tentu saja. Dean itu temanku sejak dulu,” jawab Mahesa lagi.“Sudahlah, aku harus berangkat sekarang, Pa. Aku tidak mau terlambat sampai di sana.”Mahesa menarik diri dari hadapan Leuwis, ia melangkah melewati Leuwis. Namun, langkah itu terhenti seketika saat Leuwis berseru memanggilnya.“Mahesa!”Mahesa membuang napas kasar. Benaknya sudah bisa menebak apa yang akan Leuwis katakan setelah ini.“Kenapa kau tidak mengajak Kiran bersamamu?” Ya, tebakan Mahesa sangat tepat. Leuwis pasti akan menanyakan soal Kiran.Lagi dan lagi, tak ada hari dimana Leuwis membiarkannya bebas tanpa diusik oleh sosok Kiran yang sel
Kiran memanyunkan bibir. Mahesa tahu apa artinya itu.“Saat menjemputmu tadi, aku sudah mengatakan padamu kalau aku tidak akan memaksamu untuk menemaniku ke pesta ini. Jika kau tidak suka, kau bisa pulang sendiri,” ucap Mahesa lalu melangkah hendak melewati Kiran.“Mahesa!” namun tangan ramping Kiran lebih dulu menahannya. Mahesa menghentikan langkah dan menghembuskan napas kasar saat jemari lentik wanita itu membelai punggungnya.“Sebenarnya … aku memang tidak suka dengan acara yang ramai dengan anak kecil. Mereka selalu berisik. Tapi aku akan menahannya demi dirimu,” kata Kiran yang tak membuat Mahesa merasa terlena sedikit pun.Mahesa tak menggubris ucapan itu. Ia kembali melanjutkan langkah dan membiarkan Kiran mengapit lengannya dengan mesra.***Begitu masuk melewati pintu utama, Mahesa langsung bisa melihat bagaimana meriahnya pesta ulang tahun itu.Semua anak ke
Selanjutnya, ruangan yang cukup luas itu pun mulai ramai oleh riuh tawa anak-anak dan suara musik yang sesekali terdengar nyaring di telinga.Saat badut mulai atraksi, semuanya tertawa dan tersenyum lebar. Hanya Kiran saja yang tetap betah dengan wajah kecutnya.“Ck! Sampai kapan acara sialaan ini akan berlangsung? Aku bisa mati kebosanan di sini! Oh, Tuhan, mengapa Mahesa harus mau datang ke acara pesta ulang tahun bocah?” rutuk Kiran dalam hati.Mahesa menghentikan senyumnya ketika ia merasakan sesuatu. Ia menoleh ke arah Dean yang sedang terkekeh melihat tingkah konyol badut yang sedang beratraksi di depan sana.“Dean!” Dean mengerjap dan menoleh saat merasakan tepukan di pundaknya. “Ya, ada apa?”“Boleh aku menumpang ke toilet?”“Tentu saja. Kau masuk saja ke pintu itu, kemudian jalan lurus ke arah tangga. Toiletnya ada di dekat dapur,” kata Dean memberitahu.
Tadi saat Mahesa akan ke dapur, Athalia telah pergi lebih dulu karena Bik Inah telah selesai melakukan video call dengan anaknya.Hanya sebentar saja, sebab Bik Inah tahu kalau saat bekerja, ia tak bisa terus memegang ponsel. Ada tanggung jawab yang harus dipenuhinya.Setelahnya Athalia pergi, Bik Inah kembali mengambil alih supnya dan malah bersenandung karena meniru Athalia.“Ck! Acara ini membosankan sekali. Mahesa juga belum kembali dari toilet. Hhh … kalau bukan karena cinta. Mana sudi aku datang ke acara tidak penting seperti ini. Apalagi suara anak-anak itu membuat telingaku pengang,” gerutu Kiran di dalam hati.Kiran berdecak dan memutar bola matanya malas saat melihat anak-anak SD kelas satu itu saling bercanda dan tertawa. Ada beberapa dari mereka yang berteriak-teriak tidak jelas sambil bercanda dengan para badut. Membuat Kiran mengusap lengannya bosan.Dean yang sedang membenarkan letak dasi di kerah kemeja Dirly &n
“Teman Anda?” Athalia mengerutkan kening. Ia memang tidak tahu jika Dean mengundang temannya ke pesta ini. Yang tentu saja maksud Dean adalah Kiran dan Mahesa.Dean mengangguk. “Ya, tadi mereka datang. Tapi setelah kekacauan ini, aku tidak melihat mereka lagi.”“Oh, mungkin mereka sudah pulang, Pak,” ucap Athalia.Dean berpikir sejenak, merasa bahwa ada yang janggal dari kekacauan yang terjadi serta perginya Mahesa dan Kiran. Tapi karena tidak ingin membuat Dirly sedih, Dean pun mengangguk sambil menyunggingkan selarik senyum.Lantas Dean menoleh pada semua anak-anak dan berkata. “Sudah, karena kecoanya tidak ada, jadi sekarang kita lanjutkan lagi pestanya.”“Yeay!”Ucapan Dean langsung disambut dengan sorak sorai anak-anak itu. Para badut pun bersiap untuk menghibur kembali. Membuat senyum merekah kembali terukir di wajah Dirly.***“Kiran? Apa aku perlu menga
Sebagai seorang lelaki, Dean tidak tega membiarkan Athalia berjuang membiayai pendidikan adiknya sendirian dan menjadi tulang punggung keluarga.Tapi sebagai seorang baby sitter, Athalia tak akan terlalu merasa lelah seperti saat dia masih bekerja sebagai pelayan di restorannya dulu.Dean kembali memendarkan netranya, berkeliling mencari sesosok orang yang seharusnya ada di dalam kontrakan itu dan bergabung dengan mereka.Tapi sejak tadi Dean tak menemukannya.“Tadi Bu Narsih bilang, kalian tinggal bertiga di sini, lalu … di mana suaminya Athalia?”Meremas tangan, hanya itu yang bisa Athalia lakukan. Sedikit banyak, pertanyaan itu telah berhasil membuat ulu hatinya terluka.Sementara Yasna langsung membisu, mengatupkan mulut serapat mungkin. Tak berani menatap Athalia karena tahu sorot mata kakaknya itu akan dipenuhi pancaran kesedihan.Narsih tergugu mendengar pertanyaan yang tak pernah ia sangka akan keluar dari mul
Seketika Dean kembali teringat dengan pertanyaan yang dulu pernah Dirly tanyakan padanya.“Pa, apakah menjadi pengusaha seperti Papa itu menyenangkan?” tanya Dirly kala itu, ketika bocah itu baru saja akan masuk sekolah dasar.Dirly selalu bertanya dengan pertanyaan kritisnya.Dean mengangguk, memangku Dirly di atas pahanya. “Tentu saja. Karena menjadi seorang pengusaha, Papa bisa menggaji orang lain, membuka lowongan pekerjaan, dan mendapat uang. Memangnya kenapa tiba-tiba bertanya soal itu?”Dirly diam sejenak, tampak berpikir. Mengamati wajah Dean, lalu kembali berkata. “Jika suatu saat nanti aku dewasa, dan tidak menjadi pengusaha seperti Papa, apakah Papa akan marah?” tanya Dirly, yang berhasil membuat kening Dean berkerut mendengarnya.Namun saat itu, pertanyaan Dirly tak sempat Dean jawab karena tiba-tiba saja managernya menelpon dan membuat Dean meninggalkan Dirly untuk pergi ke restoran.Kini Dean