“Teman Anda?” Athalia mengerutkan kening. Ia memang tidak tahu jika Dean mengundang temannya ke pesta ini. Yang tentu saja maksud Dean adalah Kiran dan Mahesa.
Dean mengangguk. “Ya, tadi mereka datang. Tapi setelah kekacauan ini, aku tidak melihat mereka lagi.”“Oh, mungkin mereka sudah pulang, Pak,” ucap Athalia.Dean berpikir sejenak, merasa bahwa ada yang janggal dari kekacauan yang terjadi serta perginya Mahesa dan Kiran. Tapi karena tidak ingin membuat Dirly sedih, Dean pun mengangguk sambil menyunggingkan selarik senyum.Lantas Dean menoleh pada semua anak-anak dan berkata. “Sudah, karena kecoanya tidak ada, jadi sekarang kita lanjutkan lagi pestanya.”“Yeay!” Ucapan Dean langsung disambut dengan sorak sorai anak-anak itu. Para badut pun bersiap untuk menghibur kembali. Membuat senyum merekah kembali terukir di wajah Dirly.*** “Kiran? Apa aku perlu mengaSebagai seorang lelaki, Dean tidak tega membiarkan Athalia berjuang membiayai pendidikan adiknya sendirian dan menjadi tulang punggung keluarga.Tapi sebagai seorang baby sitter, Athalia tak akan terlalu merasa lelah seperti saat dia masih bekerja sebagai pelayan di restorannya dulu.Dean kembali memendarkan netranya, berkeliling mencari sesosok orang yang seharusnya ada di dalam kontrakan itu dan bergabung dengan mereka.Tapi sejak tadi Dean tak menemukannya.“Tadi Bu Narsih bilang, kalian tinggal bertiga di sini, lalu … di mana suaminya Athalia?”Meremas tangan, hanya itu yang bisa Athalia lakukan. Sedikit banyak, pertanyaan itu telah berhasil membuat ulu hatinya terluka.Sementara Yasna langsung membisu, mengatupkan mulut serapat mungkin. Tak berani menatap Athalia karena tahu sorot mata kakaknya itu akan dipenuhi pancaran kesedihan.Narsih tergugu mendengar pertanyaan yang tak pernah ia sangka akan keluar dari mul
Seketika Dean kembali teringat dengan pertanyaan yang dulu pernah Dirly tanyakan padanya.“Pa, apakah menjadi pengusaha seperti Papa itu menyenangkan?” tanya Dirly kala itu, ketika bocah itu baru saja akan masuk sekolah dasar.Dirly selalu bertanya dengan pertanyaan kritisnya.Dean mengangguk, memangku Dirly di atas pahanya. “Tentu saja. Karena menjadi seorang pengusaha, Papa bisa menggaji orang lain, membuka lowongan pekerjaan, dan mendapat uang. Memangnya kenapa tiba-tiba bertanya soal itu?”Dirly diam sejenak, tampak berpikir. Mengamati wajah Dean, lalu kembali berkata. “Jika suatu saat nanti aku dewasa, dan tidak menjadi pengusaha seperti Papa, apakah Papa akan marah?” tanya Dirly, yang berhasil membuat kening Dean berkerut mendengarnya.Namun saat itu, pertanyaan Dirly tak sempat Dean jawab karena tiba-tiba saja managernya menelpon dan membuat Dean meninggalkan Dirly untuk pergi ke restoran.Kini Dean
“Hei! Hati-hati, jangan berlarian seperti itu, nanti kau bisa jatuh.” Athalia memegangi pundak Dirly, menasihati bocah itu.Namun Dirly malah balas dengan cengiran lebar.“Aku tidak sabar ingin memberitahumu sesuatu,” ucap Dirly.Athalia merunduk, menatap Dirly dengan kening yang berkerut penasaran.“Apa?” tanyanya.Tidak langsung menjawab, Dirly melepaskan tas punggungnya untuk mengeluarkan sesuatu dari sana, lantas menunjukkannya di depan Athalia dengan wajah bangga.“Lihat! Lomba menggambar hari ini, aku mendapat nilai seratus!” serunya memamerkan buku gambar yang ada nilai seratus di sana.Senyum lebar terkembang di bibir Athalia, juga di wajah Pak Sardi yang berdecak kagum menatap Dirly.“Bagus, Dirly. Ini adalah penghargaan untukmu yang rajin dan tekun. Aku bangga padamu.” Athalia menegakan tubuh, lalu mengacak pelan rambut Dirly.M
“Terima kasih, Tante Athalia.”“Sama-sama.”Sejenak, Dean mengangkat pandangan, melirik Dirly dengan ujung matanya. Bocah itu tampak lahap memakan roti.Selarik senyum tipis tersungging di bibir Dean, tampaknya Dirly sangat menyukai roti panggang dengan selai cokelat.Sadar sedang diperhatikan, Dirly segera mendelik dan mengalihkan pandangannya ke arah piring, mengabaikan Dean yang tersenyum menatapnya.“Tante Athalia, maaf, aku mau churros,” tunjuk Dirly ke arah piring yang letaknya sangat dekat dengan Dean. Tapi jauh dari jangkauannya.Athalia melirik ke arah churros di atas piring itu. Hendak mengangguk, tapi Dean lebih dulu berkata.“Kau mau ini?” tanya Dean sambil mengangkat dan menyodorkan piring itu pada Dirly.Dirly melihat piring di tangan Dean, tapi ia tak menerimanya.Dirly malah melipat kedua tangannya di tepi meja, tidak mengangguk juga tidak mengge
Seperti biasa, pagi ini membantu Dirly berpakaian dan menyiapkan peralatan sekolah.Setelahnya, Athalia pun menuntun Dirly menuruni tangga, lantas bergabung dengan Dean yang telah duduk lebih dulu di meja makan.Bik Inah menyiapkan sarapan di atas meja, Athalia membantu mengoleskan selai cokelat di atas roti panggang Dirly.“Terima kasih, Tante Athalia,” ucap Dirly saat Athalia menaruh roti itu di piringnya.“Sama-sama.”Mereka sama-sama menikmati sarapan.Namun, ada hal yang membuat Athalia merasa heran. Ia melirik Dean dengan ujung mata, lelaki itu sejak tadi seperti sedang gugup dan tak banyak bicara.Beberapa kali Athalia menangkap basah Dean yang menatapnya diam-diam, lalu secepat mungkin mengalihkan pandangan ke arah lain.“Ada apa dengan Pak Dean, hari ini?” tanya Athalia dalam hati.Berbeda dengan Dean, Dirly justru terlihat sumringah. Berkali tersenyum lebar pada Athalia dan terkada
Selesai makan, meraka meneguk air minum dan membersihkan mulut dengan tissue yang tersedia di kotak.Athalia kembali mengangkat pandangan dan menatap wajah tampan bossnya.“Pak Dean, kita sudah selesai makan. Tadi Anda bilang, ingin mengatakan sesuatu padaku.” Sambil menjauhkan piring kosong, Dean mengulum senyum mendengar ucapan Athalia.“Sepertinya kau sudah sangat tidak sabar, Athalia,” kata Dean, menarik sebelah ujung bibirnya.Athalia meringis, menggigit bibir bawah.Sejujurnya, Dean masih ingin menikmati waktu berdua dengan Athalia. Tapi ketika menyadari wajah gelisah wanita itu, Dean pun mendorong kursinya dan bangkit berdiri, membuat mata Athalia menatap dan memperhatikannya.Tiba-tiba Dean mengangkat kedua tangan dan menepuk sebanyak tiga kali.Detik selanjutnya, suara merdu dari biola terdengar di telinga Athalia. Membuat Athalia mengarahkan matanya ke ambang pintu dan ia m
“Dengar, Athalia. Aku sama sekali tidak keberatan meskipun kau sedang hamil. Aku pun memiliki Dirly, apa bedanya. Bayi itu akan lahir dalam sebuah rumah tangga yang lengkap nantinya. Dia akan tahu aku lah ayahnya, dan Dirly kakaknya. Dia tidak akan merasa kurang karena aku akan berusaha melengkapinya. Pasti kita akan menjadi orang tua yang sangat bahagia.”Melihat senyum tulus Dean, Athalia membalas dengan senyum haru.Athalia mengangguk pelan, lalu menahan gumpalan sesak di dada.“Maafkan aku, Pak Dean. Aku masih menyimpan nama lelaki lain di hatiku saat ini. Masih sangat sulit untuk melupakannya. Mungkin dengan mencoba menjalani pernikahan ini, aku bisa benar-benar melupakan Mahesa,” gumam Athalia dalam hati.Hujan itu makin menderas, mengguyur mobil-mobil yang berlalu lalang di jalan raya.Mobil Dean melesat sedikit mempercepat lajunya. Tujuannya tentu saja rumah Athalia, sebab Dean akan mengantarkan Athalia sekaligus m
Leuwis ingin menumbuhkan lebih banyak kebencian di dalam hati Mahesa terhadap wanita itu, agar Mahesa fokus pada hubungannya dengan Kiran dan berhenti penasaran dengan sosok Athalia. Tangan Mahesa sedikit gemetar, bersamaan dengan emosi yang meluap dalam dirinya.“Aku tak percaya kalau pernah sebodoh ini tergoda oleh wanita seperti Athalia. Di balik wajahnya yang lugu, dia adalah wanita yang sangat murahan,” batin Mahesa. Rahangnya yang merapat menunjukkan betapa kesalnya ia saat ini.Bagaimana tidak, Leuwis menunjukkan foto-foto Athalia saat tidur dengan para pengusaha yang wajahnya cukup Mahesa kenali.Bahkan ada foto-foto saat Athalia sedang asyik menemani lelaki kaya berjoget di lantai dansa.Semua foto itu membuat Mahesa muak, dilemparnya kembali foto-foto itu ke atas meja kerja Leuwis. Membuat Leuwis menarik sebelah ujung bibirnya dengan sebelah alis yang terangkat.“Bagaimana? Kau percaya pada Papa
Mahesa menatap pada dokter dengan sorot penuh harap. Dan dokter itu menarik napas sebelum akhirnya berkata.“Keadaan Nyonya Athalia tetap sama. Tapi kita masih bersyukur operasi ini tak memperparah kondisinya. Setelah pulih dari melahirkan, Nyonya Athalia sudah bisa melakukan terapi kankernya di Indonesia. Dia wanita yang kuat, tak banyak yang berhasil bertahan sampai di titik ini,” ungkap dokter itu yang akhirnya membuat Mahesa mendesah lega.Mahesa sangat kagum pada Athalia. Kini ia menatap wajah bayi mungilnya yang tampak memerah. Bayi itu menangis, lalu perawat mengambil alihnya dari tangan Mahesa.“Maaf, Tuan. Kami harus segera memindahkan bayi perempuan Anda ke ruang inkubator.”Mahesa mengangguk mendengar ucapan perawat itu. “Boleh aku ikut mengantar bayiku?” tanya Mahesa, seakan tak rela jika harus berpisah barang hanya sejenak dengan malaikat kecilnya.Perawat dan dokter itu saling pandang,
Meski usia kandungan Athalia baru menginjak delapan bulan, namun dokter menyarankan agar bayi Athalia segera dikeluarkan dari kandungannya. Karena akan makin membahayakan kondisi Athalia.Awalnya Athalia sempat menolak dan berdebat kecil dengan Mahesa. Athalia takut terjadi hal buruk pada bayi mungilnya andai dilahirkan premature. Namun Mahesa bersikukuh meyakinkan bahwa dokter tahu yang terbaik. Mahesa juga takut terjadi hal buruk pada bayinya. Tapi ia lebih takut kehilangan Athalia.Akhirnya Athalia luluh setelah Mahesa meyakinkannya bahwa semua akan baik-baik saja.Dean dan Narsih sudah ada di rumah sakit. Mereka berdua datang ke Jerman. Sedangkan Yasna, Dirly dan keluarga Dean masih di Indonesia. Sengaja sekali Dean tak mau memberitahukan kabar Athalia yang akan dioperasi ini pada mereka agar tak merasa khawatir.“Mahesa, jangan pergi!” Athalia menggenggam erat tangan Mahesa saat perawat mendorong ranjangnya menuju ke ruang operasi.
“Dia baik-baik saja.” dokter berkata pada suster setelah ia memeriksa keadaan Athalia.“Tapi dia mengigau terus, dok.”“Tidak apa. Selama kondisinya stabil. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” pungkas dokter yang menangani Athalia. Dokter itu bernama Dokter Greg.Suster itu mengangguk. “Baik, dokter. “ sebenarnya suster itu khawatir terjadi apa-apa pada Athalia, juga karena ia dibayar oleh Dean untuk terus memantau kondisi Athalia dan menginformasikan setiap perkembangannya.Tepat di saat dokter baru saja akan berbalik keluar dari ruangan itu, tiba-tiba mereka mengerutkan kening saat melihat sosok lelaki yang tak dikenal, melangkah memasuki ruang ICU dan menghampiri ranjang Athalia.“Siapa dia?” dokter berbisik pada suster.“Saya tidak tahu, dok,” balas suster itu menggelengkan kepala.Lelaki asing itu adalah Mahesa. Yang ketika melihat pintu ruang ICU tak di
Tak ingin membuang waktu, Mahesa langsung mengurus keberangkatannya ke Jerman. Dan sebagai seorang ayah yang telah mendukung Mahesa, Leuwis turut membantu segala persiapan putranya.Kini mereka pun telah tiba di bandara. Sebelum masuk ke gate penerbangan, Leuwis menggenggam tangan kanan Mahesa dengan erat.“Apa kau yakin Papa tidak perlu menyusulmu ke sana?” tanya Leuwis, yang sebenarnya ingin ikut.“Tidak perlu, Pa. Papa tunggu saja di sini dan berikan doa yang terbaik untukku.” “Itu pasti. Kau tak perlu memintanya. Papa akan selalu mendoakanmu.”Mahesa tersenyum, sesaat memeluk ayahnya, sebelum kemudian mengurai pelukan dan pamit untuk pergi.Leuwis menghela napas pelan sambil melambaikan tangan, melepaskan kepergian Mahesa yang kini telah menghilang dari pandangan mata.“Semoga keberuntungan dan kebahagiaan selalu menyertaimu, Mahesa,” gumam Leuwis.***Tiba
Meski sudah larut malam, Dean tak bisa tidur. Ia masih duduk di ruang tengah sambil menonton TV.Namun, tiba-tiba terdengar suara bell rumahnya yang berdenting.“Ck! Siapa yang bertamu di malam-malam buta begini.” Dean bergumam lalu bangkit berdiri dan berjalan menuju ke pintu utama.Saat pintu itu dibuka, Dean langsung menghembuskan npaas kasar ketika melihat sosok Mahesa yang berdiri di hadapannya dengan penampilan yang cukup berantakan.Sepertinya Mahesa habis berkelahi. Terlihat dari rahang dan sudut bibirnya yang lebam dan berdarah.“Apa kau sudah gila? Bisakah kau bertamu di waktu yang tepat?” Dean menyindir, baru saja ia akan kembali menutup pintu rumahnya namun tangan Mahesa lebih dulu menahannya dengan kuat, hingga Dean menyerah dan pintu itu pun kembali terbuka lebar.“Sebenarnya apa maumu?” sentak Dean, kesal.“Aku mau kau beritahu aku di mana Athalia berada?” tegas
Leuwis tak sanggup saat melihat Mahesa yang sedang kacau seperti ini.“Mahesa,” desah Leuwis bersimpuh duduk di samping Mahesa dan membuat Mahesa membuka kedua matanya hingga bertemu pandang dengan bola mata ayahnya.“Pa … “ Mahesa berbisik pelan. Namun kedua matanya menyiratkan kesedihan. Terihat dari matanya yang memerah dan berkaca-kaca.“Kemarilah, Nak! Kemarilah!” Leuwis membuka tangannya lebar-lebar.Mahesa tahu isyarat itu. Ia pun beringsut duduk dan segera masuk ke dalam pelukan Leuwis. Menghambur memeluk tubuh Leuwis dan menumpahkan tangisnya di dada ayahnya.Mahesa menangis tanpa suara. Hanya saja Leuwis merasa bagian depan bajunya yang basah.“Pa, aku telah kehilangan dia! Aku telah kehilangan Athalia dan anakku! Athalia sedang hamil, Pa. Dia hamil darah dagingku. Berkali-kali aku membujuknya tapi dia tak mau kembali. Aku terlalu banyak menyakitinya. Aku ini lelaki bejat yang sangat menji
Hanya sebentar Leuwis dirawat di rumah sakit. Ia pun sudah boleh pulang ke rumahnya.Selama ada di rumah sakit, tak ada satu pun anggota keluarganya yang menjenguknya selain Mahesa.Entah karena memang mereka tidak tahu Leuwis dirawat, atau mungkin karena mereka tidak peduli sama sekali terhadapnya.Yang jelas, Leuwis merasa kecewa. Ayaz melihat dirinya yang hampir mati, namun sama sekali tak berniat menolongnya.Justru Mahesa lah yang melarikannya ke rumah sakit dan menemaninya meski mereka hanya saling diam dan tak ada satu pun yang berani bicara.“Kau gila, Ayaz! Kau berani melakukan itu pada Papamu? Bagaimana kalau dia masih hidup lalu mengusir kita semua dari rumah ini?”Baru saja Leuwis akan membuka pintu kamar Ayaz untuk menegur anak tirinya itu, namun gerakan Leuwis terhenti saat ia mendengar suara Jessica yang sepertinya sedang berbicara dengan Ayaz.“Masa bodo tentang Leuwis. Dia bukan Papaku. Aku bosan hidup di ba
“Selama ini aku bekerja untuk memenuhi hidupmu dan keluarga kita. Tapi mengapa kau tak menghargaiku? Setidaknya bantu aku untuk mencari jalan keluar dari permasalahan ini. Bukannya malah menambah masalah di kepalaku!” sentak Leuwis dengan keras.Leuwis marah, tentu saja.Bisa dibilang, Ayaz adalah anak tertua setelah Mahesa. Meskipun Ayaz hanya anak tirinya. Namun Leuwis pikir, sudah sepantasnya Ayaz ikut mengemban tanggung jawab untuk mengurus perusahaan dan membantunya.Bukannya malah hanya berfoya-foya.“Apa masalahnya, Pa? Aku memanggil dua wanita penghibur itu untuk sedikit menyenangkanku. Bagaimana aku bisa bekerja jika hatiku tidak senang?” Ayaz berkata dengan wajah santainya.Membuat bola mata Leuwis melebar.“Tapi kau bisa bersenang-senang di waktu dan tempat yang tepat! Tidak dalam situasi seperti ini!” Leuwis masih tak habis pikir. Ayaz sempat memikirkan kesenangannya di saat mereka terancam hid
Langit terlihat begitu mendung. Tak secerah tadi pagi, dimana saat mereka asyik bermain sepak bola di halaman belakang rumah Dean.Kini Dean melamun, menatap nanar pada wajah Athalia yang terbaring di atas ranjang rumah sakit. Dean menungguinya. Ia mengusir halus semua orang yang hendak ikut menemani Athalia di rumah sakit, termasuk Narsih dan Yasna.“Athalia, kau harus berjanji padaku! Kau akan tetap hidup sampai nanti, sampai Dirly dan anakmu dewasa. Sampai kau berhasil mendapatkan kebahagiaan sesungguhnya. Jangan pernah pergi sebelum semua itu terjadi. Berjanjilah padaku, Athalia!” Dean meraih tangan kanan Athalia, lalu menciumi jemarinya.Lelaki bertubuh kekar itu tak bisa menahan saat air mata meluruh jatuh melewati pipinya.Hari ini, saat Athalia dibawa ke rumah sakit, dokter memberitahu sebuah kabar yang membuat semua orang terkejut. Tak menyangka. Bahkan terluka.Bagaimana tidak, dokter mengatakan Athalia menderita kanker darah. Dan tak s