Mahesa mengerjap, bahkan ia tak tahu siapa Yasna dan siapa ibu yang Athalia maksud.
"Tapi jika kau mengatakan jangan pergi, maka aku tidak akan pergi," lanjut Athalia, dengan sejuta harap yang bergejolak dalam dadanya.
Mahesa masih bergeming.
"Jika kau mengatakan jangan, maka aku tidak akan pergi, Mahesa. Aku akan tetap di sini, menunggumu sampai kau ingat kembali semua tentangku. Tolong katakan jangan pergi, Mahesa! Tolong cegah aku!" dengan ujung-ujung jemari yang sedikit gemetar, Athalia menyentuh punggung tangan Mahesa, menatap wajah tampan itu dengan linangan air mata.
"Cegah aku Mahesa! Tahan aku di sisimu. Aku tidak akan pergi jika kau memintaku untuk jangan pergi." Athalia meraih tangan itu, menempelkannya di pipi, lantas meremasnya dengan penuh rindu.
"Pergilah." sampai sebuah kata membuat harap itu melebur begitu saja.
Kata paling menyakitkan, akhirnya terlontar dari mulut orang yang sangat dicin
“Tidak ada satu pun hal yang paling membuatku bahagia di dunia ini selain melihatmu sudah kembali pulih. Aku senang bisa menatapmu seperti ini. Apa kau tahu, saat kau terbaring di ranjang rumah sakit dalam keadaan kritis, kupikir aku takkan pernah bisa memelukmu lagi.” Kiran mengeratkan pelukannya di lengan kekar Mahesa, sebelah tangannya tanpa ragu dan malu, mengusap dada bidang lelaki itu di hadapan Leuwis dan Tuan Gwen.Mereka tersenyum senang. Lebih lagi Tuan Gwen yang senang melihat senyum bahagia di wajah Kiran.Namun ekspresi Mahesa tak menyiratkan kebahagiaan sedikit pun. Bahkan saat telapak tangan Kiran singgah di dadanya, tak ada setitik pun desiran di dalam dirinya, seperti yang seharusnya dirasakan oleh seseorang saat disentuh oleh kekasihnya.Leuwis mempersilakan mereka untuk duduk kembali. Kali ini Kiran duduk di sebelah Mahesa. Mulanya Mahesa tidak mengerti apa yang hendak dan sedang dibicarakan oleh kedua lelaki paru
Yasna mengangguk kecil, lalu mengeluarkan koran yang tadi ia sembunyikan di belakang punggung, kemudian memberikannya pada Athalia.Athalia menerimanya dengan selarik senyum. Dibentangkannya koran itu, lalu matanya menatap pada salah satu bagian yang tercetak di sana.Hal itu memancing penasaran Yasna. Matanya mengerjap menatap kakaknya dengan raut ingin tahu.“Kenapa Kak Athalia senyum-senyum, apa kakak sudah menemukan lowongan kerja yang pas di koran itu?”Tanpa ragu Athalia mengangguk. “Benar, kakak sudah menemukannya.”“Di mana? Kak Athalia akan melamar kerja di mana?” Yasna berseru, takut jika Athalia akan memilih pekerjaan yang berat.Athalia mengulum senyum melihat raut penasaran adiknya, kemudian ia menunjuk salah satu bagian di koran itu.“Di sini, restoran Almadirly yang letaknya tak jauh dari kontrakan kita. Restoran ini sedang membutuhkan seorang waiters. Semoga kakak bisa diterima
“Kau ini benar-benar ya. Kau sudah tiga bulan bekerja di restoran ini, tapi sampai sekarang kau belum tahu juga siapa Pak Dean itu. Aku tahu kalau Pak Dean memang jarang berkunjung ke restoran. Tapi setidaknya kau bisa mencaritahu tentang sosoknya dari Pak Iksan. Asal kau tahu, Athalia. Pak Dean itu adalah boss kita, pemilik restoran ini.”“A-apa?” mata Athalia membulat setelah mendengar ucapan Sisy.***Di atas ranjang rawatnya, Dirly masih terbaring telentang. Sementara seorang dokter yang baru saja memeriksanya, mengulum senyum, pasalnya, ia sempat melihat kelopak mata bocah itu yang bergerak pelan.“Bagaimana, dokter?” Dean yang berdiri di sisi ranjang Dirly, langsung bertanya pada Dokter Indra. Matanya menatap penuh tanya.Dokter Indra membuang napas berat, lalu membalas tatapan Dean dengan raut serius.“Mari kita bicara di luar, Pak Dean. Ada hal serius yang ingin kuberitahukan padamu.” Dokter
Di depan ruang rawat Dirly, Dean berdiri sambil membenamkan kedua tangannya ke dalam saku celana.Rasanya ia ingin menangis. Menyakitkan memang, saat melihat Dirly terus menggumamkan bahwa ia habis bertemu dengan ibunya. Dean paham, Dirly mungkin saja sengaja mengarang untuk meluapkan rasa rindunya. Atau ingin merasakan bagaimana rasanya menatap wajah ibu dalam nyata.Dean menggeleng pelan, mengusap wajahnya dengan sebelah tangan.Kemudian Dean cepat merogoh ponselnya yang ada di dalam saku celana saat ia teringat sesuatu.“Hallo, Iksan.” “Iya, Pak Dean. Bagaimana keadaan Dirly? Aku harap dia baik-baik saja.”“Dia memang baik-baik saja. Aku menghubungimu karena ingin meminta bantuanmu.”“Apa itu, Pak Dean? Dengan senang hati aku akan melakukannya.”Dean terdiam sesaat, berpikir. Sebelum kemudian ia berkata.“Suruh orang yang telah menyelamatkan anak
Seakan tak percaya, Dean berdiri dari duduknya, manik matanya tak lepas memandangi wajah yang tak asing dalam hidupnya.Wajah Alma—mendiang istrinya yang telah tiada.Tapi … bagaimana bisa? Alma sudah meninggal.Melihat Dean yang terdiam dan tatapannya yang membuat Athalia merasa gugup, Athalia pun kembali bicara untuk menyadarkannya.“Pak?”Dean tersentak, mengerjapkan mata, lalu mengusap wajahnya dengan sebelah tangan, sebelum kemudian kembali mengunci pandangan pada wajah yang membuatnya tak bisa lepas itu.“Enghh … maaf. Duduklah, Athalia.”Dean menunjuk kursi di depannya. “Terima kasih, Pak.” Athalia mengangguk, menggeser kursi, lalu duduk di sana.Dean menghela napas sebentar, menetralkan debar jantungnya yang mulai mendominasi di dalam sana, di dadanya.Ia menyita perhatian pada wajah cantik di hadapannya. Memandang Athalia, membuat Dean merasa kembali menikmati ap
Narsih mendekat, berdiri di hadapan kedua putrinya.“Lalu, apa yang kau lakukan ini? Ibu masih bisa mengumpulkan uang untuk membeli sepatu Yasna.”Athalia menggeleng, meraih tangan Narsih lalu menggenggamnya.“Hari ini, boss pemilik restoran memberiku uang bonus yang sangat banyak. Aku menabung sisanya, sementara sebagian kubelikan barang-barang penting, termasuk sepatunya Yasna.”Manik mata Narsih membulat senang setelah mendengar itu.“Benarkah?” tanyanya, memastikan.Tanpa ragu Athalia langsung menganggukkan kepala. Lantas bibirnya mulai menceritakan apa saja yang terjadi hari ini, tentang Dirly, tentang Dean yang memanggilnya ke ruangan pribadinya di lantai tujuh, juga tentang bonus yang diberikan oleh lelaki itu.Tanpa ragu Athalia langsung menganggukkan kepala. Lantas bibirnya mulai menceritakan apa saja yang terjadi hari ini, tentang Dirly, tentang Dean yang memanggilnya ke ruangan pribadinya di lantai tuj
Kiran berseru riang, segera mengaitkan tangannya di lengan Mahesa, kemudian menarik lelaki itu menuju ke sebuah toko yang menyediakan banyak tas brended.“Sayang, menurutmu, aku lebih bagus pakai yang biru atau yang merah?” Kiran menunjukan dua tas dalam genggamannya di depan Mahesa. Lalu bergaya saat menenteng tas itu di lengannya.Ia sedang meminta pendapat dari Mahesa.“Terserah. Kau pilih saja yang kau suka,” balas Mahesa sekenanya.Perkataannya itu membuat Kiran merengutkan wajahnya. Merasa tak suka dengan sikap cuek lelaki itu.“Tapi aku sedang meminta pendapatmu. Jika kau menyukai yang biru, maka aku akan pilih yang biru. Tapi jika menurutmu aku lebih cocok menggunakan yang merah, maka aku akan pilih yang merah.”“Kalau begitu ambil yang merah saja.” tak ingin memperpanjang waktu, Mahesa segera menjawab asal, yang penting ia bisa segera balik ke kantor.Mahesa berdoa dal
Tak ingin membiarkan Athalia salah paham, Dean merasa ia berkewajiban untuk menjelaskan yang segamblang-gamblangnya pada Athalia.Dean tahu bahwa Athalia pasti bertanya-tanya dalam hatinya. Dean juga takut merasa Athalia tak nyaman ketika Dirly beberapa kali memanggilnya dengan sebutan mama.Tapi kali ini, tepat saat sinar matahari mulai meredup, angin sore membelai rambut Athalia yang tergerai, hingga bergerak pelan, Dean mengajak Athalia duduk dan bicara.Di taman yang cukup sepi, yang letaknya ada di belakang restoran itu.“Jadi, mendiang istri Anda sangat mirip denganku?” Athalia awalnya tidak percaya, bagaimana mungkin seseorang bisa sangat mirip dengannya.Tapi ketika Dean mengangguk dan menunjukkan sebuah foto pernikahan yang biasa ia simpan rapi di dalam dompet, seketika Athalia terhenyak membuka mulutnya.Ternyata apa yang dikatakan oleh Dean memang benar, wanita yang bernama Alma itu sangat mirip dengannya.“Dia sudah me