Narsih mengangguk. Lalu duduk di balik meja makan, dan memilih untuk makan terlebih dahulu.
“Yasna! Sudah dulu belajarnya. Temani Ibu makan!” Narsih sedikit berteriak, agar Yasna yang sedang duduk di depan TV sambil mengerjakan tugasnya, bisa mendengar.“Iya Bu!” Yasna menyahut, cepat membereskan tumpukan kertas di atas meja. Baru saja ia meraih remote dan hendak mematikan TV, Yasna tiba-tiba tertegun melihat layar televisi itu menayangkan sebuah berita tentang kecelakaan lalu lintas.Saat kamera menyorot pada seorang lelaki bertubuh jangkung yang sedang dibopong oleh beberapa orang dan dimasukkan ke dalam ambulan, Yasna langsung terkesiap membekap mulutnya, jatuh sudah remote itu ke lantai saat tangannya tak memiliki kekuatan untuk menggenggam.“Kak Athalia! Kak Athalia ke mari!” teriaknya, setengah menjerit.“Ada apa, Yasna?” Athalia mendekat, diikuti Narsih di belakangnya. Rupanya jeritan YaAthalia pikir, kenyataan terpahit dalam hidupnya adalah saat Mahesa tak sadarkan diri di atas ranjang rawat itu. Athalia pikir, setelah Mahesa terbangun dan melihatnya, maka semuanya akan menjadi lebih baik.Tapi ternyata semuanya tak sesederhana itu.Hari ini, ia dipukul oleh sebuah kenyataan yang terpahit lainnya. Mahesa sudah sadar setelah koma selama dua hari. Dan untuk pertama kali, Athalia diperbolehkan masuk ke dalam ruang rawat itu.“Mahesa? Apa yang kau rasakan?” tanya Leuwis, berdiri di samping kiri ranjang Mahesa. Bertanya pada lelaki yang baru sadar dari komanya delapan jam yang lalu.“Kepalaku sakit, tubuhku juga.”“Itu wajar, tapi nanti semuanya akan berangsur pulih setelah Mahesa menjalani perawatan intensif di rumah sakit ini. Yang terpenting sekarang, Mahesa telah melewati masa kritisnya dan dia juga sudah sadar dari komanya.” Dokter Erdi menyela. Leuwis mengangguk-anggukan kepalany
Mereka keluar dari kamar Mahesa. Setiap kali sepatunya berdecit dengan lantai saat melangkah menuju ke ruangan Dokter Erdi, jantung Athalia berdegup resah. Semoga apa yang akan disampaikan oleh Dokter Erdi bukanlah sebuah kabar buruk.***Tiga puluh menit berlalu…Pintu ruangan Dokter Erdi terbuka, Athalia keluar dari dalam sana. Langkahnya gontai, tatapannya yang teduh itu terlihat nyalang. Kedua tangannya terhempas ke sisi paha. Tak memiliki kekuatan untuk sekadar mengepal.Leuwis pun keluar setelah Athalia. Senyum miring tersungging di wajah tua itu. Matanya menatap penuh kepuasan.Saat langkah Athalia terhenti dan wanita itu menyenderkan tubuhnya ke tembok, Leuwis segera mengambil posisi, berdiri di hadapannya sambil berpangku tangan.“Aku harap kau sudah mendengar jelas apa yang dijelaskan oleh Dokter Erdi barusan. Aku yakin telingamu masih berfungsi dengan baik, Athalia. Jadi kurasa, kau tidak perlu lagi bertanya apa dan k
Sementara Yasna merasa kasihan pada kakaknya, tapi ia pun bingung harus melakukan apa. Usianya belum terlalu dewasa untuk memahami apa yang harus dilakukannya, selain hanya mengusap bahu ibunya yang bergetar.Narsih mengusap air matanya dengan tangan, gerakannya sedikit kasar. Lalu ia meraih kedua belah pipi Athalia, kemudian didongkakannya, hingga mata bulat basah itu kini saling menatap satu sama lain.“Tadi katamu kau terpaksa melakukannya? Boleh Ibu tahu apa yang membuatmu terpaksa?” tanya Narsih, tatapannya kali ini melembut, meski Athalia tahu sorot itu masih menyimpan kekecewaan yang mendalam.Meski malu, Athalia mengangguk untuk mengatakan apa yang sebenarnya terjadi pada ibunya. Ia pun berpikir bahwa mungkin sudah saatnya ia bicara.Dengan sedikit bergetar, bibir Athalia mulai merangkai kalimat untuk menjelaskan dari awal tentang mengapa ia bisa menjadi teman tidur Mahesa.Yang pertama terkejut mendengar ucapan Athalia adalah Yasna
“Kau tidak sadar juga kalau kau adalah pembawa sial bagi Mahesa. Karenamu, Mahesa mengalami kecelakaan. Seharusnya kau sadar diri dan pergi dari hidupnya. Itu pun, jika kau masih memiliki rasa malu!” cetus Leuwis, mendelik sinis sebelum kemudian melangkah menuju ruang rawat Mahesa.Setelah Leuwis masuk, Kiran melayangkan senyum penuh ejekan pada Athalia sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Seolah ia sedang berbangga diri atas posisinya saat ini.Athalia hanya menarik napas pelan dan menahan rasa sakit di dadanya setelah tubuh Kiran menyusul masuk ke dalam ruangan itu, ruangan dimana Mahesa berada.***Mahesa sedang duduk bersandar di kepala ranjang rumah sakit, sambil melamun saat pintu itu terbuka dan Leuwis masuk ke dalam. Bibirnya tersenyum lebar, lalu Kiran masuk setelahnya. Senyumnya amat manis saat menatap wajah tampan Mahesa. Kening Mahesa berkerut melihat Kiran, seakan ia menemukan
Imran menggebrak meja dengan keras, membuat Narsih dan Athalia terhenyak kaget."Tunggu apalagi, Pak RT? Dia sudah mengaku sekarang. Lebih baik usir saja Athalia, kalau perlu dengan ibu dan adiknya dari sini. Dia sudah mencemarkan nama baik wilayah ini."Athalia dan ibunya saling menggenggam tangan. Narsih menangkup punggung tangan Athalia, meski tangannya sendiri pun gemetaran."Jangan, Pak! Jangan usir kami. Saya mohon. Nanti kami akan tinggal di mana?" kali ini mata Athalia mulai berkaca-kaca. Tampaknya pertahanan itu pun roboh juga.Athalia tak bisa terus-menerus berusaha menjadi orang yang tegar menghadapi masalah. Apalagi saat ini seseorang sedang menghardik ibunya.Imran terus mencaci dan memaki Narsih juga Athalia. Bahkan ia berusaha mengompori Pak RT agar mengusir keluarga Athalia dari kontrakannya.Yasna tak bisa lagi menyibukkan diri dengan setumpuk PR, ketika teriakan seseorang terdengar sedang
Mahesa mengerjap, bahkan ia tak tahu siapa Yasna dan siapa ibu yang Athalia maksud."Tapi jika kau mengatakan jangan pergi, maka aku tidak akan pergi," lanjut Athalia, dengan sejuta harap yang bergejolak dalam dadanya.Mahesa masih bergeming."Jika kau mengatakan jangan, maka aku tidak akan pergi, Mahesa. Aku akan tetap di sini, menunggumu sampai kau ingat kembali semua tentangku. Tolong katakan jangan pergi, Mahesa! Tolong cegah aku!" dengan ujung-ujung jemari yang sedikit gemetar, Athalia menyentuh punggung tangan Mahesa, menatap wajah tampan itu dengan linangan air mata."Cegah aku Mahesa! Tahan aku di sisimu. Aku tidak akan pergi jika kau memintaku untuk jangan pergi." Athalia meraih tangan itu, menempelkannya di pipi, lantas meremasnya dengan penuh rindu."Pergilah." sampai sebuah kata membuat harap itu melebur begitu saja.Kata paling menyakitkan, akhirnya terlontar dari mulut orang yang sangat dicin
“Tidak ada satu pun hal yang paling membuatku bahagia di dunia ini selain melihatmu sudah kembali pulih. Aku senang bisa menatapmu seperti ini. Apa kau tahu, saat kau terbaring di ranjang rumah sakit dalam keadaan kritis, kupikir aku takkan pernah bisa memelukmu lagi.” Kiran mengeratkan pelukannya di lengan kekar Mahesa, sebelah tangannya tanpa ragu dan malu, mengusap dada bidang lelaki itu di hadapan Leuwis dan Tuan Gwen.Mereka tersenyum senang. Lebih lagi Tuan Gwen yang senang melihat senyum bahagia di wajah Kiran.Namun ekspresi Mahesa tak menyiratkan kebahagiaan sedikit pun. Bahkan saat telapak tangan Kiran singgah di dadanya, tak ada setitik pun desiran di dalam dirinya, seperti yang seharusnya dirasakan oleh seseorang saat disentuh oleh kekasihnya.Leuwis mempersilakan mereka untuk duduk kembali. Kali ini Kiran duduk di sebelah Mahesa. Mulanya Mahesa tidak mengerti apa yang hendak dan sedang dibicarakan oleh kedua lelaki paru
Yasna mengangguk kecil, lalu mengeluarkan koran yang tadi ia sembunyikan di belakang punggung, kemudian memberikannya pada Athalia.Athalia menerimanya dengan selarik senyum. Dibentangkannya koran itu, lalu matanya menatap pada salah satu bagian yang tercetak di sana.Hal itu memancing penasaran Yasna. Matanya mengerjap menatap kakaknya dengan raut ingin tahu.“Kenapa Kak Athalia senyum-senyum, apa kakak sudah menemukan lowongan kerja yang pas di koran itu?”Tanpa ragu Athalia mengangguk. “Benar, kakak sudah menemukannya.”“Di mana? Kak Athalia akan melamar kerja di mana?” Yasna berseru, takut jika Athalia akan memilih pekerjaan yang berat.Athalia mengulum senyum melihat raut penasaran adiknya, kemudian ia menunjuk salah satu bagian di koran itu.“Di sini, restoran Almadirly yang letaknya tak jauh dari kontrakan kita. Restoran ini sedang membutuhkan seorang waiters. Semoga kakak bisa diterima