Berada di tempat baru membuat Elsa tidak bisa tidur. Ketika matahari mulai terbit, Elsa terkejut melihat pemandangan dari jendela. Kegelapan yang ia lihat semalam ternyata menyembunyikan keindahan yang luar biasa.
"Elsa, ikut denganku sebentar," ucap wanita paruh baya yang semalam mengantarkan Elsa ke kamar itu. Dengan patuh, ia mengikuti wanita tersebut. Rumah itu ternyata sangat besar dan luas, saat langit terang maka pemandangan furnitur di rumah tersebut terlihat lebih jelas dan mewah. Tidak bisa dipungkiri kalau Elsa pun pada akhirnya terpesona oleh rumah itu. "Mulai sekarang kamu akan bertugas untuk membersihkan rumah di bagian sisi kanan. Di rumah ini tidak memiliki banyak pelayan, dan apapun yang kamu lihat secara tidak sengaja, berpura-puralah tidak tau." Elsa mengedarkan pandangan, rumah sisi kanan yang dimaksud termasuk kamar dari pemilik rumah. Elsa melihat denah rumah tersebut yang ditunjukkan oleh wanita bernama Marley, bagaimana bisa rumah sebesar ini hanya ditinggali oleh sedikit orang? "Maaf, Nyonya. Kalau boleh tau, siapa Tuan Rumah di tempat ini?" "Beliau bernama ...," "Rumahku kedatangan pelayan baru hari ini?" kalimat tersebut membuat Elsa menoleh, suara langkah kaki berat terdengar melangkah mendekat. Dibalik lorong panjang rumah itu, seseorang dengan paras tinggi berbadan besar muncul. Mata Elsa membelalak kaget, "Deon Dawson?" gumam Elsa syok. Pria itu berjalan mendekat, tatapannya lurus ke arah Elsa hingga jarak di antara mereka tersisa dua meter. "Kamu mengatakan apa barusan?" tanya pria itu. "Deon, bukankah kamu Deon? Putra tunggal keluarga Dawson, tapi kenapa kamu ada di tempat ini?" tanya Elsa. Pria itu tersenyum samar. "Deon? Kamu memanggilku Deon seolah kamu akrab denganku." Elsa segera menyadari situasi, ia menundukkan kepala merasa tak sopan. "Maaf, aku tidak berniat memanggil Anda seperti itu. Saya terlalu lancang." ucapnya, Elsa ingat kalau Deon marah, pria itu akan langsung memberikan peringatan keras, tapi aneh kalau pria di depan ini tidak mengenalnya, bagaimanapun Elsa bekerja sebagai resepsionis di perusahaan Dawson. Pria itu semakin mendekat dan menyuruh Marley si wanita paruh baya tadi untuk pergi. Lalu satu jarinya mengangkat dagu Elsa, membuat perempuan itu menatap langsung ke arahnya. Tubuh besarnya sedikit membungkuk karena Elsa lebih pendek darinya. "Apa hubunganmu dengan Deon?" tanyanya, suaranya dingin menggetarkan jiwa. Pertanyaan tersebut tentu saja membuat Elsa mengernyitkan kening, "Anda tidak mengenal saya? Saya adalah ...," "Kamu salah kalau berpikir aku adalah Deon. Aku bukan Deon, apa semirip itu wajahku dengannya?" Elsa refleks mundur sambil menutup bibirnya kaget seolah paham apa yang terjadi, jadi ini yang dimaksud pangeran buangan dari keluarga Dawson? Dia adalah saudara kembar Deon yang memiliki sebuah penyakit sehingga diasingkan jauh di tempat yang tak banyak orang ketahui. "Kenapa terkejut? Aku sedang bertanya padamu, seberapa mirip aku dengan Deon?" katanya dengan nada memaksa. Sangat mirip, hampir tidak ada celah yang bisa membedakan mereka. Dari besar tubuh dan wajahnya, semuanya sama. Kecuali bagian iris mata yang memiliki warna berbeda, Deon bermata biru sementara pria di depannya berwarna hazel. Elsa kehilangan kata-kata, mereka sangat-sangat mirip. Tapi kenapa saudara kembar Deon diasingkan? Dari segi fisik, pria ini terlihat sangat bugar dan sehat. Dan dari pertanyaannya barusan, sepertinya Deon dan pria ini tidak pernah bertemu sebelumnya. "KATAKAN!" bentaknya, Elsa sampai berjingkat kaget dengan suara tersebut. "Maaf, saya salah bicara. Sepertinya saya terlalu sering membaca komik dan berpikir kalau Anda adalah salah satu dari karakter di komik itu." dalih Elsa. Pria itu menaikkan sebelah alisnya terlihat percaya, "Sekarang perkenalkan dirimu. Karena kamu pelayan baru di rumah ini, aku harus mengenalmu." "Namaku Elsa Lenora. Aku baru tiba tadi malam di rumah ini, kalau saya membuat kesalahan, tolong maafkan saya." Pria itu menatapnya dalam, Elsa merasa berdebar tidak karuan, ia tak bisa menutupi ketakutannya karena untuk pertama kali melihat saudara kembar Deon secara langsung. "Kalau begitu selamat bekerja, ingat terhadap batasanmu." katanya penuh peringatan, lalu pergi tanpa memperkenalkan namanya lebih dulu. Meski begitu, Elsa akhirnya bisa menghembuskan nafas lega, berhadapan dengan pria tadi membuatnya merasa sesak. Tak lama, wanita paruh baya tadi mendekat. "Kamu tidak apa-apa?" tanyanya khawatir. "Aku baik-baik saja." jawab Elsa tanpa curiga. "Siapa nama pria tadi?" "Namanya Dustin. Kamu akan bekerja untuknya mulai hari ini. Oh ya, hari ini kamu selamat karena dia tidak melakukan apapun padamu." kata wanita paruh baya yang bernama Marley itu. Tapi kalimat itu jelas menimbulkan pertanyaan baru di kepala Elsa, memang ada apa dengan Dustin? Pria itu sama seperti Deon, sama-sama mudah marah. Saat di New York, Elsa bisa mengatasi kemarahan Deon, mungkin sekarang ia juga bisa mengatasi kemarahan Dustin. "Tapi pria satu ini sepertinya sangat berbeda." batin Elsa, hatinya mendadak tidak tenang.Hari pertama Elsa bekerja di kediaman Dustin, ia baru menyadari kalau tempat tersebut ada di tengah-tengah sebuah pulau, dimana bahan makanan yang didapat dari hasil para pelayan menanam dan juga sebagian dikirim langsung melalui helikopter.Tidak ada kendaraan laut atau darat, tempat tersebut sangat sulit diakses dan mungkin juga tersembunyi dari peta dunia. Elsa tidak pernah melihat kalau ada pulau seperti ini ketika menjelajah peta melalui ponselnya.Pantas saja Marley sempat berkata kalau Elsa akan sulit keluar dari sana. Rupanya memang benar, satu-satunya akses untuk keluar masuk pulau adalah menggunakan kendaraan udara."Jadi selama ini Dustin tinggal begitu jauh dari peradaban manusia pada umumnya? Dia tidak tau internet, dia tidak tau mall atau sesuatu yang ada di kota besar. Dia bahkan tidak pernah melihat gedung pencakar langit." batin Elsa turut merasa kasihan.Tapi ketika ia bekerja di balkon untuk membersihkan lantai, Elsa melihat Dustin sedang olahraga di luar ruangan. J
Hari demi hari berlalu, Elsa mulai memahami aktivitas apa yang sering kali Dustin lakukan setiap hari. Walaupun tidak ada internet atau akses untuk menggunakan media elektronik, tapi Dustin sangat rajin sekali membaca buku.Ada sebuah ruangan yang Elsa masuki, semua yang ada di ruangan itu adalah buku yang membahas tentang bisnis. Namun untuk apa Dustin belajar tentang bisnis kalau pria itu terkekang di dalam penjara yang ada di tengah pulau seperti ini?"Apa yang kamu lakukan di sini?" Elsa berjingkrak kaget, ia sampai tidak sengaja menjatuhkan buku yang sedang ia pegang. "Tidak ada, saya hanya tertarik dengan buku yang ada disini. Kalau begitu saya akan melanjutkan pekerjaan, permisi." buku tadi segera Elsa ambil dan simpan ke tempatnya semula lalu bergegas pergi.Dustin sempat memperhatikan, tapi pria itu mengabaikannya selama Elsa tidak merusak benda apapun yang ada di rumah itu."Elsa, bisa kamu bantu aku membawa beberapa sayur yang baru dipetik?" seru pelayan Marley."Baik." jaw
Pagi itu Elsa bertugas merawat tanaman bunga, memastikan bunga yang sudah mati untuk diganti yang baru. Berhubung taman yang Elsa rawat menghadap laut, saat ini ia melihat kalau Dustin tengah lari pagi di pinggir pantai.Tanpa sadar Elsa diam memperhatikan. Ia penasaran, apa Dustin tidak bosan menghabiskan waktu di pulau seperti ini sendirian, tanpa akses untuk ke dunia modern di luar sana."Aku baru tiga minggu di tempat ini, dan aku sudah sangat bosan. Rasanya ingin kembali ke kota, tapi aku tidak tau bagaimana caranya untuk pulang." Elsa hanya pasrah, ia pun menyelesaikan pekerjaan dengan baik sebelum masuk ke rumah.Saat itu Marley terlihat baru saja keluar dari kamar Dustin membawa pakaian kotor, wanita paruh baya itu hanya tersenyum simpul dan melewati Elsa tanpa mengatakan apapun."Semua penghuni di rumah ini sedikit aneh, Nyonya Marley kadang baik padaku, tapi di waktu yang berbeda dia seperti orang asing yang tidak aku kenal." Elsa menggelengkan kepala, ia masih harus members
Setelah langit cerah, Elsa kembali menjalani aktivitas seperti biasanya. Namun, sesekali ia teringat akan mimpinya semalam, yang terasa begitu nyata hingga hampir seperti bukan mimpi."Elsa, sebentar lagi akan ada barang yang datang. Tolong bantu aku mengemasinya untuk persiapan beberapa minggu ke depan." kata pelayan Marley.Elsa mengangguk patuh. Dua jam kemudian, suara helikopter terdengar mendekat. Dua pria dewasa menurunkan barang-barang dari helikopter dan membawanya masuk ke dalam rumah. Saat itu, Elsa melihat Dustin di balkon lantai dua, memperhatikan helikopter dengan ekspresi datar."Nyonya Marley, apa Tuan Dustin sering seperti itu? Apa dia tidak punya keinginan untuk pergi keluar dari pulau ini?" tanya Elsa penasaran.Pelayan Marley meletakkan barang bawaannya lalu menatap Elsa. "Tidak mudah keluar dari tempat ini, Elsa. Kalau memang Dustin ingin pergi dari tempat ini, memang dia bisa kemana? Pulau ini adalah tempat tinggalnya dari dia masih kecil hingga tumbuh dewasa sepe
Elsa mengamati Dustin dari lantai dua. Pria itu sedang bersantai di teras, menikmati secangkir teh pagi sambil membaca buku. Setelah menyelesaikan pekerjaannya di lantai dua, Elsa turun ke lantai satu untuk melanjutkan tugas lainnya.Saat itu, Dustin masuk ke dalam rumah, dan keduanya berpapasan."Tidurmu nyenyak di rumah ini?" tanya Dustin, suaranya lembut.Elsa sedikit heran mengapa Dustin tiba-tiba menyapanya lebih dulu, namun ia menjawab dengan anggukan. "Sepertinya aku mulai terbiasa tinggal di sini," jawabnya dengan senyum tipis.Dustin tiba-tiba memperhatikan leher Elsa, keningnya mengernyit. "Ada apa dengan lehermu?"Refleks, Elsa menutup lehernya dengan telapak tangan. "Oh, itu... Aku juga tidak tahu. Mungkin saat tidur ada serangga yang menggigitku," katanya dengan nada tak yakin.Dustin mengangguk singkat, kemudian melangkah pergi tanpa bertanya lebih lanjut. Elsa memperhatikan bahu lebar Dustin yang menjauh. Tubuh pria itu mirip dengan sosok dalam mimpinya, tubuh tinggi dan
Rencana Elsa gagal total, ia tidak ingat sejak kapan dirinya ketiduran. Begitu bangun, lagi-lagi langit sudah terang. Semalam ia tidak ingat apa yang terjadi, namun bagian tubuhnya terasa seperti sebelumnya dimana bagian dadanya nyeri seperti diremas oleh seseorang."Elsa, kamu sakit?" tanya pelayan Marley, dengan nada khawatir."Oh, tidak. Aku hanya bermasalah dalam tidur," jawab Elsa sambil menggelengkan kepala, mencoba menghilangkan kekhawatiran Marley.Semalam Elsa ingat bahwa setelah minum, dirinya duduk hingga larut malam. Namun, entah kenapa ia ketiduran begitu saja. Rasa penasarannya mengarah pada air minum yang selalu ia siapkan di meja.Kelihatannya, malam ini Elsa tidak perlu minum untuk tidur. Itu adalah jalan satu-satunya untuk mengetahui apakah ada masalah dengan air tersebut atau memang hormon dalam dirinya yang membuatnya mudah mengantuk setelah minum."Aku merasa ada yang tidak beres dengan rumah ini, pasti ada rahasia besar yang belum aku ketahui," pikirnya.Malam ha
Elsa masuk kembali ke dalam kamar, tapi tidak ada bekas darah apapun di sana. Ia juga keluar untuk memastikan bagaimana semalam orang itu bisa naik ke balkon lantai dua sementara tempat tersebut sangat tinggi.Namun Elsa tidak mendapatkan bekas darah apapun, kamar sudah kembali bersih dan rapi. Sepertinya sudah ada yang membersihkannya, hingga tatapan Elsa mengarah pada lemari yang sempat ia geser ke ujung ruangan, dimana ada celah mencurigakan kalau itu adalah pintu yang terhubung ke ruangan lain."Jangan bilang karena aku menutup bagian ini sehingga dia nekat melewati balkon?" pikirnya.Elsa ke balkon, lalu melihat ke bawah. Setelah berpikir sejenak, ia pun turun untuk memastikan orang semalam terluka. Tapi tidak ada jejak apapun, Elsa dengan teliti mencari bukti hingga ia melihat setetes darah tidak jauh dari kamar Dustin.Elsa mendongak, di atas adalah kamar Dustin. Lalu ia menunduk, dan darah itu menetes dari arah sana. Spontan Elsa menutup bibirnya, jangan bilang kalau pelakunya
Rasa penasaran Elsa semakin memuncak, terlebih saat ia menemukan tetesan darah di bawah balkon tempat kamar Dustin berada tadi siang. Tapi jika Dustin adalah pelakunya, mengapa pria itu tidak memiliki luka apapun di kepalanya?Elsa merasa perlu mencari bukti sendiri untuk menuntaskan rasa penasaran. Mungkin semua orang di sini saling bekerja sama untuk menutupi sesuatu yang ia tidak ketahui. Lalu apakah monster yang Marley katakan juga hanya untuk membuatnya takut?"Ada apa di luar saat malam? Ini membuatku semakin penasaran tinggal di tempat ini," gumam Elsa. Akhirnya, untuk pertama kalinya, ia keluar setelah langit gelap. Tempat itu sangat mengerikan tanpa cahaya.Namun, ia memberanikan diri. Di tempat ini, tak ada siapapun yang akan membantunya jika bukan keberaniannya. Satu jam di luar rumah, tak ada apapun yang terjadi. Elsa kembali ke dalam dan melihat sosok tinggi besar berada di dapur."Apa yang dia lakukan?" ucapnya lirih sambil berjalan mendekat.Ia mengenali sosok itu sebag
15 tahun kemudian.Seorang remaja berlari cepat keluar dari mobil, nyaris tersandung saat memasuki rumah. Nafasnya terengah, tapi wajahnya dipenuhi kegembiraan. Dustin, yang baru saja selesai menutup laptopnya setelah bekerja seharian, langsung tersentak melihat putranya datang tergesa-gesa."Jacob, ada apa?"Dengan bangga Jacob menunjukkan sertifikat berprestasi pada Dustin, "Kakek menyuruhku untuk menyelesaikan pendidikan tepat waktu, tapi aku bisa melakukannya dengan lebih cepat."Dustin memandang putranya dengan ekspresi bingung. "Maksudmu?""Aku lulus, aku menjadi mahasiswa termuda yang akan lulus tahun ini." teriak Jacob sangat bangga, belum sempat Dustin bereaksi, Jacob sudah berlari ke halaman belakang untuk memamerkannya pada Elsa.Terlihat remaja dua puluh tahun itu sangat antusias saat pamer prestasinya di depan Elsa, senyum Dustin menghiasi wajahnya. Dulu ia sempat berprasangka buruk dengan pilihan Kellan Dawson saat pria itu meminta agar mengutamakan pendidikan Jacob.Dan
Beberapa hari berlalu, dan Dustin akhirnya memberi tahu Elsa keputusan yang sudah ia buat. Mulai hari ini, mereka akan tinggal di New York tanpa batas waktu yang pasti. Kekhawatiran Dustin soal kesehatan Elsa, terutama kandungannya yang masih rentan, membuatnya merasa pulau itu terlalu jauh dari fasilitas medis yang memadai. Ia tidak ingin mengambil risiko.Namun hari ini, ketakutan Elsa yang selama ini membayangi akhirnya tiba. Kellan Dawson, pria yang selama ini menghantui pikirannya, berdiri di depan rumah. Sementara itu Elsa hanya di rumah dengan Jacob berdua, Dustin pergi tanpa memberi tahu tujuannya.Melihat sosok Kellan dari balik jendela saja membuat seluruh tubuh Elsa gemetar. Detak jantungnya berpacu, pikiran-pikiran buruk menyerbu benaknya. Apakah dia datang untuk memisahkanku dari Dustin lagi? Refleks, Elsa memeluk perutnya, seolah melindungi bayinya dari ancaman.Pintu terbuka, dan seketika atmosfer di dalam rumah berubah. Udara terasa lebih tebal, seolah setiap molekul di
Setelah menunggu dengan cemas, Elsa akhirnya membuka matanya. Dua belas jam ia tak sadarkan diri, dan begitu ia terbangun, rasa pusing langsung menyerang kepalanya, membuat dunia di sekitarnya seakan bergelombang. Dengan gerakan lemah, tangan Elsa menyentuh kepalanya, mencoba meredakan rasa sakit yang berdenyut di dalamnya.“Dustin,” desisnya pelan, nyaris tak terdengar.Dustin yang tertidur di kursi sebelahnya langsung terbangun. Kantuk masih terlihat jelas di wajahnya, namun kekhawatiran segera menggantikan saat ia melihat Elsa mulai bergerak.“Els, kamu sudah sadar? Apa kau baik-baik saja sekarang?” tanyanya cemas, suaranya penuh harap.Elsa menggeleng lemah. “Tidak... aku tidak baik-baik saja.” Suaranya serak, dan kepalanya masih terasa berat. “Di mana Jacob?” tanyanya, pikirannya langsung melayang pada anak mereka.“Dia bersama Deon,” jawab Dustin.Elsa sontak menatap Dustin, matanya menyiratkan kebingungan. Jacob? Dengan Deon? Pikiran Elsa berkecamuk, namun sebelum ia sempat melo
Perjalanan dari pulau menuju kota setidaknya membutuhkan waktu dua jam, selama dua jam dalam perjalanan itu keringat dingin membasahi tubuh Dustin. Di belakang, Jacob menangis di sebelah Elsa yang tidak sadarkan diri.Setelah menempuh perjalanan udara, helikopter berhenti di helipad gedung rumah sakit. Saat itu juga Dustin membopong tubuh Elsa yang lemas tidak berdaya, di belakangnya Jacob berlari mengikuti sambil menangis."Dokter, cepat selamatkan istriku!" teriak Dustin, raut wajah pucatnya menunjukkan kekhawatiran yang luar biasa. Karena terlalu cemas dengan kondisi Elsa, Dustin tidak sadar kalau dia kehilangan Jacob saat keluar dari lift.Pihak medis segera membawa Elsa ke ruangan, suasana semakin menegangkan bagi Dustin. Dia hanya berjalan kesana kemari dengan khawatir menunggu hasil pemeriksaan Elsa keluar. Dustin cemas, bagaimana kalau tindakannya kemarin yang kelewatan membuat Elsa jadi seperti ini?Sambil menyugar rambutnya frustasi, Dustin tak henti-hentinya berdoa agar Els
Rencana untuk memiliki anak kedua ternyata bukan candaan, dan untuk membuat keinginan tersebut menjadi nyata tentunya Elsa dan Dustin perlu melakukan tindakan yang lebih sering lagi berbagi kehangatan bersama. Sejak beberapa malam yang lalu, Dustin dan Elsa sepakat kalau mereka akan memberikan seorang adik untuk Jacob.Hari ini Elsa sedang melihat hasil fermentasi anggur dari kebun pribadi mereka, tiba-tiba saja Dustin datang dari belakang memeluk pinggang Elsa."Coba anggur ini, sepertinya ada yang salah dengan cara pembuatannya." Elsa memberikan percobaan pertama untuk Dustin, pria itu mencobanya lalu menggeleng."Tidak, memang seperti ini rasanya. Kita tidak bisa membuka botol anggur yang difermentasi kecuali jika ingin meminumnya, karena setelah dibuka maka rasa dari minuman anggur ini akan berbeda dalam hitungan jam." jawabnya.Elsa mengangguk mengerti, dia baru tau kalau dalam fermentasi wine dengan cara seperti ini. Di dalam ruangan bawah tanah itu, ada banyak sekali tong berisi
Musim demi musim terus berganti, tak terasa kini Jacob sudah berusia lima tahun. Keseharian yang selalu dilakukan Elsa dan Dustin selama lima tahun terakhir memang tidak banyak berubah, namun tentu saja kehidupan sederhana mereka sangatlah menyenangkan.Terik matahari tidak menghalangi Elsa untuk duduk bersantai, melihat Dustin dan putranya sedang bermain papan seluncur menerjang ombak yang bergelombang cukup tinggi pagi itu. Ditemani sebuah kacamata hitam, Elsa menikmati momen yang ia rasakan."Hidup tanpa internet ternyata tak seburuk yang kuduga," gumamnya, tersenyum pada keheningan di sekelilingnya.Dari kejauhan terlihat Jacob berlari menghampiri, di belakangnya Dustin mengikuti Jacob. Kedua lelaki itu seperti duplikat versi kecil dan besar, Jacob sangat mirip dengan Dustin kecuali rambutnya sedikit pirang seperti Elsa."Ibu, aku sudah bisa berselancar sendiri!" seru Jacob dengan gembira, matanya berkilauan penuh kebanggaan.Dustin tersenyum dan mengusap kepala putranya. "Kamu he
Setahun berlalu dengan cepat, dan selama satu tahun itu Dustin hanya sekali keluar pulau untuk melihat anak-anak panti asuhan dan juga perkembangan perusahaannya. Namun di hari yang sama juga, Dustin kembali ke pulau sehingga Kellan tak bisa melacak keberadaannya.Beberapa waktu terakhir adalah pergantian musim semi, sehingga udara lebih hangat dari biasanya. Banyak kelinci berkeliaran bebas, bahkan Jacob yang kini usianya lebih dari setahun sudah lincah berlarian mengejar beberapa kelinci yang ada di belakang rumah."Dustin!" panggil Elsa sambil menuruni tangga, namun ia hanya melihat Jacob yang bermain di temani oleh seorang pengasuh di luar. "Dimana Dustin?" tanya Elsa.Pengasuh Jacob menoleh, "Tuan ke arah sana membawa jaring, Nyonya." jawabnya sambil menunjuk sebuah arah.Elsa mendengus tipis, pasti Dustin pergi untuk mencari udang. Pria itu tidak pernah berubah, setiap ada waktu pasti akan mencari udang-udang liar itu. "Kamu jaga putraku," kata Elsa.Dengan langkah cepat, Elsa m
Tidak ada masalah, tidak ada pengganggu. Suasana tenang dalam kedamaian, bahkan untuk melakukan apapun di pulau itu bebas tanpa ada yang melarang. Dustin bisa mengekspresikan dirinya seperti apa adanya, tetap menjadi Dustin yang menginginkan kebebasan.Dan ternyata, kehidupan di pulau tersebut adalah kebebasan yang sebenarnya Dustin cari. Kehidupan di kota tak begitu menyenangkan seperti yang pernah Dustin bayangkan, justru kehidupan di kota sangatlah mengerikan, karena di sana Dustin tak bisa tenang menjalani hidupnya dengan Elsa.Tapi di pulau ini, apapun yang Dustin inginkan dengan Elsa bisa mereka lakukan bersama tanpa takut ancaman dari orang lain. Tidak ada yang akan terluka, tidak ada hati yang akan merasa terkhianati. Hanya ada kedamaian, rasa tenang dan kehidupan yang benar-benar santai.Musim panas masih berlangsung, Elsa duduk di tepi pantai melihat Dustin menerjang ombang dengan papan seluncur. Terlihat sangat mahir, pria itu juga terlihat semakin tampan dan eksotis saat ku
Setelah menempuh perjalanan dua hari dua malam melalui jalur laut yang cukup berbahaya, Dustin dan Elsa akhirnya tiba di pulau tempat tinggal Dustin sebelumnya pada pukul delapan pagi. Tidak ada yang berbeda dari tempat itu, setidaknya lebih dari setahun Elsa meninggalkan pulau sebelum kembali lagi.Elsa turun dari yacht, ia baru tau ada dermaga yang di bangun khusus untuk parkir kendaraan air berukuran besar itu. Dustin mengikuti Elsa setelah mengikat tali kapan dan menurunkan jangkar."Udara yang aku rindukan," ucap Dustin sambil merentangkan tangan."Jangan lupa bawa barang milik Jacob," tegur Elsa.Dustin berdecih lirih, tapi tetap menenteng tas yang berisi barang kebutuhan putranya. Mereka menuju ke rumah satu-satunya di tempat itu, sebelum masuk ke dalam rumah, langkah Elsa berhenti."Sepertinya ada yang aneh," ucapnya.Dustin tersenyum tipis, tanpa menjawab, dia mendahului Elsa masuk ke rumah. Dan benar saja, ada yang aneh. Rumah itu terlihat lebih baru dan terawat, halaman yan