Hari pertama Elsa bekerja di kediaman Dustin, ia baru menyadari kalau tempat tersebut ada di tengah-tengah sebuah pulau, dimana bahan makanan yang didapat dari hasil para pelayan menanam dan juga sebagian dikirim langsung melalui helikopter.
Tidak ada kendaraan laut atau darat, tempat tersebut sangat sulit diakses dan mungkin juga tersembunyi dari peta dunia. Elsa tidak pernah melihat kalau ada pulau seperti ini ketika menjelajah peta melalui ponselnya.
Pantas saja Marley sempat berkata kalau Elsa akan sulit keluar dari sana. Rupanya memang benar, satu-satunya akses untuk keluar masuk pulau adalah menggunakan kendaraan udara.
"Jadi selama ini Dustin tinggal begitu jauh dari peradaban manusia pada umumnya? Dia tidak tau internet, dia tidak tau mall atau sesuatu yang ada di kota besar. Dia bahkan tidak pernah melihat gedung pencakar langit." batin Elsa turut merasa kasihan.
Tapi ketika ia bekerja di balkon untuk membersihkan lantai, Elsa melihat Dustin sedang olahraga di luar ruangan. Jika di perhatikan, sepertinya Elsa lebih kasihan karena ia berada di sini juga karena hutang. Sementara Dustin pasti punya lebih banyak uang dari yang Elsa pikirkan.
"Dia adalah putra dari keluarga Dawson. Dia hidup serba berkecukupan walaupun tinggal di tempat terpencil seperti ini." gumamnya.
Ketika Dustin menoleh, tidak sengaja tatapan mata mereka saling bertemu. Dustin sempat terdiam untuk melihat ke arah Elsa, karena merasa di perhatikan oleh Tuan Rumah. Elsa pun kembali melanjutkan pekerjaan.
"Ternyata rumah bagian kanan yang disebut Marley sangat luas. Bagaimana bisa aku menyelesaikan ini sendirian dalam sehari?" pikir Elsa sedikit menggerutu dan sedikit tidak percaya kalau ada rumah sebesar itu di tengah pulau terpencil.
Selesai membersihkan area balkon dan sekitarnya, ia pun turun ke lantai bawah. Di sana Dustin juga baru saja masuk rumah, keringat di leher dan wajahnya terlihat menetes. Pria itu menerima handuk yang Marley tawarkan, dan sekali lagi tatapannya bertemu dengan Elsa.
Seketika Elsa menundukkan kepala bergegas pergi, ia baru sehari di rumah itu dan belum mengetahui seperti apa sifat Dustin. Apakah sama dengan Deon atau justru lebih parah, ia tidak tau akan hal itu.
"Beritahu anak baru itu untuk jangan masuk ke dalam kamarku sampai aku mengizinkan." ucap Dustin dengan tatapan tajamnya yang melihat bahu Elsa berjalan menjauh.
Marley mengangguk patuh. "Baik, Tuan."
Dustin pun menuju ke sisi lain rumah, dengan sexy ia melepaskan singlet hitam dan melemparnya ke atas meja sebelum terjun ke kolam dengan gerakan yang indah. Setelah cukup bermain dengan air, pria itu kembali naik ke permukaan dan mengenakan jubah mandi sambil membiarkan rambutnya meneteskan air.
"Hei, kau!" seru Dustin saat Elsa lewat membawa alat pel.
Tubuh perempuan itu tampak membeku saat dipanggil, perlahan membalikkan badan dengan raut wajah tegangnya.
"Kemari!" Dustin menggerakkan tangannya menyuruh Elsa mendekat.
Mau tak mau Elsa meletakkan alat pel yang ia pegang lalu mendekati Dustin. "Ya, Tuan. Anda butuh sesuatu?" tanya Elsa.
"Berapa usiamu?" Dustin malah balik bertanya, hal itu membuat Elsa menaikkan kedua alisnya karena penasaran pertanyaan Dustin diluar dugaannya.
"Tahun ini dua puluh empat tahun."
"Kau pernah jadi pelayan sebelumnya?" tanya Dustin lagi.
Elsa pun menggeleng, ia pernah bekerja sebagai karyawan swasta di perusahaan. Karirnya mulai bagus ketika bekerja di perusahaan Dawson sebagai resepsionis, tapi apa yang terjadi ia justru diculik untuk menjadi pelayan di tempat ini.
"Lantas kenapa kamu ada di sini dan menjadi pelayan? Apa kamu tau, rumah ini sangat jauh dari kota. Akses untukmu kembali pulang pun tidaklah mudah." Dustin kembali bertanya seperti orang yang sedang mewawancarai calon pekerja.
Elsa tau kalau ia akan kesulitan keluar dari tempat ini, tapi dirinya tidak punya pilihan lain. Tentunya Elsa tidak akan membiarkan Brisa, anak dari kakaknya yang mengambil alih pekerjaan orang dewasa di tempat ini.
Apa Dustin benar-benar tidak tau tentang keluarganya di luar sana? Apa pria ini tumbuh besar di tengah pulau seperti ini? Malang sekali nasibnya karena diasingkan oleh keluarganya, tapi lebih malang nasib Elsa karena di tempat itu ia jadi pelayan, sangat sial.
"Aku tau, aku bekerja untuk mendapatkan banyak uang di tempat ini." jawabnya berbohong agar Dustin tidak banyak bertanya lagi, toh pria ini juga tidak tau dunia luar sana seperti apa. Internet pun tidak bisa diakses dari tempat itu.
"Berapa banyak uang yang kau inginkan untuk keluar dari sini?"
Elsa mengernyitkan kening. "Kalau saya menyebutkan angka, apa Anda akan memberikannya? Apa Anda akan menyuruh saya keluar dari sini?" tiba-tiba raut wajah tegangnya tadi menjadi senang kalau memang Dustin akan menyuruhnya pergi.
Tapi dugaan Elsa salah, pria itu justru tertawa dengan nada mengejek. "Menyuruhmu pergi? Kamu berpikir seolah keluar masuk tempat ini sangatlah mudah. Sebaiknya kamu bersiap, kau akan menjalani masa tuamu di tempat ini, sama seperti Marley. Jadi percuma memiliki banyak uang kalau kau tidak akan bisa menggunakannya untuk membeli apapun."
Seketika raut wajah Elsa menjadi murung, tapi apa yang Dustin katakan benar. Memiliki banyak uang di tempat ini sia-sia karena tidak bisa digunakan. Ia langsung tertampar oleh fakta yang menyakitkan sampai tembus ke bagian hatinya.
"Sekarang pergi dan bawakan aku buah segar." perintah Dustin, pria itu dengan santai bersandar di kursi dekat kolam renang sambil memejamkan matanya.
"Aku harap kau tidak tuli, Nona Elsa." kata Dustin memberikan teguran.
Hari demi hari berlalu, Elsa mulai memahami aktivitas apa yang sering kali Dustin lakukan setiap hari. Walaupun tidak ada internet atau akses untuk menggunakan media elektronik, tapi Dustin sangat rajin sekali membaca buku.Ada sebuah ruangan yang Elsa masuki, semua yang ada di ruangan itu adalah buku yang membahas tentang bisnis. Namun untuk apa Dustin belajar tentang bisnis kalau pria itu terkekang di dalam penjara yang ada di tengah pulau seperti ini?"Apa yang kamu lakukan di sini?" Elsa berjingkrak kaget, ia sampai tidak sengaja menjatuhkan buku yang sedang ia pegang. "Tidak ada, saya hanya tertarik dengan buku yang ada disini. Kalau begitu saya akan melanjutkan pekerjaan, permisi." buku tadi segera Elsa ambil dan simpan ke tempatnya semula lalu bergegas pergi.Dustin sempat memperhatikan, tapi pria itu mengabaikannya selama Elsa tidak merusak benda apapun yang ada di rumah itu."Elsa, bisa kamu bantu aku membawa beberapa sayur yang baru dipetik?" seru pelayan Marley."Baik." jaw
Pagi itu Elsa bertugas merawat tanaman bunga, memastikan bunga yang sudah mati untuk diganti yang baru. Berhubung taman yang Elsa rawat menghadap laut, saat ini ia melihat kalau Dustin tengah lari pagi di pinggir pantai.Tanpa sadar Elsa diam memperhatikan. Ia penasaran, apa Dustin tidak bosan menghabiskan waktu di pulau seperti ini sendirian, tanpa akses untuk ke dunia modern di luar sana."Aku baru tiga minggu di tempat ini, dan aku sudah sangat bosan. Rasanya ingin kembali ke kota, tapi aku tidak tau bagaimana caranya untuk pulang." Elsa hanya pasrah, ia pun menyelesaikan pekerjaan dengan baik sebelum masuk ke rumah.Saat itu Marley terlihat baru saja keluar dari kamar Dustin membawa pakaian kotor, wanita paruh baya itu hanya tersenyum simpul dan melewati Elsa tanpa mengatakan apapun."Semua penghuni di rumah ini sedikit aneh, Nyonya Marley kadang baik padaku, tapi di waktu yang berbeda dia seperti orang asing yang tidak aku kenal." Elsa menggelengkan kepala, ia masih harus members
Setelah langit cerah, Elsa kembali menjalani aktivitas seperti biasanya. Namun, sesekali ia teringat akan mimpinya semalam, yang terasa begitu nyata hingga hampir seperti bukan mimpi."Elsa, sebentar lagi akan ada barang yang datang. Tolong bantu aku mengemasinya untuk persiapan beberapa minggu ke depan." kata pelayan Marley.Elsa mengangguk patuh. Dua jam kemudian, suara helikopter terdengar mendekat. Dua pria dewasa menurunkan barang-barang dari helikopter dan membawanya masuk ke dalam rumah. Saat itu, Elsa melihat Dustin di balkon lantai dua, memperhatikan helikopter dengan ekspresi datar."Nyonya Marley, apa Tuan Dustin sering seperti itu? Apa dia tidak punya keinginan untuk pergi keluar dari pulau ini?" tanya Elsa penasaran.Pelayan Marley meletakkan barang bawaannya lalu menatap Elsa. "Tidak mudah keluar dari tempat ini, Elsa. Kalau memang Dustin ingin pergi dari tempat ini, memang dia bisa kemana? Pulau ini adalah tempat tinggalnya dari dia masih kecil hingga tumbuh dewasa sepe
Elsa mengamati Dustin dari lantai dua. Pria itu sedang bersantai di teras, menikmati secangkir teh pagi sambil membaca buku. Setelah menyelesaikan pekerjaannya di lantai dua, Elsa turun ke lantai satu untuk melanjutkan tugas lainnya.Saat itu, Dustin masuk ke dalam rumah, dan keduanya berpapasan."Tidurmu nyenyak di rumah ini?" tanya Dustin, suaranya lembut.Elsa sedikit heran mengapa Dustin tiba-tiba menyapanya lebih dulu, namun ia menjawab dengan anggukan. "Sepertinya aku mulai terbiasa tinggal di sini," jawabnya dengan senyum tipis.Dustin tiba-tiba memperhatikan leher Elsa, keningnya mengernyit. "Ada apa dengan lehermu?"Refleks, Elsa menutup lehernya dengan telapak tangan. "Oh, itu... Aku juga tidak tahu. Mungkin saat tidur ada serangga yang menggigitku," katanya dengan nada tak yakin.Dustin mengangguk singkat, kemudian melangkah pergi tanpa bertanya lebih lanjut. Elsa memperhatikan bahu lebar Dustin yang menjauh. Tubuh pria itu mirip dengan sosok dalam mimpinya, tubuh tinggi dan
Rencana Elsa gagal total, ia tidak ingat sejak kapan dirinya ketiduran. Begitu bangun, lagi-lagi langit sudah terang. Semalam ia tidak ingat apa yang terjadi, namun bagian tubuhnya terasa seperti sebelumnya dimana bagian dadanya nyeri seperti diremas oleh seseorang."Elsa, kamu sakit?" tanya pelayan Marley, dengan nada khawatir."Oh, tidak. Aku hanya bermasalah dalam tidur," jawab Elsa sambil menggelengkan kepala, mencoba menghilangkan kekhawatiran Marley.Semalam Elsa ingat bahwa setelah minum, dirinya duduk hingga larut malam. Namun, entah kenapa ia ketiduran begitu saja. Rasa penasarannya mengarah pada air minum yang selalu ia siapkan di meja.Kelihatannya, malam ini Elsa tidak perlu minum untuk tidur. Itu adalah jalan satu-satunya untuk mengetahui apakah ada masalah dengan air tersebut atau memang hormon dalam dirinya yang membuatnya mudah mengantuk setelah minum."Aku merasa ada yang tidak beres dengan rumah ini, pasti ada rahasia besar yang belum aku ketahui," pikirnya.Malam ha
Elsa masuk kembali ke dalam kamar, tapi tidak ada bekas darah apapun di sana. Ia juga keluar untuk memastikan bagaimana semalam orang itu bisa naik ke balkon lantai dua sementara tempat tersebut sangat tinggi.Namun Elsa tidak mendapatkan bekas darah apapun, kamar sudah kembali bersih dan rapi. Sepertinya sudah ada yang membersihkannya, hingga tatapan Elsa mengarah pada lemari yang sempat ia geser ke ujung ruangan, dimana ada celah mencurigakan kalau itu adalah pintu yang terhubung ke ruangan lain."Jangan bilang karena aku menutup bagian ini sehingga dia nekat melewati balkon?" pikirnya.Elsa ke balkon, lalu melihat ke bawah. Setelah berpikir sejenak, ia pun turun untuk memastikan orang semalam terluka. Tapi tidak ada jejak apapun, Elsa dengan teliti mencari bukti hingga ia melihat setetes darah tidak jauh dari kamar Dustin.Elsa mendongak, di atas adalah kamar Dustin. Lalu ia menunduk, dan darah itu menetes dari arah sana. Spontan Elsa menutup bibirnya, jangan bilang kalau pelakunya
Rasa penasaran Elsa semakin memuncak, terlebih saat ia menemukan tetesan darah di bawah balkon tempat kamar Dustin berada tadi siang. Tapi jika Dustin adalah pelakunya, mengapa pria itu tidak memiliki luka apapun di kepalanya?Elsa merasa perlu mencari bukti sendiri untuk menuntaskan rasa penasaran. Mungkin semua orang di sini saling bekerja sama untuk menutupi sesuatu yang ia tidak ketahui. Lalu apakah monster yang Marley katakan juga hanya untuk membuatnya takut?"Ada apa di luar saat malam? Ini membuatku semakin penasaran tinggal di tempat ini," gumam Elsa. Akhirnya, untuk pertama kalinya, ia keluar setelah langit gelap. Tempat itu sangat mengerikan tanpa cahaya.Namun, ia memberanikan diri. Di tempat ini, tak ada siapapun yang akan membantunya jika bukan keberaniannya. Satu jam di luar rumah, tak ada apapun yang terjadi. Elsa kembali ke dalam dan melihat sosok tinggi besar berada di dapur."Apa yang dia lakukan?" ucapnya lirih sambil berjalan mendekat.Ia mengenali sosok itu sebag
Bagaikan mimpi buruk yang selalu datang saat ia tertidur. Kali ini dengan kesadaran penuh, Elsa melihat Dustin menyentuh tubuhnya dengan paksa. Pria itu meremasnya, menghisapnya, menusuknya dengan pergerakan yang tajam.Meskipun hatinya sakit diperlakukan seperti budak, tapi sialnya Elsa tak bisa menahan diri mengeluarkan suara memalukan itu dari bibirnya. Air matanya menetes, di antara kegelapan malam yang pekat. Tubuh disentuh tanpa permisi oleh orang yang tidak ia cintai."Aku merasa sangat hina," batinnya pilu, tapi pria yang sedang menguasai tubuhnya terlihat begitu menikmati permainannya.Dari awal, Elsa sudah merasa kalau Dustin sangat mencurigakan. Sifatnya yang misterius itu membuatnya penasaran, dan kecurigaannya ternyata benar kalau yang masuk ke dalam kamarnya setiap malam adalah Dustin.Namun mengetahui fakta itu atau tidak, tak ada yang berubah, justru secara tidak langsung ia malah menjerumuskan diri ke dalam bahaya yang lebih mengerikan."Ini lebih nikmat dari yang aku
15 tahun kemudian.Seorang remaja berlari cepat keluar dari mobil, nyaris tersandung saat memasuki rumah. Nafasnya terengah, tapi wajahnya dipenuhi kegembiraan. Dustin, yang baru saja selesai menutup laptopnya setelah bekerja seharian, langsung tersentak melihat putranya datang tergesa-gesa."Jacob, ada apa?"Dengan bangga Jacob menunjukkan sertifikat berprestasi pada Dustin, "Kakek menyuruhku untuk menyelesaikan pendidikan tepat waktu, tapi aku bisa melakukannya dengan lebih cepat."Dustin memandang putranya dengan ekspresi bingung. "Maksudmu?""Aku lulus, aku menjadi mahasiswa termuda yang akan lulus tahun ini." teriak Jacob sangat bangga, belum sempat Dustin bereaksi, Jacob sudah berlari ke halaman belakang untuk memamerkannya pada Elsa.Terlihat remaja dua puluh tahun itu sangat antusias saat pamer prestasinya di depan Elsa, senyum Dustin menghiasi wajahnya. Dulu ia sempat berprasangka buruk dengan pilihan Kellan Dawson saat pria itu meminta agar mengutamakan pendidikan Jacob.Dan
Beberapa hari berlalu, dan Dustin akhirnya memberi tahu Elsa keputusan yang sudah ia buat. Mulai hari ini, mereka akan tinggal di New York tanpa batas waktu yang pasti. Kekhawatiran Dustin soal kesehatan Elsa, terutama kandungannya yang masih rentan, membuatnya merasa pulau itu terlalu jauh dari fasilitas medis yang memadai. Ia tidak ingin mengambil risiko.Namun hari ini, ketakutan Elsa yang selama ini membayangi akhirnya tiba. Kellan Dawson, pria yang selama ini menghantui pikirannya, berdiri di depan rumah. Sementara itu Elsa hanya di rumah dengan Jacob berdua, Dustin pergi tanpa memberi tahu tujuannya.Melihat sosok Kellan dari balik jendela saja membuat seluruh tubuh Elsa gemetar. Detak jantungnya berpacu, pikiran-pikiran buruk menyerbu benaknya. Apakah dia datang untuk memisahkanku dari Dustin lagi? Refleks, Elsa memeluk perutnya, seolah melindungi bayinya dari ancaman.Pintu terbuka, dan seketika atmosfer di dalam rumah berubah. Udara terasa lebih tebal, seolah setiap molekul di
Setelah menunggu dengan cemas, Elsa akhirnya membuka matanya. Dua belas jam ia tak sadarkan diri, dan begitu ia terbangun, rasa pusing langsung menyerang kepalanya, membuat dunia di sekitarnya seakan bergelombang. Dengan gerakan lemah, tangan Elsa menyentuh kepalanya, mencoba meredakan rasa sakit yang berdenyut di dalamnya.“Dustin,” desisnya pelan, nyaris tak terdengar.Dustin yang tertidur di kursi sebelahnya langsung terbangun. Kantuk masih terlihat jelas di wajahnya, namun kekhawatiran segera menggantikan saat ia melihat Elsa mulai bergerak.“Els, kamu sudah sadar? Apa kau baik-baik saja sekarang?” tanyanya cemas, suaranya penuh harap.Elsa menggeleng lemah. “Tidak... aku tidak baik-baik saja.” Suaranya serak, dan kepalanya masih terasa berat. “Di mana Jacob?” tanyanya, pikirannya langsung melayang pada anak mereka.“Dia bersama Deon,” jawab Dustin.Elsa sontak menatap Dustin, matanya menyiratkan kebingungan. Jacob? Dengan Deon? Pikiran Elsa berkecamuk, namun sebelum ia sempat melo
Perjalanan dari pulau menuju kota setidaknya membutuhkan waktu dua jam, selama dua jam dalam perjalanan itu keringat dingin membasahi tubuh Dustin. Di belakang, Jacob menangis di sebelah Elsa yang tidak sadarkan diri.Setelah menempuh perjalanan udara, helikopter berhenti di helipad gedung rumah sakit. Saat itu juga Dustin membopong tubuh Elsa yang lemas tidak berdaya, di belakangnya Jacob berlari mengikuti sambil menangis."Dokter, cepat selamatkan istriku!" teriak Dustin, raut wajah pucatnya menunjukkan kekhawatiran yang luar biasa. Karena terlalu cemas dengan kondisi Elsa, Dustin tidak sadar kalau dia kehilangan Jacob saat keluar dari lift.Pihak medis segera membawa Elsa ke ruangan, suasana semakin menegangkan bagi Dustin. Dia hanya berjalan kesana kemari dengan khawatir menunggu hasil pemeriksaan Elsa keluar. Dustin cemas, bagaimana kalau tindakannya kemarin yang kelewatan membuat Elsa jadi seperti ini?Sambil menyugar rambutnya frustasi, Dustin tak henti-hentinya berdoa agar Els
Rencana untuk memiliki anak kedua ternyata bukan candaan, dan untuk membuat keinginan tersebut menjadi nyata tentunya Elsa dan Dustin perlu melakukan tindakan yang lebih sering lagi berbagi kehangatan bersama. Sejak beberapa malam yang lalu, Dustin dan Elsa sepakat kalau mereka akan memberikan seorang adik untuk Jacob.Hari ini Elsa sedang melihat hasil fermentasi anggur dari kebun pribadi mereka, tiba-tiba saja Dustin datang dari belakang memeluk pinggang Elsa."Coba anggur ini, sepertinya ada yang salah dengan cara pembuatannya." Elsa memberikan percobaan pertama untuk Dustin, pria itu mencobanya lalu menggeleng."Tidak, memang seperti ini rasanya. Kita tidak bisa membuka botol anggur yang difermentasi kecuali jika ingin meminumnya, karena setelah dibuka maka rasa dari minuman anggur ini akan berbeda dalam hitungan jam." jawabnya.Elsa mengangguk mengerti, dia baru tau kalau dalam fermentasi wine dengan cara seperti ini. Di dalam ruangan bawah tanah itu, ada banyak sekali tong berisi
Musim demi musim terus berganti, tak terasa kini Jacob sudah berusia lima tahun. Keseharian yang selalu dilakukan Elsa dan Dustin selama lima tahun terakhir memang tidak banyak berubah, namun tentu saja kehidupan sederhana mereka sangatlah menyenangkan.Terik matahari tidak menghalangi Elsa untuk duduk bersantai, melihat Dustin dan putranya sedang bermain papan seluncur menerjang ombak yang bergelombang cukup tinggi pagi itu. Ditemani sebuah kacamata hitam, Elsa menikmati momen yang ia rasakan."Hidup tanpa internet ternyata tak seburuk yang kuduga," gumamnya, tersenyum pada keheningan di sekelilingnya.Dari kejauhan terlihat Jacob berlari menghampiri, di belakangnya Dustin mengikuti Jacob. Kedua lelaki itu seperti duplikat versi kecil dan besar, Jacob sangat mirip dengan Dustin kecuali rambutnya sedikit pirang seperti Elsa."Ibu, aku sudah bisa berselancar sendiri!" seru Jacob dengan gembira, matanya berkilauan penuh kebanggaan.Dustin tersenyum dan mengusap kepala putranya. "Kamu he
Setahun berlalu dengan cepat, dan selama satu tahun itu Dustin hanya sekali keluar pulau untuk melihat anak-anak panti asuhan dan juga perkembangan perusahaannya. Namun di hari yang sama juga, Dustin kembali ke pulau sehingga Kellan tak bisa melacak keberadaannya.Beberapa waktu terakhir adalah pergantian musim semi, sehingga udara lebih hangat dari biasanya. Banyak kelinci berkeliaran bebas, bahkan Jacob yang kini usianya lebih dari setahun sudah lincah berlarian mengejar beberapa kelinci yang ada di belakang rumah."Dustin!" panggil Elsa sambil menuruni tangga, namun ia hanya melihat Jacob yang bermain di temani oleh seorang pengasuh di luar. "Dimana Dustin?" tanya Elsa.Pengasuh Jacob menoleh, "Tuan ke arah sana membawa jaring, Nyonya." jawabnya sambil menunjuk sebuah arah.Elsa mendengus tipis, pasti Dustin pergi untuk mencari udang. Pria itu tidak pernah berubah, setiap ada waktu pasti akan mencari udang-udang liar itu. "Kamu jaga putraku," kata Elsa.Dengan langkah cepat, Elsa m
Tidak ada masalah, tidak ada pengganggu. Suasana tenang dalam kedamaian, bahkan untuk melakukan apapun di pulau itu bebas tanpa ada yang melarang. Dustin bisa mengekspresikan dirinya seperti apa adanya, tetap menjadi Dustin yang menginginkan kebebasan.Dan ternyata, kehidupan di pulau tersebut adalah kebebasan yang sebenarnya Dustin cari. Kehidupan di kota tak begitu menyenangkan seperti yang pernah Dustin bayangkan, justru kehidupan di kota sangatlah mengerikan, karena di sana Dustin tak bisa tenang menjalani hidupnya dengan Elsa.Tapi di pulau ini, apapun yang Dustin inginkan dengan Elsa bisa mereka lakukan bersama tanpa takut ancaman dari orang lain. Tidak ada yang akan terluka, tidak ada hati yang akan merasa terkhianati. Hanya ada kedamaian, rasa tenang dan kehidupan yang benar-benar santai.Musim panas masih berlangsung, Elsa duduk di tepi pantai melihat Dustin menerjang ombang dengan papan seluncur. Terlihat sangat mahir, pria itu juga terlihat semakin tampan dan eksotis saat ku
Setelah menempuh perjalanan dua hari dua malam melalui jalur laut yang cukup berbahaya, Dustin dan Elsa akhirnya tiba di pulau tempat tinggal Dustin sebelumnya pada pukul delapan pagi. Tidak ada yang berbeda dari tempat itu, setidaknya lebih dari setahun Elsa meninggalkan pulau sebelum kembali lagi.Elsa turun dari yacht, ia baru tau ada dermaga yang di bangun khusus untuk parkir kendaraan air berukuran besar itu. Dustin mengikuti Elsa setelah mengikat tali kapan dan menurunkan jangkar."Udara yang aku rindukan," ucap Dustin sambil merentangkan tangan."Jangan lupa bawa barang milik Jacob," tegur Elsa.Dustin berdecih lirih, tapi tetap menenteng tas yang berisi barang kebutuhan putranya. Mereka menuju ke rumah satu-satunya di tempat itu, sebelum masuk ke dalam rumah, langkah Elsa berhenti."Sepertinya ada yang aneh," ucapnya.Dustin tersenyum tipis, tanpa menjawab, dia mendahului Elsa masuk ke rumah. Dan benar saja, ada yang aneh. Rumah itu terlihat lebih baru dan terawat, halaman yan