Claudia tahu cepat atau lambat dia harus berhadapan dengan Selena mau pun Deon, tapi kenapa harus sekarang, saat Claudia sedang berada dalam suasana hati yang baik? Memangnya tidak boleh Claudia memiliki teman baru dan merasa bahagia, hingga takdir membawakan Selena padanya?“Ada apa, Selena?” Zoya bertanya pada Selena yang merupakan salah satu sekretaris ayahnya. Claudia tidak bergerak atau menoleh, wajahnya pucat dan napasnya sedikit sesak. Sedikit keberuntungan yang Claudia punya, tempat duduknya yang berada di antara Zoya dan Mia membuatnya secara otomatis membelakangi arah datang Selena. Kalau Selena tidak menoleh dan memperhatikan, ia pasti tidak akan tahu Claudia di sana.“Maaf, Bu Zoya, tapi Pak Narendra meminta saya untuk memanggil Anda karena ada tamu yang harus dikenalkan,” ucap Selena sopan. Sebenarnya hari ini ia diperbolehkan untuk tidak datang, tapi berada di apartement itu sendirian membuat Selena muak. Pagi ini ia dan Deon bahkan bertengkar lagi, dengan masalah yang
Claudia menegakkan tubuh setelah mendengar kata-kata Mia. Matanya mengerjap heran karena Mia terlihat kesal, padahal yang diselingkuhi adalah Claudia, dan lagi ini pertemuan pertama mereka. Rasanya agak aneh ada seseorang yang marah untuk Claudia saat mereka baru saja berkenalan. "Benar, caramu terlalu lembut, Claudia. Tapi, itu juga lumayan." Grace ikut menimpali, sikapnya masih sangat tenang dan menikmati tehnya tanpa kesalahan. Claudia tersenyum, berterima kasih pada mereka yang mau menunjukkan kepedulian padanya, padahal masalah seperti itu harusnya tidak dibawa ke tempat umum, apalagi tempat di mana Selena bekerja. "Jadi, siapa kamu sebenarnya, Claudia?" Pertanyaan yang Mia ajukan membuat Claudia tergagap. Kenapa tiba-tiba menanyakan sesuatu yang sudah jelas? "Aku pengasuh tuan muda Raga," jawab Claudia cepat, untungnya tidak gagap dan ragu-ragu dalam menjawab. "Bukankah aku sudah mengenalkan diri tadi?" Mia berdecih, berbeda dengan Grace yang tersenyum simpul. "Aku
Kenapa Claudia harus bertemu dengan Selena lagi? Jangan bilang wanita itu sengaja menunggu hingga Claudia meninggalkan taman? “Kenapa aku harus menjawab pertanyaanmu? Siapa pun yang mewakili yayasan ke sini atau sebagai ‘siapa’ aku di sini, itu bukan urusanmu sama sekali. Enyahlah, Selena, aku sedang tidak ingin melihat wajahmu.”Kata-kata dingin yang Claudia lontarkan membuat Selena geram. Bagaimana bisa wanita itu masih saja bersikap sombong dan penuh percaya diri setelah kehilangan Deon?“Yaah, tentu saja. Aku mengerti kenapa kamu tidak mau melihat wajahku. Pasti sulit menghadapi wanita yang dicintai oleh tunanganmu, kan? Ups, maksudku mantan tunangan!” Selena menutup mulutnya dengan satu tangan, bibirnya menyeringai, mengejek terang-terangan pada Claudia.Claudia menghela napas, tidak menanggapi ucapan Selena dan berlalu begitu saja, keluar dari toilet dan meninggalkan wanita itu.“Kamu tahu apa yang menyebabkan Deon lebih memilihku? Karena kamu tidak mampu memberikan apa yang di
"Kenapa mencariku?" Claudia bertanya setelah memasuki area taman sembari menjauh dari Malven, secara otomatis melepaskan dekapan pria itu di pinggangnya. "Apa aku baru saja dicampakkan, padahal aku sudah membantumu?" Malven berdecak, tapi tetap berjalan di samping Claudia tanpa berusaha meraih wanita itu lagi."Membantuku dari apa?" Claudia masih bersikap tenang, berharap Malven tidak mendengarkan apa pun obrolannya dan Selena."Dari sepupumu yang tidak tahu malu?" Malven bersiul sambil melangkah lebih dulu di depan Claudia, senyumnya segera berganti menjadi senyuman bisnis saat sudah hampir sampai di meja tempat para putri berkumpul."Papa! Kakak!" Raga berlari ke arah Malven, di sisinya ada Freya yang sedang memegang tangannya, ikut berlari juga."Wow, hati-hati, Tuan Putri!" Malven dengan sigap meraih tubuh Freya yang terhuyung ke depan, hampir saja jatuh dengan tidak elit karena tidak bisa mengimbangi langkah cepat Raga."Aku bilang lepasin tanganku, kan?!" Raga merengut, melepas
“Berhentilah mengatakan omong kosong, kalau putraku mendengarnya bisa menyebabkan salah paham.” Malven menanggapi dengan santai, tatapannya mengarah pada tempat di mana Claudia berada. Raut wajah Claudia tidak terlihat baik sejak ia menemukannya sedang ‘bicara’ dengan Selena, tapi melihat bagaimana wanita itu tetap tersenyum pada orang-orang di sekitarnya membuat perasaan Malven tidak nyaman.“Hmm … apa dia orangnya?”Pertanyaan yang dilayangkan Kaindra dengan suara berbisik itu membuat Malven mengernyit. “Apa maksudmu dengan ‘dia orangnya’?” tanyanya tidak mengerti. Kaindra bukan orang yang akan tertarik pada seseorang yang baru ditemuinya, bahkan beberapa saat lalu juga Kaindra masih tidak peduli pada keberadaan Claudia. Apa yang menyebabkan pria itu tiba-tiba terlihat tertarik?“Itu tugasmu untuk mencari tahu apa maksudku, Malven!” Kaindra tersenyum lebar, “Temui aku lagi saat kamu menemukan jawabannya,” ucapnya sembari melambaikan tangan dan meninggalkan Malven, kembali ke dalam,
Claudia mengernyit, “Kalau begitu biarkan aku tidur di kamar lain!” ujarnya kesal, mau istirahat saja banyak peraturan. Suasana hatinya sedang tidak baik, Claudia hanya ingin tidur tanpa memikirkan apa pun. Kenapa dia harus mengikuti Malven ke sini dan diperlakukan seperti kuman?!“Kuman ini ingin istirahat, Pak, permisi!”Malven dengan sigap menahan tangan Claudia saat wanita itu hampir meninggalkannya. “Bukan seperti itu maksudku,” ucap Malven seraya memeluk Claudia.Claudia memberontak, berusaha melepaskan dekapan Malven darinya, tapi lengan pria itu terlalu kuat. “Lepaskan! Bapak bilang saya kotor, kenapa malah memeluk saya?!”Malven menghela napas pelan. Dia menyadari kesalahannya, padahal ia tidak bermaksud menyakiti perasaan Claudia sama sekali. Malven lupa jika suasana hati Claudia sedang tidak baik, karena jika itu Claudia yang biasa, ia akan membalas kata-kata Malven dengan tidak kalah pedas. “Aku hanya ingin kamu berendam air hangat agar lebih rileks sebelum tidur, maaf, a
“Selena pernah mengatakan itu juga. Sekarang saat aku memikirkannya, apa dia mengatakan hal-hal yang membuatku bahagia itu sambil menyembunyikan kebenciannya? Aku jadi bertanya-tanya … jangan-jangan tidak ada satu pun perkataannya yang tulus untukku.” Claudia memejamkan mata, membiarkan perasaannya mengalir dan merasakan kenyamanan saat air hangat merendam tubuhnya. Tapi anehnya, hal paling nyaman baginya saat ini adalah pelukan Malven padanya.“Manusia selalu dikelilingi dengan emosi yang rumit. Kita tidak pernah tahu jawabannya, bahkan ketika kita bertanya dan mendapat jawaban, tidak ada jaminan kata-kata yang keluar adalah hal yang benar.”Claudia mendengus, “Kata-katamu sama rumitnya, Tuan,” ucapnya sembari menoleh ke belakang, sedikit mendongak untuk menatap Malven. “Persis seperti bagian bawah tubuhmu. Kenapa dia tidak bisa membaca situasi?”Malven terkekeh, mengecup bibir Claudia singkat sebelum mengarahkan wanita itu kembali melihat ke depan. “Jangan pikirkan itu, aku akan mul
Saat Claudia terbangun pagi harinya, Malven sudah tidak ada di sana. Claudia hanya menemukan secarik kertas di lemari kecil di samping ranjang, ucapan selamat pagi dari Malven dan pesan untuk kembali ke kediaman utama Pranaja tanpa pria itu. “Sean, kamu di sana?” Claudia memanggil, dan seperti sihir, wanita bernama Sean langsung memasuki kamar. Padahal suara Claudia tidak keras saat memanggilnya dan jarak dari ranjang ke pintu kamar cukup jauh. Claudia tidak mengerti bagaimana Sean mendengar panggilannya. Sejak hari ke tiga di villa ini, Claudia pernah mencoba memanggil ‘Phantom’ di tengah taman bunga dan ada seseorang yang langsung datang meskipun itu bukan Sean, jadi sejak itu pula Claudia tidak lagi mau memikirkan tentang orang-orang aneh di sini. “Berikan perintah, Nona.” Cara bicara yang formal dan to the point itu! Claudia menghela napas, untuk satu hal ini dia masih tidak terbiasa. “Apa Raga sudah bangun dan sarapan?” tanyanya sembari perlahan beranjak dari ranjang. Dia kesi
Selama menunggu Malven dan Regan bicara, Claudia menunggu di ruang keluarga. Sudah dua jam sejak Malven memasuki ruang kerja Regan, tapi hingga kini belum ada tanda-tanda akan keluar. Claudia menghela napas panjang, sedikit khawatir.Kalau saja ayahnya tidak melarang, Claudia pasti sudah menemani Malven saat ini. Tapi, Regan mengatakan jika itu adalah pembicaraan antar laki-laki, jadi Claudia dilarang ikut campur.“Berapa lama lagi ayah akan mengintrogasinya?” Claudia menarik napas pelan, matanya melirik pada jam yang tertera di ponsel. Awalnya Claudia tidak sendirian karena Raga menemaninya bermain, tapi anak itu akhirnya tertidur setelah hampir satu jam, jadi Claudia memindahkannya ke kamar dan kembali ke ruang keluarga untuk menunggu Malven.“Tapi, kenapa lama sekali?” Claudia kembali mengeluh sembari menyandarkan tubuhnya di sofa, menatap lampu gantung yang malam ini terlihat lebih jauh.Claudia sebenarnya merasa lelah dan perutnya sedikit kram. Mengingat perjalanan panjang yang
“Raga, Kakak pulang!” Claudia berseru setelah memasuki ruang keluarga, membuat Raga dan Regan yang sedang menyusun puzzle besar, langsung menoleh bersamaan. “Iya, selama datang kembali, Kak.” Raga membalas sapaan Claudia sebelum kembali fokus pada mainannya.Claudia cemberut pada rendahnya antusias Raga. Apa anak itu tidak merindukannya?“Raga … Kakak bawa sesuatu lho,” ucap Claudia sembari mendekat dan menggoyangkan kresek putih di tangannya. Claudia sempat mampir ke mini market untuk membeli beberapa es krim dan camilan kesukaan Raga. Biasanya Raga akan sangat senang karena ia jarang diizinkan makan makanan instan seperti itu. Tapi … kenapa tidak ada reaksi berarti?Raga hanya menoleh sebentar dan mengatakan ‘oh ya’ sebelum kembali berusaha menyusun puzzle, sama sekali tidak menyadari wajah keruh Claudia. Wanita itu meletakkan barang bawaannya sebelum mendekati Raga dan langsung menusuk pipi anak itu menggunakan jari telunjuknya.“Apa ini … Raga mengabaikan Kakak?” Claudia mengelua
“Biar aku yang menghubungi Devan, kalian tinggal yakinkan anak nakal itu saja.” Adhamar berkata saat mengantarkan Claudia dan Malven ke halaman, keduanya akan meninggalkan kediaman Adhamar hari ini.“Tapi, kalau ayah masih tidak mau memberi restu bagaimana?” Claudia bertanya pelan, agak cemas.“Kenapa menanyakan hal yang sudah jelas? Tentu saja kalian tidak akan bisa menikah. Meski aku masih tidak menyukai anak nakal itu, bukan berarti aku tidak mendengarkan pendapatnya. Berusahalah lebih giat, tapi aku yakin dia akan segera merestui. Dia bukan orang yang keras kepala.”Claudia menghela napas panjang. Anak nakal yang disebut kakeknya adalah Regan, meski Claudia tidak mengerti kenapa Adhamar selalu menyebut menantunya seperti itu.“Kalau begitu kami permisi dulu, Tuan Adhamar.” Malven mengangguk hormat, membukakan pintu mobil dan membiarkan Claudia masuk lebih dulu.Setelah memeluk kakeknya, Claudia langsung memasuki mobil dan segera disusul oleh Malven. Hari ini mereka akan kembali ha
Setelah memberitahu pelayan tentang tujuan mereka, Claudia dan Malven menelusuri jalan setapak dengan pohon-pohon besar di sepanjang jalan. Seperti yang Claudia katakan, hutan ini sangat rimbun dan terlihat seperti hutan sungguhan yang tidak terbatas luasnya.Meski begitu, Malven bisa melihat beberapa ranting dan daun bergoyang secara tidak wajar. “Apa di hutan ini ada ‘penunggu’ juga?” tanyanya sembari menatap lembut Claudia.Claudia yang tidak pernah melepas genggamannya dari Malven, mendongak dan tersenyum lebar. Sekarang ia mengerti apa maksud dari kata ‘penunggu hutan’ yang pernah Malven dan Arfa bicarakan. Orang-orang yang dilatih dan bekerja di bawah Adhamar, bertugas untuk menjaga keamanan tempat ini dengan memperhatikan siapa pun tamu yang datang.Tapi, meski Claudia bukan tamu asing, sejak kecil ia memang sudah dijaga diam-diam. Ada kalanya Claudia tersesat saat mengeksplor hutan dan salah satu penjaganya akan berpura-pura tidak sengaja lewat lalu membawa Claudia kembali ke
Claudia memilih menunggu di ruang keluarga yang tidak jauh dari ruang kerja kakeknya, sedikit gugup dengan pembicaraan yang akan dilakukan Adhamar dan Malven. Bagaimana kalau kakeknya bersikeras tidak akan merestui seperti saat bersama Deon dulu?“Ah, harusnya aku tidak menurut begitu saja dan meninggalkan mereka.” Claudia bergumam sembari menggoyangkan kaki, tidak bisa menyembunyikan rasa cemasnya.“Minum tehnya dulu, Nona. Apa perlu saya bawakan camilan lain? Atau Nona ingin makan?”Pertanyaan pelayan yang menghampiri sambil membawa nampan berisi secangkir teh dan sepiring kukis, membuat Claudia menghela napas pendek. Benar, tidak ada yang akan berubah hanya karena ia bergumam sendirian di sini, jadi lebih baik mengisi perutnya dengan sesuatu yang hangat.“Terima kasih, tapi bisakah ganti tehnya dengan kopi? Aku ingin kopi hitam tanpa gula,” ucap Claudia saat menyadari bahwa perutnya mual mencium harum yang menguar dari teh. “Lalu, aku sedang tidak ingin kukis. Bawakan saja sesuatu
Sindiran tajam dan dengusan Adhamar membuat suasana ruangan itu hening. Tidak ada yang bisa membantah, baik Claudia maupun Malven tahu pasti apa yang Adhamar maksud.“Memang benar kalau saya jatuh cinta padanya, tapi saya tidak pernah mengatakan itu, dan dia pun sama. Kami saling mencintai, tapi tidak sempat menyatakan perasaan masing-masing. Saya sibuk dengan beberapa urusan, lalu Zheva yang kebetulan punya pekerjaan di sini dan mengkhawatirkan kondisi saya, datang dan membuat hubungan kami berakhir dengan kesalahpahaman.”Malven menghela napas pelan. “Dia pergi meninggalkan saya tanpa sepatah kata. Saya membuatnya menangis patah hati, karena kekurangan saya dalam berkomunikasi membuatnya berpikir jika Zheva adalah wanita yang akan dijodohkan dengan saya. Satu bulan lalu, saya kehilangan arah karena wanita itu menghilang tiba-tiba.”Claudia menatap penuh perhatian pada Malven, berharap waktu yang akan mereka habiskan ke depannya akan menghapus sedikit demi sedikit rasa sakit karena k
Claudia menarik napas panjang saat pria berusia tujuh puluhan itu mengangkat pandangan dari buku di tangan. Adhamar tentu saja mengernyit melihat kedatangan cucunya yang tiba-tiba, apalagi setelah melihat tangan Claudia yang melingkari lengan Malven.Adhamar meletakkan bukunya di meja dan berdiri, menghampiri dua orang yang masih mematung tanpa mengatakan apa-apa.“Ayo bicara di dalam.” Claudia dan Malven segera menunduk sopan saat Adhamar berjalan lebih dulu sebelum mengekor di belakang. Tidak ada yang bicara selama perjalanan melewati beberapa koridor, ruang keluarga dan anak tangga menuju ruang kerja Adhamar. Sudah menjadi aturan tak tertulis untuk membicarakan hal penting hanya di ruang kerja Adhamar, tempat di mana tidak ada seorang pun yang akan menguping. Setelah memasuki ruang kerja dan pintu tertutup, Claudia segera melepas lengan Malven dan berjalan menuju sofa yang telah diduduki kakeknya. Ini adalah hal yang harus Claudia lakukan sekarang, duduk di sisi kakeknya dan mem
Setelah perjalanan panjang yang cukup melelahkan, akhirnya Claudia dan Malven tiba di kediaman Adhamar. Gerbang besar terbuka perlahan, menampakkan halaman luas dengan arsitektur klasik yang mencerminkan wibawa pemiliknya.Bangunan besar dengan arsitektur klasik itu selalu berdiri anggun, dikelilingi tamanluas yang tertata rapi. Meski Claudia tidak asing dengan tempat ini, tapi perasaanya saat ini lebih tegang dan mendebarkan.Claudia melirik ke samping dan tersenyum melihat Malven yang duduk diam dengan wajah sedikit kaku, tentu saja pria itu juga sedang sangat tegang sekarang. Claudia bisa melihat jari-jari Malven saling tertaut erat di pangkuan, napasnya pun terdengar lebih berat dari biasanya. Claudia masihtersenyum saat meraih tangan Malven dan menggenggamnya erat.“Jangan terlalu tegang, Malven,” bisik Claudia lembut, mencoba menenangkan. “Kakekku tidak akan menelanmu, kok.”Malven menoleh ke arah Claudia dan mengernyit mellihat senyum jahil wanita itu. Tentu saja Adhamar tidak
Pria yang wajahnya nyaris tidak lagi bisa dikenali itu, Deon, semakin gemetar saat Malven berjalan mendekat. Malven memang menangkap dan menyerahkan Deon pada pihak berwajib, tapi tidak ada yang tahu jika yang akan ‘mengadili’ Deon adalah Malven sendiri. “Ugh! Ggh!”“Hm? Kau bilang apa? Coba katakana dengan jelas agar aku mengerti keinginanmu,” ucap Malven sembari berjalan menuju sebuah meja panjang, di atasnya terdapat banyak alat yang biasa Malven gunakan untuk bermain.Pria itu memilih sebuah belati kecil hari ini. Kemarin ia bermain menggunakan besi panjang yang dipanaskan, berpikir jika itu menyenangkan, tapi nyatanya tidak. Malven lebih suka jika ada warna merah yang menghiasi mainannya, itulah kenapa ia hanya sempat menggunakan besi panas itu satu kali. Alat itu membosankan.Malven melepas jas hitamnya, menukarnya dengan sebuah padding hitam panjang yang tersedia di gantungan. Pria itu tidak lupa menggulung lengan kemejanya, khawatir akan ada noda yang menempel seperti kemari