Tunangan? Claudia segera memegangi Raga di belakangnya dan gadis kecil yang melompat ke arah mereka saat gadis itu hampir terjerembap. “Freya!”Panggilan dengan suara agak meninggi dan sarat akan kemarahan itu membuat Claudia mendongak, menatap seorang anak lelaki yang menghampiri sambil berlari.“Kamu ini! Aku kan sudah bilang untuk hati-hati! Kalau tadi tidak ditahan bagaimana? Kamu mau aku dimarahi Mama kalau kamu jatuh dan menangis?!” Gadis bernama Freya merengut, “Galak banget Kak El, nggak seru! Aku kan juga nggak sengaja kesandung,” ucapnya dengan bibir melengkung ke bawah. “Tapi, Kakak cantik ini siapa? Makasih ya udah nolongin aku!”Claudia tidak bisa menahan senyumnya saat Freya tersenyum cerah, pipi bulat gadis itu tampak semakin berisi, benar-benar cantik dan menggemaskan.“Sama-sama, Nona Freya, lain kali hati-hati agar tidak jatuh. Nama saya Claudia, di sini untuk menemani Tuan Muda Raga sebagai pengasuhnya.”“Pengasuh?” Freya memiringkan kepala, “Apa itu?” tanyanya de
Claudia tahu cepat atau lambat dia harus berhadapan dengan Selena mau pun Deon, tapi kenapa harus sekarang, saat Claudia sedang berada dalam suasana hati yang baik? Memangnya tidak boleh Claudia memiliki teman baru dan merasa bahagia, hingga takdir membawakan Selena padanya?“Ada apa, Selena?” Zoya bertanya pada Selena yang merupakan salah satu sekretaris ayahnya. Claudia tidak bergerak atau menoleh, wajahnya pucat dan napasnya sedikit sesak. Sedikit keberuntungan yang Claudia punya, tempat duduknya yang berada di antara Zoya dan Mia membuatnya secara otomatis membelakangi arah datang Selena. Kalau Selena tidak menoleh dan memperhatikan, ia pasti tidak akan tahu Claudia di sana.“Maaf, Bu Zoya, tapi Pak Narendra meminta saya untuk memanggil Anda karena ada tamu yang harus dikenalkan,” ucap Selena sopan. Sebenarnya hari ini ia diperbolehkan untuk tidak datang, tapi berada di apartement itu sendirian membuat Selena muak. Pagi ini ia dan Deon bahkan bertengkar lagi, dengan masalah yang
Claudia menegakkan tubuh setelah mendengar kata-kata Mia. Matanya mengerjap heran karena Mia terlihat kesal, padahal yang diselingkuhi adalah Claudia, dan lagi ini pertemuan pertama mereka. Rasanya agak aneh ada seseorang yang marah untuk Claudia saat mereka baru saja berkenalan. "Benar, caramu terlalu lembut, Claudia. Tapi, itu juga lumayan." Grace ikut menimpali, sikapnya masih sangat tenang dan menikmati tehnya tanpa kesalahan. Claudia tersenyum, berterima kasih pada mereka yang mau menunjukkan kepedulian padanya, padahal masalah seperti itu harusnya tidak dibawa ke tempat umum, apalagi tempat di mana Selena bekerja. "Jadi, siapa kamu sebenarnya, Claudia?" Pertanyaan yang Mia ajukan membuat Claudia tergagap. Kenapa tiba-tiba menanyakan sesuatu yang sudah jelas? "Aku pengasuh tuan muda Raga," jawab Claudia cepat, untungnya tidak gagap dan ragu-ragu dalam menjawab. "Bukankah aku sudah mengenalkan diri tadi?" Mia berdecih, berbeda dengan Grace yang tersenyum simpul. "Aku
Kenapa Claudia harus bertemu dengan Selena lagi? Jangan bilang wanita itu sengaja menunggu hingga Claudia meninggalkan taman? “Kenapa aku harus menjawab pertanyaanmu? Siapa pun yang mewakili yayasan ke sini atau sebagai ‘siapa’ aku di sini, itu bukan urusanmu sama sekali. Enyahlah, Selena, aku sedang tidak ingin melihat wajahmu.”Kata-kata dingin yang Claudia lontarkan membuat Selena geram. Bagaimana bisa wanita itu masih saja bersikap sombong dan penuh percaya diri setelah kehilangan Deon?“Yaah, tentu saja. Aku mengerti kenapa kamu tidak mau melihat wajahku. Pasti sulit menghadapi wanita yang dicintai oleh tunanganmu, kan? Ups, maksudku mantan tunangan!” Selena menutup mulutnya dengan satu tangan, bibirnya menyeringai, mengejek terang-terangan pada Claudia.Claudia menghela napas, tidak menanggapi ucapan Selena dan berlalu begitu saja, keluar dari toilet dan meninggalkan wanita itu.“Kamu tahu apa yang menyebabkan Deon lebih memilihku? Karena kamu tidak mampu memberikan apa yang di
"Kenapa mencariku?" Claudia bertanya setelah memasuki area taman sembari menjauh dari Malven, secara otomatis melepaskan dekapan pria itu di pinggangnya. "Apa aku baru saja dicampakkan, padahal aku sudah membantumu?" Malven berdecak, tapi tetap berjalan di samping Claudia tanpa berusaha meraih wanita itu lagi."Membantuku dari apa?" Claudia masih bersikap tenang, berharap Malven tidak mendengarkan apa pun obrolannya dan Selena."Dari sepupumu yang tidak tahu malu?" Malven bersiul sambil melangkah lebih dulu di depan Claudia, senyumnya segera berganti menjadi senyuman bisnis saat sudah hampir sampai di meja tempat para putri berkumpul."Papa! Kakak!" Raga berlari ke arah Malven, di sisinya ada Freya yang sedang memegang tangannya, ikut berlari juga."Wow, hati-hati, Tuan Putri!" Malven dengan sigap meraih tubuh Freya yang terhuyung ke depan, hampir saja jatuh dengan tidak elit karena tidak bisa mengimbangi langkah cepat Raga."Aku bilang lepasin tanganku, kan?!" Raga merengut, melepas
“Berhentilah mengatakan omong kosong, kalau putraku mendengarnya bisa menyebabkan salah paham.” Malven menanggapi dengan santai, tatapannya mengarah pada tempat di mana Claudia berada. Raut wajah Claudia tidak terlihat baik sejak ia menemukannya sedang ‘bicara’ dengan Selena, tapi melihat bagaimana wanita itu tetap tersenyum pada orang-orang di sekitarnya membuat perasaan Malven tidak nyaman.“Hmm … apa dia orangnya?”Pertanyaan yang dilayangkan Kaindra dengan suara berbisik itu membuat Malven mengernyit. “Apa maksudmu dengan ‘dia orangnya’?” tanyanya tidak mengerti. Kaindra bukan orang yang akan tertarik pada seseorang yang baru ditemuinya, bahkan beberapa saat lalu juga Kaindra masih tidak peduli pada keberadaan Claudia. Apa yang menyebabkan pria itu tiba-tiba terlihat tertarik?“Itu tugasmu untuk mencari tahu apa maksudku, Malven!” Kaindra tersenyum lebar, “Temui aku lagi saat kamu menemukan jawabannya,” ucapnya sembari melambaikan tangan dan meninggalkan Malven, kembali ke dalam,
Claudia mengernyit, “Kalau begitu biarkan aku tidur di kamar lain!” ujarnya kesal, mau istirahat saja banyak peraturan. Suasana hatinya sedang tidak baik, Claudia hanya ingin tidur tanpa memikirkan apa pun. Kenapa dia harus mengikuti Malven ke sini dan diperlakukan seperti kuman?!“Kuman ini ingin istirahat, Pak, permisi!”Malven dengan sigap menahan tangan Claudia saat wanita itu hampir meninggalkannya. “Bukan seperti itu maksudku,” ucap Malven seraya memeluk Claudia.Claudia memberontak, berusaha melepaskan dekapan Malven darinya, tapi lengan pria itu terlalu kuat. “Lepaskan! Bapak bilang saya kotor, kenapa malah memeluk saya?!”Malven menghela napas pelan. Dia menyadari kesalahannya, padahal ia tidak bermaksud menyakiti perasaan Claudia sama sekali. Malven lupa jika suasana hati Claudia sedang tidak baik, karena jika itu Claudia yang biasa, ia akan membalas kata-kata Malven dengan tidak kalah pedas. “Aku hanya ingin kamu berendam air hangat agar lebih rileks sebelum tidur, maaf, a
“Selena pernah mengatakan itu juga. Sekarang saat aku memikirkannya, apa dia mengatakan hal-hal yang membuatku bahagia itu sambil menyembunyikan kebenciannya? Aku jadi bertanya-tanya … jangan-jangan tidak ada satu pun perkataannya yang tulus untukku.” Claudia memejamkan mata, membiarkan perasaannya mengalir dan merasakan kenyamanan saat air hangat merendam tubuhnya. Tapi anehnya, hal paling nyaman baginya saat ini adalah pelukan Malven padanya.“Manusia selalu dikelilingi dengan emosi yang rumit. Kita tidak pernah tahu jawabannya, bahkan ketika kita bertanya dan mendapat jawaban, tidak ada jaminan kata-kata yang keluar adalah hal yang benar.”Claudia mendengus, “Kata-katamu sama rumitnya, Tuan,” ucapnya sembari menoleh ke belakang, sedikit mendongak untuk menatap Malven. “Persis seperti bagian bawah tubuhmu. Kenapa dia tidak bisa membaca situasi?”Malven terkekeh, mengecup bibir Claudia singkat sebelum mengarahkan wanita itu kembali melihat ke depan. “Jangan pikirkan itu, aku akan mul
"MOMMA!" Claudia yang mendengar teriakan itu langsung berlari, menghampiri Raga yang melambai sambil melompat di dekat gerbang arrival hall, bersama Sean dan Vall di sisinya. "Sayangnya Momma!" Raga langsung melompat ke pelukan Claudia saat wanita itu akhirnya tiba di depannya. "Aku kangen Momma! Kenapa lama banget perginya?" "Momma juga kangen Raga, kangeen banget! Maaf ya sudah meninggalkan kamu sendirian, nanti kita main ke banyak tempat berdua sebagai gantinya." "Digandeng saja," Malven segera menyela saat melihat Claudia hampir menggendong Raga. Pria yang ditinggalkan sejak Raga berteriak itu, ikut berjongkok di samping Claudia. "Momma sedang tidak bisa mengangkat sesuatu yang berat, jadi kalau kamu mau digendong, dengan Papa saja."Raga mengerjap, baru ingat jika saat ini ada bayi yang harus dijaga dalam perut Claudia. "Mau dituntun Momma aja, nggak mau sama Papa."Mendengar jawaban putranya, Malven tanpa sadar mengernyit. Sejak kehadiran Claudia, rasanya ia tidak lagi menj
Malven tidak langsung menjawab. Ia berjalan ke minibar, menuang segelas kecil anggur putih dan menyeduh teh mawar lalu menyerahkannya pada Claudia. Claudia menerima tehnya, lalu mereka duduk berdampingan di sofa. Tangan besar Malven melingkar di bahu Claudia. Ia sepenuhnya mengerti karena salah satu orang yang membuat ketakutan itu tercipta adalah dirinya sendiri. Malven meninggalkan Claudia tanpa kabar setelah mereka kembali dari Vietnam. “Sepertinya aku juga takut,” katanya pelan. “Tapi, bukan karena hal-hal indah akan pergi. Aku takut kalau aku tidak cukup untuk membuat kamu yang bersamaku merasa bahagia.” Claudia menoleh, menatap dalam pada Malven. Wajah Malven tampak jujur, terbuka, dan untuk sesaat, Claudia bisa melihat dirinya sendiri dalam keraguan laki-laki itu. Bukan sebagai dua orang yang sedang jatuh cinta di Paris, tapi sebagai dua manusia yang sama-sama sedang mencoba. “Aku tidak tahu masa depan akan jadi seperti apa,” Claudia berbisik, “Tapi hari ini ... kamu cukup.
Setelah sarapan yang perlahan berubah menjadi percakapan panjang di bawah matahari pagi, Claudia dan Malven akhirnya masuk kembali ke dalam kamar. Cahaya terang telah memenuhi seluruh ruang, menari-nari di dinding berlapis wallpaper emas lembut, membangkitkan energi baru dalam suasana yang semula tenang.Claudia berdiri di depan cermin besar bergaya Rococo, jari-jarinya sibuk menyisir rambut yang masih lembap. Gaun yang ia pilih hari itu berwarna krem pucat, ringan dan mengalir lembut hingga di bawah lutut. Di balik kesederhanaannya, gaun itu memeluk tubuhnya dengan cara yang manis. Sementara Malven yang baru selesai mencukur dan mengenakan kemeja linen putih yang digulung santai di lengan, berdiri tak jauh dari sana, mengancingkan jam tangannya sambil sesekali mencuri pandang ke arah Claudia."Kenapa melihatku terus?"“Kamu terlihat seperti sesuatu yang tidak bisa ditulis dalam puisi. Terlalu indah,” gumam Malven pelan.Claudia menoleh, menahan senyum. “Itu gombal atau jujur?”Malven
Matahari baru saja menyingkap tirai langit Paris, menyebarkan cahaya keemasan yang hangat ke seluruh penjuru kota ketika Claudia benar-benar terbangun. Dari lantai paling atas hotel paling eksklusif di jantung Paris, pemandangan kota terlihat seperti lukisan hidup--Menara Eiffel berdiri megah di kejauhan, samar tertutup kabut tipis pagi, sementara Sungai Seine mengalir tenang, memantulkan kilau cahaya pagi yang lembut.Kamar paling mewah di hotel ini adalah surga keanggunan yang dipilih Malven untuk tempat menginap mereka selama seminggu ke depan. Langit-langit tinggi dihiasi ukiran klasik berlapis emas, dengan lampu gantung kristal yang masih berpendar lembut setelah malam berlalu. Lantai marmer dingin menyatu anggun dengan permadani sutra Persia yang tebal.Jendela besar setinggi langit-langit terbuka lebar, membiarkan angin pagi Paris masuk bersama aroma croissant segar dari boulangerie di bawah. Tirai tipis warna gading melambai pelan diterpa angin, menyempurnakan ketenangan pagi.
“Gugup?” Pertanyaan itu membuat Claudia yang sedang menenangkan diri sambil memegang erat tangan Raga, mendongak saat mendengar suara Aira. Temannya itu baru kembali dari mengambil bunga tangan yang akan Claudia pegang saat menuju altar.“Tentu saja, ini pertama kali aku menikah.”Jawaban Claudia yang diucap dengan raut wajah seperti menahan buang air itu membuat Aira tertawa. “Sudah lama sejak aku melihatmu begini. Terakhir kali saat sidang tesismu, kan?” Aira mendekat, memberikan bunga tangan yang dirangkai dengan keanggunan memikat. Claudia menerimanya dengan tangan gemetar, menarik napas panjang saat melihat betapa indah bunga yang diterimanya. Bunga itu benar-benar dirangkai dengan anggun. Di bagian tengah, mawar putih bermekaran sempurna, dikelilingi oleh baby’s breath yang halus seperti embun pagi. Beberapa tangkai peony merah muda pucat menyisipkan nuansa manis dan romantis, sementara sentuhan eucalyptus memberi kesan menyegarkan. Pita satin warna champagne membalut batang-
Claudia pernah melewati momen saat seseorang melamarnya, tapi perasaan terharu yang sulit dijelaskan baru sekarang ia rasakan. Air matanya mengalir begitu saja, kata-katanya seolah tersendat dan tidak bisa diungkapkan. Lalu, entah sejak kapan beberapa awak pesawat sudah berdiri di dekat mereka, masing-masing membawa sebuah kertas karton warna-warni yang sudah dihias dengan lukisan bunga di sepanjang sisi. Tapi, yang membuat Claudia tertawa sambil menitikkan air mata adalah tulisan yang tertera di kertas yang mereka bawa. TERIMA LAMARANNYA ATAU PESAWAT INI TIDAK AKAN PERNAH MENDARAT "Jadi, ini sebenarnya lamaran atau ancaman?" Claudia menghapus air matanya, senyumnya mengembang lebar saat ia menyerahkan tangan ke arah Malven. "Baiklah, demi keselamatan kita bersama, aku akan menerima lamaranmu." Malven tersenyum semringah, memasangkan cincin di jari manis Claudia dan mengecupnya lembut. "Kamu tidak bisa berbalik ke belakang atau berlari mundur, Claudi, karena aku tidak akan pernah m
Malven tidak langsung menjawab, hanya terus menggenggam tangan Claudia dan berjalan menuju pemeriksaan terakhir."Kenapa diam saja? Aku benar, kan?! Padahal sudah kubilang kalau akan ada foto prewedding, tapi kamu malah mengirim Arfa? Kamu mau Arfa yang memakai jas dan mengambil foto denganku? Kalau begitu sekalian saja nama yang tertulis di undangan adalah nama Arfa!"Selama Claudia mengomel, tanpa disadari mereka sudah memasuki pesawat dan Malven menuntun agar Claudia duduk lebih dulu.Wanita itu masih merengut, duduk di dekat jendela dan membiarkan Malven memasangkan seat belt untuknya. Tepat setelah Malven memasang seat belt untuk dirinya sendiri, terdengar pengumuman jika pesawat akan segera lepas landas. Claudia menoleh ke sekitar dan mengernyit saat tidak melihat penumpang lain. Ia juga baru menyadari jika mereka tidak berada di first class, melainkan business class. Tidak ada pramugari yang menyambut atau memberi arahan, semuanya tampak kosong seolah di dalam pesawat ini hany
"Apa kita akan kembali ke perusahaan, Nona?"Claudia mendongak dan menatap Shouki yang sedang menyetir di depan, menghela napas pelan sebelum mengangguk. "Kurasa ada baiknya untuk menyelesaikan pekerjaan saja."Shouki tidak langsung mengatakan sesuatu, membiarkan suasana hening menyelimuti sebelum menarik napas panjang. "Nona--maksudku Claudia, bukankah sebaiknya langsung datangi Tuan Malven saja? Jangan memikirkan sesuatu terlalu rumit, sebaiknya temui dan katakan jika dia telah membuatmu kesal karena tidak menepati janji."Claudia tertunduk, menatap kembali pada ponsel yang layarnya menyala, panggilan masuk dari Malven. Tadi Claudia langsung mematikan telepon setelah mengatakan jika ia sedang sangat sibuk, khawatir jika lebih lama mendengar suara Malven, amarahnya akan meledak.Akhir-akhir ini Claudia menyadari jika emosinya agak sulit dikendalikan. Detik-detik menuju pernikahan entah kenapa membuatnya ketakutan dan panik, padahal Claudia sendiri yang ingin menikah dan yakin jika l
Pernikahan Claudia dan Malven akhirnya disetujui oleh Regan, padahal pria itu belum tahu tentang kehamilan Claudia. Untungnya setelah Claudia mengatakan tentang kehamilan, Regan tidak menarik kembali restunya dan hanya menghela napas.Adhamar dan Devan bersikeras ingin mengurus persiapan pernikahan, meminta agar Claudia dan Malven menyiapkan diri juga fokus menyelesaikan pekerjaan sebelum mengambil cuti bulan madu. Pertemuan antar kedua keluarga langsung dilaksanakan dua hari setelah Regan memberi restu, dan begitu saja, tanggal pernikahan Claudia ditetapkan.Meski semua hal akan diurus oleh para kakek mereka, Claudia memutuskan untuk tetap memilih gaun pengantin dan desain undangan sendiri, termasuk foto prewedding. Sayangnya, Tabinta tidak mendesain gaun pengantin, jadi Claudia hanya memesan perhiasan darinya, untungnya ada produk baru yang belum dikeluarkan ke public hingga Claudia bisa memilikinya.Wanita itu juga menghubungi brand fashion D&C dan bersyukur saat ada beberapa gaun