Saat Claudia terbangun pagi harinya, Malven sudah tidak ada di sana. Claudia hanya menemukan secarik kertas di lemari kecil di samping ranjang, ucapan selamat pagi dari Malven dan pesan untuk kembali ke kediaman utama Pranaja tanpa pria itu. “Sean, kamu di sana?” Claudia memanggil, dan seperti sihir, wanita bernama Sean langsung memasuki kamar. Padahal suara Claudia tidak keras saat memanggilnya dan jarak dari ranjang ke pintu kamar cukup jauh. Claudia tidak mengerti bagaimana Sean mendengar panggilannya. Sejak hari ke tiga di villa ini, Claudia pernah mencoba memanggil ‘Phantom’ di tengah taman bunga dan ada seseorang yang langsung datang meskipun itu bukan Sean, jadi sejak itu pula Claudia tidak lagi mau memikirkan tentang orang-orang aneh di sini. “Berikan perintah, Nona.” Cara bicara yang formal dan to the point itu! Claudia menghela napas, untuk satu hal ini dia masih tidak terbiasa. “Apa Raga sudah bangun dan sarapan?” tanyanya sembari perlahan beranjak dari ranjang. Dia kesi
Sebelumnya Claudia pikir Malven akan menanyakan lebih lanjut tentang identitasnya setelah mengetahui sedikit cerita tentang keluarganya malam itu, tapi hingga Malven kembali ke kediaman Pranaja tiga hari kemudian, pria itu tidak menanyakan apa pun.Melihat dari raut wajahnya yang sangat lelah, sepertinya pekerjaan Malven tidak selesai dengan baik. Tentu saja Claudia bersyukur dengan kesibukan Malven hingga pria itu tidak sempat memikirkan tentang identitasnya. Dan begitu saja, tiga bulan pun berlalu tanpa terasa. Sesuai dengan janji, Claudia dan Raga akan pergi ke Jepang untuk merayakan ulang tahun Raga. “Kalian yakin akan baik-baik saja berdua?” Malven bertanya untuk ke sekian kali, menatap Claudia dan Raga dengan kening mengernyit. Padahal ulang tahun Raga masih seminggu lagi, tapi anak itu bersikeras untuk pergi sekarang dengan alasan ingin menikmati musim semi lebih lama. “Nggak berdua, Pa! Pak Ali ‘kan ikut juga!” Raga menggeleng sembari berdecak, kedua tangannya terlipat di de
Claudia dan Raga sampai di hotel tepat pukul dua siang, mereka kembali ke hotel yang tiga bulan lalu menjadi tempat menginap, bedanya kali ini Raga akan tidur bersama Claudia. Ali memiliki kamar di sisi kiri, sedangkan Vall nanti akan ada di kanan, lalu Sean berada tepat di depan. Kamar yang Claudia tempati jadi dikelilingi oleh mereka yang bertugas menjaga Raga.“Mau langsung main ke luar atau mau istirahat dulu?” Claudia bertanya pada Raga yang sedang mengeluarkan barang-barangnya dari koper, meski kebanyakan yang anak itu bawa adalah buku. Katanya ingin membaca buku di bawah pohon sakura.“Istirahat aja, Kak, biar besok mainnya puas dan udah nggak capek.” Raga menyusun buku-bukunya di rak yang tersedia, sedangkan Claudia sedang menyusun pakaian mereka di lemari.Hal melelahkan namun harus dilakukan saat menginap cukup lama di sebuah hotel adalah mengeluarkan, menyusun dan merapikan barang di kamar. Claudia membenci hal itu, jadi terkadang ia membiarkan pakaiannya berserak begitu sa
“Raga sudah tidur sejak tadi, mau kubangunkan?” Claudia mengalihkan obrolan, mengabaikan kata-kata Malven. “Tidak perlu, aku hanya ingin memberitahu kalau Vall dan Sean sudah berangkat. Untuk malam ini kalian makan di kamar saja, jangan ke mana pun.” “Baiklah kalau begitu. Kamu juga hati-hati dan jangan terlalu memaksakan diri.” Claudia mengerti kekhawatiran Malven meski berlebihan, tapi sejujurnya ia tidak yakin apakah Raga akan mengerti juga. “Apa kamu sedang memperhatikanku?” Pertanyaan Malven membuat Claudia mengerutkan alis. “Maksudnya?” “Ini pertama kali kamu mengatakan itu, hati-hati dan jangan terlalu memaksakan diri maksudku. Apa ada hal baik yang terjadi?” Claudia sedikit terkejut, karena sejujurnya ia juga bingung, tidak tahu kenapa tiba-tiba mengatakan itu pada Malven. Sejak tiga bulan lalu ketika perjanjian mereka dimulai, Claudia tidak pernah membalas rayuan-rayuan manis Malven atau pun mengatakan sesuatu yang berlebihan pada pria itu. Tapi kalau hanya ucapan untu
Sean dan Vall benar-benar datang menyusul, meski Claudia tidak tahu jam berapa mereka sampai hotel, tapi ketika ia dan Raga keluar kamar untuk mencari sarapan pagi harinya, dua orang itu juga sedang ada di depan pintu dan langsung memperkenalkan diri.Berbeda dengan penampilannya waktu itu saat di villa, Sean kini tampak seperti wanita biasa yang juga sedang berlibur bersama, dan Claudia baru menyadari jika Sean terlihat seperti gadis belia saat rambutnya diurai. Lalu, tidak seperti dugaannya, ternyata Vall adalah seorang laki-laki. Pria itu mengenalkan diri dengan nama Vallence dan meminta Claudia memanggilnya dengan Vall saja.“Apakah tidak apa-apa jika kami bergabung bersama? Anggap saja kami tidak ada dan bersikaplah seperti biasa, tapi kami harus selalu bersama Nona dan Tuan Muda.” Sean bertanya sambil tersenyum, “Tapi kalau Anda berdua keberatan, kami akan memperhatikan dari jarak aman,” lanjutnya.Claudia menelan ludah, begitu pun Raga di sisinya. Entah kenapa senyum yang Sean
Claudia langsung mendelik pada Sean. Memangnya boleh mengatakan hal itu begitu saja pada Raga yang masih anak-anak?“Menstuarisasi itu apa?”Tuh, kan! Claudia mengangkat tangan saat Sean hampir membuka mulut, menghentikan wanita itu dari menjelaskan sesuatu yang rumit dan panjang. “Bukan sesuatu yang harus ditakuti dan itu hanya rutinitas untuk perempuan saja. Sebenarnya tidak sakit, tapi ada sebagian perempuan yang perlu beristirahat karena gejalanya sedikit lebih banyak dari yang lain, salah satunya adalah Kakak. Raga akan mengerti saat waktunya untuk belajar hal ini datang nanti, bagaimana?”Raga menatap Claudia dalam kebingungan. “Ehm, oke deh. Ya udah kalau gitu ayo kita pergi, tapi janji nanti ke sini lagi, ya?”Claudia menautkan jari kelingkingnya dan Raga. Mereka memiliki banyak waktu di sini, jadi bisa kembali lagi nanti, apalagi jika datang bersama Malven, akan lebih berkesan di ingatan Raga nantinya. Sebenarnya mereka bisa pergi ke Shibuya Sky lain kali seperti yang Raga k
Tepat seperti dugaan Claudia, tamu bulanannya benar-benar datang malam harinya. Sejak kembali dari Shibuya Sky dan memastikan Raga sudah mandi, siap dengan piyama tidur, lalu menitipkan anak asuhnya pada Ali, Claudia sudah terbaring tidak berdaya. Tadinya Claudia ingin menggunakan kamar lain selama hari liburnya dua hari ke depan, tapi Raga melarang dan mengatakan biar dia saja yang pindah kamar. Untungnya Ali tidak keberatan Raga tidur bersamanya. Kalau seandainya Malven datang sebelum hari libur Claudia berakhir, maka Raga akan tinggal bersama ayahnya. “Apa aku benar-benar tidak boleh minum pereda nyeri?” Claudia mengelus perutnya, rasanya menyakitkan hanya dengan bergerak sedikit. Sebenarnya ia juga terkadang minum obat pereda nyeri haid, tapi Claudia sudah biasa minum itu sejak SMP dulu, jadi sejak tahun lalu, Miranda melarang Claudia untuk terlalu sering mengonsumsi obat-obatan seperti itu. Katanya kalau ingin cepat hamil harus berhenti minum obat pereda nyeri haid, saat itu
Sekarat. Ucapan Malven membuat Claudia berdecih. “Aku tidak sedang sekarat--Malven!” teriakannya cukup memekakkan telinga pria yang tiba-tiba menggendongnya.Malven yang harus menerima teriakan kaget Claudia tepat di telinganya hanya bisa menghela napas. “Wajahmu pucat dan agak demam, tapi kenapa pergi dari ranjang? Istirahat saja, aku akan menyediakan apa pun yang kamu butuhkan.”Claudia merengut saat Malven membaringkannya kembali ke ranjang. Memangnya pria itu bisa merawat wanita yang sedang datang bulan? Claudia tidak yakin. Lalu, kalau bersama Malven, bukankah sama saja Claudia tidak bisa mengeluh atas rasa sakitnya? Claudia ingin bermanja pada Aira dan menyusahkan temannya seperti biasa, tapi bagaimana caranya memberi alasan pada Malven untuk pergi dari kamar?Lagipula, kenapa pria yang katanya baru bisa menyusul besok malah datang sekarang?“Coba beritahu bagian mana yang sakit? Haruskah kupanggil dokter?” Malven kembali ke ranjang dan duduk di sisi Claudia setelah melepas dan
"MOMMA!" Claudia yang mendengar teriakan itu langsung berlari, menghampiri Raga yang melambai sambil melompat di dekat gerbang arrival hall, bersama Sean dan Vall di sisinya. "Sayangnya Momma!" Raga langsung melompat ke pelukan Claudia saat wanita itu akhirnya tiba di depannya. "Aku kangen Momma! Kenapa lama banget perginya?" "Momma juga kangen Raga, kangeen banget! Maaf ya sudah meninggalkan kamu sendirian, nanti kita main ke banyak tempat berdua sebagai gantinya." "Digandeng saja," Malven segera menyela saat melihat Claudia hampir menggendong Raga. Pria yang ditinggalkan sejak Raga berteriak itu, ikut berjongkok di samping Claudia. "Momma sedang tidak bisa mengangkat sesuatu yang berat, jadi kalau kamu mau digendong, dengan Papa saja."Raga mengerjap, baru ingat jika saat ini ada bayi yang harus dijaga dalam perut Claudia. "Mau dituntun Momma aja, nggak mau sama Papa."Mendengar jawaban putranya, Malven tanpa sadar mengernyit. Sejak kehadiran Claudia, rasanya ia tidak lagi menj
Malven tidak langsung menjawab. Ia berjalan ke minibar, menuang segelas kecil anggur putih dan menyeduh teh mawar lalu menyerahkannya pada Claudia. Claudia menerima tehnya, lalu mereka duduk berdampingan di sofa. Tangan besar Malven melingkar di bahu Claudia. Ia sepenuhnya mengerti karena salah satu orang yang membuat ketakutan itu tercipta adalah dirinya sendiri. Malven meninggalkan Claudia tanpa kabar setelah mereka kembali dari Vietnam. “Sepertinya aku juga takut,” katanya pelan. “Tapi, bukan karena hal-hal indah akan pergi. Aku takut kalau aku tidak cukup untuk membuat kamu yang bersamaku merasa bahagia.” Claudia menoleh, menatap dalam pada Malven. Wajah Malven tampak jujur, terbuka, dan untuk sesaat, Claudia bisa melihat dirinya sendiri dalam keraguan laki-laki itu. Bukan sebagai dua orang yang sedang jatuh cinta di Paris, tapi sebagai dua manusia yang sama-sama sedang mencoba. “Aku tidak tahu masa depan akan jadi seperti apa,” Claudia berbisik, “Tapi hari ini ... kamu cukup.
Setelah sarapan yang perlahan berubah menjadi percakapan panjang di bawah matahari pagi, Claudia dan Malven akhirnya masuk kembali ke dalam kamar. Cahaya terang telah memenuhi seluruh ruang, menari-nari di dinding berlapis wallpaper emas lembut, membangkitkan energi baru dalam suasana yang semula tenang.Claudia berdiri di depan cermin besar bergaya Rococo, jari-jarinya sibuk menyisir rambut yang masih lembap. Gaun yang ia pilih hari itu berwarna krem pucat, ringan dan mengalir lembut hingga di bawah lutut. Di balik kesederhanaannya, gaun itu memeluk tubuhnya dengan cara yang manis. Sementara Malven yang baru selesai mencukur dan mengenakan kemeja linen putih yang digulung santai di lengan, berdiri tak jauh dari sana, mengancingkan jam tangannya sambil sesekali mencuri pandang ke arah Claudia."Kenapa melihatku terus?"“Kamu terlihat seperti sesuatu yang tidak bisa ditulis dalam puisi. Terlalu indah,” gumam Malven pelan.Claudia menoleh, menahan senyum. “Itu gombal atau jujur?”Malven
Matahari baru saja menyingkap tirai langit Paris, menyebarkan cahaya keemasan yang hangat ke seluruh penjuru kota ketika Claudia benar-benar terbangun. Dari lantai paling atas hotel paling eksklusif di jantung Paris, pemandangan kota terlihat seperti lukisan hidup--Menara Eiffel berdiri megah di kejauhan, samar tertutup kabut tipis pagi, sementara Sungai Seine mengalir tenang, memantulkan kilau cahaya pagi yang lembut.Kamar paling mewah di hotel ini adalah surga keanggunan yang dipilih Malven untuk tempat menginap mereka selama seminggu ke depan. Langit-langit tinggi dihiasi ukiran klasik berlapis emas, dengan lampu gantung kristal yang masih berpendar lembut setelah malam berlalu. Lantai marmer dingin menyatu anggun dengan permadani sutra Persia yang tebal.Jendela besar setinggi langit-langit terbuka lebar, membiarkan angin pagi Paris masuk bersama aroma croissant segar dari boulangerie di bawah. Tirai tipis warna gading melambai pelan diterpa angin, menyempurnakan ketenangan pagi.
“Gugup?” Pertanyaan itu membuat Claudia yang sedang menenangkan diri sambil memegang erat tangan Raga, mendongak saat mendengar suara Aira. Temannya itu baru kembali dari mengambil bunga tangan yang akan Claudia pegang saat menuju altar.“Tentu saja, ini pertama kali aku menikah.”Jawaban Claudia yang diucap dengan raut wajah seperti menahan buang air itu membuat Aira tertawa. “Sudah lama sejak aku melihatmu begini. Terakhir kali saat sidang tesismu, kan?” Aira mendekat, memberikan bunga tangan yang dirangkai dengan keanggunan memikat. Claudia menerimanya dengan tangan gemetar, menarik napas panjang saat melihat betapa indah bunga yang diterimanya. Bunga itu benar-benar dirangkai dengan anggun. Di bagian tengah, mawar putih bermekaran sempurna, dikelilingi oleh baby’s breath yang halus seperti embun pagi. Beberapa tangkai peony merah muda pucat menyisipkan nuansa manis dan romantis, sementara sentuhan eucalyptus memberi kesan menyegarkan. Pita satin warna champagne membalut batang-
Claudia pernah melewati momen saat seseorang melamarnya, tapi perasaan terharu yang sulit dijelaskan baru sekarang ia rasakan. Air matanya mengalir begitu saja, kata-katanya seolah tersendat dan tidak bisa diungkapkan. Lalu, entah sejak kapan beberapa awak pesawat sudah berdiri di dekat mereka, masing-masing membawa sebuah kertas karton warna-warni yang sudah dihias dengan lukisan bunga di sepanjang sisi. Tapi, yang membuat Claudia tertawa sambil menitikkan air mata adalah tulisan yang tertera di kertas yang mereka bawa. TERIMA LAMARANNYA ATAU PESAWAT INI TIDAK AKAN PERNAH MENDARAT "Jadi, ini sebenarnya lamaran atau ancaman?" Claudia menghapus air matanya, senyumnya mengembang lebar saat ia menyerahkan tangan ke arah Malven. "Baiklah, demi keselamatan kita bersama, aku akan menerima lamaranmu." Malven tersenyum semringah, memasangkan cincin di jari manis Claudia dan mengecupnya lembut. "Kamu tidak bisa berbalik ke belakang atau berlari mundur, Claudi, karena aku tidak akan pernah m
Malven tidak langsung menjawab, hanya terus menggenggam tangan Claudia dan berjalan menuju pemeriksaan terakhir."Kenapa diam saja? Aku benar, kan?! Padahal sudah kubilang kalau akan ada foto prewedding, tapi kamu malah mengirim Arfa? Kamu mau Arfa yang memakai jas dan mengambil foto denganku? Kalau begitu sekalian saja nama yang tertulis di undangan adalah nama Arfa!"Selama Claudia mengomel, tanpa disadari mereka sudah memasuki pesawat dan Malven menuntun agar Claudia duduk lebih dulu.Wanita itu masih merengut, duduk di dekat jendela dan membiarkan Malven memasangkan seat belt untuknya. Tepat setelah Malven memasang seat belt untuk dirinya sendiri, terdengar pengumuman jika pesawat akan segera lepas landas. Claudia menoleh ke sekitar dan mengernyit saat tidak melihat penumpang lain. Ia juga baru menyadari jika mereka tidak berada di first class, melainkan business class. Tidak ada pramugari yang menyambut atau memberi arahan, semuanya tampak kosong seolah di dalam pesawat ini hany
"Apa kita akan kembali ke perusahaan, Nona?"Claudia mendongak dan menatap Shouki yang sedang menyetir di depan, menghela napas pelan sebelum mengangguk. "Kurasa ada baiknya untuk menyelesaikan pekerjaan saja."Shouki tidak langsung mengatakan sesuatu, membiarkan suasana hening menyelimuti sebelum menarik napas panjang. "Nona--maksudku Claudia, bukankah sebaiknya langsung datangi Tuan Malven saja? Jangan memikirkan sesuatu terlalu rumit, sebaiknya temui dan katakan jika dia telah membuatmu kesal karena tidak menepati janji."Claudia tertunduk, menatap kembali pada ponsel yang layarnya menyala, panggilan masuk dari Malven. Tadi Claudia langsung mematikan telepon setelah mengatakan jika ia sedang sangat sibuk, khawatir jika lebih lama mendengar suara Malven, amarahnya akan meledak.Akhir-akhir ini Claudia menyadari jika emosinya agak sulit dikendalikan. Detik-detik menuju pernikahan entah kenapa membuatnya ketakutan dan panik, padahal Claudia sendiri yang ingin menikah dan yakin jika l
Pernikahan Claudia dan Malven akhirnya disetujui oleh Regan, padahal pria itu belum tahu tentang kehamilan Claudia. Untungnya setelah Claudia mengatakan tentang kehamilan, Regan tidak menarik kembali restunya dan hanya menghela napas.Adhamar dan Devan bersikeras ingin mengurus persiapan pernikahan, meminta agar Claudia dan Malven menyiapkan diri juga fokus menyelesaikan pekerjaan sebelum mengambil cuti bulan madu. Pertemuan antar kedua keluarga langsung dilaksanakan dua hari setelah Regan memberi restu, dan begitu saja, tanggal pernikahan Claudia ditetapkan.Meski semua hal akan diurus oleh para kakek mereka, Claudia memutuskan untuk tetap memilih gaun pengantin dan desain undangan sendiri, termasuk foto prewedding. Sayangnya, Tabinta tidak mendesain gaun pengantin, jadi Claudia hanya memesan perhiasan darinya, untungnya ada produk baru yang belum dikeluarkan ke public hingga Claudia bisa memilikinya.Wanita itu juga menghubungi brand fashion D&C dan bersyukur saat ada beberapa gaun