Claudia dan Raga sampai di hotel tepat pukul dua siang, mereka kembali ke hotel yang tiga bulan lalu menjadi tempat menginap, bedanya kali ini Raga akan tidur bersama Claudia. Ali memiliki kamar di sisi kiri, sedangkan Vall nanti akan ada di kanan, lalu Sean berada tepat di depan. Kamar yang Claudia tempati jadi dikelilingi oleh mereka yang bertugas menjaga Raga.“Mau langsung main ke luar atau mau istirahat dulu?” Claudia bertanya pada Raga yang sedang mengeluarkan barang-barangnya dari koper, meski kebanyakan yang anak itu bawa adalah buku. Katanya ingin membaca buku di bawah pohon sakura.“Istirahat aja, Kak, biar besok mainnya puas dan udah nggak capek.” Raga menyusun buku-bukunya di rak yang tersedia, sedangkan Claudia sedang menyusun pakaian mereka di lemari.Hal melelahkan namun harus dilakukan saat menginap cukup lama di sebuah hotel adalah mengeluarkan, menyusun dan merapikan barang di kamar. Claudia membenci hal itu, jadi terkadang ia membiarkan pakaiannya berserak begitu sa
“Raga sudah tidur sejak tadi, mau kubangunkan?” Claudia mengalihkan obrolan, mengabaikan kata-kata Malven. “Tidak perlu, aku hanya ingin memberitahu kalau Vall dan Sean sudah berangkat. Untuk malam ini kalian makan di kamar saja, jangan ke mana pun.” “Baiklah kalau begitu. Kamu juga hati-hati dan jangan terlalu memaksakan diri.” Claudia mengerti kekhawatiran Malven meski berlebihan, tapi sejujurnya ia tidak yakin apakah Raga akan mengerti juga. “Apa kamu sedang memperhatikanku?” Pertanyaan Malven membuat Claudia mengerutkan alis. “Maksudnya?” “Ini pertama kali kamu mengatakan itu, hati-hati dan jangan terlalu memaksakan diri maksudku. Apa ada hal baik yang terjadi?” Claudia sedikit terkejut, karena sejujurnya ia juga bingung, tidak tahu kenapa tiba-tiba mengatakan itu pada Malven. Sejak tiga bulan lalu ketika perjanjian mereka dimulai, Claudia tidak pernah membalas rayuan-rayuan manis Malven atau pun mengatakan sesuatu yang berlebihan pada pria itu. Tapi kalau hanya ucapan untu
Sean dan Vall benar-benar datang menyusul, meski Claudia tidak tahu jam berapa mereka sampai hotel, tapi ketika ia dan Raga keluar kamar untuk mencari sarapan pagi harinya, dua orang itu juga sedang ada di depan pintu dan langsung memperkenalkan diri.Berbeda dengan penampilannya waktu itu saat di villa, Sean kini tampak seperti wanita biasa yang juga sedang berlibur bersama, dan Claudia baru menyadari jika Sean terlihat seperti gadis belia saat rambutnya diurai. Lalu, tidak seperti dugaannya, ternyata Vall adalah seorang laki-laki. Pria itu mengenalkan diri dengan nama Vallence dan meminta Claudia memanggilnya dengan Vall saja.“Apakah tidak apa-apa jika kami bergabung bersama? Anggap saja kami tidak ada dan bersikaplah seperti biasa, tapi kami harus selalu bersama Nona dan Tuan Muda.” Sean bertanya sambil tersenyum, “Tapi kalau Anda berdua keberatan, kami akan memperhatikan dari jarak aman,” lanjutnya.Claudia menelan ludah, begitu pun Raga di sisinya. Entah kenapa senyum yang Sean
Claudia langsung mendelik pada Sean. Memangnya boleh mengatakan hal itu begitu saja pada Raga yang masih anak-anak?“Menstuarisasi itu apa?”Tuh, kan! Claudia mengangkat tangan saat Sean hampir membuka mulut, menghentikan wanita itu dari menjelaskan sesuatu yang rumit dan panjang. “Bukan sesuatu yang harus ditakuti dan itu hanya rutinitas untuk perempuan saja. Sebenarnya tidak sakit, tapi ada sebagian perempuan yang perlu beristirahat karena gejalanya sedikit lebih banyak dari yang lain, salah satunya adalah Kakak. Raga akan mengerti saat waktunya untuk belajar hal ini datang nanti, bagaimana?”Raga menatap Claudia dalam kebingungan. “Ehm, oke deh. Ya udah kalau gitu ayo kita pergi, tapi janji nanti ke sini lagi, ya?”Claudia menautkan jari kelingkingnya dan Raga. Mereka memiliki banyak waktu di sini, jadi bisa kembali lagi nanti, apalagi jika datang bersama Malven, akan lebih berkesan di ingatan Raga nantinya. Sebenarnya mereka bisa pergi ke Shibuya Sky lain kali seperti yang Raga k
Tepat seperti dugaan Claudia, tamu bulanannya benar-benar datang malam harinya. Sejak kembali dari Shibuya Sky dan memastikan Raga sudah mandi, siap dengan piyama tidur, lalu menitipkan anak asuhnya pada Ali, Claudia sudah terbaring tidak berdaya. Tadinya Claudia ingin menggunakan kamar lain selama hari liburnya dua hari ke depan, tapi Raga melarang dan mengatakan biar dia saja yang pindah kamar. Untungnya Ali tidak keberatan Raga tidur bersamanya. Kalau seandainya Malven datang sebelum hari libur Claudia berakhir, maka Raga akan tinggal bersama ayahnya. “Apa aku benar-benar tidak boleh minum pereda nyeri?” Claudia mengelus perutnya, rasanya menyakitkan hanya dengan bergerak sedikit. Sebenarnya ia juga terkadang minum obat pereda nyeri haid, tapi Claudia sudah biasa minum itu sejak SMP dulu, jadi sejak tahun lalu, Miranda melarang Claudia untuk terlalu sering mengonsumsi obat-obatan seperti itu. Katanya kalau ingin cepat hamil harus berhenti minum obat pereda nyeri haid, saat itu
Sekarat. Ucapan Malven membuat Claudia berdecih. “Aku tidak sedang sekarat--Malven!” teriakannya cukup memekakkan telinga pria yang tiba-tiba menggendongnya.Malven yang harus menerima teriakan kaget Claudia tepat di telinganya hanya bisa menghela napas. “Wajahmu pucat dan agak demam, tapi kenapa pergi dari ranjang? Istirahat saja, aku akan menyediakan apa pun yang kamu butuhkan.”Claudia merengut saat Malven membaringkannya kembali ke ranjang. Memangnya pria itu bisa merawat wanita yang sedang datang bulan? Claudia tidak yakin. Lalu, kalau bersama Malven, bukankah sama saja Claudia tidak bisa mengeluh atas rasa sakitnya? Claudia ingin bermanja pada Aira dan menyusahkan temannya seperti biasa, tapi bagaimana caranya memberi alasan pada Malven untuk pergi dari kamar?Lagipula, kenapa pria yang katanya baru bisa menyusul besok malah datang sekarang?“Coba beritahu bagian mana yang sakit? Haruskah kupanggil dokter?” Malven kembali ke ranjang dan duduk di sisi Claudia setelah melepas dan
Kata-kata yang diucap dengan tegas itu membuat Claudia tidak bisa menahan senyum, “Akan kupikirkan,” ucapnya santai.Malven menghela napas, “Aku serius, katakan saja padaku jika ada yang mengganggumu. Lalu--!” kata-katanya terhenti saat suara bel kamar menginterupsi.“Cepat buka pintunya, mungkin saja itu Raga.”Malven bangkit dari ranjang dan mendorong troli yang sebelumnya digunakan untuk mengantarkan makanan Claudia. Bukan Raga yang datang, tapi pesanan lain yang Malven minta. Pria itu menyerahkan kembali troli ke petugas hotel dan menerima kantung plastik putih berisi beberapa barang yang ia minta sebelumnya.“Lho, bukan Raga? Apa itu?” Claudia bertanya saat Malven kembali sendiri, memperhatikan kantung plastik yang pria itu bawa.“Hanya beberapa barang yang mungkin kamu butuhkan.” Malven mengeluarkan minyak aroma terapi dari kantung plastik, juga beberapa kotak koyo dan minuman khusus untuk wanita datang bulan. “Kalau jamu seperti ini, tidak apa-apa, kan? Ini bukan obat pil,” uca
Pria di hadapan Aira menaikkan satu alis, “Maksudnya?” tanyanya tidak mengerti. Aira menghela napas, memilih menutup ponselnya dan mengabaikan pesan yang Claudia kirim. Mungkin saja dia salah lihat karena terlalu banyak pekerjaan akhir-akhir ini. Saat kepalanya sudah lebih jernih, Aira yakin pesan yang tadi sudah tidak ada atau berganti dengan hal lain. Claudia yang Aira kenal tidak akan jadi gila hanya karena dikhianati tunangan dan sepupunya, jadi pasti wanita itu tidak akan macam-macam dengan Malven yang notebene adalah klien berharga mereka.“Tidak, sepertinya aku yang kelelahan dan salah baca. Nanti kuperiksa lagi setelah lelahku berkurang,” ucap Aira sembari kembali menyendok es krimnya. “Lanjutkan ceritamu, Al. Jadi, kamu menemui orang itu dan Elodia?” Pria yang dipanggil Alvito mengendikkan bahu, memilih tidak bertanya lebih lanjut, karena jika sudah saatnya, Aira pasti akan bercerita padanya. “Hmm, aku menemui Binta dan meminta maaf atas masalah yang kusebabkan dulu. Sebelu
Claudia terkejut atas kedatangan Malven. Bukankah pria itu sudah pergi dari tadi?!Shouki segera menarik tangannya dari kepala Claudia dan bergegas berdiri, membungkuk sopan pada Malven yang tampak mematung di dekat pintu.Sepertinya Malven tidak tahu jika sedang ada Shouki di sini, melihat dari raut tegang Sean dan Vall di belakangnya."Malven? Bukankah kamu bilang ada urusan?" Claudia bertanya pelan, entah kenapa merasa gugup, padahal tidak melakukan sesuatu yang salah.Malven menghela napas setelah mencoba menjernihkan kepalanya. Melihat Claudia yang kikuk dan gugup, Malven tahu jika wanita itu tidak tahu cara menjelaskan kehadiran pria asing di kamarnya."Aku meninggalkan sesuatu," ucap Malven sembari berjalan mendekat. Matanya berubah tajam saat menatap Shouki. "Selamat siang, Tuan Malven, saya Shouki."Malven menaikkan satu alis melihat pria di hadapannya bersikap sopan dan tampak percaya diri. "Selamat siang, Tuan Shouki. Maaf mengganggu waktu Anda dan kekasih saya--Claudia. S
Claudia menutup buku cerita dengan perlahan, memastikan tidak ada suara yang mengganggu tidur Raga. Anak itu sudah tertidur pulas dengan posisi meringkuk di samping Claudia, napasnya yang tenang membuat Claudia tersenyum lembut. Wanita itu membenarkan posisi kepala Raga ke bantal dan menyelimutinya agar lebih nyaman, lalu menatap wajah polos anak itu sejenak sebelum menghela napas lega.Saat Claudia hendak meletakkan buku di meja kecil, pintu kamar rawatnya terdengar diketuk. Namun, bukannya langsung terbuka, ketukan itu disusul dengan suara pelan dari luar--sepertinya ada perdebatan kecil. Claudia mengerutkan kening, merasa bingung, hingga ia mendengar suara rendah dan penuh tekanan dari Shouki."Apa Sho sudah datang? Cepat juga, padahal belum dua puluh menit."Claudia segera mengambil ponselnya dan menghubungi Sean, lupa jika wanita itu dan Vall sedang berjaga atas titah Malven. Awalnya Claudia khawatir Sean tidak akan mengangkat telpon darinya karena wa
Saat Claudia tengah asyik membacakan buku cerita untuk Raga, tiba-tiba pikirannya tersentak. Ia teringat sesuatu yang membuat alisnya berkerut. Claudia sama sekali belum memberi kabar pada siapa pun tentang dirinya yang dirawat di rumah sakit, apalagi soal kejadian yang membuatnya ada di sini.Claudia berhenti membaca, membuat Raga menatapnya dengan bingung. "Kak Cla, kenapa berhenti? Ceritanya lagi seru!"Claudia tersenyum kecil, mencoba menenangkan Raga. "Sebentar, Raga. Kakak baru ingat ada sesuatu yang harus dilakukan. Bisa tolong ambilkan tas Kakak? Sepertinya ada di lemari kecil di dekat ranjang."Raga mengangguk antusias, melompat turun dari tempat tidur, lalu bergegas menuju lemari kecil. Ia membuka pintu lemari dan mengambil tas tangan Claudia dengan hati-hati. "Ini, Kak." Raga menyerahkan tas tersebut dengan senyuman bangga."Terima kasih, Raga. Kamu memang hebat." Claudia mengacak rambut anak itu sebelum membuka tasnya dengan buru-buru. Ia mengeluarkan ponsel yang langsun
Claudia tertawa pelan mendengar komentar polos namun jenaka dari Raga. "Ssst, jangan bicara begitu. Seaneh apa pun, dia tetap Papa-mu. Dan yang paling penting, Papa terlihat bahagia, kan?" Claudia mengusap kepala Raga dengan lembut.Raga mengerucutkan bibirnya dan menatap Claudia dengan tatapan ragu. "Bahagia? Masa, sih? Masa dia bahagia banget cuma karena makanan itu," gumamnya pelan, membuat Claudia nyaris tertawa lagi.Claudia melanjutkan sarapannya dengan tenang setelah berhasil menahan tawa atas kometar Raga terhadap kelakuan Malven. Beberapa saat kemudian, setelah Claudia selesai dengan sarapannya, pintu kamar diketuk. Seorang dokter masuk bersama dua perawat, membawa beberapa peralatan untuk pemeriksaan rutin. Claudia tersenyum kecil dan mengangguk sopan."Selamat pagi, Nona Claudia. Bagaimana kondisi Anda pagi ini? Apakah ada keluhan atau rasa tidak nyaman?" tanya dokter dengan ramah sambil memeriksa catatan kesehatan Claudia."T
Tidak lama setelah Zheva meninggalkan kamar, dua perawat mengetuk pintu dengan sopan sebelum masuk sambil membawa troli kecil. Salah satu perawat tersenyum ramah dan berkata, "Selamat pagi, Nona Claudia. Kami akan membantu Anda ke kamar mandi." Claudia mengangguk dan meminta Raga untuk menunggu di sofa yang tersedia. Dengan bantuan para perawat, Claudia bangkit perlahan dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi. Meski tubuhnya masih sedikit lemah, rasa segar setelah membasuh tubuh membuat mood Claudia membaik. Setelah selesai, Claudia kembali ke tempat tidur, menemukan sarapan sudah diletakkan di meja kecil di samping ranjangnya. "Selamat makan, Nona Claudia," ujar perawat sebelum meninggalkan kamar. "Bagaimana denganmu, Raga? Sudah sarapan belum?" Claudia bertanya pada Raga yang sedang menonton televisi. "Udah, dong! Tadi sarapan sama omelet asin buatan Tante Zheva," jawab Raga sembari memasang wajah
Setelah Malven keluar dari ruang rawat Claudia, wanita itu mencoba untuk tidak canggung saat Zheva duduk di tepi ranjang."Ayo ulang perkenalannya, Claudia. Namaku Zhevanka Agni Wijaya, kakak kandung Elodia, juga teman Malven sejak kecil." Zheva kembali mengulurkan tangan, kali ini dengan senyum lembut dan anggun.Claudia menerima uluran itu setelah tertegun beberapa saat. Wanita itu menelan ludah, gugup dengan alasan yang lain. "Salam kenal, Nona Zheva, nama saya Claudia." "Hmm ... apa aku tidak bisa dipanggil dengan nama saja tanpa embel-embel 'Nona'? Kamu boleh memanggilku Zheva, kalau merasa itu tidak sopan, tambahkan 'Kak' di depannya. Tapi, apa kamu lebih nyaman kalau bicara formal? Kalau begitu saya juga--""Tidak, Kak Zheva!" seru Claudia tanpa pikir panjang. Wanita itu segera menutup mulutnya dengan telapak tangan, merasa bodoh dengan tindakannya. "Itu ... maksudku tidak perlu bicara seformal itu padaku! Apa tidak masalah kalau kupanggil
Claudia dan Malven terkejut karena tidak mendengar suara pintu kamar yang terbuka. Mereka segera menjauhkan diri dengan panik. Malven menarik tubuhnya ke belakang, sementara Claudia buru-buru menarik selimut untuk menutupi dirinya. Wajah keduanya memerah, namun tidak sempat memikirkan apa pun karena suara ceria seorang anak langsung memenuhi ruangan."Kak Claudia!" Raga berteriak dengan gembira, berlari kecil menuju tempat tidur Claudia tanpa sedikit pun menyadari ketegangan di ruangan itu. Claudia mencoba tersenyum meski masih gugup, tangannya segera terulur menyambut Raga yang langsung memeluknya erat."Raga, kenapa kamu ke sini? Harusnya istirahat saja di rumah. Bagaimana kondisimu, masih ada yang sakit?" Claudia bertanya lembut, suaranya terdengar sedikit pecah, tapi ia berusaha keras untuk terlihat tenang."Aku baik-baik aja kok dan aku kangen Kak Cla! Aku mau lihat Kak Claudia!" jawab Raga polos, matanya berbinar penuh kegembiraan. "Kakak baik, kan? Adik bayi gimana?"Belum semp
Malven mendekat lebih jauh, jaraknya nyaris menghapus ruang di antara mereka. Tangan besarnya mengangkat dagu Claudia dengan lembut, memaksanya untuk menatap langsung ke matanya. Pria itu memang sudah merasa aneh sejak Claudia mengetahui tentangnya yang menggenggam tangan Zheva di kediaman Adhamar kemarin, tapi jika mengingat yang Claudia katakan tentangnya yang memiliki posisi sebagai sekretaris dari direktur yayasan gemilang, sekarang Malven mengerti. Pasti direktur yayasan itu ada di sana bersama Claudia dan ikut mendengarkan keputusan Malven."Claudi," panggil Malven dengan suara yang rendah namun penuh ketegasan. "Aku tidak peduli siapa kamu atau dari mana kamu berasal, dan aku tidak peduli apa yang orang lain pikirkan. Tidak lagi boleh menggunakan nama Pranaja bukan berarti aku kehilangan segalanya, tapi jika kamu tidak di sisiku, itu artinya aku benar-benar tidak memiliki apa pun. Aku hanya peduli tentang kamu, tentang kita. Jadi tolong, jangan lagi merasa bahwa kamu tidak lay
Claudia membuka matanya perlahan, kelopak matanya terasa berat. Ia mendapati dirinya berada di sebuah ruangan dengan pencahayaan yang lembut dan suasana yang nyaman. Sebuah selimut tebal menutupi tubuhnya, dan aroma samar khas rumah sakit masih terasa di udara. Butuh beberapa detik baginya untuk menyadari di mana ia berada.Saat ingatannya kembali ke kejadian kemarin, dada Claudia terasa sesak. Namun, sebelum ia sempat tenggelam lebih jauh dalam pikirannya, pintu kamar mandi terbuka pelan, dan Malven muncul. Rambutnya sedikit basah, dan ia mengenakan kemeja yang tidak sepenuhnya terkancing, memperlihatkan sebagian dadanya. Wangi sabun dan cologne menguar dari tubuh pria itu, mengisi ruangan dengan aroma maskulin yang menenangkan.Melihat Claudia yang sudah terjaga, senyum kecil terukir di wajah Malven. "Selamat pagi," ucapnya, berjalan mendekat ke sisi tempat tidur.Claudia terdiam, masih sedikit terkejut dengan keberadaan pria itu. Sebelum ia sempat berkata apa-apa, Malven duduk di t