Tepat seperti dugaan Claudia, tamu bulanannya benar-benar datang malam harinya. Sejak kembali dari Shibuya Sky dan memastikan Raga sudah mandi, siap dengan piyama tidur, lalu menitipkan anak asuhnya pada Ali, Claudia sudah terbaring tidak berdaya. Tadinya Claudia ingin menggunakan kamar lain selama hari liburnya dua hari ke depan, tapi Raga melarang dan mengatakan biar dia saja yang pindah kamar. Untungnya Ali tidak keberatan Raga tidur bersamanya. Kalau seandainya Malven datang sebelum hari libur Claudia berakhir, maka Raga akan tinggal bersama ayahnya. “Apa aku benar-benar tidak boleh minum pereda nyeri?” Claudia mengelus perutnya, rasanya menyakitkan hanya dengan bergerak sedikit. Sebenarnya ia juga terkadang minum obat pereda nyeri haid, tapi Claudia sudah biasa minum itu sejak SMP dulu, jadi sejak tahun lalu, Miranda melarang Claudia untuk terlalu sering mengonsumsi obat-obatan seperti itu. Katanya kalau ingin cepat hamil harus berhenti minum obat pereda nyeri haid, saat itu
Sekarat. Ucapan Malven membuat Claudia berdecih. “Aku tidak sedang sekarat--Malven!” teriakannya cukup memekakkan telinga pria yang tiba-tiba menggendongnya.Malven yang harus menerima teriakan kaget Claudia tepat di telinganya hanya bisa menghela napas. “Wajahmu pucat dan agak demam, tapi kenapa pergi dari ranjang? Istirahat saja, aku akan menyediakan apa pun yang kamu butuhkan.”Claudia merengut saat Malven membaringkannya kembali ke ranjang. Memangnya pria itu bisa merawat wanita yang sedang datang bulan? Claudia tidak yakin. Lalu, kalau bersama Malven, bukankah sama saja Claudia tidak bisa mengeluh atas rasa sakitnya? Claudia ingin bermanja pada Aira dan menyusahkan temannya seperti biasa, tapi bagaimana caranya memberi alasan pada Malven untuk pergi dari kamar?Lagipula, kenapa pria yang katanya baru bisa menyusul besok malah datang sekarang?“Coba beritahu bagian mana yang sakit? Haruskah kupanggil dokter?” Malven kembali ke ranjang dan duduk di sisi Claudia setelah melepas dan
Kata-kata yang diucap dengan tegas itu membuat Claudia tidak bisa menahan senyum, “Akan kupikirkan,” ucapnya santai.Malven menghela napas, “Aku serius, katakan saja padaku jika ada yang mengganggumu. Lalu--!” kata-katanya terhenti saat suara bel kamar menginterupsi.“Cepat buka pintunya, mungkin saja itu Raga.”Malven bangkit dari ranjang dan mendorong troli yang sebelumnya digunakan untuk mengantarkan makanan Claudia. Bukan Raga yang datang, tapi pesanan lain yang Malven minta. Pria itu menyerahkan kembali troli ke petugas hotel dan menerima kantung plastik putih berisi beberapa barang yang ia minta sebelumnya.“Lho, bukan Raga? Apa itu?” Claudia bertanya saat Malven kembali sendiri, memperhatikan kantung plastik yang pria itu bawa.“Hanya beberapa barang yang mungkin kamu butuhkan.” Malven mengeluarkan minyak aroma terapi dari kantung plastik, juga beberapa kotak koyo dan minuman khusus untuk wanita datang bulan. “Kalau jamu seperti ini, tidak apa-apa, kan? Ini bukan obat pil,” uca
Pria di hadapan Aira menaikkan satu alis, “Maksudnya?” tanyanya tidak mengerti. Aira menghela napas, memilih menutup ponselnya dan mengabaikan pesan yang Claudia kirim. Mungkin saja dia salah lihat karena terlalu banyak pekerjaan akhir-akhir ini. Saat kepalanya sudah lebih jernih, Aira yakin pesan yang tadi sudah tidak ada atau berganti dengan hal lain. Claudia yang Aira kenal tidak akan jadi gila hanya karena dikhianati tunangan dan sepupunya, jadi pasti wanita itu tidak akan macam-macam dengan Malven yang notebene adalah klien berharga mereka.“Tidak, sepertinya aku yang kelelahan dan salah baca. Nanti kuperiksa lagi setelah lelahku berkurang,” ucap Aira sembari kembali menyendok es krimnya. “Lanjutkan ceritamu, Al. Jadi, kamu menemui orang itu dan Elodia?” Pria yang dipanggil Alvito mengendikkan bahu, memilih tidak bertanya lebih lanjut, karena jika sudah saatnya, Aira pasti akan bercerita padanya. “Hmm, aku menemui Binta dan meminta maaf atas masalah yang kusebabkan dulu. Sebelu
Tawa renyah Alvito mengiringi langkah mereka menuju lift. Pria itu masih mengekor dan menekan tombol menggantikan Aira, senyumnya melebar saat wanita itu mengernyit. “Kenapa tidak menekan tombol menuju lantai kamarmu sendiri?”“Aku ‘kan harus mengantarkan tuan putri dulu. Bagaimana pangeranmu ini bisa pergi dengan tenang kalau belum melihatmu berada di tempat aman?” Alvito mengedipkan sebelah mata sembari meraih tangan Aira dan menggenggamnya. “Mau kubawakan tasnya? Aku sedang baik hari ini, lho!”Aira berdecak, “Telat!” ujarnya ketus. Wanita itu langsung keluar setelah pintu lift terbuka, tapi tidak melepaskan tautan tangannya dari Alvito, hal itu sukses membuat Alvito ikut tertarik keluar.“Astaga, pelan-pelan dong! Aku tidak akan kabur, kok!” Aira memutar bola mata dan pada akhirnya melepas tangannya dari Alvito setelah sampai di depan pintu bertuliskan 1708. “Baiklah, aku sudah sampai dengan selamat, jadi kamu bisa pergi sekarang. Selamat tinggal, Pangeran, hati-hati dalam perj
“Kamu kenapa, Ra?” Claudia bertanya dengan lembut, entah kenapa suara Aira terdengar berbeda dari biasanya.Claudia terbangun duluan, meninggalkan Malven yang masih terlelap, ia mandi dan berganti baju sebelum menelepon Aira. Padahal Claudia sudah mengirim pesan sejak sebelum mandi, tapi pesannya malah hanya dibaca saja, itu sebabnya Claudia langsung menelepon. “Butuh aku tidak? Aku akan ke sana sekarang,” ucap Claudia lagi saat tidak ada jawaban dari seberang telepon. “Tidak, Cla, kamu sedang kurang sehat. Sebaiknya kamu istirahat saja, tapi kalau kamu membutuhkanku, datang saja.”Kata-kata Aira membuat kening Claudia berkerut. Temannya itu memang sedikit sulit membuka diri, tapi Claudia sudah hapal betul tindakannya. Kalau Aira bilang, ‘Aku tidak membutuhkanmu, tapi kalau kamu membutuhkanku, datanglah!’, maka bisa dipastikan wanita itu sedang tidak baik-baik saja. Aira tidak suka dianggap lemah karena membutuhkan bantuan seseorang dan terkadang hal itu yang membuat mereka bertengk
Claudia terkejut, begitu pun Raga, saat pria berkacamata yang sejak tadi mendengarkan tampak menahan tawa. Claudia berdeham dan cepat membawa Raga keluar setelah pintu lift terbuka, tapi saat mengingat jika mereka turun di lantai yang sama, Claudia merasa semakin canggung. Demi apa pun Claudia tidak mau mempertemukan Raga dan Alvito karena hati nuraninya tidak mengizinkan.“Sebentar deh, Om yang waktu itu ke butiknya Tante Binta bukan?” Raga menoleh ke belakang, menatap Alvito dengan pandangan penasaran. Pasalnya ia baru memperhatikan jika wajah itu cukup familiar. Tidak hanya pernah ia lihat datang ke butik Tabinta waktu itu, tapi Raga pernah melihatnya di suatu tempat meski ia tidak ingat di mana.“Binta? Maksud kamu mungkin Tabinta yang desainer itu, kan?” Alvito bertanya dengan lembut, “Kalau dia yang kamu maksud, Om memang pernah ke sana sekali. Kamu kenal dengan Binta juga?”“Waah, ternyata benar! Tante Binta itu temannya Mamaku, Om, jadi aku kenal deh! Pantes dari tadi kaya pe
Aira keluar dari kamar mandi sembari mengeringkan rambutnya dengan handuk, piyama tidur berwarna hijau muda dengan gambar beruang membuat penampilan Aira tampak manis. Tapi, tentu saja Claudia tidak akan mengatakan hal itu terang-terangan karena sudah pasti Aira akan mengganti pakaiannya dengan sesuatu yang membosankan seperti sweater dan celana panjang hitam.“Tadi kami bertemu seseorang, tapi sepertinya Raga kenal karena wajahnya mirip dengan teman ibunya.” Claudia menjawab sembari menggeser tubuhnya, membiarkan Aira duduk si sampingnya.“Wah, Kak Aira manis banget pakai piyana itu!” seru Raga tiba-tiba.Seruan Raga membuat Aira menghentikan gerakannya dan menatap pada Claudia. “Manis?” tanyanya.“Raga baik sekali, kecoa lewat pun akan dibilang manis. Kalau mau berbuat baik, kamu juga harus lihat-lihat siapa orangnya, Sayang,” ucap Claudia pada Raga, kata-katanya sukses membuat Aira berdecih dan memukul pelan lengannya.Raga tidak sedang berbuat baik padahal, karena Aira memang terl
"MOMMA!" Claudia yang mendengar teriakan itu langsung berlari, menghampiri Raga yang melambai sambil melompat di dekat gerbang arrival hall, bersama Sean dan Vall di sisinya. "Sayangnya Momma!" Raga langsung melompat ke pelukan Claudia saat wanita itu akhirnya tiba di depannya. "Aku kangen Momma! Kenapa lama banget perginya?" "Momma juga kangen Raga, kangeen banget! Maaf ya sudah meninggalkan kamu sendirian, nanti kita main ke banyak tempat berdua sebagai gantinya." "Digandeng saja," Malven segera menyela saat melihat Claudia hampir menggendong Raga. Pria yang ditinggalkan sejak Raga berteriak itu, ikut berjongkok di samping Claudia. "Momma sedang tidak bisa mengangkat sesuatu yang berat, jadi kalau kamu mau digendong, dengan Papa saja."Raga mengerjap, baru ingat jika saat ini ada bayi yang harus dijaga dalam perut Claudia. "Mau dituntun Momma aja, nggak mau sama Papa."Mendengar jawaban putranya, Malven tanpa sadar mengernyit. Sejak kehadiran Claudia, rasanya ia tidak lagi menj
Malven tidak langsung menjawab. Ia berjalan ke minibar, menuang segelas kecil anggur putih dan menyeduh teh mawar lalu menyerahkannya pada Claudia. Claudia menerima tehnya, lalu mereka duduk berdampingan di sofa. Tangan besar Malven melingkar di bahu Claudia. Ia sepenuhnya mengerti karena salah satu orang yang membuat ketakutan itu tercipta adalah dirinya sendiri. Malven meninggalkan Claudia tanpa kabar setelah mereka kembali dari Vietnam. “Sepertinya aku juga takut,” katanya pelan. “Tapi, bukan karena hal-hal indah akan pergi. Aku takut kalau aku tidak cukup untuk membuat kamu yang bersamaku merasa bahagia.” Claudia menoleh, menatap dalam pada Malven. Wajah Malven tampak jujur, terbuka, dan untuk sesaat, Claudia bisa melihat dirinya sendiri dalam keraguan laki-laki itu. Bukan sebagai dua orang yang sedang jatuh cinta di Paris, tapi sebagai dua manusia yang sama-sama sedang mencoba. “Aku tidak tahu masa depan akan jadi seperti apa,” Claudia berbisik, “Tapi hari ini ... kamu cukup.
Setelah sarapan yang perlahan berubah menjadi percakapan panjang di bawah matahari pagi, Claudia dan Malven akhirnya masuk kembali ke dalam kamar. Cahaya terang telah memenuhi seluruh ruang, menari-nari di dinding berlapis wallpaper emas lembut, membangkitkan energi baru dalam suasana yang semula tenang.Claudia berdiri di depan cermin besar bergaya Rococo, jari-jarinya sibuk menyisir rambut yang masih lembap. Gaun yang ia pilih hari itu berwarna krem pucat, ringan dan mengalir lembut hingga di bawah lutut. Di balik kesederhanaannya, gaun itu memeluk tubuhnya dengan cara yang manis. Sementara Malven yang baru selesai mencukur dan mengenakan kemeja linen putih yang digulung santai di lengan, berdiri tak jauh dari sana, mengancingkan jam tangannya sambil sesekali mencuri pandang ke arah Claudia."Kenapa melihatku terus?"“Kamu terlihat seperti sesuatu yang tidak bisa ditulis dalam puisi. Terlalu indah,” gumam Malven pelan.Claudia menoleh, menahan senyum. “Itu gombal atau jujur?”Malven
Matahari baru saja menyingkap tirai langit Paris, menyebarkan cahaya keemasan yang hangat ke seluruh penjuru kota ketika Claudia benar-benar terbangun. Dari lantai paling atas hotel paling eksklusif di jantung Paris, pemandangan kota terlihat seperti lukisan hidup--Menara Eiffel berdiri megah di kejauhan, samar tertutup kabut tipis pagi, sementara Sungai Seine mengalir tenang, memantulkan kilau cahaya pagi yang lembut.Kamar paling mewah di hotel ini adalah surga keanggunan yang dipilih Malven untuk tempat menginap mereka selama seminggu ke depan. Langit-langit tinggi dihiasi ukiran klasik berlapis emas, dengan lampu gantung kristal yang masih berpendar lembut setelah malam berlalu. Lantai marmer dingin menyatu anggun dengan permadani sutra Persia yang tebal.Jendela besar setinggi langit-langit terbuka lebar, membiarkan angin pagi Paris masuk bersama aroma croissant segar dari boulangerie di bawah. Tirai tipis warna gading melambai pelan diterpa angin, menyempurnakan ketenangan pagi.
“Gugup?” Pertanyaan itu membuat Claudia yang sedang menenangkan diri sambil memegang erat tangan Raga, mendongak saat mendengar suara Aira. Temannya itu baru kembali dari mengambil bunga tangan yang akan Claudia pegang saat menuju altar.“Tentu saja, ini pertama kali aku menikah.”Jawaban Claudia yang diucap dengan raut wajah seperti menahan buang air itu membuat Aira tertawa. “Sudah lama sejak aku melihatmu begini. Terakhir kali saat sidang tesismu, kan?” Aira mendekat, memberikan bunga tangan yang dirangkai dengan keanggunan memikat. Claudia menerimanya dengan tangan gemetar, menarik napas panjang saat melihat betapa indah bunga yang diterimanya. Bunga itu benar-benar dirangkai dengan anggun. Di bagian tengah, mawar putih bermekaran sempurna, dikelilingi oleh baby’s breath yang halus seperti embun pagi. Beberapa tangkai peony merah muda pucat menyisipkan nuansa manis dan romantis, sementara sentuhan eucalyptus memberi kesan menyegarkan. Pita satin warna champagne membalut batang-
Claudia pernah melewati momen saat seseorang melamarnya, tapi perasaan terharu yang sulit dijelaskan baru sekarang ia rasakan. Air matanya mengalir begitu saja, kata-katanya seolah tersendat dan tidak bisa diungkapkan. Lalu, entah sejak kapan beberapa awak pesawat sudah berdiri di dekat mereka, masing-masing membawa sebuah kertas karton warna-warni yang sudah dihias dengan lukisan bunga di sepanjang sisi. Tapi, yang membuat Claudia tertawa sambil menitikkan air mata adalah tulisan yang tertera di kertas yang mereka bawa. TERIMA LAMARANNYA ATAU PESAWAT INI TIDAK AKAN PERNAH MENDARAT "Jadi, ini sebenarnya lamaran atau ancaman?" Claudia menghapus air matanya, senyumnya mengembang lebar saat ia menyerahkan tangan ke arah Malven. "Baiklah, demi keselamatan kita bersama, aku akan menerima lamaranmu." Malven tersenyum semringah, memasangkan cincin di jari manis Claudia dan mengecupnya lembut. "Kamu tidak bisa berbalik ke belakang atau berlari mundur, Claudi, karena aku tidak akan pernah m
Malven tidak langsung menjawab, hanya terus menggenggam tangan Claudia dan berjalan menuju pemeriksaan terakhir."Kenapa diam saja? Aku benar, kan?! Padahal sudah kubilang kalau akan ada foto prewedding, tapi kamu malah mengirim Arfa? Kamu mau Arfa yang memakai jas dan mengambil foto denganku? Kalau begitu sekalian saja nama yang tertulis di undangan adalah nama Arfa!"Selama Claudia mengomel, tanpa disadari mereka sudah memasuki pesawat dan Malven menuntun agar Claudia duduk lebih dulu.Wanita itu masih merengut, duduk di dekat jendela dan membiarkan Malven memasangkan seat belt untuknya. Tepat setelah Malven memasang seat belt untuk dirinya sendiri, terdengar pengumuman jika pesawat akan segera lepas landas. Claudia menoleh ke sekitar dan mengernyit saat tidak melihat penumpang lain. Ia juga baru menyadari jika mereka tidak berada di first class, melainkan business class. Tidak ada pramugari yang menyambut atau memberi arahan, semuanya tampak kosong seolah di dalam pesawat ini hany
"Apa kita akan kembali ke perusahaan, Nona?"Claudia mendongak dan menatap Shouki yang sedang menyetir di depan, menghela napas pelan sebelum mengangguk. "Kurasa ada baiknya untuk menyelesaikan pekerjaan saja."Shouki tidak langsung mengatakan sesuatu, membiarkan suasana hening menyelimuti sebelum menarik napas panjang. "Nona--maksudku Claudia, bukankah sebaiknya langsung datangi Tuan Malven saja? Jangan memikirkan sesuatu terlalu rumit, sebaiknya temui dan katakan jika dia telah membuatmu kesal karena tidak menepati janji."Claudia tertunduk, menatap kembali pada ponsel yang layarnya menyala, panggilan masuk dari Malven. Tadi Claudia langsung mematikan telepon setelah mengatakan jika ia sedang sangat sibuk, khawatir jika lebih lama mendengar suara Malven, amarahnya akan meledak.Akhir-akhir ini Claudia menyadari jika emosinya agak sulit dikendalikan. Detik-detik menuju pernikahan entah kenapa membuatnya ketakutan dan panik, padahal Claudia sendiri yang ingin menikah dan yakin jika l
Pernikahan Claudia dan Malven akhirnya disetujui oleh Regan, padahal pria itu belum tahu tentang kehamilan Claudia. Untungnya setelah Claudia mengatakan tentang kehamilan, Regan tidak menarik kembali restunya dan hanya menghela napas.Adhamar dan Devan bersikeras ingin mengurus persiapan pernikahan, meminta agar Claudia dan Malven menyiapkan diri juga fokus menyelesaikan pekerjaan sebelum mengambil cuti bulan madu. Pertemuan antar kedua keluarga langsung dilaksanakan dua hari setelah Regan memberi restu, dan begitu saja, tanggal pernikahan Claudia ditetapkan.Meski semua hal akan diurus oleh para kakek mereka, Claudia memutuskan untuk tetap memilih gaun pengantin dan desain undangan sendiri, termasuk foto prewedding. Sayangnya, Tabinta tidak mendesain gaun pengantin, jadi Claudia hanya memesan perhiasan darinya, untungnya ada produk baru yang belum dikeluarkan ke public hingga Claudia bisa memilikinya.Wanita itu juga menghubungi brand fashion D&C dan bersyukur saat ada beberapa gaun