Tawa renyah Alvito mengiringi langkah mereka menuju lift. Pria itu masih mengekor dan menekan tombol menggantikan Aira, senyumnya melebar saat wanita itu mengernyit. “Kenapa tidak menekan tombol menuju lantai kamarmu sendiri?”“Aku ‘kan harus mengantarkan tuan putri dulu. Bagaimana pangeranmu ini bisa pergi dengan tenang kalau belum melihatmu berada di tempat aman?” Alvito mengedipkan sebelah mata sembari meraih tangan Aira dan menggenggamnya. “Mau kubawakan tasnya? Aku sedang baik hari ini, lho!”Aira berdecak, “Telat!” ujarnya ketus. Wanita itu langsung keluar setelah pintu lift terbuka, tapi tidak melepaskan tautan tangannya dari Alvito, hal itu sukses membuat Alvito ikut tertarik keluar.“Astaga, pelan-pelan dong! Aku tidak akan kabur, kok!” Aira memutar bola mata dan pada akhirnya melepas tangannya dari Alvito setelah sampai di depan pintu bertuliskan 1708. “Baiklah, aku sudah sampai dengan selamat, jadi kamu bisa pergi sekarang. Selamat tinggal, Pangeran, hati-hati dalam perj
“Kamu kenapa, Ra?” Claudia bertanya dengan lembut, entah kenapa suara Aira terdengar berbeda dari biasanya.Claudia terbangun duluan, meninggalkan Malven yang masih terlelap, ia mandi dan berganti baju sebelum menelepon Aira. Padahal Claudia sudah mengirim pesan sejak sebelum mandi, tapi pesannya malah hanya dibaca saja, itu sebabnya Claudia langsung menelepon. “Butuh aku tidak? Aku akan ke sana sekarang,” ucap Claudia lagi saat tidak ada jawaban dari seberang telepon. “Tidak, Cla, kamu sedang kurang sehat. Sebaiknya kamu istirahat saja, tapi kalau kamu membutuhkanku, datang saja.”Kata-kata Aira membuat kening Claudia berkerut. Temannya itu memang sedikit sulit membuka diri, tapi Claudia sudah hapal betul tindakannya. Kalau Aira bilang, ‘Aku tidak membutuhkanmu, tapi kalau kamu membutuhkanku, datanglah!’, maka bisa dipastikan wanita itu sedang tidak baik-baik saja. Aira tidak suka dianggap lemah karena membutuhkan bantuan seseorang dan terkadang hal itu yang membuat mereka bertengk
Claudia terkejut, begitu pun Raga, saat pria berkacamata yang sejak tadi mendengarkan tampak menahan tawa. Claudia berdeham dan cepat membawa Raga keluar setelah pintu lift terbuka, tapi saat mengingat jika mereka turun di lantai yang sama, Claudia merasa semakin canggung. Demi apa pun Claudia tidak mau mempertemukan Raga dan Alvito karena hati nuraninya tidak mengizinkan.“Sebentar deh, Om yang waktu itu ke butiknya Tante Binta bukan?” Raga menoleh ke belakang, menatap Alvito dengan pandangan penasaran. Pasalnya ia baru memperhatikan jika wajah itu cukup familiar. Tidak hanya pernah ia lihat datang ke butik Tabinta waktu itu, tapi Raga pernah melihatnya di suatu tempat meski ia tidak ingat di mana.“Binta? Maksud kamu mungkin Tabinta yang desainer itu, kan?” Alvito bertanya dengan lembut, “Kalau dia yang kamu maksud, Om memang pernah ke sana sekali. Kamu kenal dengan Binta juga?”“Waah, ternyata benar! Tante Binta itu temannya Mamaku, Om, jadi aku kenal deh! Pantes dari tadi kaya pe
Aira keluar dari kamar mandi sembari mengeringkan rambutnya dengan handuk, piyama tidur berwarna hijau muda dengan gambar beruang membuat penampilan Aira tampak manis. Tapi, tentu saja Claudia tidak akan mengatakan hal itu terang-terangan karena sudah pasti Aira akan mengganti pakaiannya dengan sesuatu yang membosankan seperti sweater dan celana panjang hitam.“Tadi kami bertemu seseorang, tapi sepertinya Raga kenal karena wajahnya mirip dengan teman ibunya.” Claudia menjawab sembari menggeser tubuhnya, membiarkan Aira duduk si sampingnya.“Wah, Kak Aira manis banget pakai piyana itu!” seru Raga tiba-tiba.Seruan Raga membuat Aira menghentikan gerakannya dan menatap pada Claudia. “Manis?” tanyanya.“Raga baik sekali, kecoa lewat pun akan dibilang manis. Kalau mau berbuat baik, kamu juga harus lihat-lihat siapa orangnya, Sayang,” ucap Claudia pada Raga, kata-katanya sukses membuat Aira berdecih dan memukul pelan lengannya.Raga tidak sedang berbuat baik padahal, karena Aira memang terl
Aira sempat tertegun di tempatnya, tapi dengan cepat mengubah ekspresi dan melanjutkan pergerakannya mematikan kompor. “Nama panggilannya memang Al,” ucapnya acuh tak acuh.“Hmm ….” Claudia tidak lagi mengorek informasi, karena tahu dengan pasti sahabatnya itu tidak akan menceritakan apa pun meski didesak. Sama seperti Claudia yang terkadang menceritakan sesuatu saat masalahnya sudah selesai, begitu pun Aira.Claudia bangkit dari duduknya, meraih tiga gelas bergagang sebelum mulai menuangkan coklat bubuk. Aira menuangkan air panas ke gelas yang sudah berisi coklat bubuk, panas untuknya dan hangat untuk Claudia dan Raga. Keduanya kembali ke depan televisi, duduk berdampingan dengan posisi Raga di tengah.“Makasih coklatnya, Kak,” ucap Raga sembari menerima gelas dari Claudia.Aira yang duduk di samping Raga, melirik pada anak itu dan tersenyum kecil. “Aku hampir lupa, tapi tadi namamu Ragava Lintang Pranaja, kan? Apa aku boleh memanggil Lintang?” tanyanya pada Raga.Raga yang tidak per
Malven datang tidak sampai lima menit kemudian. Claudia yang membuka pintu dan harus melihat wajah pria yang tampak siap menelannya bulat-bulat. “Selamat malam, Tuan Malven, saya mohon maaf jika pertemuan mendadak saya dan Claudia membuat Anda khawatir dan menimbulkan ketidaknyamanan. Saya juga tidak tahu jika Claudia akan membawa Tuan Muda Raga bersamanya karena setahu saya Claudia sedang libur hari ini.” Aira langsung menyambut dengan suara sopan, tubuhnya membungkuk hormat pada Malven.Malven melihat beberapa kertas dan pulpen tinta ada di atas meja, juga Raga yang berdiri sambil memegang gelas yang dari baunya berisi minuman coklat serta televisi yang menyala dan memutar siaran anak-anak. Helaan napas lega pria itu membuat Claudia dan Aira menegang. “Saya juga minta maaf, Pak, seharusnya saya tidak membawa Tuan Muda bersama.” Claudia ikut berdiri di samping Aira dan mengucap maaf, juga membungkuk sopan ke arah Malven.Raga yang melihat dua wanita itu sedang menunduk di hadapan a
“Siapa, Ra?” Claudia bertanya saat melihat Aira hanya berdiri diam di depan pintu.“Seseorang yang katanya ingin kamu kenal,” ucap Aira pelan, menghela napas panjang sebelum tangannya terulur dan membuka pintu. “Tapi, sebaiknya tidak berkenalan sekarang, Cla, situasinya kurang memungkinkan,” lanjutnya lirih sebelum keluar dari kamar.Claudia mengernyitkan dahi saat Aira malah meninggalkannya, bukannya menyuruh tamu untuk masuk. “Seseorang yang ingin kukenal itu … Lintang, kan?” Claudia bergumam sembari melirik pada layar kecil di dinding, penasaran ingin melihat seperti apa sosok yang selalu Aira ceritakan dulu. Tapi, mengingat kata-kata Aira tentang situasi yang kurang memungkinkan membuat niat Claudia untuk mengintip langsung urung. Dia percaya pada Aira dan seperti Aira juga yang selalu menunggu hingga Claudia bicara, maka Claudia juga harus melakukan hal yang sama.Di luar kamar, Aira yang kembali berhadapan dengan Alvito menaikkan satu alisnya melihat wajah pria itu tampak pucat
“Tidak sekarang, setidaknya sampai aku siap untuk menjengukmu setiap hari di penjara, baru kamu boleh membunuhnya.”Claudia tersenyum simpul. Intinya Aira masih sanggup menghadapi Deon dan Claudia masih boleh istirahat di kediaman Pranaja. “Terima kasih, Ra. Sungguh, aku tidak tahu harus bagaimana membalas kebaikanmu.”“Jangan menangis,” ucap Aira cepat, tatapannya masih tidak teralih dari layar televisi. “Cukup jangan terluka dan menangis lagi, itu satu-satunya hal yang harus kamu lakukan untuk balas budi padaku.”Claudia tidak bisa menjawab dengan pasti. Entah kenapa wajah Malven tiba-tiba terbayang di benaknya. Bisakah Claudia mencintai pria itu tanpa terluka dan berakhir patah hati lagi nanti? Claudia tidak yakin bisa melepaskan Malven begitu saja setelah semua ini selesai. Tapi, tidak menutup kemungkinan jika Claudia berhasil membuat Malven mencintainya selama waktu tersisa, kan?“Aku akan berusaha, Ra, kali ini tidak akan menangis patah hati.”Aira menghela napas mendengar jawab