Claudia tertegun, rasa sedihnya atas kata-kata yang diucap Selena waktu itu seolah sirna setelah mendengar perkataan Aira. Wanita itu menoleh pada sahabatnya yang tampak murung."Kamu ini bicara apa, Ra? Apa yang terjadi padaku atau siapa pun di dunia ini, sama sekali bukan salahmu. Jangan meminta maaf untuk kesalahan yang tidak kamu lakukan. Apa aku pernah menyalahkanmu sekali pun saat Selena dan Deon mengkhianatiku? Tidak, kan?! Kenapa kamu ... kenapa kamu mengatakan sesuatu seperti itu?"Claudia menangis, air matanya tidak bisa ditahan melihat tatapan Aira yang tampak rapuh. Seseorang yang selalu tegas dan dipenuhi kekuatan di matanya, sedang menunjukkan sesuatu yang belum pernah Claudia lihat.Aira yang tidak menyangka jika Claudia akan menangis juga sama terkejutnya. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain memeluk Claudia dan menenangkannya, karena kalau Aira membela diri sekarang, Claudia akan menangis semakin kencang. Lalu, kata-kata Claudia menyadarkan Aira jika ia telah mengata
Claudia mengikuti permintaan Sean meski keningnya mengernyit tidak mengerti. Tentu saja Claudia tahu jika Raga sebagai pewaris Pranaja akan berada dalam situasi berbahaya jika tidak dijaga, tapi Claudia 'kan tidak sedang bersama Raga! Bahaya apa yang akan terjadi pada seorang pengasuh yang tidak tahu apa-apa?"Sean, apa aku boleh bertanya?" Claudia mengikuti Sean ke dalam dan berdiri diam saat Sean tidak bergerak dari tempat meski mereka sudah sampai di dekat sofa."Silakan duduk, Nona. Apa ada minuman yang Anda inginkan? Lalu, tentu saja Nona Claudia boleh menanyakan apa pun, saya akan menjawab sebisa mungkin." Claudia mengerjap, "Lalu kamu? Kenapa kamu hanya berdiri?" tanyanya, tidak mengerti kenapa pemilik kamar hanya mempersilakan seorang tamu untuk duduk padahal dirinya sendiri masih berdiri."Saya akan berdiri saja," ucap Sean tegas, tangannya mempersilakan Claudia untuk segera duduk."Kenapa? Kamu tidak nyaman denganku? Tadinya aku ingin numpang tidur karena belum memesan kama
Malven yang mendengar seruan Claudia, menaikkan satu alis, apalagi saat melihat raut panik wanita itu. "Aku belum setua itu untuk lupa kalau kamu sedang datang bulan, kenapa tiba-tiba mengatakan itu?" Malven bertanya sembari mendekat pada Claudia, menatap lurus pada wanita yang sedang menyilangkan kedua tangannya di dada. "Ha-habisnya kamu menatapku begitu!" ujar Claudia seraya berdiri, menyambut Malven dengan menegakkan tubuh. "Aku bisa jelaskan masalah tadi! Aku benar-benar minta maaf karena membawa Raga tanpa pengawalan, aku janji tidak akan mengulanginya lagi!"Malven menghela napas, duduk di sofa dan memberi isyarat pada Claudia untuk menempati pangkuannya. Claudia menatap Malven yang memberi isyarat sambil menunjuk pada pahanya. Saat Claudia mengedarkan pandangan, ia tidak menemukan keberadaan Sean, sepertinya wanita itu keluar kamar saat Malven datang."Claudi," panggil Malven pelan.Claudia merengut, mau tidak mau naik ke pangkuan Malven saat pria itu memanggilnya dengan na
Malven tidak mengerti kenapa tangisan Claudia membuat dadanya tidak nyaman dan dipenuhi amarah. Tidak hanya sekarang, setiap kali wanita itu sedih dan menangis gara-gara sepupu atau mantan tunangannya, perasaan Malven kacau. Rasanya seolah ia ingin menghancurkan semua hal yang menjadi penyebab tangis Claudia.Perasaan ingin melindungi yang mirip seperti ketika Malven bersama Elodia, tapi tidak sama, meski Malven sendiri tidak tahu dan tidak tahu di mana letak perbedaannya. Hal itu juga membuat Malven kadang tidak bisa berlama-lama bersama Claudia, perasaan tidak dikenal yang seolah membuatnya menjadi lemah, sejujurnya Malven tidak menyukainya.Termasuk keinginan spontan untuk menjadikan Claudia sekretarisnya, Malven juga tidak mengerti, padahal ia yang paling anti dengan hal-hal seperti mendapat posisi dengan menjajakan tubuh, tapi hanya dengan membayangkan Claudia berada di sisinya setiap waktu dan Malven bisa melihat wanita itu saat sedang bekerja, membuat dada Malven dipenuhi kebah
Pria itu terkekeh saat Claudia mencubit perutnya. "Tidak sekalian turun lebih ke bawah tanganmu?" tanyanya dengan nada main-main.Claudia merengut, dengan cepat menarik tangannya. "Aku mau tidur," ucapnya tegas. "Selamat tidur, Claudi." Malven mengecup lembut kening Claudia, merengkuh wanita itu lebih dekat dan mengusap-usap punggungnya. Claudia menyukai suasana saat ini. Saat ia memejamkan mata, ada seseorang yang memeluknya dengan hangat, mengucapkan selamat tidur dan mengecup keningnya. Bisakah kenyamanan dan kebahagiaan ini bertahan setelah tiga bulan masa perjanjian mereka berakhir? Claudia tidak tahu dan sedang tidak ingin membayangkannya."Mimpi indah, Malven." Claudia tersenyum di tengah-tengah kesadarannya yang hampir hilang."Apa itu artinya aku harus menemuimu di mimpi? Sesuatu yang indah hanyalah wajahmu," ucap Malven pelan sebelum memejamkan mata, bibirnya menyunggingkan senyum, agak geli dengan kata-katanya sendiri. Pagi harinya, ketika Claudia terbangun karena suara
Claudia mengerjap pelan, sepertinya telinganya bermasalah, mungkin efek dari datang bulan. “Aku salah dengar tadi, tapi apa hadiahmu?” tanyanya lagi, memastikan jika ia memang tidak salah persepsi. “Lima persen saham dari salah satu hotel bintang lima di Phu Quoc, Vietnam. Tidak terlalu mahal sih, tapi kupikir itu cukup untuk hadiah ulang tahun Raga yang ke lima. Bukankah keren, lima persen saham di hotel bintang lima pada usia lima tahun?” Jawaban detail yang Malven berikan membuat Claudia tidak bisa berkata-kata. Sudah pasti dia tidak salah dengar. Claudia bahkan tidak tahu berapa banyak uang yang akan dihadilkan dari lima persen saham itu, apalagi di sebuah hotel di pulau yang terkenal dengan keindahannya. Bukankah bisa dikatakan jika Raga lebih kaya dari Claudia? “Sepertinya hadiah apa pun yang akan kuberikan pada Raga tidak akan ada apa-apanya dibanding hadiahmu, kan? Karena Raga masih anak-anak, bukankah seluruh uang hasil sahamnya akan disimpan dan baru diberikan saat dia d
"Kakak! Liburnya udah selesai?" Claudia terkekeh saat Raga menyambutnya. Hari ini Claudia sudah bisa beraktifitas, hari ke tiga datang bulan biasanya rasa sakitnya sudah lumayan berkurang. "Sudah, dong! Kamu kabarnya gimana? Kemarin seharian tidak bertemu, Kakak rindu!" Claudia memeluk Raga erat, mencium pipi putih yang tampak lezat untuk digigit."Aku juga kangen, tapi karena Kakak bilang harus jadi anak baik, jadi aku nunggu dengan sabar!" Raga juga mengeratkan lengannya di leher Claudia, menghirup harum khas dari rambut panjang wanita itu. "Hari ini kita mau ke mana? Papa ikut nggak?"Malven yang sejak tadi berdiri di belakang Claudia dan datang bersama wanita itu ke kamar Arfa untuk menjemput Raga, sedikit khawatir saat mendengar pertanyaan putranya."Papa harus kembali ke Vietnam karena pekerjaan di sana belum selesai, tidak apa-apa, kan? Papa pasti datang sebelum ulang tahunmu nanti," ucap Malven sembari mendekat dan berjongkok di samping Claudia, mengusap lembut kepala putran
Perkataan Raga membuat Claudia sedikit mengernyit, karena dari cerita-cerita Malven selama ini, jelas pria itu sangat membenci kakeknya dan mengangap pria tua itu sebagai sosok yang kejam. Claudia tidak pernah melihat wajah pemimpin Pranaja sebelumnya karena ia tidak pernah menunjukkannya ke publik, kalau pun ada wawancara dengan sebuah majalah bisnis, maka hanya diperlihatkan dari bagian bahunya saja. Yang Claudia tahu, pria yang sudah lama pensiun dari jabatannya sebagai pemimpin Pranaja itu adalah seorang pengusaha yang sangat hebat, termasuk salah satu pebisnis yang Claudia kagumi karena pikiran-pikirannya tentang dunia bisnis di masa depan dan tidak ada satu pun yang meleset dari perkataannya."Kakak jadi penasaran dan ingin bertemu dengan Opa-nya Raga juga," ucap Claudia pelan, perkataa yang muncul dari hati terdalamnya. Memang siapa yang tidak mau bertemu mantan pemimpin perusahaan besar yang selalu berhasil di setiap bisnis yang digelutinya?"Kayanya bisa, deh! Sebentar lagi