Claudia mengikuti permintaan Sean meski keningnya mengernyit tidak mengerti. Tentu saja Claudia tahu jika Raga sebagai pewaris Pranaja akan berada dalam situasi berbahaya jika tidak dijaga, tapi Claudia 'kan tidak sedang bersama Raga! Bahaya apa yang akan terjadi pada seorang pengasuh yang tidak tahu apa-apa?"Sean, apa aku boleh bertanya?" Claudia mengikuti Sean ke dalam dan berdiri diam saat Sean tidak bergerak dari tempat meski mereka sudah sampai di dekat sofa."Silakan duduk, Nona. Apa ada minuman yang Anda inginkan? Lalu, tentu saja Nona Claudia boleh menanyakan apa pun, saya akan menjawab sebisa mungkin." Claudia mengerjap, "Lalu kamu? Kenapa kamu hanya berdiri?" tanyanya, tidak mengerti kenapa pemilik kamar hanya mempersilakan seorang tamu untuk duduk padahal dirinya sendiri masih berdiri."Saya akan berdiri saja," ucap Sean tegas, tangannya mempersilakan Claudia untuk segera duduk."Kenapa? Kamu tidak nyaman denganku? Tadinya aku ingin numpang tidur karena belum memesan kama
Malven yang mendengar seruan Claudia, menaikkan satu alis, apalagi saat melihat raut panik wanita itu. "Aku belum setua itu untuk lupa kalau kamu sedang datang bulan, kenapa tiba-tiba mengatakan itu?" Malven bertanya sembari mendekat pada Claudia, menatap lurus pada wanita yang sedang menyilangkan kedua tangannya di dada. "Ha-habisnya kamu menatapku begitu!" ujar Claudia seraya berdiri, menyambut Malven dengan menegakkan tubuh. "Aku bisa jelaskan masalah tadi! Aku benar-benar minta maaf karena membawa Raga tanpa pengawalan, aku janji tidak akan mengulanginya lagi!"Malven menghela napas, duduk di sofa dan memberi isyarat pada Claudia untuk menempati pangkuannya. Claudia menatap Malven yang memberi isyarat sambil menunjuk pada pahanya. Saat Claudia mengedarkan pandangan, ia tidak menemukan keberadaan Sean, sepertinya wanita itu keluar kamar saat Malven datang."Claudi," panggil Malven pelan.Claudia merengut, mau tidak mau naik ke pangkuan Malven saat pria itu memanggilnya dengan na
Malven tidak mengerti kenapa tangisan Claudia membuat dadanya tidak nyaman dan dipenuhi amarah. Tidak hanya sekarang, setiap kali wanita itu sedih dan menangis gara-gara sepupu atau mantan tunangannya, perasaan Malven kacau. Rasanya seolah ia ingin menghancurkan semua hal yang menjadi penyebab tangis Claudia.Perasaan ingin melindungi yang mirip seperti ketika Malven bersama Elodia, tapi tidak sama, meski Malven sendiri tidak tahu dan tidak tahu di mana letak perbedaannya. Hal itu juga membuat Malven kadang tidak bisa berlama-lama bersama Claudia, perasaan tidak dikenal yang seolah membuatnya menjadi lemah, sejujurnya Malven tidak menyukainya.Termasuk keinginan spontan untuk menjadikan Claudia sekretarisnya, Malven juga tidak mengerti, padahal ia yang paling anti dengan hal-hal seperti mendapat posisi dengan menjajakan tubuh, tapi hanya dengan membayangkan Claudia berada di sisinya setiap waktu dan Malven bisa melihat wanita itu saat sedang bekerja, membuat dada Malven dipenuhi kebah
Pria itu terkekeh saat Claudia mencubit perutnya. "Tidak sekalian turun lebih ke bawah tanganmu?" tanyanya dengan nada main-main.Claudia merengut, dengan cepat menarik tangannya. "Aku mau tidur," ucapnya tegas. "Selamat tidur, Claudi." Malven mengecup lembut kening Claudia, merengkuh wanita itu lebih dekat dan mengusap-usap punggungnya. Claudia menyukai suasana saat ini. Saat ia memejamkan mata, ada seseorang yang memeluknya dengan hangat, mengucapkan selamat tidur dan mengecup keningnya. Bisakah kenyamanan dan kebahagiaan ini bertahan setelah tiga bulan masa perjanjian mereka berakhir? Claudia tidak tahu dan sedang tidak ingin membayangkannya."Mimpi indah, Malven." Claudia tersenyum di tengah-tengah kesadarannya yang hampir hilang."Apa itu artinya aku harus menemuimu di mimpi? Sesuatu yang indah hanyalah wajahmu," ucap Malven pelan sebelum memejamkan mata, bibirnya menyunggingkan senyum, agak geli dengan kata-katanya sendiri. Pagi harinya, ketika Claudia terbangun karena suara
Claudia mengerjap pelan, sepertinya telinganya bermasalah, mungkin efek dari datang bulan. “Aku salah dengar tadi, tapi apa hadiahmu?” tanyanya lagi, memastikan jika ia memang tidak salah persepsi. “Lima persen saham dari salah satu hotel bintang lima di Phu Quoc, Vietnam. Tidak terlalu mahal sih, tapi kupikir itu cukup untuk hadiah ulang tahun Raga yang ke lima. Bukankah keren, lima persen saham di hotel bintang lima pada usia lima tahun?” Jawaban detail yang Malven berikan membuat Claudia tidak bisa berkata-kata. Sudah pasti dia tidak salah dengar. Claudia bahkan tidak tahu berapa banyak uang yang akan dihadilkan dari lima persen saham itu, apalagi di sebuah hotel di pulau yang terkenal dengan keindahannya. Bukankah bisa dikatakan jika Raga lebih kaya dari Claudia? “Sepertinya hadiah apa pun yang akan kuberikan pada Raga tidak akan ada apa-apanya dibanding hadiahmu, kan? Karena Raga masih anak-anak, bukankah seluruh uang hasil sahamnya akan disimpan dan baru diberikan saat dia d
"Kakak! Liburnya udah selesai?" Claudia terkekeh saat Raga menyambutnya. Hari ini Claudia sudah bisa beraktifitas, hari ke tiga datang bulan biasanya rasa sakitnya sudah lumayan berkurang. "Sudah, dong! Kamu kabarnya gimana? Kemarin seharian tidak bertemu, Kakak rindu!" Claudia memeluk Raga erat, mencium pipi putih yang tampak lezat untuk digigit."Aku juga kangen, tapi karena Kakak bilang harus jadi anak baik, jadi aku nunggu dengan sabar!" Raga juga mengeratkan lengannya di leher Claudia, menghirup harum khas dari rambut panjang wanita itu. "Hari ini kita mau ke mana? Papa ikut nggak?"Malven yang sejak tadi berdiri di belakang Claudia dan datang bersama wanita itu ke kamar Arfa untuk menjemput Raga, sedikit khawatir saat mendengar pertanyaan putranya."Papa harus kembali ke Vietnam karena pekerjaan di sana belum selesai, tidak apa-apa, kan? Papa pasti datang sebelum ulang tahunmu nanti," ucap Malven sembari mendekat dan berjongkok di samping Claudia, mengusap lembut kepala putran
Perkataan Raga membuat Claudia sedikit mengernyit, karena dari cerita-cerita Malven selama ini, jelas pria itu sangat membenci kakeknya dan mengangap pria tua itu sebagai sosok yang kejam. Claudia tidak pernah melihat wajah pemimpin Pranaja sebelumnya karena ia tidak pernah menunjukkannya ke publik, kalau pun ada wawancara dengan sebuah majalah bisnis, maka hanya diperlihatkan dari bagian bahunya saja. Yang Claudia tahu, pria yang sudah lama pensiun dari jabatannya sebagai pemimpin Pranaja itu adalah seorang pengusaha yang sangat hebat, termasuk salah satu pebisnis yang Claudia kagumi karena pikiran-pikirannya tentang dunia bisnis di masa depan dan tidak ada satu pun yang meleset dari perkataannya."Kakak jadi penasaran dan ingin bertemu dengan Opa-nya Raga juga," ucap Claudia pelan, perkataa yang muncul dari hati terdalamnya. Memang siapa yang tidak mau bertemu mantan pemimpin perusahaan besar yang selalu berhasil di setiap bisnis yang digelutinya?"Kayanya bisa, deh! Sebentar lagi
Teriakan Claudia membuat atensi Raga dan Ali tertuju padanya. "Ah, maaf, saya tidak bermaksud berisik. Tapi, saya baru tahu kalau Arfa itu putra angkat Pak Ali." Claudia menggaruk pipi, sedikit salah tingkah saat semua orang menatapnya."Tidak apa-apa, saya juga bersalah karena tidak sempat mengatakannya. Sekitar enam tahun lalu kami bertemu pertama kali di villa, waktu itu Nona Elodia dan Tuan Malven baru menikah, jadi saya yang mengantar Nona ke sana untuk melihat hadiah pernikahannya. Kebetulan saat itu Arfa sedang 'belajar' dan karena tertarik, saya mengajukan diri menjadi gurunya. Meskipun agak nakal, anak itu sangat pandai, lalu karena dia membutuhkan identitas, jadi saya menawarkan diri untuk mengangkatnya sebagai anak."Jawaban panjang Ali membuat Claudia membulatkan bibir, mengabaikan kata 'belajar' yang diucap Ali sambil memberikan dua jari dan menekuknya--tanda jika yang ia katakan agak berbeda maknanya. "Wah, saya benar-benar baru tahu sekarang, terima kasih sudah mencer
"MOMMA!" Claudia yang mendengar teriakan itu langsung berlari, menghampiri Raga yang melambai sambil melompat di dekat gerbang arrival hall, bersama Sean dan Vall di sisinya. "Sayangnya Momma!" Raga langsung melompat ke pelukan Claudia saat wanita itu akhirnya tiba di depannya. "Aku kangen Momma! Kenapa lama banget perginya?" "Momma juga kangen Raga, kangeen banget! Maaf ya sudah meninggalkan kamu sendirian, nanti kita main ke banyak tempat berdua sebagai gantinya." "Digandeng saja," Malven segera menyela saat melihat Claudia hampir menggendong Raga. Pria yang ditinggalkan sejak Raga berteriak itu, ikut berjongkok di samping Claudia. "Momma sedang tidak bisa mengangkat sesuatu yang berat, jadi kalau kamu mau digendong, dengan Papa saja."Raga mengerjap, baru ingat jika saat ini ada bayi yang harus dijaga dalam perut Claudia. "Mau dituntun Momma aja, nggak mau sama Papa."Mendengar jawaban putranya, Malven tanpa sadar mengernyit. Sejak kehadiran Claudia, rasanya ia tidak lagi menj
Malven tidak langsung menjawab. Ia berjalan ke minibar, menuang segelas kecil anggur putih dan menyeduh teh mawar lalu menyerahkannya pada Claudia. Claudia menerima tehnya, lalu mereka duduk berdampingan di sofa. Tangan besar Malven melingkar di bahu Claudia. Ia sepenuhnya mengerti karena salah satu orang yang membuat ketakutan itu tercipta adalah dirinya sendiri. Malven meninggalkan Claudia tanpa kabar setelah mereka kembali dari Vietnam. “Sepertinya aku juga takut,” katanya pelan. “Tapi, bukan karena hal-hal indah akan pergi. Aku takut kalau aku tidak cukup untuk membuat kamu yang bersamaku merasa bahagia.” Claudia menoleh, menatap dalam pada Malven. Wajah Malven tampak jujur, terbuka, dan untuk sesaat, Claudia bisa melihat dirinya sendiri dalam keraguan laki-laki itu. Bukan sebagai dua orang yang sedang jatuh cinta di Paris, tapi sebagai dua manusia yang sama-sama sedang mencoba. “Aku tidak tahu masa depan akan jadi seperti apa,” Claudia berbisik, “Tapi hari ini ... kamu cukup.
Setelah sarapan yang perlahan berubah menjadi percakapan panjang di bawah matahari pagi, Claudia dan Malven akhirnya masuk kembali ke dalam kamar. Cahaya terang telah memenuhi seluruh ruang, menari-nari di dinding berlapis wallpaper emas lembut, membangkitkan energi baru dalam suasana yang semula tenang.Claudia berdiri di depan cermin besar bergaya Rococo, jari-jarinya sibuk menyisir rambut yang masih lembap. Gaun yang ia pilih hari itu berwarna krem pucat, ringan dan mengalir lembut hingga di bawah lutut. Di balik kesederhanaannya, gaun itu memeluk tubuhnya dengan cara yang manis. Sementara Malven yang baru selesai mencukur dan mengenakan kemeja linen putih yang digulung santai di lengan, berdiri tak jauh dari sana, mengancingkan jam tangannya sambil sesekali mencuri pandang ke arah Claudia."Kenapa melihatku terus?"“Kamu terlihat seperti sesuatu yang tidak bisa ditulis dalam puisi. Terlalu indah,” gumam Malven pelan.Claudia menoleh, menahan senyum. “Itu gombal atau jujur?”Malven
Matahari baru saja menyingkap tirai langit Paris, menyebarkan cahaya keemasan yang hangat ke seluruh penjuru kota ketika Claudia benar-benar terbangun. Dari lantai paling atas hotel paling eksklusif di jantung Paris, pemandangan kota terlihat seperti lukisan hidup--Menara Eiffel berdiri megah di kejauhan, samar tertutup kabut tipis pagi, sementara Sungai Seine mengalir tenang, memantulkan kilau cahaya pagi yang lembut.Kamar paling mewah di hotel ini adalah surga keanggunan yang dipilih Malven untuk tempat menginap mereka selama seminggu ke depan. Langit-langit tinggi dihiasi ukiran klasik berlapis emas, dengan lampu gantung kristal yang masih berpendar lembut setelah malam berlalu. Lantai marmer dingin menyatu anggun dengan permadani sutra Persia yang tebal.Jendela besar setinggi langit-langit terbuka lebar, membiarkan angin pagi Paris masuk bersama aroma croissant segar dari boulangerie di bawah. Tirai tipis warna gading melambai pelan diterpa angin, menyempurnakan ketenangan pagi.
“Gugup?” Pertanyaan itu membuat Claudia yang sedang menenangkan diri sambil memegang erat tangan Raga, mendongak saat mendengar suara Aira. Temannya itu baru kembali dari mengambil bunga tangan yang akan Claudia pegang saat menuju altar.“Tentu saja, ini pertama kali aku menikah.”Jawaban Claudia yang diucap dengan raut wajah seperti menahan buang air itu membuat Aira tertawa. “Sudah lama sejak aku melihatmu begini. Terakhir kali saat sidang tesismu, kan?” Aira mendekat, memberikan bunga tangan yang dirangkai dengan keanggunan memikat. Claudia menerimanya dengan tangan gemetar, menarik napas panjang saat melihat betapa indah bunga yang diterimanya. Bunga itu benar-benar dirangkai dengan anggun. Di bagian tengah, mawar putih bermekaran sempurna, dikelilingi oleh baby’s breath yang halus seperti embun pagi. Beberapa tangkai peony merah muda pucat menyisipkan nuansa manis dan romantis, sementara sentuhan eucalyptus memberi kesan menyegarkan. Pita satin warna champagne membalut batang-
Claudia pernah melewati momen saat seseorang melamarnya, tapi perasaan terharu yang sulit dijelaskan baru sekarang ia rasakan. Air matanya mengalir begitu saja, kata-katanya seolah tersendat dan tidak bisa diungkapkan. Lalu, entah sejak kapan beberapa awak pesawat sudah berdiri di dekat mereka, masing-masing membawa sebuah kertas karton warna-warni yang sudah dihias dengan lukisan bunga di sepanjang sisi. Tapi, yang membuat Claudia tertawa sambil menitikkan air mata adalah tulisan yang tertera di kertas yang mereka bawa. TERIMA LAMARANNYA ATAU PESAWAT INI TIDAK AKAN PERNAH MENDARAT "Jadi, ini sebenarnya lamaran atau ancaman?" Claudia menghapus air matanya, senyumnya mengembang lebar saat ia menyerahkan tangan ke arah Malven. "Baiklah, demi keselamatan kita bersama, aku akan menerima lamaranmu." Malven tersenyum semringah, memasangkan cincin di jari manis Claudia dan mengecupnya lembut. "Kamu tidak bisa berbalik ke belakang atau berlari mundur, Claudi, karena aku tidak akan pernah m
Malven tidak langsung menjawab, hanya terus menggenggam tangan Claudia dan berjalan menuju pemeriksaan terakhir."Kenapa diam saja? Aku benar, kan?! Padahal sudah kubilang kalau akan ada foto prewedding, tapi kamu malah mengirim Arfa? Kamu mau Arfa yang memakai jas dan mengambil foto denganku? Kalau begitu sekalian saja nama yang tertulis di undangan adalah nama Arfa!"Selama Claudia mengomel, tanpa disadari mereka sudah memasuki pesawat dan Malven menuntun agar Claudia duduk lebih dulu.Wanita itu masih merengut, duduk di dekat jendela dan membiarkan Malven memasangkan seat belt untuknya. Tepat setelah Malven memasang seat belt untuk dirinya sendiri, terdengar pengumuman jika pesawat akan segera lepas landas. Claudia menoleh ke sekitar dan mengernyit saat tidak melihat penumpang lain. Ia juga baru menyadari jika mereka tidak berada di first class, melainkan business class. Tidak ada pramugari yang menyambut atau memberi arahan, semuanya tampak kosong seolah di dalam pesawat ini hany
"Apa kita akan kembali ke perusahaan, Nona?"Claudia mendongak dan menatap Shouki yang sedang menyetir di depan, menghela napas pelan sebelum mengangguk. "Kurasa ada baiknya untuk menyelesaikan pekerjaan saja."Shouki tidak langsung mengatakan sesuatu, membiarkan suasana hening menyelimuti sebelum menarik napas panjang. "Nona--maksudku Claudia, bukankah sebaiknya langsung datangi Tuan Malven saja? Jangan memikirkan sesuatu terlalu rumit, sebaiknya temui dan katakan jika dia telah membuatmu kesal karena tidak menepati janji."Claudia tertunduk, menatap kembali pada ponsel yang layarnya menyala, panggilan masuk dari Malven. Tadi Claudia langsung mematikan telepon setelah mengatakan jika ia sedang sangat sibuk, khawatir jika lebih lama mendengar suara Malven, amarahnya akan meledak.Akhir-akhir ini Claudia menyadari jika emosinya agak sulit dikendalikan. Detik-detik menuju pernikahan entah kenapa membuatnya ketakutan dan panik, padahal Claudia sendiri yang ingin menikah dan yakin jika l
Pernikahan Claudia dan Malven akhirnya disetujui oleh Regan, padahal pria itu belum tahu tentang kehamilan Claudia. Untungnya setelah Claudia mengatakan tentang kehamilan, Regan tidak menarik kembali restunya dan hanya menghela napas.Adhamar dan Devan bersikeras ingin mengurus persiapan pernikahan, meminta agar Claudia dan Malven menyiapkan diri juga fokus menyelesaikan pekerjaan sebelum mengambil cuti bulan madu. Pertemuan antar kedua keluarga langsung dilaksanakan dua hari setelah Regan memberi restu, dan begitu saja, tanggal pernikahan Claudia ditetapkan.Meski semua hal akan diurus oleh para kakek mereka, Claudia memutuskan untuk tetap memilih gaun pengantin dan desain undangan sendiri, termasuk foto prewedding. Sayangnya, Tabinta tidak mendesain gaun pengantin, jadi Claudia hanya memesan perhiasan darinya, untungnya ada produk baru yang belum dikeluarkan ke public hingga Claudia bisa memilikinya.Wanita itu juga menghubungi brand fashion D&C dan bersyukur saat ada beberapa gaun