Perkataan Raga membuat Claudia sedikit mengernyit, karena dari cerita-cerita Malven selama ini, jelas pria itu sangat membenci kakeknya dan mengangap pria tua itu sebagai sosok yang kejam. Claudia tidak pernah melihat wajah pemimpin Pranaja sebelumnya karena ia tidak pernah menunjukkannya ke publik, kalau pun ada wawancara dengan sebuah majalah bisnis, maka hanya diperlihatkan dari bagian bahunya saja. Yang Claudia tahu, pria yang sudah lama pensiun dari jabatannya sebagai pemimpin Pranaja itu adalah seorang pengusaha yang sangat hebat, termasuk salah satu pebisnis yang Claudia kagumi karena pikiran-pikirannya tentang dunia bisnis di masa depan dan tidak ada satu pun yang meleset dari perkataannya."Kakak jadi penasaran dan ingin bertemu dengan Opa-nya Raga juga," ucap Claudia pelan, perkataa yang muncul dari hati terdalamnya. Memang siapa yang tidak mau bertemu mantan pemimpin perusahaan besar yang selalu berhasil di setiap bisnis yang digelutinya?"Kayanya bisa, deh! Sebentar lagi
Teriakan Claudia membuat atensi Raga dan Ali tertuju padanya. "Ah, maaf, saya tidak bermaksud berisik. Tapi, saya baru tahu kalau Arfa itu putra angkat Pak Ali." Claudia menggaruk pipi, sedikit salah tingkah saat semua orang menatapnya."Tidak apa-apa, saya juga bersalah karena tidak sempat mengatakannya. Sekitar enam tahun lalu kami bertemu pertama kali di villa, waktu itu Nona Elodia dan Tuan Malven baru menikah, jadi saya yang mengantar Nona ke sana untuk melihat hadiah pernikahannya. Kebetulan saat itu Arfa sedang 'belajar' dan karena tertarik, saya mengajukan diri menjadi gurunya. Meskipun agak nakal, anak itu sangat pandai, lalu karena dia membutuhkan identitas, jadi saya menawarkan diri untuk mengangkatnya sebagai anak."Jawaban panjang Ali membuat Claudia membulatkan bibir, mengabaikan kata 'belajar' yang diucap Ali sambil memberikan dua jari dan menekuknya--tanda jika yang ia katakan agak berbeda maknanya. "Wah, saya benar-benar baru tahu sekarang, terima kasih sudah mencer
Claudia tertegun, jantungnya bertalu sangat kencang mendengar perkataan Raga, dan ketika ia melihat ke arah anak itu, Raga sudah tertidur, seolah pertanyaannya tadi tidak sengaja terucap begitu saja. "Jangan membuat Kakak berharap, dong! Siapa juga yang akan menolak menikah dengan papa-mu? Sudah baik, tampan, banyak uang, dapat anak semanis kamu juga. Tapi kan, perasaan itu tidak bisa dipaksa--sebenarnya bisa, hanya saja Kakak ingin dicintai dengan sungguh-sungguh." Claudia bergumam sebelum mengecup kening Raga, menepuk-nepuk lembut punggung Raga sebelum melepaskannya perlahan.Claudia turun dari ranjang, sebelum bergerak ke kamar mandi, ia memesan makan malam dan beberapa camilan. Makanannya datang tepat setelh Claudia selesai mandi dan memakai piyama.Wanita itu mengeluarkan laptop-nya, menyambungkan ke internet sebelum menunggu sambil mulai menyendok makanan. Pesan-pesan dari Ali memenuhi ruang obrolannya. Claudia dengan telaten mengunduh semua file yang dikirimkan dan menyusunnya
Claudia bisa melihat senyum penuh makna pria di seberang, matanya mengerling nakal saat Claudia hanya menatapnya dalam diam. Tentu saja Claudia tidak bisa langsung bereaksi karena jantungnya terasa akan jatuh akibat detakan yang terlalu kuat. Ia juga mati-matian menahan diri agar tidak tersenyum malu-malu, apalagi saat tanggal ulang tahun yang Malven sebutkan memang benar milik Claudia.'Setidaknya resmikan dulu hubungannya sebelum bulan madu!' Claudia membatin agak kesal, lama-lama ia ingin melempar Malven dengan sandal karena gombalan pria itu makin hari semakin menjadi. Kalau tidak bisa bertanggung jawab terhadap perasaan orang lain, kenapa terus-terusan mengatakan sesuatu yang membuat orang lain salah paham?"Claudi?"Panggilan lembut Malven menyadarkan Claudia dari lamunannya. Wanita itu berdeham. "Maaf, aku jadi teringat sesuatu," ucapnya sembari memasang senyum kecil.Rasanya aneh, meski Claudia merasa bahagia atas ajakan Malven untuk berlibur berdua ke tempat romantis, tapi ke
Raga tidak mengatakan apa pun lagi, hanya memeluk Claudia dalam diam. Tidak ada yang tahu berapa lama Claudia menangis dan Raga menemaninya, saat keduanya lelah dan terlelap, hanya ada ketenangan di kamar itu.Ketika Claudia terbangun dengan kepala sakit, wanita itu menghela napas berat, memegangi kepala yang terasa ditimpa batu besar. Wanita itu menoleh pada Raga yang terlelap dan bibirnya segera melengkung ke bawah melihat bekas air mata di pipi anak itu. Padahal sebentar lagi Raga berulang tahun, tapi bukannya membuat anak itu bhagia, Claudia malah membuatnya menangis."Maaf ya sayang, Kakak akan membawamu main dan kita akan bersenang-senang lagi siang ini." Claudia mengecup kening Raga sebelum turun dari ranjang. Saat matanya melirik pada jam di samping ranjang, helaan napasnya terdengar. Pukul tiga dini hari, terlalu pagi sebenarnya, tapi Claudia tidak bisa tidur lagi jika sudah terbangun. Wanita itu memilih untuk mandi dan mengompres wajahnya yang membengkak dengan air hangat.
"Kamu benar, tapi kita akan buka pintunya setelah kamu ganti baju, biar sekalian kita cari makan di luar." Claudia menuntun Raga ke arah lemari, mengeluarkan satu stel pakaian yang memang sudah ia siapkan sejak awal. Setelah mengeringkan rambut Raga, Claudia membiarkan anak itu memakai baju sendiri dan ia hanya membantu merapikan sisanya, menyisir rambut kelam yang tampak halus, juga memakaikan skincare khusus anak-anak yang memang selalu Raga pakai.Claudia tidak lupa menyemprotkan parfum di tangan Raga sebelum mengangguk senang, penampilan Raga sudah sempurna dan sangat wangi. Wanita itu sendiri hanya menambah sedikit lipstik di bibirnya dan sunscreen."Mereka pasti tahu kalau kita lagi siap-siap, makanya nggak mencet bel lagi, kan?" Raga menebak-nebak saat akhirnya berjalan menuju pintu. Setelah bel yang ditekan dengan sopan tadi, tidak ada lagi bel susulan. "Benar, mereka mungkin hanya ingin memberi tanda jika mereka sudah bersiap di depan pintu." Claudia menjawab sembari menari
Claudia tertegun, cara Malven menatapnya sambil memohon seperti itu seolah Claudia adalah orang yang sangat berharga membuatnya hampir menitikkan air mata lagi. Padahal Claudia hanya mematikan ponselnya dan masih berada di sini, bukannya menghilang seperti yang Malven katakan, tapi kenapa pria itu terlihat sangat panik? Bagaimana Claudia tidak salah paham jika Malven terus saja melakukan sesuatu yang menyentuh hatinya begini? "Jangan diam saja, Claudi. Berjanjilah kamu tidak akan melakukan hal ini lagi," tutur Malven lembut, mengecup tangan Claudia yang berada di genggamannya. "Aku hanya mematikan ponsel dan tidur, Malven, bukan menghilang. Kamu benar-benar meninggalkan Arfa sendirian dan bergegas ke sini hanya untuk masalah semalam? Aku bahkan akan segera melupakannya meski kamu tidak datang, lagipula itu juga bukan salahmu, aku hanya sedang sensitif karena tamu bulananku." Claudia menjawab hati-hati setelah perasaannya agak tenang. "Aku juga minta maaf karena sudah berteriak padam
Claudia terbangun saat mendengar suara dering ponsel, keningnya mengernyit saat menyadari jika yang berdering bukanlah ponselnya. Tangan Claudia terulur ke arah benda yang berdering di atas nakas, menyipitkan mata saat melihat nama A1 tertera sebagai pemanggil. Siapa yang nama kontaknya aneh begitu?!"Malven," panggil Claudia sembari mengguncang Malven yang terlelap di sisinya. Pria itu memeluk erat pinggang Claudia, disingkirkan sedikit saja langsung memeluk lagi, tapi kenapa sulit sekali dibangunkan?! "Malven, ada telpon dari A1," ucap Claudia lagi, kali ini sambil mengusap kepala Malven, berharap pria itu segera bergerak. Sayangnya, hingga ponsel di tangan Claudia kembali mati, pria itu tidak bangun sama sekali.Tapi, baru beberapa detik, ponsel Malven kembali berdering, masih panggilan dari orang yang sama. Claudia yakin itu telpon penting."Malven, aku akan memanggil 'Sayang' di depan Raga kalau kamu bangun dan mengangkat telpon sekarang.""Oke, berikan padaku!" Claudia mendeli