Raga tidak mengatakan apa pun lagi, hanya memeluk Claudia dalam diam. Tidak ada yang tahu berapa lama Claudia menangis dan Raga menemaninya, saat keduanya lelah dan terlelap, hanya ada ketenangan di kamar itu.Ketika Claudia terbangun dengan kepala sakit, wanita itu menghela napas berat, memegangi kepala yang terasa ditimpa batu besar. Wanita itu menoleh pada Raga yang terlelap dan bibirnya segera melengkung ke bawah melihat bekas air mata di pipi anak itu. Padahal sebentar lagi Raga berulang tahun, tapi bukannya membuat anak itu bhagia, Claudia malah membuatnya menangis."Maaf ya sayang, Kakak akan membawamu main dan kita akan bersenang-senang lagi siang ini." Claudia mengecup kening Raga sebelum turun dari ranjang. Saat matanya melirik pada jam di samping ranjang, helaan napasnya terdengar. Pukul tiga dini hari, terlalu pagi sebenarnya, tapi Claudia tidak bisa tidur lagi jika sudah terbangun. Wanita itu memilih untuk mandi dan mengompres wajahnya yang membengkak dengan air hangat.
"Kamu benar, tapi kita akan buka pintunya setelah kamu ganti baju, biar sekalian kita cari makan di luar." Claudia menuntun Raga ke arah lemari, mengeluarkan satu stel pakaian yang memang sudah ia siapkan sejak awal. Setelah mengeringkan rambut Raga, Claudia membiarkan anak itu memakai baju sendiri dan ia hanya membantu merapikan sisanya, menyisir rambut kelam yang tampak halus, juga memakaikan skincare khusus anak-anak yang memang selalu Raga pakai.Claudia tidak lupa menyemprotkan parfum di tangan Raga sebelum mengangguk senang, penampilan Raga sudah sempurna dan sangat wangi. Wanita itu sendiri hanya menambah sedikit lipstik di bibirnya dan sunscreen."Mereka pasti tahu kalau kita lagi siap-siap, makanya nggak mencet bel lagi, kan?" Raga menebak-nebak saat akhirnya berjalan menuju pintu. Setelah bel yang ditekan dengan sopan tadi, tidak ada lagi bel susulan. "Benar, mereka mungkin hanya ingin memberi tanda jika mereka sudah bersiap di depan pintu." Claudia menjawab sembari menari
Claudia tertegun, cara Malven menatapnya sambil memohon seperti itu seolah Claudia adalah orang yang sangat berharga membuatnya hampir menitikkan air mata lagi. Padahal Claudia hanya mematikan ponselnya dan masih berada di sini, bukannya menghilang seperti yang Malven katakan, tapi kenapa pria itu terlihat sangat panik? Bagaimana Claudia tidak salah paham jika Malven terus saja melakukan sesuatu yang menyentuh hatinya begini? "Jangan diam saja, Claudi. Berjanjilah kamu tidak akan melakukan hal ini lagi," tutur Malven lembut, mengecup tangan Claudia yang berada di genggamannya. "Aku hanya mematikan ponsel dan tidur, Malven, bukan menghilang. Kamu benar-benar meninggalkan Arfa sendirian dan bergegas ke sini hanya untuk masalah semalam? Aku bahkan akan segera melupakannya meski kamu tidak datang, lagipula itu juga bukan salahmu, aku hanya sedang sensitif karena tamu bulananku." Claudia menjawab hati-hati setelah perasaannya agak tenang. "Aku juga minta maaf karena sudah berteriak padam
Claudia terbangun saat mendengar suara dering ponsel, keningnya mengernyit saat menyadari jika yang berdering bukanlah ponselnya. Tangan Claudia terulur ke arah benda yang berdering di atas nakas, menyipitkan mata saat melihat nama A1 tertera sebagai pemanggil. Siapa yang nama kontaknya aneh begitu?!"Malven," panggil Claudia sembari mengguncang Malven yang terlelap di sisinya. Pria itu memeluk erat pinggang Claudia, disingkirkan sedikit saja langsung memeluk lagi, tapi kenapa sulit sekali dibangunkan?! "Malven, ada telpon dari A1," ucap Claudia lagi, kali ini sambil mengusap kepala Malven, berharap pria itu segera bergerak. Sayangnya, hingga ponsel di tangan Claudia kembali mati, pria itu tidak bangun sama sekali.Tapi, baru beberapa detik, ponsel Malven kembali berdering, masih panggilan dari orang yang sama. Claudia yakin itu telpon penting."Malven, aku akan memanggil 'Sayang' di depan Raga kalau kamu bangun dan mengangkat telpon sekarang.""Oke, berikan padaku!" Claudia mendeli
Fakta yang baru saja Malven katakan membuat Claudia tidak bisa langsung bereaksi. Entah kenapa jurang perbedaan itu kembali terlihat, tentang Malven yang tumbuh dan dididik dalam keluarga terpandang, yang jelas caranya menghabiskan waktu sangat jauh berbeda dari Claudia. Claudia juga belajar berbagai hal, mengikuti banyak les dan sejak kecil juga sudah diajari dasar-dasar tentang yayasan agar tahu banyak saat sudah waktunya mengambil alih, tapi meski Claudia sibuk menjalani banyak kegiatan, ia masih punya waktu untuk bermain, berlarian ke sana ke mari, termasuk menonton serial anime yang disetel setiap sore di sebuah stasiun televisi. Sore hari adalah waktunya beristirahat, Claudia diajarkan itu sejak masih sangat kecil, jadi semua tugas sekolah, pekerjaan rumah atau apa pun akan dilupakan kalau sudah pukul empat sore. Itu adalah waktu bebas yang bisa Claudia pakai untuk bermain atau menonton tv, meski ayahnya pulang awal pun, pria itu akan duduk di samping Claudia dan menemaninya b
Claudia mengabaikan wajah Malven yang langsung merengut. Lagian kenapa menanyakan sesuatu yang jawabannya sudah pasti, tentu saja Claudia akan memilih Raga sebagai yang paling ia sayang dan paling penting. "Ya sudah kalau begitu dilanjutkan saja mainnya, Kakak akan mengerjakan sesuatu di sini. Tidak apa-apa, kan?" Claudia kembali mendekatkan ponselnya ke telinga."Iya Kak, nggak apa-apa! Kakak istirahat lagi aja, aku juga sebentar lagi pulang." Claudia tersenyum lebar. Setelah menutup telepon, wanita itu kembali melirik pada Malven yang masih merengut sambil menatapnya. "Aku harus melanjutkan pekerjaanku, kamu sebaiknya pergi ke tempat Raga." Claudia memberi saran sembari bangkit dari sofa, meraih laptop sebelum kembali duduk di samping Malven."Tidak apa-apa kutinggal sendiri? Ada yang perlu kubantu?" Malven bertanya sembari menatap layar laptop, dia baru tahu kalau selama ini Claudia selalu membawa laptopnya ke mana pun dan melakukan pekerjaannya diam-diam. Malven mengerti tenta
Butuh waktu cukup lama bagi Malven untuk menenangkan Raga. Untungnya saat Claudia membunyikan bel, anak itu sudah selesai mandi dan siap untuk pergi. Hari ini Raga dan Claudia akan bermain berdua saja, meski tentu entah Vall atau Sean akan mengikuti tanpa terlihat. "Selamat pagi, Sayang ...." Claudia menyapa saat sudah berhadapan dengan Raga, tersenyum kecil saat melihat bekas tangis yang jelas terlihat di mata anak itu. "Sudah siap untuk main hari ini?" Raga mengangguk semangat, "Sudah, dong! Oh ya, sebelum kita pergi, Kakak mau makan kue dulu nggak?" tanyanya penuh harap.Claudia melirik pada Malven dan ketika pria itu mengangguk, Claudia juga segera meraih uluran tangan Raga dan mengikutinya hingga ke meja di mana kue-kue coklat yang berada di piring berada. Claudia sempat membungkuk ringan pada foto Elodia yang juga ada di sana, senyum cerah wanita dalam bingkai itu pasti adalah penyebab dari tangis Raga pagi ini."Wah, kenapa ada banyak kue?" Claudia bertanya dengan nada main-m
Malven dan kata-kata anehnya! Claudia menghela napas mendengar pengaduan Raga. Kalau anak berusia empat tahun yang baru kehilangan ibunya disebut kekanakkan, bagaimana dengan Claudia yang masih sering menangis dan merecoki pekerjaan ayahnya hingga sekarang? "Sebenernya kakak pengasuhku waktu itu terlalu banyak ngomongin papa, meskipun yang sebelum-sebelumnya juga begitu, tapi yang kali ini lebih nyebelin. Masa dia nanya ke aku harus pake baju apa biar keliatan cantik di depan papa. Setiap kali kita mau makan malem, aku harus nungguin dia ganti baju dulu, bukan aku yang didandani kayak yang biasa Kak Cla lakuin." Claudia mengernyit, mencoba mengingat siapa nama pengasuh yang sebelumnya ia kirim ke kediaman Pranaja. "Dia tidak pernah menyakiti kamu secara fisik, kan?" Raga menggeleng. "Nggak kok, dia cuma terlalu suka sama papa aja. Aku sih udah biasa kalau orang-orang lebih suka papa daripada aku atau mereka deketin aku karna aku anaknya papa, tapi waktu itu aku beneran udah l
"MOMMA!" Claudia yang mendengar teriakan itu langsung berlari, menghampiri Raga yang melambai sambil melompat di dekat gerbang arrival hall, bersama Sean dan Vall di sisinya. "Sayangnya Momma!" Raga langsung melompat ke pelukan Claudia saat wanita itu akhirnya tiba di depannya. "Aku kangen Momma! Kenapa lama banget perginya?" "Momma juga kangen Raga, kangeen banget! Maaf ya sudah meninggalkan kamu sendirian, nanti kita main ke banyak tempat berdua sebagai gantinya." "Digandeng saja," Malven segera menyela saat melihat Claudia hampir menggendong Raga. Pria yang ditinggalkan sejak Raga berteriak itu, ikut berjongkok di samping Claudia. "Momma sedang tidak bisa mengangkat sesuatu yang berat, jadi kalau kamu mau digendong, dengan Papa saja."Raga mengerjap, baru ingat jika saat ini ada bayi yang harus dijaga dalam perut Claudia. "Mau dituntun Momma aja, nggak mau sama Papa."Mendengar jawaban putranya, Malven tanpa sadar mengernyit. Sejak kehadiran Claudia, rasanya ia tidak lagi menj
Malven tidak langsung menjawab. Ia berjalan ke minibar, menuang segelas kecil anggur putih dan menyeduh teh mawar lalu menyerahkannya pada Claudia. Claudia menerima tehnya, lalu mereka duduk berdampingan di sofa. Tangan besar Malven melingkar di bahu Claudia. Ia sepenuhnya mengerti karena salah satu orang yang membuat ketakutan itu tercipta adalah dirinya sendiri. Malven meninggalkan Claudia tanpa kabar setelah mereka kembali dari Vietnam. “Sepertinya aku juga takut,” katanya pelan. “Tapi, bukan karena hal-hal indah akan pergi. Aku takut kalau aku tidak cukup untuk membuat kamu yang bersamaku merasa bahagia.” Claudia menoleh, menatap dalam pada Malven. Wajah Malven tampak jujur, terbuka, dan untuk sesaat, Claudia bisa melihat dirinya sendiri dalam keraguan laki-laki itu. Bukan sebagai dua orang yang sedang jatuh cinta di Paris, tapi sebagai dua manusia yang sama-sama sedang mencoba. “Aku tidak tahu masa depan akan jadi seperti apa,” Claudia berbisik, “Tapi hari ini ... kamu cukup.
Setelah sarapan yang perlahan berubah menjadi percakapan panjang di bawah matahari pagi, Claudia dan Malven akhirnya masuk kembali ke dalam kamar. Cahaya terang telah memenuhi seluruh ruang, menari-nari di dinding berlapis wallpaper emas lembut, membangkitkan energi baru dalam suasana yang semula tenang.Claudia berdiri di depan cermin besar bergaya Rococo, jari-jarinya sibuk menyisir rambut yang masih lembap. Gaun yang ia pilih hari itu berwarna krem pucat, ringan dan mengalir lembut hingga di bawah lutut. Di balik kesederhanaannya, gaun itu memeluk tubuhnya dengan cara yang manis. Sementara Malven yang baru selesai mencukur dan mengenakan kemeja linen putih yang digulung santai di lengan, berdiri tak jauh dari sana, mengancingkan jam tangannya sambil sesekali mencuri pandang ke arah Claudia."Kenapa melihatku terus?"“Kamu terlihat seperti sesuatu yang tidak bisa ditulis dalam puisi. Terlalu indah,” gumam Malven pelan.Claudia menoleh, menahan senyum. “Itu gombal atau jujur?”Malven
Matahari baru saja menyingkap tirai langit Paris, menyebarkan cahaya keemasan yang hangat ke seluruh penjuru kota ketika Claudia benar-benar terbangun. Dari lantai paling atas hotel paling eksklusif di jantung Paris, pemandangan kota terlihat seperti lukisan hidup--Menara Eiffel berdiri megah di kejauhan, samar tertutup kabut tipis pagi, sementara Sungai Seine mengalir tenang, memantulkan kilau cahaya pagi yang lembut.Kamar paling mewah di hotel ini adalah surga keanggunan yang dipilih Malven untuk tempat menginap mereka selama seminggu ke depan. Langit-langit tinggi dihiasi ukiran klasik berlapis emas, dengan lampu gantung kristal yang masih berpendar lembut setelah malam berlalu. Lantai marmer dingin menyatu anggun dengan permadani sutra Persia yang tebal.Jendela besar setinggi langit-langit terbuka lebar, membiarkan angin pagi Paris masuk bersama aroma croissant segar dari boulangerie di bawah. Tirai tipis warna gading melambai pelan diterpa angin, menyempurnakan ketenangan pagi.
“Gugup?” Pertanyaan itu membuat Claudia yang sedang menenangkan diri sambil memegang erat tangan Raga, mendongak saat mendengar suara Aira. Temannya itu baru kembali dari mengambil bunga tangan yang akan Claudia pegang saat menuju altar.“Tentu saja, ini pertama kali aku menikah.”Jawaban Claudia yang diucap dengan raut wajah seperti menahan buang air itu membuat Aira tertawa. “Sudah lama sejak aku melihatmu begini. Terakhir kali saat sidang tesismu, kan?” Aira mendekat, memberikan bunga tangan yang dirangkai dengan keanggunan memikat. Claudia menerimanya dengan tangan gemetar, menarik napas panjang saat melihat betapa indah bunga yang diterimanya. Bunga itu benar-benar dirangkai dengan anggun. Di bagian tengah, mawar putih bermekaran sempurna, dikelilingi oleh baby’s breath yang halus seperti embun pagi. Beberapa tangkai peony merah muda pucat menyisipkan nuansa manis dan romantis, sementara sentuhan eucalyptus memberi kesan menyegarkan. Pita satin warna champagne membalut batang-
Claudia pernah melewati momen saat seseorang melamarnya, tapi perasaan terharu yang sulit dijelaskan baru sekarang ia rasakan. Air matanya mengalir begitu saja, kata-katanya seolah tersendat dan tidak bisa diungkapkan. Lalu, entah sejak kapan beberapa awak pesawat sudah berdiri di dekat mereka, masing-masing membawa sebuah kertas karton warna-warni yang sudah dihias dengan lukisan bunga di sepanjang sisi. Tapi, yang membuat Claudia tertawa sambil menitikkan air mata adalah tulisan yang tertera di kertas yang mereka bawa. TERIMA LAMARANNYA ATAU PESAWAT INI TIDAK AKAN PERNAH MENDARAT "Jadi, ini sebenarnya lamaran atau ancaman?" Claudia menghapus air matanya, senyumnya mengembang lebar saat ia menyerahkan tangan ke arah Malven. "Baiklah, demi keselamatan kita bersama, aku akan menerima lamaranmu." Malven tersenyum semringah, memasangkan cincin di jari manis Claudia dan mengecupnya lembut. "Kamu tidak bisa berbalik ke belakang atau berlari mundur, Claudi, karena aku tidak akan pernah m
Malven tidak langsung menjawab, hanya terus menggenggam tangan Claudia dan berjalan menuju pemeriksaan terakhir."Kenapa diam saja? Aku benar, kan?! Padahal sudah kubilang kalau akan ada foto prewedding, tapi kamu malah mengirim Arfa? Kamu mau Arfa yang memakai jas dan mengambil foto denganku? Kalau begitu sekalian saja nama yang tertulis di undangan adalah nama Arfa!"Selama Claudia mengomel, tanpa disadari mereka sudah memasuki pesawat dan Malven menuntun agar Claudia duduk lebih dulu.Wanita itu masih merengut, duduk di dekat jendela dan membiarkan Malven memasangkan seat belt untuknya. Tepat setelah Malven memasang seat belt untuk dirinya sendiri, terdengar pengumuman jika pesawat akan segera lepas landas. Claudia menoleh ke sekitar dan mengernyit saat tidak melihat penumpang lain. Ia juga baru menyadari jika mereka tidak berada di first class, melainkan business class. Tidak ada pramugari yang menyambut atau memberi arahan, semuanya tampak kosong seolah di dalam pesawat ini hany
"Apa kita akan kembali ke perusahaan, Nona?"Claudia mendongak dan menatap Shouki yang sedang menyetir di depan, menghela napas pelan sebelum mengangguk. "Kurasa ada baiknya untuk menyelesaikan pekerjaan saja."Shouki tidak langsung mengatakan sesuatu, membiarkan suasana hening menyelimuti sebelum menarik napas panjang. "Nona--maksudku Claudia, bukankah sebaiknya langsung datangi Tuan Malven saja? Jangan memikirkan sesuatu terlalu rumit, sebaiknya temui dan katakan jika dia telah membuatmu kesal karena tidak menepati janji."Claudia tertunduk, menatap kembali pada ponsel yang layarnya menyala, panggilan masuk dari Malven. Tadi Claudia langsung mematikan telepon setelah mengatakan jika ia sedang sangat sibuk, khawatir jika lebih lama mendengar suara Malven, amarahnya akan meledak.Akhir-akhir ini Claudia menyadari jika emosinya agak sulit dikendalikan. Detik-detik menuju pernikahan entah kenapa membuatnya ketakutan dan panik, padahal Claudia sendiri yang ingin menikah dan yakin jika l
Pernikahan Claudia dan Malven akhirnya disetujui oleh Regan, padahal pria itu belum tahu tentang kehamilan Claudia. Untungnya setelah Claudia mengatakan tentang kehamilan, Regan tidak menarik kembali restunya dan hanya menghela napas.Adhamar dan Devan bersikeras ingin mengurus persiapan pernikahan, meminta agar Claudia dan Malven menyiapkan diri juga fokus menyelesaikan pekerjaan sebelum mengambil cuti bulan madu. Pertemuan antar kedua keluarga langsung dilaksanakan dua hari setelah Regan memberi restu, dan begitu saja, tanggal pernikahan Claudia ditetapkan.Meski semua hal akan diurus oleh para kakek mereka, Claudia memutuskan untuk tetap memilih gaun pengantin dan desain undangan sendiri, termasuk foto prewedding. Sayangnya, Tabinta tidak mendesain gaun pengantin, jadi Claudia hanya memesan perhiasan darinya, untungnya ada produk baru yang belum dikeluarkan ke public hingga Claudia bisa memilikinya.Wanita itu juga menghubungi brand fashion D&C dan bersyukur saat ada beberapa gaun