"Kakak! Liburnya udah selesai?" Claudia terkekeh saat Raga menyambutnya. Hari ini Claudia sudah bisa beraktifitas, hari ke tiga datang bulan biasanya rasa sakitnya sudah lumayan berkurang. "Sudah, dong! Kamu kabarnya gimana? Kemarin seharian tidak bertemu, Kakak rindu!" Claudia memeluk Raga erat, mencium pipi putih yang tampak lezat untuk digigit."Aku juga kangen, tapi karena Kakak bilang harus jadi anak baik, jadi aku nunggu dengan sabar!" Raga juga mengeratkan lengannya di leher Claudia, menghirup harum khas dari rambut panjang wanita itu. "Hari ini kita mau ke mana? Papa ikut nggak?"Malven yang sejak tadi berdiri di belakang Claudia dan datang bersama wanita itu ke kamar Arfa untuk menjemput Raga, sedikit khawatir saat mendengar pertanyaan putranya."Papa harus kembali ke Vietnam karena pekerjaan di sana belum selesai, tidak apa-apa, kan? Papa pasti datang sebelum ulang tahunmu nanti," ucap Malven sembari mendekat dan berjongkok di samping Claudia, mengusap lembut kepala putran
Perkataan Raga membuat Claudia sedikit mengernyit, karena dari cerita-cerita Malven selama ini, jelas pria itu sangat membenci kakeknya dan mengangap pria tua itu sebagai sosok yang kejam. Claudia tidak pernah melihat wajah pemimpin Pranaja sebelumnya karena ia tidak pernah menunjukkannya ke publik, kalau pun ada wawancara dengan sebuah majalah bisnis, maka hanya diperlihatkan dari bagian bahunya saja. Yang Claudia tahu, pria yang sudah lama pensiun dari jabatannya sebagai pemimpin Pranaja itu adalah seorang pengusaha yang sangat hebat, termasuk salah satu pebisnis yang Claudia kagumi karena pikiran-pikirannya tentang dunia bisnis di masa depan dan tidak ada satu pun yang meleset dari perkataannya."Kakak jadi penasaran dan ingin bertemu dengan Opa-nya Raga juga," ucap Claudia pelan, perkataa yang muncul dari hati terdalamnya. Memang siapa yang tidak mau bertemu mantan pemimpin perusahaan besar yang selalu berhasil di setiap bisnis yang digelutinya?"Kayanya bisa, deh! Sebentar lagi
Teriakan Claudia membuat atensi Raga dan Ali tertuju padanya. "Ah, maaf, saya tidak bermaksud berisik. Tapi, saya baru tahu kalau Arfa itu putra angkat Pak Ali." Claudia menggaruk pipi, sedikit salah tingkah saat semua orang menatapnya."Tidak apa-apa, saya juga bersalah karena tidak sempat mengatakannya. Sekitar enam tahun lalu kami bertemu pertama kali di villa, waktu itu Nona Elodia dan Tuan Malven baru menikah, jadi saya yang mengantar Nona ke sana untuk melihat hadiah pernikahannya. Kebetulan saat itu Arfa sedang 'belajar' dan karena tertarik, saya mengajukan diri menjadi gurunya. Meskipun agak nakal, anak itu sangat pandai, lalu karena dia membutuhkan identitas, jadi saya menawarkan diri untuk mengangkatnya sebagai anak."Jawaban panjang Ali membuat Claudia membulatkan bibir, mengabaikan kata 'belajar' yang diucap Ali sambil memberikan dua jari dan menekuknya--tanda jika yang ia katakan agak berbeda maknanya. "Wah, saya benar-benar baru tahu sekarang, terima kasih sudah mencer
Claudia tertegun, jantungnya bertalu sangat kencang mendengar perkataan Raga, dan ketika ia melihat ke arah anak itu, Raga sudah tertidur, seolah pertanyaannya tadi tidak sengaja terucap begitu saja. "Jangan membuat Kakak berharap, dong! Siapa juga yang akan menolak menikah dengan papa-mu? Sudah baik, tampan, banyak uang, dapat anak semanis kamu juga. Tapi kan, perasaan itu tidak bisa dipaksa--sebenarnya bisa, hanya saja Kakak ingin dicintai dengan sungguh-sungguh." Claudia bergumam sebelum mengecup kening Raga, menepuk-nepuk lembut punggung Raga sebelum melepaskannya perlahan.Claudia turun dari ranjang, sebelum bergerak ke kamar mandi, ia memesan makan malam dan beberapa camilan. Makanannya datang tepat setelh Claudia selesai mandi dan memakai piyama.Wanita itu mengeluarkan laptop-nya, menyambungkan ke internet sebelum menunggu sambil mulai menyendok makanan. Pesan-pesan dari Ali memenuhi ruang obrolannya. Claudia dengan telaten mengunduh semua file yang dikirimkan dan menyusunnya
Claudia bisa melihat senyum penuh makna pria di seberang, matanya mengerling nakal saat Claudia hanya menatapnya dalam diam. Tentu saja Claudia tidak bisa langsung bereaksi karena jantungnya terasa akan jatuh akibat detakan yang terlalu kuat. Ia juga mati-matian menahan diri agar tidak tersenyum malu-malu, apalagi saat tanggal ulang tahun yang Malven sebutkan memang benar milik Claudia.'Setidaknya resmikan dulu hubungannya sebelum bulan madu!' Claudia membatin agak kesal, lama-lama ia ingin melempar Malven dengan sandal karena gombalan pria itu makin hari semakin menjadi. Kalau tidak bisa bertanggung jawab terhadap perasaan orang lain, kenapa terus-terusan mengatakan sesuatu yang membuat orang lain salah paham?"Claudi?"Panggilan lembut Malven menyadarkan Claudia dari lamunannya. Wanita itu berdeham. "Maaf, aku jadi teringat sesuatu," ucapnya sembari memasang senyum kecil.Rasanya aneh, meski Claudia merasa bahagia atas ajakan Malven untuk berlibur berdua ke tempat romantis, tapi ke
Raga tidak mengatakan apa pun lagi, hanya memeluk Claudia dalam diam. Tidak ada yang tahu berapa lama Claudia menangis dan Raga menemaninya, saat keduanya lelah dan terlelap, hanya ada ketenangan di kamar itu.Ketika Claudia terbangun dengan kepala sakit, wanita itu menghela napas berat, memegangi kepala yang terasa ditimpa batu besar. Wanita itu menoleh pada Raga yang terlelap dan bibirnya segera melengkung ke bawah melihat bekas air mata di pipi anak itu. Padahal sebentar lagi Raga berulang tahun, tapi bukannya membuat anak itu bhagia, Claudia malah membuatnya menangis."Maaf ya sayang, Kakak akan membawamu main dan kita akan bersenang-senang lagi siang ini." Claudia mengecup kening Raga sebelum turun dari ranjang. Saat matanya melirik pada jam di samping ranjang, helaan napasnya terdengar. Pukul tiga dini hari, terlalu pagi sebenarnya, tapi Claudia tidak bisa tidur lagi jika sudah terbangun. Wanita itu memilih untuk mandi dan mengompres wajahnya yang membengkak dengan air hangat.
"Kamu benar, tapi kita akan buka pintunya setelah kamu ganti baju, biar sekalian kita cari makan di luar." Claudia menuntun Raga ke arah lemari, mengeluarkan satu stel pakaian yang memang sudah ia siapkan sejak awal. Setelah mengeringkan rambut Raga, Claudia membiarkan anak itu memakai baju sendiri dan ia hanya membantu merapikan sisanya, menyisir rambut kelam yang tampak halus, juga memakaikan skincare khusus anak-anak yang memang selalu Raga pakai.Claudia tidak lupa menyemprotkan parfum di tangan Raga sebelum mengangguk senang, penampilan Raga sudah sempurna dan sangat wangi. Wanita itu sendiri hanya menambah sedikit lipstik di bibirnya dan sunscreen."Mereka pasti tahu kalau kita lagi siap-siap, makanya nggak mencet bel lagi, kan?" Raga menebak-nebak saat akhirnya berjalan menuju pintu. Setelah bel yang ditekan dengan sopan tadi, tidak ada lagi bel susulan. "Benar, mereka mungkin hanya ingin memberi tanda jika mereka sudah bersiap di depan pintu." Claudia menjawab sembari menari
Claudia tertegun, cara Malven menatapnya sambil memohon seperti itu seolah Claudia adalah orang yang sangat berharga membuatnya hampir menitikkan air mata lagi. Padahal Claudia hanya mematikan ponselnya dan masih berada di sini, bukannya menghilang seperti yang Malven katakan, tapi kenapa pria itu terlihat sangat panik? Bagaimana Claudia tidak salah paham jika Malven terus saja melakukan sesuatu yang menyentuh hatinya begini? "Jangan diam saja, Claudi. Berjanjilah kamu tidak akan melakukan hal ini lagi," tutur Malven lembut, mengecup tangan Claudia yang berada di genggamannya. "Aku hanya mematikan ponsel dan tidur, Malven, bukan menghilang. Kamu benar-benar meninggalkan Arfa sendirian dan bergegas ke sini hanya untuk masalah semalam? Aku bahkan akan segera melupakannya meski kamu tidak datang, lagipula itu juga bukan salahmu, aku hanya sedang sensitif karena tamu bulananku." Claudia menjawab hati-hati setelah perasaannya agak tenang. "Aku juga minta maaf karena sudah berteriak padam
Pria yang wajahnya nyaris tidak lagi bisa dikenali itu, Deon, semakin gemetar saat Malven berjalan mendekat. Malven memang menangkap dan menyerahkan Deon pada pihak berwajib, tapi tidak ada yang tahu jika yang akan ‘mengadili’ Deon adalah Malven sendiri. “Ugh! Ggh!”“Hm? Kau bilang apa? Coba katakana dengan jelas agar aku mengerti keinginanmu,” ucap Malven sembari berjalan menuju sebuah meja panjang, di atasnya terdapat banyak alat yang biasa Malven gunakan untuk bermain.Pria itu memilih sebuah belati kecil hari ini. Kemarin ia bermain menggunakan besi panjang yang dipanaskan, berpikir jika itu menyenangkan, tapi nyatanya tidak. Malven lebih suka jika ada warna merah yang menghiasi mainannya, itulah kenapa ia hanya sempat menggunakan besi panas itu satu kali. Alat itu membosankan.Malven melepas jas hitamnya, menukarnya dengan sebuah padding hitam panjang yang tersedia di gantungan. Pria itu tidak lupa menggulung lengan kemejanya, khawatir akan ada noda yang menempel seperti kemari
Claudia tersenyum canggung. Sejak awal ia memang hanya berniat memberikan kartu khusus itu untuk Raga agar anak itu tidak perlu khawatir tidak bisa bertemu Claudia lagi. Sejak bertemu, ketika Raga mengetahui tentang Claudia yang bukan pengasuh biasa, wanita itu sudah berjanji bahwa ia akan tetap memperlakukan Raga dengan spesial meski Claudia tidak lagi menjadi pengasuhnya."Maaf, mana kutahu kalau kartu nama khusus itu akan digunakan sebagai tiket masuk ke sini," Claudia berbisik sembari mengusap pelan lengan Malven."Kau masih di sini?"Suara tajam itu membuat Claudia dan Malven terdiam. "Aku akan antar Malven keluar!" ujar Claudia cepat, menarik Malven untuk bergegas dan tidak mengizinkan pria itu untuk mengatakan hal lain yang akan membuat emosi Regan meningkat.Meski begitu, Malven tetap membungkuk sopan pada Regan sebelum benar-benar berbalik, kembali menyusuri lorong menuju ruang tamu di bagian luar rumah bersama Claudia."Kamu tidak marah karena langsung diusir, kan?" Claudia
Seperti yang Claudia katakan pada Shouki dan Aira, hari ini ia benar-benar keluar dari rumah sakit. Shouki mengantar hingga ke lobi, juga menemani dalam diam sampai mobil yang dikendarai Arfa datang. “Aku akan ke sini lagi sore nanti untuk menjenguk Zenis, jadi kamu tidak perlu mengikutiku. Lalu, kalau Opa atau Ayah menghubungi, jangan mengatakan sedikit pun tentang masalah ini, mengerti?” Claudia memberikan perintah untuk ke sekian kalinya sejak kemarin, yang tentu saja Shouki tetap menjawab dengan sopan.“Hati-hati, Nona. Tuan Malven, pastikan mengantar Nona Claudia sampai dia masuk ke rumah,” ucap Shouki sembari membungkuk hormat pada Malven dan Claudia.“Tentu saja.” Malven menjawab acuh tak acuh. Sebenarnya agak iri dengan Shouki yang sudah mengenal Claudia sejak sangat lama, tapi karena pria itu sudah punya istri dan anak meskipun melayani Claudia yang sangat cantik, sepertinya Malven bisa mempercayainya.Mobil yang Claudia dan Malven tumpangi meninggalkan pelataran rumah sakit
Claudia kembali memeluk Malven, menyembunyikan wajahnya di bahu pria itu. “Itu aku,” ucapnya pelan, suaranya sedikit teredam di bahu Malven.“Bicaralah yang jelas, aku tidak mendengarmu.” Malven mengusap lembut kepala Claudia, meminta agar wanita itu kembali mengangkat wajah dan menatapnya.“Kubilang itu aku! Direktur utama yayasan yang menolak proposalmu, itu aku!” ujar Claudia akhirnya, tidak mau tahu bagaimana reaksi Malven setelah mendengarnya. Claudia tidak mau menyembunyikan apa pun lagi karena hubungan mereka harus segera diresmikan, jadi Malven harus tahu semua tentang Claudia. Pria itu harus menyiapkan alasan yang kuat untuk bisa menikahi Claudia di depan Regan dan Adhamar.Malven benar-benar terdiam. Ia ingin menanyakan lagi untuk meyakinkan telinganya, tapi yang didengarnya tadi sudah sangat jelas. Claudia adalah direktur utama Yayasan Gemilang? Malven mengerutkan kening, mencoba mengingat nama seseorang yang tidak pernah ditemuinya secara langsung.“C.R. Elvina?” Malven be
Claudia tidak bisa bertanya lebih jauh saat Malven mengatakan dengan yakin jika noda yang ada di ujung lengan kemejanya adalah saus. Pria itu segera beranjak ke kamar mandi setelah meraih paper bag berisi pakaian ganti yang sebelumnya dibawakan Arfa.Di dalam kamar mandi, wajah lembut Malven perlahan memudar, berganti menjadi raut datar tanpa emosi. Pria itu menghela napas pelan saat membuka kancing kemejanya satu per satu dan melihat ada beberapa bercak merah di ujung kemeja putihnya. Padahal ia menggunakan alat pelindung dan berhati-hati agar tidak ada noda yang merusak penampilannya, tapi tidak menyangka jika beberapa cipratan merusak pakaiannya.“Untung saja yang terkena noda cukup banyak bisa disembunyikan,” gumam Malven sembari berjalan mnuju shower, membasahi tubuhnya dengan air dingin. Air yang mengalir juga turut membasuh warna merah yang ada di tangan pria itu.Selesai membersihkan dirinya dan memastikan tidak ada noda atau bau darah yang menempel, Malven keluar kamar mandi
Claudia meletakkan telunjuknya di bibir, matanya melirik ke arah ranjang--menunjukkan keberadaan Raga yang tertidur lelap.Aira segera membelap mulutnya, "Maaf," ucapnya pelan. Ia menghela napas sebelum melanjutkan, "Jadi, apa kamu sudah mengatakannya pada Shouki tentang kejadian kemarin?" tanyanya sembari menatap ke arah Shouki.Shouki menggeleng, "Nona bilang akan menunggu sampai Nona Aira datang," ucap pria itu, mengalihkan tatapnya ke arah Claudia dan bertanya dalam diam.Claudia mengangguk. Sejujurnya ia khawatir akan meledak dan dipenuhi emosi saat menceritakannya jika pada Shouki, itu sebabnya Claudia tidak menelpon atau mengatakan apa pun pada pengawalnya itu saat ia melihat Deon berselingkuh. Dulu Claudia masih memikirkan Selena, karena jika ia mengadu pada Shouki, entah apa yang akan pria itu lakukan pada Deon dan Selena, tapi sekarang Claudia tidak bisa menahannya sendirian.Wanita itu menceritakan segalanya, dimulai dari perjalanannya ke kediaman sang kakek untuk menolak p
Claudia terkejut atas kedatangan Malven. Bukankah pria itu sudah pergi dari tadi?!Shouki segera menarik tangannya dari kepala Claudia dan bergegas berdiri, membungkuk sopan pada Malven yang tampak mematung di dekat pintu.Sepertinya Malven tidak tahu jika sedang ada Shouki di sini, melihat dari raut tegang Sean dan Vall di belakangnya."Malven? Bukankah kamu bilang ada urusan?" Claudia bertanya pelan, entah kenapa merasa gugup, padahal tidak melakukan sesuatu yang salah.Malven menghela napas setelah mencoba menjernihkan kepalanya. Melihat Claudia yang kikuk dan gugup, Malven tahu jika wanita itu tidak tahu cara menjelaskan kehadiran pria asing di kamarnya."Aku meninggalkan sesuatu," ucap Malven sembari berjalan mendekat. Matanya berubah tajam saat menatap Shouki. "Selamat siang, Tuan Malven, saya Shouki."Malven menaikkan satu alis melihat pria di hadapannya bersikap sopan dan tampak percaya diri. "Selamat siang, Tuan Shouki. Maaf mengganggu waktu Anda dan kekasih saya--Claudia. S
Claudia menutup buku cerita dengan perlahan, memastikan tidak ada suara yang mengganggu tidur Raga. Anak itu sudah tertidur pulas dengan posisi meringkuk di samping Claudia, napasnya yang tenang membuat Claudia tersenyum lembut. Wanita itu membenarkan posisi kepala Raga ke bantal dan menyelimutinya agar lebih nyaman, lalu menatap wajah polos anak itu sejenak sebelum menghela napas lega.Saat Claudia hendak meletakkan buku di meja kecil, pintu kamar rawatnya terdengar diketuk. Namun, bukannya langsung terbuka, ketukan itu disusul dengan suara pelan dari luar--sepertinya ada perdebatan kecil. Claudia mengerutkan kening, merasa bingung, hingga ia mendengar suara rendah dan penuh tekanan dari Shouki."Apa Sho sudah datang? Cepat juga, padahal belum dua puluh menit."Claudia segera mengambil ponselnya dan menghubungi Sean, lupa jika wanita itu dan Vall sedang berjaga atas titah Malven. Awalnya Claudia khawatir Sean tidak akan mengangkat telpon darinya karena wa
Saat Claudia tengah asyik membacakan buku cerita untuk Raga, tiba-tiba pikirannya tersentak. Ia teringat sesuatu yang membuat alisnya berkerut. Claudia sama sekali belum memberi kabar pada siapa pun tentang dirinya yang dirawat di rumah sakit, apalagi soal kejadian yang membuatnya ada di sini.Claudia berhenti membaca, membuat Raga menatapnya dengan bingung. "Kak Cla, kenapa berhenti? Ceritanya lagi seru!"Claudia tersenyum kecil, mencoba menenangkan Raga. "Sebentar, Raga. Kakak baru ingat ada sesuatu yang harus dilakukan. Bisa tolong ambilkan tas Kakak? Sepertinya ada di lemari kecil di dekat ranjang."Raga mengangguk antusias, melompat turun dari tempat tidur, lalu bergegas menuju lemari kecil. Ia membuka pintu lemari dan mengambil tas tangan Claudia dengan hati-hati. "Ini, Kak." Raga menyerahkan tas tersebut dengan senyuman bangga."Terima kasih, Raga. Kamu memang hebat." Claudia mengacak rambut anak itu sebelum membuka tasnya dengan buru-buru. Ia mengeluarkan ponsel yang langsun