Sekarat. Ucapan Malven membuat Claudia berdecih. “Aku tidak sedang sekarat--Malven!” teriakannya cukup memekakkan telinga pria yang tiba-tiba menggendongnya.Malven yang harus menerima teriakan kaget Claudia tepat di telinganya hanya bisa menghela napas. “Wajahmu pucat dan agak demam, tapi kenapa pergi dari ranjang? Istirahat saja, aku akan menyediakan apa pun yang kamu butuhkan.”Claudia merengut saat Malven membaringkannya kembali ke ranjang. Memangnya pria itu bisa merawat wanita yang sedang datang bulan? Claudia tidak yakin. Lalu, kalau bersama Malven, bukankah sama saja Claudia tidak bisa mengeluh atas rasa sakitnya? Claudia ingin bermanja pada Aira dan menyusahkan temannya seperti biasa, tapi bagaimana caranya memberi alasan pada Malven untuk pergi dari kamar?Lagipula, kenapa pria yang katanya baru bisa menyusul besok malah datang sekarang?“Coba beritahu bagian mana yang sakit? Haruskah kupanggil dokter?” Malven kembali ke ranjang dan duduk di sisi Claudia setelah melepas dan
Kata-kata yang diucap dengan tegas itu membuat Claudia tidak bisa menahan senyum, “Akan kupikirkan,” ucapnya santai.Malven menghela napas, “Aku serius, katakan saja padaku jika ada yang mengganggumu. Lalu--!” kata-katanya terhenti saat suara bel kamar menginterupsi.“Cepat buka pintunya, mungkin saja itu Raga.”Malven bangkit dari ranjang dan mendorong troli yang sebelumnya digunakan untuk mengantarkan makanan Claudia. Bukan Raga yang datang, tapi pesanan lain yang Malven minta. Pria itu menyerahkan kembali troli ke petugas hotel dan menerima kantung plastik putih berisi beberapa barang yang ia minta sebelumnya.“Lho, bukan Raga? Apa itu?” Claudia bertanya saat Malven kembali sendiri, memperhatikan kantung plastik yang pria itu bawa.“Hanya beberapa barang yang mungkin kamu butuhkan.” Malven mengeluarkan minyak aroma terapi dari kantung plastik, juga beberapa kotak koyo dan minuman khusus untuk wanita datang bulan. “Kalau jamu seperti ini, tidak apa-apa, kan? Ini bukan obat pil,” uca
Pria di hadapan Aira menaikkan satu alis, “Maksudnya?” tanyanya tidak mengerti. Aira menghela napas, memilih menutup ponselnya dan mengabaikan pesan yang Claudia kirim. Mungkin saja dia salah lihat karena terlalu banyak pekerjaan akhir-akhir ini. Saat kepalanya sudah lebih jernih, Aira yakin pesan yang tadi sudah tidak ada atau berganti dengan hal lain. Claudia yang Aira kenal tidak akan jadi gila hanya karena dikhianati tunangan dan sepupunya, jadi pasti wanita itu tidak akan macam-macam dengan Malven yang notebene adalah klien berharga mereka.“Tidak, sepertinya aku yang kelelahan dan salah baca. Nanti kuperiksa lagi setelah lelahku berkurang,” ucap Aira sembari kembali menyendok es krimnya. “Lanjutkan ceritamu, Al. Jadi, kamu menemui orang itu dan Elodia?” Pria yang dipanggil Alvito mengendikkan bahu, memilih tidak bertanya lebih lanjut, karena jika sudah saatnya, Aira pasti akan bercerita padanya. “Hmm, aku menemui Binta dan meminta maaf atas masalah yang kusebabkan dulu. Sebelu
Tawa renyah Alvito mengiringi langkah mereka menuju lift. Pria itu masih mengekor dan menekan tombol menggantikan Aira, senyumnya melebar saat wanita itu mengernyit. “Kenapa tidak menekan tombol menuju lantai kamarmu sendiri?”“Aku ‘kan harus mengantarkan tuan putri dulu. Bagaimana pangeranmu ini bisa pergi dengan tenang kalau belum melihatmu berada di tempat aman?” Alvito mengedipkan sebelah mata sembari meraih tangan Aira dan menggenggamnya. “Mau kubawakan tasnya? Aku sedang baik hari ini, lho!”Aira berdecak, “Telat!” ujarnya ketus. Wanita itu langsung keluar setelah pintu lift terbuka, tapi tidak melepaskan tautan tangannya dari Alvito, hal itu sukses membuat Alvito ikut tertarik keluar.“Astaga, pelan-pelan dong! Aku tidak akan kabur, kok!” Aira memutar bola mata dan pada akhirnya melepas tangannya dari Alvito setelah sampai di depan pintu bertuliskan 1708. “Baiklah, aku sudah sampai dengan selamat, jadi kamu bisa pergi sekarang. Selamat tinggal, Pangeran, hati-hati dalam perj
“Kamu kenapa, Ra?” Claudia bertanya dengan lembut, entah kenapa suara Aira terdengar berbeda dari biasanya.Claudia terbangun duluan, meninggalkan Malven yang masih terlelap, ia mandi dan berganti baju sebelum menelepon Aira. Padahal Claudia sudah mengirim pesan sejak sebelum mandi, tapi pesannya malah hanya dibaca saja, itu sebabnya Claudia langsung menelepon. “Butuh aku tidak? Aku akan ke sana sekarang,” ucap Claudia lagi saat tidak ada jawaban dari seberang telepon. “Tidak, Cla, kamu sedang kurang sehat. Sebaiknya kamu istirahat saja, tapi kalau kamu membutuhkanku, datang saja.”Kata-kata Aira membuat kening Claudia berkerut. Temannya itu memang sedikit sulit membuka diri, tapi Claudia sudah hapal betul tindakannya. Kalau Aira bilang, ‘Aku tidak membutuhkanmu, tapi kalau kamu membutuhkanku, datanglah!’, maka bisa dipastikan wanita itu sedang tidak baik-baik saja. Aira tidak suka dianggap lemah karena membutuhkan bantuan seseorang dan terkadang hal itu yang membuat mereka bertengk
Claudia terkejut, begitu pun Raga, saat pria berkacamata yang sejak tadi mendengarkan tampak menahan tawa. Claudia berdeham dan cepat membawa Raga keluar setelah pintu lift terbuka, tapi saat mengingat jika mereka turun di lantai yang sama, Claudia merasa semakin canggung. Demi apa pun Claudia tidak mau mempertemukan Raga dan Alvito karena hati nuraninya tidak mengizinkan.“Sebentar deh, Om yang waktu itu ke butiknya Tante Binta bukan?” Raga menoleh ke belakang, menatap Alvito dengan pandangan penasaran. Pasalnya ia baru memperhatikan jika wajah itu cukup familiar. Tidak hanya pernah ia lihat datang ke butik Tabinta waktu itu, tapi Raga pernah melihatnya di suatu tempat meski ia tidak ingat di mana.“Binta? Maksud kamu mungkin Tabinta yang desainer itu, kan?” Alvito bertanya dengan lembut, “Kalau dia yang kamu maksud, Om memang pernah ke sana sekali. Kamu kenal dengan Binta juga?”“Waah, ternyata benar! Tante Binta itu temannya Mamaku, Om, jadi aku kenal deh! Pantes dari tadi kaya pe
Aira keluar dari kamar mandi sembari mengeringkan rambutnya dengan handuk, piyama tidur berwarna hijau muda dengan gambar beruang membuat penampilan Aira tampak manis. Tapi, tentu saja Claudia tidak akan mengatakan hal itu terang-terangan karena sudah pasti Aira akan mengganti pakaiannya dengan sesuatu yang membosankan seperti sweater dan celana panjang hitam.“Tadi kami bertemu seseorang, tapi sepertinya Raga kenal karena wajahnya mirip dengan teman ibunya.” Claudia menjawab sembari menggeser tubuhnya, membiarkan Aira duduk si sampingnya.“Wah, Kak Aira manis banget pakai piyana itu!” seru Raga tiba-tiba.Seruan Raga membuat Aira menghentikan gerakannya dan menatap pada Claudia. “Manis?” tanyanya.“Raga baik sekali, kecoa lewat pun akan dibilang manis. Kalau mau berbuat baik, kamu juga harus lihat-lihat siapa orangnya, Sayang,” ucap Claudia pada Raga, kata-katanya sukses membuat Aira berdecih dan memukul pelan lengannya.Raga tidak sedang berbuat baik padahal, karena Aira memang terl
Aira sempat tertegun di tempatnya, tapi dengan cepat mengubah ekspresi dan melanjutkan pergerakannya mematikan kompor. “Nama panggilannya memang Al,” ucapnya acuh tak acuh.“Hmm ….” Claudia tidak lagi mengorek informasi, karena tahu dengan pasti sahabatnya itu tidak akan menceritakan apa pun meski didesak. Sama seperti Claudia yang terkadang menceritakan sesuatu saat masalahnya sudah selesai, begitu pun Aira.Claudia bangkit dari duduknya, meraih tiga gelas bergagang sebelum mulai menuangkan coklat bubuk. Aira menuangkan air panas ke gelas yang sudah berisi coklat bubuk, panas untuknya dan hangat untuk Claudia dan Raga. Keduanya kembali ke depan televisi, duduk berdampingan dengan posisi Raga di tengah.“Makasih coklatnya, Kak,” ucap Raga sembari menerima gelas dari Claudia.Aira yang duduk di samping Raga, melirik pada anak itu dan tersenyum kecil. “Aku hampir lupa, tapi tadi namamu Ragava Lintang Pranaja, kan? Apa aku boleh memanggil Lintang?” tanyanya pada Raga.Raga yang tidak per
"Apa kita akan kembali ke perusahaan, Nona?"Claudia mendongak dan menatap Shouki yang sedang menyetir di depan, menghela napas pelan sebelum mengangguk. "Kurasa ada baiknya untuk menyelesaikan pekerjaan saja."Shouki tidak langsung mengatakan sesuatu, membiarkan suasana hening menyelimuti sebelum menarik napas panjang. "Nona--maksudku Claudia, bukankah sebaiknya langsung datangi Tuan Malven saja? Jangan memikirkan sesuatu terlalu rumit, sebaiknya temui dan katakan jika dia telah membuatmu kesal karena tidak menepati janji."Claudia tertunduk, menatap kembali pada ponsel yang layarnya menyala, panggilan masuk dari Malven. Tadi Claudia langsung mematikan telepon setelah mengatakan jika ia sedang sangat sibuk, khawatir jika lebih lama mendengar suara Malven, amarahnya akan meledak.Akhir-akhir ini Claudia menyadari jika emosinya agak sulit dikendalikan. Detik-detik menuju pernikahan entah kenapa membuatnya ketakutan dan panik, padahal Claudia sendiri yang ingin menikah dan yakin jika l
Pernikahan Claudia dan Malven akhirnya disetujui oleh Regan, padahal pria itu belum tahu tentang kehamilan Claudia. Untungnya setelah Claudia mengatakan tentang kehamilan, Regan tidak menarik kembali restunya dan hanya menghela napas.Adhamar dan Devan bersikeras ingin mengurus persiapan pernikahan, meminta agar Claudia dan Malven menyiapkan diri juga fokus menyelesaikan pekerjaan sebelum mengambil cuti bulan madu. Pertemuan antar kedua keluarga langsung dilaksanakan dua hari setelah Regan memberi restu, dan begitu saja, tanggal pernikahan Claudia ditetapkan.Meski semua hal akan diurus oleh para kakek mereka, Claudia memutuskan untuk tetap memilih gaun pengantin dan desain undangan sendiri, termasuk foto prewedding. Sayangnya, Tabinta tidak mendesain gaun pengantin, jadi Claudia hanya memesan perhiasan darinya, untungnya ada produk baru yang belum dikeluarkan ke public hingga Claudia bisa memilikinya.Wanita itu juga menghubungi brand fashion D&C dan bersyukur saat ada beberapa gaun
Selama menunggu Malven dan Regan bicara, Claudia menunggu di ruang keluarga. Sudah dua jam sejak Malven memasuki ruang kerja Regan, tapi hingga kini belum ada tanda-tanda akan keluar. Claudia menghela napas panjang, sedikit khawatir.Kalau saja ayahnya tidak melarang, Claudia pasti sudah menemani Malven saat ini. Tapi, Regan mengatakan jika itu adalah pembicaraan antar laki-laki, jadi Claudia dilarang ikut campur.“Berapa lama lagi ayah akan mengintrogasinya?” Claudia menarik napas pelan, matanya melirik pada jam yang tertera di ponsel. Awalnya Claudia tidak sendirian karena Raga menemaninya bermain, tapi anak itu akhirnya tertidur setelah hampir satu jam, jadi Claudia memindahkannya ke kamar dan kembali ke ruang keluarga untuk menunggu Malven.“Tapi, kenapa lama sekali?” Claudia kembali mengeluh sembari menyandarkan tubuhnya di sofa, menatap lampu gantung yang malam ini terlihat lebih jauh.Claudia sebenarnya merasa lelah dan perutnya sedikit kram. Mengingat perjalanan panjang yang
“Raga, Kakak pulang!” Claudia berseru setelah memasuki ruang keluarga, membuat Raga dan Regan yang sedang menyusun puzzle besar, langsung menoleh bersamaan. “Iya, selama datang kembali, Kak.” Raga membalas sapaan Claudia sebelum kembali fokus pada mainannya.Claudia cemberut pada rendahnya antusias Raga. Apa anak itu tidak merindukannya?“Raga … Kakak bawa sesuatu lho,” ucap Claudia sembari mendekat dan menggoyangkan kresek putih di tangannya. Claudia sempat mampir ke mini market untuk membeli beberapa es krim dan camilan kesukaan Raga. Biasanya Raga akan sangat senang karena ia jarang diizinkan makan makanan instan seperti itu. Tapi … kenapa tidak ada reaksi berarti?Raga hanya menoleh sebentar dan mengatakan ‘oh ya’ sebelum kembali berusaha menyusun puzzle, sama sekali tidak menyadari wajah keruh Claudia. Wanita itu meletakkan barang bawaannya sebelum mendekati Raga dan langsung menusuk pipi anak itu menggunakan jari telunjuknya.“Apa ini … Raga mengabaikan Kakak?” Claudia mengelua
“Biar aku yang menghubungi Devan, kalian tinggal yakinkan anak nakal itu saja.” Adhamar berkata saat mengantarkan Claudia dan Malven ke halaman, keduanya akan meninggalkan kediaman Adhamar hari ini.“Tapi, kalau ayah masih tidak mau memberi restu bagaimana?” Claudia bertanya pelan, agak cemas.“Kenapa menanyakan hal yang sudah jelas? Tentu saja kalian tidak akan bisa menikah. Meski aku masih tidak menyukai anak nakal itu, bukan berarti aku tidak mendengarkan pendapatnya. Berusahalah lebih giat, tapi aku yakin dia akan segera merestui. Dia bukan orang yang keras kepala.”Claudia menghela napas panjang. Anak nakal yang disebut kakeknya adalah Regan, meski Claudia tidak mengerti kenapa Adhamar selalu menyebut menantunya seperti itu.“Kalau begitu kami permisi dulu, Tuan Adhamar.” Malven mengangguk hormat, membukakan pintu mobil dan membiarkan Claudia masuk lebih dulu.Setelah memeluk kakeknya, Claudia langsung memasuki mobil dan segera disusul oleh Malven. Hari ini mereka akan kembali ha
Setelah memberitahu pelayan tentang tujuan mereka, Claudia dan Malven menelusuri jalan setapak dengan pohon-pohon besar di sepanjang jalan. Seperti yang Claudia katakan, hutan ini sangat rimbun dan terlihat seperti hutan sungguhan yang tidak terbatas luasnya.Meski begitu, Malven bisa melihat beberapa ranting dan daun bergoyang secara tidak wajar. “Apa di hutan ini ada ‘penunggu’ juga?” tanyanya sembari menatap lembut Claudia.Claudia yang tidak pernah melepas genggamannya dari Malven, mendongak dan tersenyum lebar. Sekarang ia mengerti apa maksud dari kata ‘penunggu hutan’ yang pernah Malven dan Arfa bicarakan. Orang-orang yang dilatih dan bekerja di bawah Adhamar, bertugas untuk menjaga keamanan tempat ini dengan memperhatikan siapa pun tamu yang datang.Tapi, meski Claudia bukan tamu asing, sejak kecil ia memang sudah dijaga diam-diam. Ada kalanya Claudia tersesat saat mengeksplor hutan dan salah satu penjaganya akan berpura-pura tidak sengaja lewat lalu membawa Claudia kembali ke
Claudia memilih menunggu di ruang keluarga yang tidak jauh dari ruang kerja kakeknya, sedikit gugup dengan pembicaraan yang akan dilakukan Adhamar dan Malven. Bagaimana kalau kakeknya bersikeras tidak akan merestui seperti saat bersama Deon dulu?“Ah, harusnya aku tidak menurut begitu saja dan meninggalkan mereka.” Claudia bergumam sembari menggoyangkan kaki, tidak bisa menyembunyikan rasa cemasnya.“Minum tehnya dulu, Nona. Apa perlu saya bawakan camilan lain? Atau Nona ingin makan?”Pertanyaan pelayan yang menghampiri sambil membawa nampan berisi secangkir teh dan sepiring kukis, membuat Claudia menghela napas pendek. Benar, tidak ada yang akan berubah hanya karena ia bergumam sendirian di sini, jadi lebih baik mengisi perutnya dengan sesuatu yang hangat.“Terima kasih, tapi bisakah ganti tehnya dengan kopi? Aku ingin kopi hitam tanpa gula,” ucap Claudia saat menyadari bahwa perutnya mual mencium harum yang menguar dari teh. “Lalu, aku sedang tidak ingin kukis. Bawakan saja sesuatu
Sindiran tajam dan dengusan Adhamar membuat suasana ruangan itu hening. Tidak ada yang bisa membantah, baik Claudia maupun Malven tahu pasti apa yang Adhamar maksud.“Memang benar kalau saya jatuh cinta padanya, tapi saya tidak pernah mengatakan itu, dan dia pun sama. Kami saling mencintai, tapi tidak sempat menyatakan perasaan masing-masing. Saya sibuk dengan beberapa urusan, lalu Zheva yang kebetulan punya pekerjaan di sini dan mengkhawatirkan kondisi saya, datang dan membuat hubungan kami berakhir dengan kesalahpahaman.”Malven menghela napas pelan. “Dia pergi meninggalkan saya tanpa sepatah kata. Saya membuatnya menangis patah hati, karena kekurangan saya dalam berkomunikasi membuatnya berpikir jika Zheva adalah wanita yang akan dijodohkan dengan saya. Satu bulan lalu, saya kehilangan arah karena wanita itu menghilang tiba-tiba.”Claudia menatap penuh perhatian pada Malven, berharap waktu yang akan mereka habiskan ke depannya akan menghapus sedikit demi sedikit rasa sakit karena k
Claudia menarik napas panjang saat pria berusia tujuh puluhan itu mengangkat pandangan dari buku di tangan. Adhamar tentu saja mengernyit melihat kedatangan cucunya yang tiba-tiba, apalagi setelah melihat tangan Claudia yang melingkari lengan Malven.Adhamar meletakkan bukunya di meja dan berdiri, menghampiri dua orang yang masih mematung tanpa mengatakan apa-apa.“Ayo bicara di dalam.” Claudia dan Malven segera menunduk sopan saat Adhamar berjalan lebih dulu sebelum mengekor di belakang. Tidak ada yang bicara selama perjalanan melewati beberapa koridor, ruang keluarga dan anak tangga menuju ruang kerja Adhamar. Sudah menjadi aturan tak tertulis untuk membicarakan hal penting hanya di ruang kerja Adhamar, tempat di mana tidak ada seorang pun yang akan menguping. Setelah memasuki ruang kerja dan pintu tertutup, Claudia segera melepas lengan Malven dan berjalan menuju sofa yang telah diduduki kakeknya. Ini adalah hal yang harus Claudia lakukan sekarang, duduk di sisi kakeknya dan mem