Nadia sungguh beruntung ada diantara orang yang sangat menyayanginya saat ini
Dion berusaha untuk menelan salivanya susah payah ketika melihat sang atasan sangat marah. Dia sangat yakin, Daniel tak mungkin diam saja.Daniel segera berbalik untuk menatap Dion dan berkata, "Cari tahu gimana keberadaan Om Handoko.""Baik, Bos." Dion dengan cepat langsung memanggukan kepalanya setelah mendapatkan perintah dari Daniel. Tak ada alasan baginya untuk menolak perintah itu karena Daniel pasti akan langsung murka jika dia terlalu banyak bertanya.Bara yang masih ada di ruangan itu pun juga merasakan kemarahan begitu besar di mata Daniel. Untungnya dia tetap memilih untuk berada di sisi Daniel dan tidak tergoda sama sekali dengan tawaran menggiurkan dari Bagaskoro. Andai saja dia sempat tergiur maka sekarang hidupnya pasti sudah dipenuhi dengan penyesalan.Daniel segera berangkat berdiri dari kursinya sambil merapikan jas kerjanya itu. Sebelum pergi, dia berbalik kembali untuk menatap lekat Bara dan mengingatkan, "Pastikan Anda berhasil memenangkan persidangan."Bara mengan
"Apa yang mau kamu bicarakan?" Nadia menatap sosok lelaki yang sejak tadi terdiam setelah mereka berdua pergi ke ruang kerja.Daniel menoleh sekilas, dia ingin mengatakan yang sebenarnya pada Nadia. Tapi entah mengapa perasaan ragu muncul di dalam hatinya. Dia menatap Nadia, menghembuskan napas berat dan berkata, "Kenapa kamu nggak bilang masalah yang terjadi di rumah ini?"Nadia mengerutkan keningnya. Namun dia akhirnya berhasil mengingat satu hal. "Bukannya aku nggak mau bilang, tapi kamu juga pasti pusing mikirin masalah kerjaan, kan?" Nadia sedikit berasalan. Dia cuma mau mengurangi beban di pundak Daniel. Itu saja. Meski memang sebenarnya, Daniel merasa sedikit kesal saat ini. Dia mengetahui masalah sebesar itu dari orang lain. Wajar rasanya jika dia marah."Aku tahu kamu khawatir, Nadia. Tapi ..." Daniel menjeda ucapannya sesaat, meraih tangan Nadia dan meremasnya perlahan sambil berkata, "Aku jauh lebih khawatir tentang keadaanmu."Kehadiran Handoko ke rumah ini telah berhasil
"Gimana bisa hal semudah itu aja gagal?" Bagaskoro menatap lawan bicaranya itu sambil memicingkan matanya dengan tajam. Handoko yang mendapatkan tatapan itu hanya bisa menghela nafas berat sambil menggosok belakang kepalanya agar mengurangi sedikit perasaan takutnya. "Ini bukan sepenuhnya salah saya, dong. Lagipula, Nadia itu emang anak kurang ajar. Dia nggak bakalan mau mendengar perkataan saya," kilahnya.Bagaskoro yang mendengar alasan itu memilih untuk memutar bola matanya dengan malas. 'Seharusnya aku memang tak menaruh kepercayaan pada orang bodoh sepertinya,' batinnya kesal.Padahal dia sudah percaya diri sepenuhnya bisa mendapatkan keuntungan ketika menjalin kerjasama dengan Handoko. Bagaskoro pikir dia akan memiliki lebih banyak kesempatan untuk membuat anaknya keluar dari sel penjara. Tapi ternyata dia salah kaprah karena Handoko tak berguna sama sekali.Bagaskoro segera mengalihkan pandangannya pada salah satu bawahannya, memberi kode untuk segera bertindak.Seketika dua o
"Sialan ..." Handoko mendesis ketika melihat mobil hitam itu mulai menuju pergi. "Lepaskan! Kalian nggak seharusnya berani bersikap seperti ini padaku! Kalian pasti akan merasakan akibatnya nanti!" gertaknya pada para bodyguard Bagaskoro.Rasa marah karena dikhianati membuatnya sangat kesal. Padahal dia sudah mencoba untuk melangkahkan kakinya jauh dan mencari masalah dengan Daniel. Tapi ternyata usahanya itu sia-sia karena Bagaskoro dengan mudahnya langsung membuangnya begitu saja seperti sampah.Para bodyguard itu terlihat memejamkan matanya dengan tajam. Apalagi sosok sekretaris yang memang sudah ditugaskan untuk membereskan masalah."Heh, sialan! Kenapa diam saja?! Cepat lepaskan aku!" Handoko kembali berseru sambil mencoba untuk melepaskan dirinya. Cukup sulit baginya untuk lepas dari cengkraman dua orang bodyguard yang tentu saja berbadan besar itu."Berisik sekali," ungkap si pria berkacama yang merupakan sekretaris pribadi Bagaskoro. Sejujurnya sejak tadi dia merasa kesal deng
'Peringatan ini pasti sudah cukup,' batin Daniel setelah dia memutuskan sambungan teleponnya itu. Daniel kini berbalik menatap sosok pria yang dipegangi oleh dua bodyguard-nya.Handoko tak bisa berkutik sama sekali setelah dia dibawa ke tempat ini dan dipertemukan secara langsung dengan Daniel. Ketika mendapatkan tatapan tajam dari Daniel, Handoko memilih untuk menundukkan kepalanya. Rasa takut perlahan-lahan mulai muncul di dalam hatinya karena sekarang dia tak memiliki siapapun di belakangnya. Hanya dengan menjentikkan jari saja, Daniel bisa membuat nyawa lawannya itu melayang.Daniel melangkahkan kakinya mendekat dan duduk di kursi yang memang sudah disiapkan oleh Dion. Sungguh dia tak mau bertindak seperti seorang kriminal seperti ini karena secara tidak langsung dia membawa paksa Handoko.Dia melipat kedua tangannya tepat di depan dada dan memandang Handoko. Memang bisa dibilang dia berlebihan, tapi itu semua dilakukannya agar bisa menjaga Nadia."Lepaskan saja," ujarnya memerinta
"Nadia, Daniel ... kalian udah datang?" Ratna melirik ke arah pintu ruangannya yang terbuka dan mengulas senyum tipis.Nadia berjalan mendekat bersama dengan Daniel. Sore ini mereka memang menyempatkan untuk datang ke rumah sakit agar bisa menjenguk Ratna dan melihat perkembangannya. Meskipun semua prosedur operasi sudah dilakukan dan Ratna telah berhasil melewati masa kritis hingga sadar kembali dari komanya, kondisi tubuhnya belum benar-benar pulih. Hingga akhirnya sampai saat ini pun Ratna masih diharuskan rawat inap."Ah, Ibu nggak usah berdiri." Nadia dengan cepat langsung mencegah ibunya itu yang berniat untuk turun dari ranjang. "Ibu duduk aja," tambahnya.Ratna menghela napas perlahan ketika melihat putrinya itu selalu saja mengkhawatirkannya. Padahal Ratna sendiri sangat yakin kalau keadaannya itu sudah pulih dengan sempurna."Ah, kamu ini ... Ibu udah bisa berdiri sempurna, kok."Nadia memasang tatapan tak suka karena Ratna selalu saja bertingkah seolah-olah dirinya baik-bai
Nadia menutup pintu ruangan dengan perasaan yang lega karena Ratna ternyata tak terlihat terlalu sedih setelah tahu mengenai Handoko."Semuanya baik-baik saja, kamu nggak perlu merasa khawatir lagi."Nadia menganggukkan kepalanya setuju ketika mendengar perkataan Daniel dan dia tersenyum tipis guna memperlihatkan rasa terima kasihnya itu. Daniel selalu saja membantunya dan bahkan tak berpikir dua kali meskipun namanya itu bisa saja tercoreng.Mereka berdua melangkahkan kakinya perlahan untuk pergi keluar dari rumah sakit. Sore ini cuaca terlihat bagus dan tak mendung sama sekali. Daniel terdiam sejenak sambil melirik ke arah arloji yang melingkar tepat di pergelangan tangannya, dia lantas berbalik menatap Nadia dan menawarkan, "Masih belum terlalu sore, gimana kalau jalan-jalan sebentar?""Jalan-jalan? Emangnya kamu nggak capek?" Nadia menatap Daniel dan tahu kalau sebenarnya pria itu pasti telah lelah selama beberapa hari belakangan ini karena masalah tak kunjung usai. Daniel menggel
"Ayo kita pulang sekarang." Nadia segera bangkit berdiri setelah dia merasa jauh lebih baik dari sebelumnya. Tak ada lagi rasa khawatir yang membuatnya jadi sedih. Rasanya beban yang selama ini ada dipundaknya sudah terangkat.Daniel mengangguk pelan, dia mengikuti langkah Nadia dan sesekali menatapnya. Ketika melihatnya tersenyum, Daniel juga ikut senang.Namun Nadia tiba-tiba saja hampir kehilangan keseimbangannya, dia memekik ketika kakinya tanpa sengaja menyandung batu.Untungnya Daniel dengan sigap langsung menangkapnya, "Hati-hati, kamu bisa jatuh."Jantung Nadia berdebar kencang. Bagaimana tidak? Saat ini jarak diantara mereka berdua sangat lah dekat. Bahkan Nadia bisa merasakan embusan napas hangat Daniel. "I-iya, lain kali aku akan berhati-hati." Nadia segera menarik tubuhnya kembali. Perasaan canggung muncul begitu saja sampai membuat dirinya jadi bingung.Daniel memandang gadis itu dengan perasaan campur aduk dan kini hanya bisa menggelengkan kepala perlahan. "Gimana jadiny
"Bagaimana perasaan kamu? Apa sudah lega?" Daniel bertanya pada Nadia yang saat ini memakai gaun berwarna marron, yang membuat dia nampak elegan.Nadia menghela nafas panjang dan kemudian menarik kedua sudut bibirnya. "Tentu saja, rasanya plong banget!" ucapnya dengan mata berbinar.Daniel tersenyum lega juga, karena bahagia Nadia tentu bahagianya juga. "Aku nggak mau lagi keras kepala deh! Yang kamu bilang, memang bener banget!" Nadia kecuali berucap, dia menyesalkan kejadian di kampus. Jika saja dulu dia mengikuti perkataan Daniel, tentu kejadian memalukan dan menyesakkan di kampus itu tak akan pernah terjadi. Keras kepala Nadia ternyata berakhir dengan derita saat ini. Daniel mengacak sedikit rambut Nadia karena merasa sangat gemas saat itu. Tak ayal hal itu langsung membantu Nadia protes. "Duh jail banget sih!? Kalau sampai riasan ini rusak, kamu harus tanggung jawab!" seru Nadia kesal. Daniel malah terkekeh dan malah memencet hidung Nadia. "Salah sendiri menggemaskan! Nanti m
"Kak, aku ingin bicara sama kamu. Penting."Pagi itu, Nadia menemui Alvin ketika kelas belum dimulai.Alvin menarik sudut bibirnya, senyum manis terpancar disana. "Tumben. Ok! Mau kapan?"Dari raut wajahnya nampak jika saat ini Alvin merasa sangat senang.Pemuda itu pun sebenarnya bingung tetapi juga bercampur dengan rasa bahagia. Selama ini Nadia selalu saja menghindar darinya, tetapi kini malah sang gadis pujaan hati itu mengajaknya bicara. Ini bukan mimpi kan?"Sekarang! Ayo!" Nadia yang masih nampak kecewa dengan wajah seriusnya pun langsung berjalan tanpa memperdulikan banyak mata yang sampai saat ini masih nampak menatap sinis padanya. Tanpa banyak tanya lagi Alvin pun mengekori dari belakang."Lo mau ngajak gue kemana sih?" tanya Alvin ketika Nadia malah menuju ke area parkiran. "Kenapa ngobrolnya nggak di tempat yang privat aja?"Nadia mendengus kasar dan sesaat menoleh sebentar ke belakang. " Jangan banyak tanya! Bentar lagi sampai!" Kemudian dia pun meneruskan langkahnya.S
"Daniel! Mengapa kamu merahasiakan semua ini dari mama dan papa?" Ketika Daniel baru saja sampai di rumah, Martha dan Hendrawan pun langsung menghampiri putranya itu. Mengejar dengan banyak pertanyaan yang intinya mereka merasa tak suka jika Daniel terus menyembunyikan apa pun tentang Nadia."Rahasia ap---" Daniel mencoba mengelak karena memang sebenarnya dia belum mengerti, beberapa hal yang terjadi di kantor membuatnya harus sedikit melupakan tentang yang terjadi di rumah.Martha langsung memotong ucapan anaknya itu. " Nadia di teror dan difitnah seperti itu, tapi kenapa sepertinya kamu malah tenang tenang saja?" Wanita tua itu tak dapat menyembunyikan raut wajahnya yang khawatir. Nadia menghampiri ketiga orang yang masih berdiri di ambang pintu itu, ada rasa tak enak karena sang suami menjadi bahan kemarahan orang tuanya karena dia."Maaf, tadi aku memang sudah menceritakan semuanya pada Mama," tukas Nadia yang seperti biasa malah merasa bersalah.Daniel menarik kedua sudut bibir
"Apa aku sekarang juga harus mengatakan semuanya ya?" Nadia makin bimbang saat ini. Dua pilihan yang nyatanya membuat dia merasa sangat dilema. Pilihan A akan membuat semua orang di kampus mengetahui jati dirinya dan itu berarti akan membuat semua orang mengetahui jika dia bukan dari kalangan biasa. Tetapi dengan begitu justru akan membuat dia lebih tenang menjalani perkuliahan. Sedangkan pilihan B, dengan diam dan membiarkan semua orang menganggapnya misterius, justru mungkin akan membuat berita keliru itu semakin menjadi-jadi saja. Sempat terbersit dalam pikiran Nadia untuk tak lagi melanjutkan kuliah dan fokus pada keluarganya. Tetapi itu sama saja artinya dengan dia menghapus mimpi dan cita-cita yang dulu pernah dia pupuk semenjak kecil."Kenapa kamu terlihat sedih, Sayang?"Ketika Nadia sendang melamun seperti itu, terdengar suara lembut Martha. Sang mertua yang baik hati itu ternyata kini sudah berada tepat di sampingnya."Ah Mama." Dengan sigap Nadia pun langsung menyalami
Putri mengepalkan tangannya dengan arah ketika merasakan sesuatu mulai terbakar di hatinya. Dia tak terima sama sekali setelah mendengar perkataan Alvin dan itu sudah berhasil membuat hatinya sangat sakit."Kak Alvin kenapa masih belain dia? Nadia itu …" Putri merasa tak kuasa untuk melanjutkan ucapannya, dia hanya bisa menahan diri dan memalingkan wajahnya.Namun Alvin tahu dengan jelas apa yang ingin dikatakan oleh Putri dan dia dengan cepat pun langsung menegaskan segalanya sambil meraih tangan kanan Nadia. "Nggak peduli gimana masa lalunya, gue bakalan tetap suka sama dia dan perasaan ini nggak bakalan berubah," tuturnya.Nadia terlihat sedikit kaget ketika mendapatkan perlakuan itu dan tentu saja dia sekarang berusaha untuk melepaskan diri dari cengkraman Alvin.Perkataan Alvin barusan terlalu berlebihan dan mengisyaratkan bahwa dia akan melakukan apapun demi bisa mendapatkannya.Nadia merasa kalau ini semua tak benar dan dia harus kembali meluruskannya. Tapi yang paling penting
"Jangan bawa-bawa namaku untuk memvalidasi akal busukmu!"Putri dan Alvin seketika langsung menoleh, mereka berdua mendapati sosok Nadia. Nadia berjalan mendekat dengan langkah yang dipenuhi dengan amarah. Sudah cukup rasanya karena sejak tadi dia memang telah mendengarkan perkataan Putri dan itu sudah berhasil membuatnya merasa sangat kecewa karena sempat menganggapnya sebagai teman."Aku pikir kamu nggak pernah memiliki niatan buruk untuk menghancurkanku sampai seperti ini, Put. Aku pikir kamu benar-benar menganggapku sebagai teman. Tapi apa?"Putri terlihat kaget, tapi dia dengan cepat langsung mengelaknya. "Ngomong apaan sih?! Jangan–""Aku sudah punya buktinya dan aku bahkan juga tahu kalau kamu membayar seseorang untuk mencelakaiku, kan?" Bersamaan dengan perkataannya itu, Nadia segera memberikan bukti-bukti yang akurat dan menambahkan, "Aku nggak nyangka kalau kamu bisa bertindak seperti ini untuk menghancurkanku. Apa aku pernah melakukan kesalahan padamu?"Hubungan keduanya da
"Bawa orangnya ke hadapan Bos!" Dion segera memerintahkan setelah dia berhasil menangkap pelaku yang sedari awal memang dicurigai telah meneror Nadia.Dua pasang bodyguard yang memang sudah berhasil menangkap pelakunya itu pun segera mematuhi perintah dari Dion, mendekat ke sebuah kereta versi berwarna hitam pekat.Nadia dan Daniel sedari tadi sudah menunggu tepat di dalam mobil. Jantung Nadia terasa berdetak semakin kencang karena memang dia sangat ingin tahu pelaku yang telah tega membuatnya jadi dibenci banyak orang.Suara ketukan di kaca mobil telah menyadarkan Daniel dan Nadia. Daniel melirik ke arah sang istri sambil meremas tangannya perlahan karena dia tahu dengan jelas bagaimana perasaan Nadia. Dia mencoba untuk tetap kuat dan juga tegar sambil tersenyum tipis, "Semuanya pasti baik-baik aja, Nadia. Keinginan kamu terkabul dan kita berhasil menangkap pelakunya. Kamu sudah siap untuk melihatnya?""Iya," jawab Nadia dengan singkat. Pandangan matanya itu terlihat semakin tajam dan
"Itu orangnya! Bener kan dia? Wah gila … nggak nyangka banget kalau dia cewek kayak gitu," tutur salah satu mahasiswa sambil menatap Nadia dan memandangnya dengan tajam.Nadia yang kebetulan sedang melangkahkan kakinya setelah dia sampai di kampus itu pun tampak mengerutkan kening karena sadar saat ini menjadi bahan omongan.Ketika Nadia sedang merasa bingung seperti itu tiba-tiba saja seseorang menarik tangannya, membawanya ke tempat yang sedikit sepi."Kak Alvin? Lepasin!""Gue nggak bakalan lepasin lo di sini sebelum kita bisa bicara berdua," tolaknya. Alvin lantas mengedarkan pandangannya ke sekeliling dan sadar bahwa sekarang tak ada terlalu banyak mahasiswa yang sedang memperhatikan. Dia langsung berbalik untuk menatap Nadia dengan lekat dan berkata, "Lo … ngapain lo malah datang ke kampus?""Apa?" Nadia merasa bingung dengan pertanyaan yang baru dilontarkan oleh Alvin dan sontak saja dia mencoba untuk menepis tangan pria itu karena tak suka jika disentuh seenaknya. "Kenapa pula
"Cukup!" Putri langsung memotong perkataan Nadia. Napasnya memburu naik turun bersamaan dengan emosi yang semakin menggebu-gebu. "Padahal aku baru aja maafin kamu, tapi sekarang malah kayak gini lagi. Kalau kamu emang nggak percaya, mendingan kita nggak usah temenan lagi aja."Sesuatu terasa sakit di dalam hati Nadia karena memang selama ini temannya hanyalah Putri.Tapi dia tak mencegahnya sama sekali dan melepaskan cengkramannya dari pergelangan tangan Putri. Selalu meremas tangan kanannya sendiri dan menekan perasaannya sampai mengangkat kepalanya setelah sudah siap, "Maaf, aku harusnya emang nggak merasa curiga kayak gini. Tapi aku juga nggak akan memaksa kamu untuk tetap berteman denganku.""Oh?" Putri terlihat sedikit terkejut. Tapi dia kini tertawa sinis. "Harusnya dari awal aku dengerin perkataan teman-teman yang lain aja. Kamu emang nggak sepantasnya punya teman apalagi ada di kampus ini," tambahnya.Nadia seperti mendengar suara hatinya retak. Kenapa Putri sampai mengatakan h