Sudah update ya, selamat membaca
"Apa yang mau kamu bicarakan?" Nadia menatap sosok lelaki yang sejak tadi terdiam setelah mereka berdua pergi ke ruang kerja.Daniel menoleh sekilas, dia ingin mengatakan yang sebenarnya pada Nadia. Tapi entah mengapa perasaan ragu muncul di dalam hatinya. Dia menatap Nadia, menghembuskan napas berat dan berkata, "Kenapa kamu nggak bilang masalah yang terjadi di rumah ini?"Nadia mengerutkan keningnya. Namun dia akhirnya berhasil mengingat satu hal. "Bukannya aku nggak mau bilang, tapi kamu juga pasti pusing mikirin masalah kerjaan, kan?" Nadia sedikit berasalan. Dia cuma mau mengurangi beban di pundak Daniel. Itu saja. Meski memang sebenarnya, Daniel merasa sedikit kesal saat ini. Dia mengetahui masalah sebesar itu dari orang lain. Wajar rasanya jika dia marah."Aku tahu kamu khawatir, Nadia. Tapi ..." Daniel menjeda ucapannya sesaat, meraih tangan Nadia dan meremasnya perlahan sambil berkata, "Aku jauh lebih khawatir tentang keadaanmu."Kehadiran Handoko ke rumah ini telah berhasil
"Gimana bisa hal semudah itu aja gagal?" Bagaskoro menatap lawan bicaranya itu sambil memicingkan matanya dengan tajam. Handoko yang mendapatkan tatapan itu hanya bisa menghela nafas berat sambil menggosok belakang kepalanya agar mengurangi sedikit perasaan takutnya. "Ini bukan sepenuhnya salah saya, dong. Lagipula, Nadia itu emang anak kurang ajar. Dia nggak bakalan mau mendengar perkataan saya," kilahnya.Bagaskoro yang mendengar alasan itu memilih untuk memutar bola matanya dengan malas. 'Seharusnya aku memang tak menaruh kepercayaan pada orang bodoh sepertinya,' batinnya kesal.Padahal dia sudah percaya diri sepenuhnya bisa mendapatkan keuntungan ketika menjalin kerjasama dengan Handoko. Bagaskoro pikir dia akan memiliki lebih banyak kesempatan untuk membuat anaknya keluar dari sel penjara. Tapi ternyata dia salah kaprah karena Handoko tak berguna sama sekali.Bagaskoro segera mengalihkan pandangannya pada salah satu bawahannya, memberi kode untuk segera bertindak.Seketika dua o
"Sialan ..." Handoko mendesis ketika melihat mobil hitam itu mulai menuju pergi. "Lepaskan! Kalian nggak seharusnya berani bersikap seperti ini padaku! Kalian pasti akan merasakan akibatnya nanti!" gertaknya pada para bodyguard Bagaskoro.Rasa marah karena dikhianati membuatnya sangat kesal. Padahal dia sudah mencoba untuk melangkahkan kakinya jauh dan mencari masalah dengan Daniel. Tapi ternyata usahanya itu sia-sia karena Bagaskoro dengan mudahnya langsung membuangnya begitu saja seperti sampah.Para bodyguard itu terlihat memejamkan matanya dengan tajam. Apalagi sosok sekretaris yang memang sudah ditugaskan untuk membereskan masalah."Heh, sialan! Kenapa diam saja?! Cepat lepaskan aku!" Handoko kembali berseru sambil mencoba untuk melepaskan dirinya. Cukup sulit baginya untuk lepas dari cengkraman dua orang bodyguard yang tentu saja berbadan besar itu."Berisik sekali," ungkap si pria berkacama yang merupakan sekretaris pribadi Bagaskoro. Sejujurnya sejak tadi dia merasa kesal deng
'Peringatan ini pasti sudah cukup,' batin Daniel setelah dia memutuskan sambungan teleponnya itu. Daniel kini berbalik menatap sosok pria yang dipegangi oleh dua bodyguard-nya.Handoko tak bisa berkutik sama sekali setelah dia dibawa ke tempat ini dan dipertemukan secara langsung dengan Daniel. Ketika mendapatkan tatapan tajam dari Daniel, Handoko memilih untuk menundukkan kepalanya. Rasa takut perlahan-lahan mulai muncul di dalam hatinya karena sekarang dia tak memiliki siapapun di belakangnya. Hanya dengan menjentikkan jari saja, Daniel bisa membuat nyawa lawannya itu melayang.Daniel melangkahkan kakinya mendekat dan duduk di kursi yang memang sudah disiapkan oleh Dion. Sungguh dia tak mau bertindak seperti seorang kriminal seperti ini karena secara tidak langsung dia membawa paksa Handoko.Dia melipat kedua tangannya tepat di depan dada dan memandang Handoko. Memang bisa dibilang dia berlebihan, tapi itu semua dilakukannya agar bisa menjaga Nadia."Lepaskan saja," ujarnya memerinta
"Nadia, Daniel ... kalian udah datang?" Ratna melirik ke arah pintu ruangannya yang terbuka dan mengulas senyum tipis.Nadia berjalan mendekat bersama dengan Daniel. Sore ini mereka memang menyempatkan untuk datang ke rumah sakit agar bisa menjenguk Ratna dan melihat perkembangannya. Meskipun semua prosedur operasi sudah dilakukan dan Ratna telah berhasil melewati masa kritis hingga sadar kembali dari komanya, kondisi tubuhnya belum benar-benar pulih. Hingga akhirnya sampai saat ini pun Ratna masih diharuskan rawat inap."Ah, Ibu nggak usah berdiri." Nadia dengan cepat langsung mencegah ibunya itu yang berniat untuk turun dari ranjang. "Ibu duduk aja," tambahnya.Ratna menghela napas perlahan ketika melihat putrinya itu selalu saja mengkhawatirkannya. Padahal Ratna sendiri sangat yakin kalau keadaannya itu sudah pulih dengan sempurna."Ah, kamu ini ... Ibu udah bisa berdiri sempurna, kok."Nadia memasang tatapan tak suka karena Ratna selalu saja bertingkah seolah-olah dirinya baik-bai
Nadia menutup pintu ruangan dengan perasaan yang lega karena Ratna ternyata tak terlihat terlalu sedih setelah tahu mengenai Handoko."Semuanya baik-baik saja, kamu nggak perlu merasa khawatir lagi."Nadia menganggukkan kepalanya setuju ketika mendengar perkataan Daniel dan dia tersenyum tipis guna memperlihatkan rasa terima kasihnya itu. Daniel selalu saja membantunya dan bahkan tak berpikir dua kali meskipun namanya itu bisa saja tercoreng.Mereka berdua melangkahkan kakinya perlahan untuk pergi keluar dari rumah sakit. Sore ini cuaca terlihat bagus dan tak mendung sama sekali. Daniel terdiam sejenak sambil melirik ke arah arloji yang melingkar tepat di pergelangan tangannya, dia lantas berbalik menatap Nadia dan menawarkan, "Masih belum terlalu sore, gimana kalau jalan-jalan sebentar?""Jalan-jalan? Emangnya kamu nggak capek?" Nadia menatap Daniel dan tahu kalau sebenarnya pria itu pasti telah lelah selama beberapa hari belakangan ini karena masalah tak kunjung usai. Daniel menggel
"Ayo kita pulang sekarang." Nadia segera bangkit berdiri setelah dia merasa jauh lebih baik dari sebelumnya. Tak ada lagi rasa khawatir yang membuatnya jadi sedih. Rasanya beban yang selama ini ada dipundaknya sudah terangkat.Daniel mengangguk pelan, dia mengikuti langkah Nadia dan sesekali menatapnya. Ketika melihatnya tersenyum, Daniel juga ikut senang.Namun Nadia tiba-tiba saja hampir kehilangan keseimbangannya, dia memekik ketika kakinya tanpa sengaja menyandung batu.Untungnya Daniel dengan sigap langsung menangkapnya, "Hati-hati, kamu bisa jatuh."Jantung Nadia berdebar kencang. Bagaimana tidak? Saat ini jarak diantara mereka berdua sangat lah dekat. Bahkan Nadia bisa merasakan embusan napas hangat Daniel. "I-iya, lain kali aku akan berhati-hati." Nadia segera menarik tubuhnya kembali. Perasaan canggung muncul begitu saja sampai membuat dirinya jadi bingung.Daniel memandang gadis itu dengan perasaan campur aduk dan kini hanya bisa menggelengkan kepala perlahan. "Gimana jadiny
"Aku harap kamu akan memenangkan sidang kali ini," ujar Nadia sambil mengulas senyum tipisnya.Daniel mengangguk pelan, dengan semua hal yang sudah disiapkannya sebelumnya, dia yakin aka menang. Terlebih lagi dia sudah mendapat kabar dari salah satu bawahannya kalau Bagaskoro telah angkat tangan dari masalah yang sedang dialami Monica. Itu akan lebih menguntungkannya."Kamu tenang aja, aku akan melakukan yang terbaik.""Aku percaya kamu pasti bisa."Daniel tak menjawabnya, dia justru mengelus puncak kepala Nadia. Lalu tak lama kembali melirik arlojinya sejenak. Waktu terasa berjalan sangat cepat dan dia tak mau terlambat sama sekali."Hati-hati di jalan, ya?"Daniel mengangguk pelan, dia segera berlalu setelah berpamitan.Nadia menatap mobil yang mulai menjauh dari area pekarangan rumah. Jantungnya masih saja berdetak semakin kencang dan wajahnya itu kembali merona ketika mengingat sikap romantis yang di perlihatkan secara gamblang oleh Daniel. Dia kembali mengelus kepalanya sendiri da