Entah kapan hati seorang Monica bisa terbuka dan menerima kenyataan.
"Kalau begitu, Ayah akan membantumu."Seketika Monica langsung menoleh dan menatap ayahnya itu dengan pandangan dipenuhi keterkejutan. "A-ayah serius?" tanyanya tak percaya sambil mendekatkan tubuhnya kembali ke meja dan menambahkan, "Ini bukan omong kosong semata, kan?"Bagaskoro menggeleng perlahan sambil menarik sudut bibirnya hingga membentuk senyuman sinis. "Tapi kamu harus berjanji untuk memastikan rencana kali ini berjalan dengan lancar karena kita hanya bisa bergantung dengan keberhasilannya saja sebelum perusahaan benar-benar bangkrut."Dia telah merencanakan berbagai hal dan sangat yakin kalau putrinya itu pasti bisa mewujudkannya jika berhasil.Apalagi rencananya dia memang berniat untuk bekerjasama dengan Handoko.Keringat dingin perlahan mulai membasahi pelipis Monica. Dia tahu kalau ini bukan hanya kesempatan namun juga peringatan.Memang benar kalau ayahnya itu tak mungkin memberikan sesuatu yang menguntungkan secara cuma-cuma. Dia harus berhati-hati dan melakukan semuan
"Semua perbuatan kamu pada Sean, sulit untuk dimaafkan."Degh!Perkataan Bagaskoro kembali membuat putrinya itu langsung diam seribu bahasa. Monica sendiri merasa sangat tertampar. Dia tak menyangka akan mendengar pendapat ayahnya secara langsung."Ayah nggak akan menyalahkan kamu. Toh, sedari awal kamu juga nggak mau punya anak." Pria itu bicara dengan santai, seolah semua kalimatnya itu tak mengandung hinaan. Dia tahu jelas watak asli Monica, wanita itu tak pernah mau membuat tubuhnya harus rusak karena hamil dan melahirkan. "Beruntung kamu dapat kompensasi yang sepadan. Coba kalau nggak? Ayah yang merasa paling rugi karena kamu nggak bisa menghasilkan keuntungan lagi."Darah di dalam hati wanita itu terasa mendidih. Apa ayahnya ini tak bisa menyaring kata-katanya sebelum bicara?Padahal selama ini dia selalu mencoba untuk jadi yang terbaik. Meskipun sampai harus mengorbankan keinginannya sendiri. Tapi apa ini?Rasanya dia sangat marah dan ingin sekali mengelak, tapi percuma saja kar
"Mama dan Papa harus kembali sekarang, Niel." Hendrawan menatap putranya itu dengan tajam dan kembali menambahkan, "Ingat nasehat Papa. Kamu nggak boleh bertindak ceroboh."Daniel menganggukkan kepalanya perlahan. Dia mengingat semua peringatan yang sempat dikatakan oleh Hendrawan dan tentu saja hal itu masih melekat kuat di dalam kepalanya karena bagaimanapun juga saat ini dia semakin waspada terhadap orang-orang di sekitarnya."Inget kata Papa, Niel. Kalau kamu butuh bantuan katakan aja jangan sungkan." Martha ikut bicara sambil menatap putranya itu dengan pandangan kesal. "Nggak perlu pura-pura kuat menghadapi semuanya," sinisnya lagi.Meski wanita paruh baya itu terkesan mengatakan sesuatu yang cukup menyakitkan dan bisa membuat orang lain merasa kesal, namun niatnya hanya ingin memperingati putranya itu.Apalagi Daniel adalah tipe orang yang selalu saja merasa bisa melakukan semuanya sendirian.Pandangan Martha kini beralih menatap ke arah Nadia dan tersenyum tipis. Wanita paruh b
"Disini ... sebentar saja." Daniel menatap Nadia dan terus saja mencengkram erat pergelangan tangan gadis itu.Jantung Nadia berdetak semakin kencang dan rasanya dia tak bisa menolak sama sekali meskipun beberapa menit yang lalu ingin pergi sejauh mungkin.Dia kembali duduk dan berkata, "Hanya sebentar aja, oke? Aku harus menemani Sean.""Ya," jawab pria itu singkat.Dia hanya ingin menghabiskan waktu lebih lama lagi dengan Nadia. Sebab entah mengapa rasanya dia sangat nyaman jika bersama dengan gadis itu.Nadia diam-diam melirik ke arah Daniel dan terlihat mengerutkan keningnya karena pria itu sejak tadi hanya terdiam sambil memandangnya."Kenapa?" Akhirnya pertanyaan itu meluncur dari bibirnya. "Kamu minta aku untuk tetap di sini. Tapi kamu nggak mengatakan apapun. Aneh," ungkapnya jujur.Daniel yang mendengar itu hanya bisa tersenyum tipis. "Dari mana sisi anehnya? Apa salah kalau aku hanya menatapmu saja?""Itu ... nggak salah. Cuma, aku ngerasa aneh aja." Nadia meremas tangannya
"Sean nggak marah, kok. Sean juga tahu, Mama itu jahat."Nadia tertegun sejenak ketika mendengar perkataan bocah lelaki itu yang diiringi dengan kesan membenci.Meskipun Monika memang melakukan hal buruk pada anaknya, Nadia tak pernah berpikir bahwa bocah lelaki itu akan membenci ibunya sendiri.Sebenarnya seberapa dalam luka di hati Sean?Nadia menggigit bibir bawahnya perlahan dan mengelus kepala bocah lelaki itu dengan lembut. "Sean nggak boleh ngomong kayak gitu, ya?""Kenapa?" Sean berbalik bertanya dengan tatapan tak suka karena dia memang sudah tahu tabiat buruk Monica. "Mama udah menculik dan menyekap Sean. Mama juga berniat buat mengusir Kak Nadia." Bocah lelaki itu mengepalkan tangannya dengan erat ketika perasaan marah mulai muncul di dalam hatinya. Selama ini dia selalu berusaha terlihat menjadi anak yang penurut bagi Monica dan memenuhi segala permintaan wanita itu meskipun sebenarnya enggan. "Sean benci Mama."Degh!Nadia merasakan ngilu di dalam hatinya ketika mendengar
"Wah, Sean pagi-pagi udah ganteng aja, nih!" Martha yang baru saja sampai di kediaman putranya itu dengan cepat langsung mendekati sang cucu. Dia mencium pipi gembul Sean dan berkata lagi, "Nah, kalau gini 'kan seneng liatnya."Sean tertawa perlahan ketika mendengar pujian dari Martha. Dia justru melirik kembali ke arah Nadia dan tersenyum tipis sambil berkata, "Kak Nadia yang mandiin Sean, Oma.""Oh, ya?" Martha melirik ke arah calon menantunya itu dengan pandangan khawatir. Dia yang sedang berjongkok itu segera berdiri dan memperingati Nadia, "Harusnya kamu nggak perlu repot mandikan Sean. Ada pelayan lain, kan?"Bagaimanapun juga dia tak ingin jika calon menantunya itu harus kelelahan di saat tengah mengandung seperti sekarang.Dia juga sempat mendengar kabar dari Daniel dan tahu mengenai kondisi kehamilan Nadia. Gadis itu butuh banyak istirahat.Nadia menggelengkan kepalanya perlahan karena dia tak merasa kerepotan sama sekali. Memandikan bocah lelaki ini merupakan pekerjaan yang t
"Terimakasih untuk bekalnya." Daniel tersenyum tipis sebelum dia masuk ke dalam mobil."Iya, cuma bekal makanan aja, kok. Lain kali, aku akan siapkan lagi."Dengan kehadiran Nadia, Daniel jadi makin nyaman. Bukan hanya perhatian, namun juga berhasil membuat rasa kesepian di dalam hatinya jadi menghilang.Siapa yang akan menyangka kalau gadis ini bisa membuat hati si kulkas jadi luluh?Daniel melirik ke arah arlojinya. Dia harus berangkat sekarang karena ada beberapa hal yang perlu diselesaikan. Terlebih lagi, dia juga harus menyiapkan semua bukti untuk persidangan nantinya."Ah, aku akan berangkat sekarang."Nadia mengangguk pelan. "Hati-hati di jalan, ya? Kalau ada apa-apa, kamu boleh kok cerita sama aku." Dia tersenyum sejenak dan menambahkan, "Aku mau jadi tempatmu pulang ketika ada masalah."Jantung Daniel terasa berdetak makin kencang. Perkataan Nadia telah berhasil membuatnya jadi sedikit terharu.Ketika semua orang hanya menginginkan hasil terbaik dari pekerjaan Daniel, Nadia ju
"Dadah Oma! Opa! Hati-hati di jalan, ya!" Sean berteriak sambil melambaikan tangannya pada Martha dan Hendrawan.Kedua orang tua itu langsung masuk ke dalam mobil setelah mengulas senyum tipis. Tak berselang lama mobil pun mulai melaju menjauh dari pekarangan rumah Daniel.Nadia tersenyum tipis dan melirik ke arah bocah lelaki yang kini berada tepat di sampingnya. Dia mengusap kepala Sean dan berkata, "Ayo masuk, Sean.""Uhm!" Sean mengangguk dengan antusias dan masuk bersama dengan Nadia. Setelah pulang dari rumah sakit, Daniel sengaja menghubungi pihak sekolah untuk meminta cuti lebih lama lagi.Bukan karena alasan sepele, namun pria itu tak ingin anaknya terkena imbas akibat masalah yang sedang terjadi sekarang.Sebelum masalah benar-benar selesai, Daniel tak mau memberikan celah sedikitpun pada orang-orang jahat di luar sana yang berniat untuk mengusik Sean."Sean mau main apa?"Sean menggelengkan kepalanya perlahan karena dia masih ingat dengan jelas nasehat dari kakek serta nene