Semoga Sean bisa kembali ceria dan tak terus terbayang dengan kejadian itu.
"Terimakasih untuk bekalnya." Daniel tersenyum tipis sebelum dia masuk ke dalam mobil."Iya, cuma bekal makanan aja, kok. Lain kali, aku akan siapkan lagi."Dengan kehadiran Nadia, Daniel jadi makin nyaman. Bukan hanya perhatian, namun juga berhasil membuat rasa kesepian di dalam hatinya jadi menghilang.Siapa yang akan menyangka kalau gadis ini bisa membuat hati si kulkas jadi luluh?Daniel melirik ke arah arlojinya. Dia harus berangkat sekarang karena ada beberapa hal yang perlu diselesaikan. Terlebih lagi, dia juga harus menyiapkan semua bukti untuk persidangan nantinya."Ah, aku akan berangkat sekarang."Nadia mengangguk pelan. "Hati-hati di jalan, ya? Kalau ada apa-apa, kamu boleh kok cerita sama aku." Dia tersenyum sejenak dan menambahkan, "Aku mau jadi tempatmu pulang ketika ada masalah."Jantung Daniel terasa berdetak makin kencang. Perkataan Nadia telah berhasil membuatnya jadi sedikit terharu.Ketika semua orang hanya menginginkan hasil terbaik dari pekerjaan Daniel, Nadia ju
"Dadah Oma! Opa! Hati-hati di jalan, ya!" Sean berteriak sambil melambaikan tangannya pada Martha dan Hendrawan.Kedua orang tua itu langsung masuk ke dalam mobil setelah mengulas senyum tipis. Tak berselang lama mobil pun mulai melaju menjauh dari pekarangan rumah Daniel.Nadia tersenyum tipis dan melirik ke arah bocah lelaki yang kini berada tepat di sampingnya. Dia mengusap kepala Sean dan berkata, "Ayo masuk, Sean.""Uhm!" Sean mengangguk dengan antusias dan masuk bersama dengan Nadia. Setelah pulang dari rumah sakit, Daniel sengaja menghubungi pihak sekolah untuk meminta cuti lebih lama lagi.Bukan karena alasan sepele, namun pria itu tak ingin anaknya terkena imbas akibat masalah yang sedang terjadi sekarang.Sebelum masalah benar-benar selesai, Daniel tak mau memberikan celah sedikitpun pada orang-orang jahat di luar sana yang berniat untuk mengusik Sean."Sean mau main apa?"Sean menggelengkan kepalanya perlahan karena dia masih ingat dengan jelas nasehat dari kakek serta nene
Jantung Nadia terasa berdetak semakin kencang ketika dia mendengar perkataan Handoko dan kini tatapan semua orang seketika langsung mengarah tepat padanya.Ketika mendapati tatapan yang dipenuhi dengan tanda tanya seperti itu membuatnya jadi gelisah dan buru-buru memalingkan wajahnya.Namun di saat yang sama dia melihat tatapan Sean. Bocah lelaki itu menggenggam tangannya dengan erat dan mencoba untuk menenangkannya."Kakak nggak apa-apa?"Pertanyaan itu telah berhasil menggetarkan hati Nadia dan dia dengan cepat langsung menganggukkan kepalanya perlahan. Bukan saatnya dia merasa takut ketika melihat ayahnya yang bejat itu tiba-tiba mendatanginya. Di dalam kediaman Daniel, dia pasti akan aman karena para pelayan telah ditugaskan untuk melindunginya.Dengan sedikit keberanian yang mulai muncul di dalam hatinya, Nadia menghela nafas perlahan dan kini berbalik menatap Handoko."Tolong lepaskan, beliau memang ayahku."Para pelayan dan penjaga itu terlihat ragu sejenak karena Handoko sedari
"Pergi sekarang juga, Ayah!"Keputusan Nadia sudah bulat untuk mengusir Handoko. Kedatangan Handoko ke tempat ini hanya untuk membuat masalah dan membuatnya merasa muak.Mata Handoko seketika langsung dihiasi dengan kemarahan dan rahangnya mengeras. "Dasar anak kurang ajar! Kalau bukan karena belas kasihku, kamu juga nggak mungkin tumbuh sampai sekarang!"Hati Nadia terasa berdesir. Sakit sekali ketika seseorang yang selama ini tak pernah benar-benar andil dalam proses tumbuh kembangnya, tiba-tiba saja menuntut untuk diperlakukan dengan baik dan melakukan segala cara untuk meraup keuntungan seperti orang gila.Dengan perasaan yang semakin menggebu-gebu karena amarah, Nadia kembali menatap lekat Handoko dan memperingatkan, "Kalau Daniel sampai mengetahui hal ini, Ayah nggak akan bisa berkutik lagi."Handoko merasa merinding ketika mendengar nama Daniel disebut. Dia tahu seberapa berpengaruhnya Daniel dan bisa membuatnya langsung hancur lebur. Tapi sekarang dia memiliki sedikit keberani
Nadia tak bisa lagi membendung kesedihan dan entah mengapa bulir bening hangat perlahan-lahan mulai mengalir di pipinya. Sean yang melihat itu dengan cepat langsung mendekat dan memeluknya erat-erat sambil berkata, "Kak Nadia kenapa malah nangis? Sean salah, ya?"Nadia menggelengkan kepalanya perlahan dan mencoba untuk mengusap air matanya itu. Seharusnya dia tak memperlihatkan kesedihannya seperti ini."Kakak nggak apa-apa, kok. Ini cuma kemasukan debu," kilahnya penuh kebohongan. Sean mengendurkan pelukannya dan menarik tubuhnya kembali sambil menatap Nadia. Alasan Nadia barusan terdengar seperti kebohongan belaka dan dia tahu bahwa dugaannya tadi memang benar adanya."Kak Nadia jangan sedih lagi. Sean bakalan kasih tahu Papa. Biar Papa nanti kasih pelajaran sama orang-orang yang jahat!"Nadia tertawa perlahan ketika melihat bocah lelaki itu kini terlihat seolah-olah tengah menghajar seseorang. Memiliki Sean di hidupnya itu telah berhasil membuatnya menjadi jauh lebih bahagia. Beban
Dion berusaha untuk menelan salivanya susah payah ketika melihat sang atasan sangat marah. Dia sangat yakin, Daniel tak mungkin diam saja.Daniel segera berbalik untuk menatap Dion dan berkata, "Cari tahu gimana keberadaan Om Handoko.""Baik, Bos." Dion dengan cepat langsung memanggukan kepalanya setelah mendapatkan perintah dari Daniel. Tak ada alasan baginya untuk menolak perintah itu karena Daniel pasti akan langsung murka jika dia terlalu banyak bertanya.Bara yang masih ada di ruangan itu pun juga merasakan kemarahan begitu besar di mata Daniel. Untungnya dia tetap memilih untuk berada di sisi Daniel dan tidak tergoda sama sekali dengan tawaran menggiurkan dari Bagaskoro. Andai saja dia sempat tergiur maka sekarang hidupnya pasti sudah dipenuhi dengan penyesalan.Daniel segera berangkat berdiri dari kursinya sambil merapikan jas kerjanya itu. Sebelum pergi, dia berbalik kembali untuk menatap lekat Bara dan mengingatkan, "Pastikan Anda berhasil memenangkan persidangan."Bara mengan
"Apa yang mau kamu bicarakan?" Nadia menatap sosok lelaki yang sejak tadi terdiam setelah mereka berdua pergi ke ruang kerja.Daniel menoleh sekilas, dia ingin mengatakan yang sebenarnya pada Nadia. Tapi entah mengapa perasaan ragu muncul di dalam hatinya. Dia menatap Nadia, menghembuskan napas berat dan berkata, "Kenapa kamu nggak bilang masalah yang terjadi di rumah ini?"Nadia mengerutkan keningnya. Namun dia akhirnya berhasil mengingat satu hal. "Bukannya aku nggak mau bilang, tapi kamu juga pasti pusing mikirin masalah kerjaan, kan?" Nadia sedikit berasalan. Dia cuma mau mengurangi beban di pundak Daniel. Itu saja. Meski memang sebenarnya, Daniel merasa sedikit kesal saat ini. Dia mengetahui masalah sebesar itu dari orang lain. Wajar rasanya jika dia marah."Aku tahu kamu khawatir, Nadia. Tapi ..." Daniel menjeda ucapannya sesaat, meraih tangan Nadia dan meremasnya perlahan sambil berkata, "Aku jauh lebih khawatir tentang keadaanmu."Kehadiran Handoko ke rumah ini telah berhasil
"Gimana bisa hal semudah itu aja gagal?" Bagaskoro menatap lawan bicaranya itu sambil memicingkan matanya dengan tajam. Handoko yang mendapatkan tatapan itu hanya bisa menghela nafas berat sambil menggosok belakang kepalanya agar mengurangi sedikit perasaan takutnya. "Ini bukan sepenuhnya salah saya, dong. Lagipula, Nadia itu emang anak kurang ajar. Dia nggak bakalan mau mendengar perkataan saya," kilahnya.Bagaskoro yang mendengar alasan itu memilih untuk memutar bola matanya dengan malas. 'Seharusnya aku memang tak menaruh kepercayaan pada orang bodoh sepertinya,' batinnya kesal.Padahal dia sudah percaya diri sepenuhnya bisa mendapatkan keuntungan ketika menjalin kerjasama dengan Handoko. Bagaskoro pikir dia akan memiliki lebih banyak kesempatan untuk membuat anaknya keluar dari sel penjara. Tapi ternyata dia salah kaprah karena Handoko tak berguna sama sekali.Bagaskoro segera mengalihkan pandangannya pada salah satu bawahannya, memberi kode untuk segera bertindak.Seketika dua o