"Kamu tahu dia menggambar apa?” tanya Agatha penasaran. Sambil ia membuka rice cooker untuk mengecek nasi. “Aku tidak melihatnya dari dekat, takut menganggu. Aku kira kamu sudah lebih dulu tahu?” Agatha menggeleng. “Aku langsung ke dapur tadi. Tapi memang akhir-akhir ini dia tampak serius. Sepertinya dia menggambar sesuatu yang berbeda dari biasanya. Aku bahkan dilarang melihatnya.” “Memang biasanya apa yang dia gambar?” Jayden cukup menyesal tidak pernah melihat hasil gambaran Anna karena terlampau sibuk. “Sudah aku udah duga kamu tidak tahu. Sepertinya kamu harus sedikit meluangkan waktu untuk menanyai soal hobi dan kesukaan Anna.” Sudut bibir Jayden tertarik sebelah. “Tugas kamu memang salah satunya memberitahu apa yang tidak aku tahu. Aku rasa Anna jauh lebih terbuka denganmu."Agatha menghela napas. Ia menjadi teringat saat masa kecilnya dulu di mana yang menanyai soal hobinya adalah sang ibu. Ayahnya termasuk kategori yang tidak peka alih-alih tidak terpikirkan untuk menany
Aluna menghela napas panjang. "Ibuku tidak sejahat itu, Agatha. Kamu harus mencobanya lagi. Waktu itu, kan, yang pertama kali. Kamu tidak boleh menyerah, aku pun juga akan begitu. Aku akan memuji-mujimu di depan ibu supaya dia percaya bahwa kamu anak yang baik-baik untuk menjadi temanku."Agatha terdiam. Aluna benar. Ia tidak mungkin akan terus bersahabat dengan Aluna tanpa restu ibunya. Meskipun agatha masih tidak percaya diri, tapi apa boleh buat. Dari pada terlambat, lebih baik memberanikan diri dari saat ini, kan.Aluna mendengkus kesal karena Agatha malah melanjutkan makannya. "Hei, aku menunggu jawabanmu, Agatha!"Agatha menelan baksonya lalu mengangguk. "Iya, iya. Aku akan mencobanya. Mengerjakan skripsi bersama-sama juga lebih menyenangkan.""Yeay! Aku sayang padamu, Agatha!" Aluna hendak memeluk Agatha, namun ditahan gadis itu."Kita sedang di kantin, Aluna. Makan saja makananmu itu. Nanti keburu dimakan lalat."Aluna terkekeh lalu menurut. Ia senang karena Agatha akan ke rum
Agatha tersenyum lembut. "Kak Grace, setiap orang punya tempatnya sendiri, bukan? Termasuk aku. Ayolah, tidak baik membuang-buang waktu. Semoga Kak Grace segera menemukan kebahagiaan."Grace menyeringai dengan sindiran pedas. "Bahagia? Aku yakin kebahagiaan itu terlalu mewah untuk orang sepertimu."Agatha tetap tenang. "Keberuntungan dan kebahagiaan tidak selalu tergantung pada harta, Kak Grace. Banyak hal indah di dunia ini yang tidak bisa dibeli dengan uang."Grace mencibir. "Terserahlah, kamu bisa bermimpi sepuasnya, Gadis Miskin."Agatha tersenyum enteng. "Oh, Kak Grace, impian memang tidak mengenal batas, bukan? Siapa tahu suatu hari nanti, aku bisa membuktikannya.""Kamu sungguh tidak tahu diri, ya, rupanya?" desis Grace menggertakkan gigi.Agatha mengangkat bahu dengan santai. "Ah, Kak Grace, hidup terlalu singkat untuk terus menerus merasa tidak puas terhadap takdir. Dari pada itu mari nikmati hari ini dan biarkan kebahagiaan datang pada waktu yang tepat."Grace melirik tajam.
Menggertakkan gigi, Jonathan melanjutkan decihannya. "Berkembang pesat? Cih! Sepertinya dia hanya ingin membuktikan betapa bodohnya aku! Dasar anak durhaka!"Dalam kekesalannya, Jonathan melampiaskan frustasinya pada benda-benda di sekitarnya, melempar pena dengan kasar dan memukul meja hingga beberapa dokumen berserakan. Suasana ruang kerjanya terasa panas dan tegang, mencerminkan kekecewaan dan kekesalan yang ia rasakan."Kalau begini jadinya, aku tidak bisa lagi mengawasi gerak-gerik perempuan miskin itu! Sekarang dia pasti sedang bersenang-senang karena rana terbebas olehku!" geram Jonatan kala teringat dengan Agatha yang saat ini pasti sedang hidup damai.Sejak awal, Jonathan sebenarnya ikut campur tangan dalam urusan Jayden karena ingin menjadikannya ahli waris perusahaannya, namun Jayden menolak diatur-atur terutama setelah ia menikah lagi. Tanpa tahu alasannya kenapa ia melakukan itu.Meski Jonathan tahu bahwa Cakra, anak tirinya, tidak memiliki passion di bidang tersebut, ia
Setibanya di ruang rapat, Jayden duduk dan mencoba fokus pada agenda rapat. Namun, beberapa karyawan wanita mencoba duduk di sekitar Jayden dengan harapan bisa menarik perhatiannya. Jayden tetap menahan diri dan hanya memberikan instruksi atau tanggapan yang diperlukan selama rapat.Setelah rapat selesai, Jayden melangkah ke ruangannya dengan harapan bisa bekerja dengan tenang. Namun, begitu masuk ke ruangannya, ada selembar kertas yang tertempel di pintu kaca dengan tulisan 'Pak Jayden, saya membutuhkan tanda tangan Anda'. Jayden hanya mendengkus sekilas melihat kertas pink dengan corak hati itu. Kemudian segera menandatangani dokumen yang dilesakkan di bawahnya tanpa banyak berkomentar.Adegan berulang seperti ini menjadi rutinitas di kantor, dan Jayden tetap mempertahankan sikap dingin dan cueknya, memilih memfokuskan diri pada pekerjaannya."Mereka sangat kurang kasih sayang," kata Jayden dengan decihanm ***Sebuah ketukan lembut terdengar di pintu ruangan Jayden, dan kemudian p
Di tengah-tengah tugas kecil itu, Jayden dan Agatha terlibat dalam percakapan santai, menunjukkan kedekatan yang profesional namun ramah. Karyawan yang sebelumnya mencoba bersaing mulai menyadari bahwa Jayden tidak sepenuhnya terfokus pada mereka.Dengan kecilnya perhatian Jayden pada Agatha, suasana di kantor berubah. Karyawan yang sebelumnya berlomba mendapatkan perhatian bosnya menjadi lebih bersatu, menyadari bahwa persaingan yang berlebihan hanya akan merugikan mereka sendiri. Dengan cerdik, Jayden membuka mata mereka pada pentingnya bekerja sama, bukan bersaing tanpa henti. Dengan langkah-langkah kecil ini, Jayden berharap dapat merubah dinamika di kantornya untuk berkembang lebih baik.Agatha, menyadari keadaan sekitarnya, memberikan dukungan penuh pada inisiatif Jayden. Meskipun dirinya menjadi sorotan, ia memilih untuk menghadapi situasi dengan kepala dingin dan sikap profesional. Keduanya terus bekerja sama dalam berbagai tugas, membuktikan bahwa kerja sama mereka tidak han
"Bye, Aluna. Jangan sampai telat masuk, nanti—“ Brak! Jantung Agatha rasanya nyaris terlepas waktu suara benturan benda yang keras itu masuk ke telinganya dengan menyakitkan. Agatha yang baru saja menyeberang jalan, reflek mematikan sambungan ponsel dan cepat-cepat membalikkan badan. “Ya ampun! Astaga!” Begitu tahu apa yang terjadi tepat di depannya, Agatha memekik keras dan langsung menutup mulutnya. “A–apa ini?” Suara Agatha hampir tertelan di tenggorokan saat mendapati insiden kecelakaan terjadi tepat di hadapannya. Kalau saja ia tidak menyeberang dengan cepat, apakah yang tertabrak truk itu adalah dirinya dan bukan mobil mewah yang kini terlihat hancur itu? Tunggu, tapi sepertinya Agatha mengenali pemilik mobil tersebut. “Tidak, tidak. Pasti Tidak mungkin.” Jantung Agatha tiba-tiba berdebar. Perlahan kakinya melangkah menghampiri kerumunan. Berharap dugaannya tentang pemilik mobil itu salah besar. Dengan ponsel yang ia genggam erat-erat di tangannya, Agatha tiba di depan seo
Jayden, yang awalnya sibuk dengan urusannya di kantor, segera merespons, "Halo, Agatha. Ada apa? Kenapa suaramu terdengar cemas?"Dengan suara yang mencoba tetap stabil, Agatha memberitahu Jayden tentang kecelakaan yang menimpa Jonathan dan kebutuhan darahnya untuk operasi mendesak. Meskipun ia berusaha keras untuk tidak menunjukkan ketakutannya, getaran di dalam suaranya mengungkapkan kekhawatiran yang mendalam."Jayden, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan," ucap Agatha, mencoba menahan tangisnya. "Pria itu mengalami kecelakaan, dia membutuhkan darah, dan aku sudah mendonorkan sebagian darahku. Tapi aku masih takut ...."Jayden di seberang sana terkejut nyaris ponselnya terjatuh. Rahangnya mengeras dengan tatapan tajam, ia segera memotong kata-kata Agatha, "Jangan khawatir, Agatha. Aku akan segera ke rumah sakit. Pasti semuanya baik-baik saja."Dengan sedikit kelegaan, Agatha mengucapkan terima kasih, "Terima kasih, Jayden.""Kita akan hadapi ini bersama-sama," jawab Jayden denga