"Dan kami juga merasa begitu, Jayden. Kami ada di sini untuk saling mendukung. Mari kita hadapi semuanya bersama-sama."Jayden tersenyum lega karena Agatha bisa mengerti tanpa harus menjelaskan panjang lebar. "Terima kasih, Agatha. Kamu selalu bisa membaca hatiku tanpa banyak kata. Aku beruntung memiliki kamu di ini."Agatha tersenyum lembut, menyatakan dukungan tanpa perlu banyak bicara. Mereka berdua menghabiskan waktu bersama dalam ketenangan, menemukan kenyamanan satu sama lain di tengah badai kehidupan."Aku bersyukur kamu tidak membeli alkohol lagi. Karena jika kamu sampai melakukan itu, maka aku akan memarahimu dan membuang semua minuman itu."Jayden tersenyum kecil. "Aku mengerti, Agatha. Kamu selalu menjadi pengingatku. Terima kasih karena selalu ada untukku, bahkan di saat-saat sulit seperti ini."Agatha pun tersenyum, lalu menawarkan makanan karena ia tahu Jayden belum makan malam. Kebetulan Agatha juga sudah masak dan masih menyisakan untuk Jayden. Agatha membawa piring b
"Kamu tahu dia menggambar apa?” tanya Agatha penasaran. Sambil ia membuka rice cooker untuk mengecek nasi. “Aku tidak melihatnya dari dekat, takut menganggu. Aku kira kamu sudah lebih dulu tahu?” Agatha menggeleng. “Aku langsung ke dapur tadi. Tapi memang akhir-akhir ini dia tampak serius. Sepertinya dia menggambar sesuatu yang berbeda dari biasanya. Aku bahkan dilarang melihatnya.” “Memang biasanya apa yang dia gambar?” Jayden cukup menyesal tidak pernah melihat hasil gambaran Anna karena terlampau sibuk. “Sudah aku udah duga kamu tidak tahu. Sepertinya kamu harus sedikit meluangkan waktu untuk menanyai soal hobi dan kesukaan Anna.” Sudut bibir Jayden tertarik sebelah. “Tugas kamu memang salah satunya memberitahu apa yang tidak aku tahu. Aku rasa Anna jauh lebih terbuka denganmu."Agatha menghela napas. Ia menjadi teringat saat masa kecilnya dulu di mana yang menanyai soal hobinya adalah sang ibu. Ayahnya termasuk kategori yang tidak peka alih-alih tidak terpikirkan untuk menany
Aluna menghela napas panjang. "Ibuku tidak sejahat itu, Agatha. Kamu harus mencobanya lagi. Waktu itu, kan, yang pertama kali. Kamu tidak boleh menyerah, aku pun juga akan begitu. Aku akan memuji-mujimu di depan ibu supaya dia percaya bahwa kamu anak yang baik-baik untuk menjadi temanku."Agatha terdiam. Aluna benar. Ia tidak mungkin akan terus bersahabat dengan Aluna tanpa restu ibunya. Meskipun agatha masih tidak percaya diri, tapi apa boleh buat. Dari pada terlambat, lebih baik memberanikan diri dari saat ini, kan.Aluna mendengkus kesal karena Agatha malah melanjutkan makannya. "Hei, aku menunggu jawabanmu, Agatha!"Agatha menelan baksonya lalu mengangguk. "Iya, iya. Aku akan mencobanya. Mengerjakan skripsi bersama-sama juga lebih menyenangkan.""Yeay! Aku sayang padamu, Agatha!" Aluna hendak memeluk Agatha, namun ditahan gadis itu."Kita sedang di kantin, Aluna. Makan saja makananmu itu. Nanti keburu dimakan lalat."Aluna terkekeh lalu menurut. Ia senang karena Agatha akan ke rum
Agatha tersenyum lembut. "Kak Grace, setiap orang punya tempatnya sendiri, bukan? Termasuk aku. Ayolah, tidak baik membuang-buang waktu. Semoga Kak Grace segera menemukan kebahagiaan."Grace menyeringai dengan sindiran pedas. "Bahagia? Aku yakin kebahagiaan itu terlalu mewah untuk orang sepertimu."Agatha tetap tenang. "Keberuntungan dan kebahagiaan tidak selalu tergantung pada harta, Kak Grace. Banyak hal indah di dunia ini yang tidak bisa dibeli dengan uang."Grace mencibir. "Terserahlah, kamu bisa bermimpi sepuasnya, Gadis Miskin."Agatha tersenyum enteng. "Oh, Kak Grace, impian memang tidak mengenal batas, bukan? Siapa tahu suatu hari nanti, aku bisa membuktikannya.""Kamu sungguh tidak tahu diri, ya, rupanya?" desis Grace menggertakkan gigi.Agatha mengangkat bahu dengan santai. "Ah, Kak Grace, hidup terlalu singkat untuk terus menerus merasa tidak puas terhadap takdir. Dari pada itu mari nikmati hari ini dan biarkan kebahagiaan datang pada waktu yang tepat."Grace melirik tajam.
Menggertakkan gigi, Jonathan melanjutkan decihannya. "Berkembang pesat? Cih! Sepertinya dia hanya ingin membuktikan betapa bodohnya aku! Dasar anak durhaka!"Dalam kekesalannya, Jonathan melampiaskan frustasinya pada benda-benda di sekitarnya, melempar pena dengan kasar dan memukul meja hingga beberapa dokumen berserakan. Suasana ruang kerjanya terasa panas dan tegang, mencerminkan kekecewaan dan kekesalan yang ia rasakan."Kalau begini jadinya, aku tidak bisa lagi mengawasi gerak-gerik perempuan miskin itu! Sekarang dia pasti sedang bersenang-senang karena rana terbebas olehku!" geram Jonatan kala teringat dengan Agatha yang saat ini pasti sedang hidup damai.Sejak awal, Jonathan sebenarnya ikut campur tangan dalam urusan Jayden karena ingin menjadikannya ahli waris perusahaannya, namun Jayden menolak diatur-atur terutama setelah ia menikah lagi. Tanpa tahu alasannya kenapa ia melakukan itu.Meski Jonathan tahu bahwa Cakra, anak tirinya, tidak memiliki passion di bidang tersebut, ia
Setibanya di ruang rapat, Jayden duduk dan mencoba fokus pada agenda rapat. Namun, beberapa karyawan wanita mencoba duduk di sekitar Jayden dengan harapan bisa menarik perhatiannya. Jayden tetap menahan diri dan hanya memberikan instruksi atau tanggapan yang diperlukan selama rapat.Setelah rapat selesai, Jayden melangkah ke ruangannya dengan harapan bisa bekerja dengan tenang. Namun, begitu masuk ke ruangannya, ada selembar kertas yang tertempel di pintu kaca dengan tulisan 'Pak Jayden, saya membutuhkan tanda tangan Anda'. Jayden hanya mendengkus sekilas melihat kertas pink dengan corak hati itu. Kemudian segera menandatangani dokumen yang dilesakkan di bawahnya tanpa banyak berkomentar.Adegan berulang seperti ini menjadi rutinitas di kantor, dan Jayden tetap mempertahankan sikap dingin dan cueknya, memilih memfokuskan diri pada pekerjaannya."Mereka sangat kurang kasih sayang," kata Jayden dengan decihanm ***Sebuah ketukan lembut terdengar di pintu ruangan Jayden, dan kemudian p
Di tengah-tengah tugas kecil itu, Jayden dan Agatha terlibat dalam percakapan santai, menunjukkan kedekatan yang profesional namun ramah. Karyawan yang sebelumnya mencoba bersaing mulai menyadari bahwa Jayden tidak sepenuhnya terfokus pada mereka.Dengan kecilnya perhatian Jayden pada Agatha, suasana di kantor berubah. Karyawan yang sebelumnya berlomba mendapatkan perhatian bosnya menjadi lebih bersatu, menyadari bahwa persaingan yang berlebihan hanya akan merugikan mereka sendiri. Dengan cerdik, Jayden membuka mata mereka pada pentingnya bekerja sama, bukan bersaing tanpa henti. Dengan langkah-langkah kecil ini, Jayden berharap dapat merubah dinamika di kantornya untuk berkembang lebih baik.Agatha, menyadari keadaan sekitarnya, memberikan dukungan penuh pada inisiatif Jayden. Meskipun dirinya menjadi sorotan, ia memilih untuk menghadapi situasi dengan kepala dingin dan sikap profesional. Keduanya terus bekerja sama dalam berbagai tugas, membuktikan bahwa kerja sama mereka tidak han
"Bye, Aluna. Jangan sampai telat masuk, nanti—“ Brak! Jantung Agatha rasanya nyaris terlepas waktu suara benturan benda yang keras itu masuk ke telinganya dengan menyakitkan. Agatha yang baru saja menyeberang jalan, reflek mematikan sambungan ponsel dan cepat-cepat membalikkan badan. “Ya ampun! Astaga!” Begitu tahu apa yang terjadi tepat di depannya, Agatha memekik keras dan langsung menutup mulutnya. “A–apa ini?” Suara Agatha hampir tertelan di tenggorokan saat mendapati insiden kecelakaan terjadi tepat di hadapannya. Kalau saja ia tidak menyeberang dengan cepat, apakah yang tertabrak truk itu adalah dirinya dan bukan mobil mewah yang kini terlihat hancur itu? Tunggu, tapi sepertinya Agatha mengenali pemilik mobil tersebut. “Tidak, tidak. Pasti Tidak mungkin.” Jantung Agatha tiba-tiba berdebar. Perlahan kakinya melangkah menghampiri kerumunan. Berharap dugaannya tentang pemilik mobil itu salah besar. Dengan ponsel yang ia genggam erat-erat di tangannya, Agatha tiba di depan seo
"Agatha, aku benar-benar menyesal atas semua yang telah kulakukan. Aku ingin memperbaiki kesalahan itu, sungguh," ucap Grace, matanya penuh penyesalan. Agatha yang sejak awal sudah mencoba untuk memaafkan, tersenyum lembut, "Kak Grace, aku percaya bahwa setiap orang bisa berubah. Aku sudah memaafkan kamu, Kak."Mendengar kata-kata itu, mata Grace berkaca-kaca, merasa beban besar terangkat dari pundaknya. "Terima kasih, Agatha. Aku berharap kebahagiaan selalu menyertaimu."Agatha kemudian mendekat dan memeluk Grace. Sementara itu, Grace yang lega sampai menangis, merasa terharu karena Agatha masih begitu baik padanya meskipun semua kesalahannya di masa lalu."Sukses untuk karirmu di luar negeri, ya, Kak Grace. Aku yakin kamu akan menemukan kebahagiaanmu sendiri di sana," ucap Agatha sambil tersenyum.Dengan hati yang lega dan bersih, Grace pun pergi, meninggalkan Agatha yang semakin siap menyongsong hari pernikahannya dengan Jayden. Sebelum itu, tak lupa Grace mengucapkan selamat kepa
"Bagaimana dengan skripsimu? Apa masih perlu direvisi lagi?" tanya Jayden di suatu malam. Lelaki itu duduk di sebelah Agatha yang tengah menatap laptopnya. Agatha pun menoleh, mukanya tampak cemas dan ragu. Hal itu tentu membuat Jayden seketika ikut khawatir. "Hei? Apa ada yang salah lagi? Katakan saja, aku akan membantumu," ucap Jayden sambil memegang kedua pundak Agatha.Beberapa detik raut wajah Agatha berubah cerah, ia tertawa renyah. Seketika membuat Jayden terkesiap. Seketika ia menaikkan alisnya. Merasa telah dikerjai.Agatha tersenyum lebar. "Tidak, Jayden. Aku hanya ingin melihat reaksimu. Skripsiku sudah selesai dan tidak perlu revisi lagi. Aku mendapatkan nilai bagus, dan sekarang semuanya sudah selesai. Tinggal menunggu giliran sidang saja."Jayden melepaskan napas lega. "Astaga, kamu sungguh membuatku khawatir. Tapi sungguh, aku bangga padamu, Agatha. Kamu melakukan dengan sangat baik."Agatha tersenyum lebih lebar lagi. "Terima kasih, Jayden. Ini semua juga berkat duku
Anna yang terlampau bahagia, tanpa sadar mengeluarkan air mata. "Benarkah? Ini sungguh-sungguh hadiah yang paling indah! Terima kasih, Papa! Terima kasih, Tante Agatha!"Anna langsung memeluk keduanya erat, tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. Mereka bertiga berpelukan dalam momen yang sarat makna. Kinara dan Oma Sarah yang melihatnya, tak bisa membendung titik air yang keluar dari mata. Mereka ikut bahagia.Jayden tersenyum sambil merangkul Anna dan Agatha. "Kita berdua sangat mencintaimu, Anna. Kita pasti akan menjadi keluarga yang bahagia seterusnya."Di tengah pelukan hangat itu, Kinara mengusap matanya lalu tersenyum sumringah. "Terima kasih, Agatha. Kehadiranmu membawa begitu banyak kebahagiaan pada keluarga ini."Oma Sarah turut menyampaikan rasa terima kasihnya. Ia tersenyum lembut dengan sisa air matanya. "Benar, Anna pasti sangat bahagia memiliki ibu seperti kamu, Agatha."Agatha mengangguk, tersenyum tulus. "Saya juga sangat bahagia bisa menjadi bagian dari keluarga ini.
"Sadarlah, Cakra! Kamu tidak bisa selalu mendapatkan apa yang kamu mau! Kamu juga tidak bisa memaksa perasaan seseorang untuk menyukaimu!" bentak Kinara tanpa ampun. Meski air mata turun dari kelopaknya, ia tetap menampilkan wajah yang penuh amarah."Jangan sekali-kali kamu merendahkan seseorang yang ada di bawahmu!" Kinara kemudian melepaskan cekalannya pada dagu Cakra dan mengembuskan napas panjang."Pergi ke kamarmu dan pikirkan perbuatan bejatmu itu! Sampai sebelum papamu pulang, kamu jangan berharap bisa keluar dari sana! Renungi kesalahan yang telah kamu perbuat sampai kamu benar-benar sadar bahwa perbuatanmu sudah sangat memalukan keluarga kita!""Kamu telah membuat ibu kecewa, Cakra!" teriak Kinara untuk yang terakhir kali sebelum menutup pintu kamar Cakra dengan kasar hingga menimbulkan suara sangat keras.Cakra tetap diam, menanggung setiap amarah dan makian yang dilontarkan oleh Kinara. Wajahnya terlihat tanpa ekspresi, namun matanya mengandung rasa penyesalan yang dalam. M
Agatha menatap kagum. "Ini ..... Ini sangat indah, Jayden. Apakah ini bagian dari hadiah untuk Anna?"Jayden menggeleng sambil tersenyum. "Ini untuk kamu, dan kita berdua yang akan menikmati momen ini bersama.""S–sungguh?"Jayden mengangguk. Agatha terpana, tak menyangka Jayden merencanakan sesuatu seindah ini. Setelah Jayden menggandeng Agatha keluar mobil, mereka duduk bersama di tepi danau, menyaksikan gemerlap lentera-lentera kecil yang mengapung di permukaan air. Suasana menjadi semakin hangat di bawah sinar rembulan.Jayden menatap Agatha dari samping. "Aku harap kita bisa menjadikan malam ini sebagai kenangan indah bersama."Agatha menoleh, tersenyum bahagia, merasa terharu dengan kejutan yang dilakukan Jayden. Malam itu, di tepi danau yang tenang, Jayden dan Agatha merasakan suasana romantis yang tak terlupakan.Tak lama Jayden mengambil kotak kecil di kantongnya. Ia merasa berdebar-debar. "Agatha, sebenarnya ada sesuatu yang ingin kuberikan padamu."Agatha menatap Jayden den
"Terima kasih sudah menemukanku. Sekarang aku baik-baik saja, Jayden."Agatha tersenyum hampir menangis, rasanya terharu saat seseorang yang mencemaskan dirinya sampai seperti ini. Ia tidak menyangka apalagi orang itu adalah Jayden Byhantara."Apa kamu terluka? Lelaki bejat itu telah melakukan apa terhadapmu?" Jayden melepaskan pelukannya dan memegang kedua pundak Agatha. Menatapnya ke dalam matanya. Penuh kecemasan dan kekhawatiran yang membara.Agatha menatap mata Jayden yang penuh perhatian dan belum pernah ia lihat sebelumnya. Suara dari orang-orang di belakang Jayden yang bergegas masuk mengalun samar, tapi fokus Agatha hanya sepenuhnya tertuju pada pria yang ada di depannya ini.Agatha tersenyum senyum tipis dan lembut. "Tidak, Jayden. Aku tidak terluka. Berkat keahlianku, aku bisa mengatasi situasinya. Dia juga belum sempat melakukan sesuatu yang bejat terhadapku."Jayden menghela napas lega. Diusapnya kepala Agatha. "Aku sungguh khawatir. Jangan pernah lagi menyusahkan dirimu
"Dasar merepotkan," gumam Agatha sambil berjalan menghampiri Cakra yang masih pingsan.Agatha tanpa permisi mencari kunci di kedua saku celana Cakra. Setelah ketemu, ia menghela napas keras. Sialan sekali karena kuncinya tidak hanya satu. Melainkan gerombolan. Agatha meringis di dalam hati. Sepertinya ia memang harus mengerahkan semua tenaganya hanya untuk keluar dari kamar ini.Agataha mengembuskan napas. Dengan lunglai berjalan menuju pintu lagi dan membukanya dengan mencoba beberapa kunci yang ada di tangannya. Namun setidaknya ia masih beruntung karena kamar itu tidak menggunakan pintu yang menyerupai apartemen di mana mengharuskan memakai kode pin.Nantinya setelah pintu itu terbuka, Agatha berencana akan menelepon Jayden dan mengirim lokasi. Jika tidak ada sinyal, Agatha mempunyai rencana kedua yaitu ia akan mencari tombol kebakaran di sana.Ia bisa langsung kabur dengan berlari sekencang mungkin. Soal jalan pulang, ia akan memikirkan itu di belakang, yang terpenting ia bisa kel
"Hei, kenapa diam saja, Sayang? Coba berteriaklah seperti tadi." Cakra terkekeh sambil bersedekap dada dan menyender pada kursi."Ah, kamu sedang memikirkan jawaban yang tepat, yah?" Cakra mengangguk-angguk. "Bagus, jangan sampai salah pilih, ya, Sayang."Agatha memejamkan mata sejenak, sungguh ia menyesal kenapa tadi sempat tertipu dengan Grace saat di minimarket. Kalau saja ia lebih waspada, mungkin dirinya tidak akan terjebak dengan direktur gila itu."Sial. Apa yang harus aku lakukan?" Agatha menatap ke sekeliling ruangan. Selama beberapa detik, tiba-tiba otaknya memikirkan sesuatu."Kenapa aku baru terpikirkan itu, ya?" Agatha tersenyum miring. "Meskipun belum tentu berhasil, setidaknya rencana ini cukup mudah aku lakukan. Dengan tenaga yang aku punya, aku yakin dia akan tumbang."Agatha memusatkan pikiran pada rencananya. Ia mencoba mengabaikan godaan Cakra yang terus mencoba meruntuhkan ketenangannya. Dengan berusaha menahan emosi, Agatha mulai merencanakan langkah-langkah keci
Dalam kejutan yang tidak disangka, Jayden dan Reyhan tiba-tiba bertemu dengan Grace. Reyhan, yang memiliki rencana cepat, dengan cekatan menarik tangan Grace dan membawanya masuk ke dalam sembarang pintu yang ada di dekat mereka. Jayden tersentak, tapi bergegas mengikuti langkah Reyhan dan segera mengunci pintu ruangan yang tampaknya merupakan sebuah gudang.Di dalam ruangan yang gelap, Grace kaget setengah mati. Reyhan dengan sigap melepas dasinya sebagai penutup mata Grace dan membungkamnya dengan telapak tangan agar tidak berteriak. Karena gelap, Grace tidak dapat melihat wajah Reyhan, sehingga identitasnya tetap disembunyikan.Grace bingung dan cemas. Ia terlambat syok bahwa ada penyususp yang datang. Apalagi ia menjadi tertangkap. Sial. Ia tidak bisa bergerak sedikit pun saat ini. Padahal ia hendak ke tempat Cakra dan Agatha untuk ikut melihat betapa kesusahannya Agatha, tapi menyebalkan sekali karena tiba-tiba ia ikut merasakan seperti ini."Sial! Seharusnya aku lewat jalan lai