"Bagaimana dengan skripsimu? Apa masih perlu direvisi lagi?" tanya Jayden di suatu malam. Lelaki itu duduk di sebelah Agatha yang tengah menatap laptopnya. Agatha pun menoleh, mukanya tampak cemas dan ragu. Hal itu tentu membuat Jayden seketika ikut khawatir. "Hei? Apa ada yang salah lagi? Katakan saja, aku akan membantumu," ucap Jayden sambil memegang kedua pundak Agatha.Beberapa detik raut wajah Agatha berubah cerah, ia tertawa renyah. Seketika membuat Jayden terkesiap. Seketika ia menaikkan alisnya. Merasa telah dikerjai.Agatha tersenyum lebar. "Tidak, Jayden. Aku hanya ingin melihat reaksimu. Skripsiku sudah selesai dan tidak perlu revisi lagi. Aku mendapatkan nilai bagus, dan sekarang semuanya sudah selesai. Tinggal menunggu giliran sidang saja."Jayden melepaskan napas lega. "Astaga, kamu sungguh membuatku khawatir. Tapi sungguh, aku bangga padamu, Agatha. Kamu melakukan dengan sangat baik."Agatha tersenyum lebih lebar lagi. "Terima kasih, Jayden. Ini semua juga berkat duku
"Agatha, aku benar-benar menyesal atas semua yang telah kulakukan. Aku ingin memperbaiki kesalahan itu, sungguh," ucap Grace, matanya penuh penyesalan. Agatha yang sejak awal sudah mencoba untuk memaafkan, tersenyum lembut, "Kak Grace, aku percaya bahwa setiap orang bisa berubah. Aku sudah memaafkan kamu, Kak."Mendengar kata-kata itu, mata Grace berkaca-kaca, merasa beban besar terangkat dari pundaknya. "Terima kasih, Agatha. Aku berharap kebahagiaan selalu menyertaimu."Agatha kemudian mendekat dan memeluk Grace. Sementara itu, Grace yang lega sampai menangis, merasa terharu karena Agatha masih begitu baik padanya meskipun semua kesalahannya di masa lalu."Sukses untuk karirmu di luar negeri, ya, Kak Grace. Aku yakin kamu akan menemukan kebahagiaanmu sendiri di sana," ucap Agatha sambil tersenyum.Dengan hati yang lega dan bersih, Grace pun pergi, meninggalkan Agatha yang semakin siap menyongsong hari pernikahannya dengan Jayden. Sebelum itu, tak lupa Grace mengucapkan selamat kepa
"Anda mau memberinya obat tidur?"Pria berjas hitam dengan rahang tegas itu menarik kedua sudut bibir, pandangannya menatap lekat pada seorang gadis cantik mengenakan hoodie berwarna abu-abu dan celana jeans yang duduk sendirian di sofa memanjang. "Ya, dia targetku malam ini."Sang bartender muda mengangguk patuh dan mulai memasukkan obat yang dibawa pria di depannya. Ia kemudian beranjak menuju gadis yang dimaksud oleh pelanggan setianya itu. Agatha Marvelly menopang dagu dengan mimik lesu. Insiden di mana ia menjatuhkan ponsel iPhone milik senior kampusnya teringat lagi di otak. Agatha berulang kali mengembuskan napas panjang, belum lagi ia disuruh ganti rugi dalam waktu satu Minggu.Sebagai mahasiswi semester akhir yang tinggal di kos-kosan, bagaimana bisa ia mendapatkan uang 15 juta dalam waktu sesingkat itu?Maka untuk pertama dan terakhir kalinya, malam ini Agatha memutuskan ke bar guna menenangkan akal sehatnya."Mungkin ini bisa membantu Anda tenang."Agatha yang sedang mela
"Tutup mulutmu atau aku pecat sekarang juga!"Reyhan seketika mengunci mulutnya rapat-rapat. Tak berani membantah. Anak dan istrinya yang ada di rumah tidak akan bisa hidup nyaman jika bukan karena ia bekerja dengan Jayden. Lebih baik ia fokus menyetir dan membiarkan suasana mobil hening hingga tiba di sebuah apartemen yang menjulang tinggi."Anu, Bos. Maaf. Saya harus mengangkat telepon, apakah Anda bisa membawa gadis tadi ke dalam terlebih dahulu?" Reyhan sudah membukakan pintu untuk Jayden sambil memegang ponselnya yang berdering.Jayden berdecak dan keluar mobil. "Memangnya siapa yang meneleponmu?""Istri saya, Bos."Jawaban itu membuat hati Jayden melunak. Ia tidak bisa menolak jika urusan itu berhubungan dengan seorang istri atau ibu. Jayden pun menghela napas pelan sebelum membuka pintu belakang untuk membawa Agatha masuk ke apartemen."Kamar nomor berapa yang kosong?" tanya Jayden setelah menggendong Agatha ala bridal style. Tangan gadis itu ia kalungkan ke lehernya agar tidak
"Siapa kamu? Jangan ikut campur! Anak ini harus diberi pelajaran biar kapok!"Wanita itu menatap nyalang dan semakin emosi. Tetapi Agatha tidak takut, ia balas menatapnya tajam. Sementara si gadis kecil tadi bersembunyi di balik tubuhnya. Agatha pun beralih mengambil tangan gadis itu dan menggenggamnya erat agar ia merasa aman dan tidak perlu takut. "Memangnya anak ini salah apa sampai Anda kasar begini? Tidak bisakah menasehatinya dengan cara yang lebih halus?" Agatha sudah melepas cekalannya saat dirasa masalah ini masih bisa diselesaikan tanpa kekerasan. Wanita itu mengusap-usap lengannya yang terasa sakit, lalu mendengkus sebal. "Baju yang aku pake ini sangat mahal! Aku baru memakainya sekali, tapi dia malah mengotorinya dan tidak mau mengaku!" Agatha memutar bola matanya jengah karena tidak habis pikir. "Jadi hanya karena itu Anda sampai membentak anak ini bahkan mau memukulnya? Di mana hati nurani Anda sebagai seorang perempuan?""Jangan sok menasehatiku, dan biarkan aku memb
Anna menggeleng dengan raut muka polos. "Aku tidak punya mama, Tante."Jayden memejamkan mata sejenak, kepalan tangannya meregang karena Anna lebih dulu menjawab. Sesuatu di dalam dada Jayden mendadak sesak dan pedih. Pupil mata Agatha melebar karena merasa mulutnya sangat lancang. Ia tidak melihat wajah Anna yang bersedih, tetapi itu justru membuatnya merasa bersalah. Agatha pun segera membawa Anna ke dalam dekapannya. "M–maaf, Anna. Aku tidak tahu."Anna terkesiap selama beberapa detik, karena ia merasa nyaman dan aman, Anna tersenyum kecil di dalam pelukan Agatha. "Kata papa mama udah bahagia di tempat yang jauh. Dan papa bilang kalau aku tidak punya mama, itu artinya aku anak spesial karena Tuhan sayang sama aku."Usia Anna menginjak lima tahun, tapi Jayden tidak pernah mengatakan yang sebenarnya. Kejadian buruk di masa lalu, membuat Jayden teramat membenci wanita yang melahirkan Anna. Ia membohongi Anna dengan mengatakan bahwa mamanya sudah ada di surga meski faktanya masih b
Agatha memijit pelipisnya yang berdenyut, tugas dari kampus sudah banyak, tapi ia harus memikirkan cara untuk mencari uang dalam waktu dekat. Gajinya bekerja paruh waktu di kafe tidak mungkin cukup untuk membeli ponsel berlogo apel itu.Agatha berjalan lesu ke taman dekat kampus setelah kelas selesai. Mencari kursi yang kosong, mendaratkan tubuhnya di sana sendirian. Menatap apapun yang ada di depan dengan pikiran berantakan."Haruskah aku meminjam uang ke bank?" gumam Agatha. "Tapi pasti bunganya juga besar."Agatha mendecak pelan. "Apakah aku memang harus menjadi wanita rendahan seperti kata Kak Grace? Menjual tubuhku ke pria kaya lalu mendapatkan segepok uang dalam satu malam."Agatha tertawa kecut, terdengar lebih mirip menertawai dirinya sendiri. "Itu sungguh keputusan yang gila."Agatha kemudian terdiam. Masih tersisa dua jam sebelum waktunya ke kafe. Namun rasa semangatnya seolah ditelan bumi. Agatha lelah, ingin menyerah, ingin menangis, tapi matanya terlanjur kering tak bisa
Alis Agatha menaut kesal sambil menoleh dengan sinis. Meski wajahnya mendadak memanas dan nyaris memerah. Belum lagi Jayden sekarang terkekeh geli seolah menganggap ucapannya itu bukan apa-apa."Jangan bermain-main denganku. Apa maksud ucapanmu barusan? Kamu ingin aku mengasuh Anna atau dirimu?"Jayden meredam tawa kecilnya, lalu sekilas melirik Agatha. "Aku bercanda. Tentu saja aku menawarimu untuk menjadi pengasuh Anna."Agatha mengernyitkan dahi. Tak mengerti alasan apa yang membuat pria itu tiba-tiba memberikannya pekerjaan. "Kenapa? Kita bahkan baru pertama kali bertemu, itu pun juga tidak sengaja. Tapi kenapa kamu seolah sudah mempercayakan Anna kepadaku?"Jayden mengangkat bahu. "Karena aku tidak yakin bisa menemukan perempuan lain yang menyukai Anna dengan tulus. Ini juga pertama kalinya Anna bisa akrab dengan orang asing.""Kamu yakin? Ah, maksudnya, dilihat dari penampilan, bukankah sangat mustahil jika tidak ada perempuan di sekitarmu?" Agatha menyipitkan mata penuh selidik