"Siapa kamu? Jangan ikut campur! Anak ini harus diberi pelajaran biar kapok!"
Wanita itu menatap nyalang dan semakin emosi. Tetapi Agatha tidak takut, ia balas menatapnya tajam. Sementara si gadis kecil tadi bersembunyi di balik tubuhnya. Agatha pun beralih mengambil tangan gadis itu dan menggenggamnya erat agar ia merasa aman dan tidak perlu takut."Memangnya anak ini salah apa sampai Anda kasar begini? Tidak bisakah menasehatinya dengan cara yang lebih halus?" Agatha sudah melepas cekalannya saat dirasa masalah ini masih bisa diselesaikan tanpa kekerasan.Wanita itu mengusap-usap lengannya yang terasa sakit, lalu mendengkus sebal. "Baju yang aku pake ini sangat mahal! Aku baru memakainya sekali, tapi dia malah mengotorinya dan tidak mau mengaku!"Agatha memutar bola matanya jengah karena tidak habis pikir. "Jadi hanya karena itu Anda sampai membentak anak ini bahkan mau memukulnya? Di mana hati nurani Anda sebagai seorang perempuan?""Jangan sok menasehatiku, dan biarkan aku memberi anak itu pelajaran!" Lagi-lagi wanita itu menggeram kesal dan tidak mau mengalah."Dia, kan, sudah meminta maaf. Apa itu tidak cukup? Kotoran di baju Anda itu masih bisa dibersihkan dengan air." Agatha mendengkus sambil melirik pakaian wanita itu yang hanya kotor sedikit."Aku harus memukulnya supaya dia jera dan tidak mengulangi lagi kesalahannya! Dia juga harus lebih berhati-hati!"Agatha menghela napas lelah. Ia tidak menduga bisa bertemu dengan spesies wanita yang seperti ini. "Kalau begitu pukul saya saja sebagai gantinya. Setelah itu Anda bisa pergi. Bagaimana?"Wanita yang memakai lipstik merah itu tampak berpikir sebentar, sebelum akhirnya tersenyum meremehkan. "Baiklah kalau itu maumu.""Tante, jangan. Aku mohon."Agatha merasakan sebuah tarikan kecil, reflek ia menoleh. Gadis di sebelahnya sedang menatap penuh khawatir, Agatha mendadak terharu. Tetapi ia tidak akan luluh, Agatha lalu mengusap kepala si gadis kecil yang cantik itu."Tenang saja. Tubuh tante kuat, pasti rasanya hanya seperti digigit semut," ujar Agatha dengan nada lembut. Saat gadis kecil itu cemberut tidak percaya, Agatha terkekeh dan mengacak rambutnya.Tidak jauh dari pertengkaran itu, Jayden yang baru selesai bertelepon dengan manajer kantornya terkesiap melihat Anna sedang bersama seorang gadis. Padahal selama ini putri semata wayangnya itu tidak pernah mau akrab dengan perempuan mana pun.Jayden pun bergegas menghampiri, sampai di sana ia terkejut saat menyadari bahwa seseorang yang menggandeng Anna ternyata perempuan yang ia bawa dari bar tadi malam. Dan yang lebih membuat emosinya tersulut seorang wanita hendak menyakitinya."Ada apa ini?"Tangan si wanita menor yang terangkat dan hendak memukul Agatha, seketika terhenti saat tiba-tiba terdengar suara berat. Secara reflek Agatha menoleh, seorang pria tampan dengan setelan jas berhenti di sampingnya.Agatha terpana dalam beberapa detik sebelum tersadar dan meraih tangan si wanita tadi. "Cepat pukul saya dulu biar masalah cepat selesai."Jayden menoleh tajam, segera ia menahan lengan Agatha. "Tunggu? Apa yang kamu lakukan?"Agatha tertegun, lalu meneguk ludah susah payah sebab pria di hadapannya kini teramat menawan. Merasa auranya tidak bisa terbantahkan, dengan perlahan Agatha menurunkan tangan."Kamu siapa? Mau ikut campur lagi?"Jayden kemudian beralih memandang wanita di hadapannya dengan dingin. "Bisa jelaskan dulu apa yang terjadi?""Anak itu penyebabnya." Wanita tersebut menunjuk Anna sambil merenggut kesal. Jayden spontan mengeraskan rahang."Dia menumpahkan es krim ke baju mahal saya, tapi malah tidak mau mengaku dan berkata tidak sopan. Lalu perempuan di sebelahnya itu meminta saya untuk memukulnya sebagai ganti. Kamu mau ikutan membela juga?" jelas wanita itu menggebu-gebu. Agatha menahan kepalan tangannya di sisi celana agar tidak memukul mulut wanita itu."Berapa harga baju Anda?" tanya Jayden yang sudah muak."Yang pasti baju ini limited edition. Saya membelinya di luar negeri."Nada wanita sialan itu terdengar sombong. Agatha sangat ingin menampar. Kalau bukan karena pria di sebelahnya, Agatha tidak akan bisa menahan. Diam-diam Agatha melirik untuk melihat responnya, tapi ia mengernyit karena pria itu malah membuka ponsel dan mengetikkan sesuatu."Kirim nomor rekening Anda, apa sepuluh juta cukup?" tawar Jayden tanpa pikir panjang. Dari pada masalah tidak kunjung kelar, ia pikir wanita itu akan menyukai uang.Agatha yang mendengar itu spontan membuka mulutnya lebar, menatap pria tampan itu dengan mata membulat. Bagaimana bisa ia memberikan uang sebanyak itu dengan cuma-cuma? Sepuluh juta bahkan bisa menghidupinya hingga berbulan-bulan ke depan.Seringain kecil langsung terbit dari bibir wanita itu. Dengan perasaan senang ia menunjukkan sejumlah nomor di ponselnya. "Memang seharusnya sejak tadi kamu menawarkan itu."Jayden selesai mengirimkan saldo. Dan benar saja, wanita mata duitan itu bisa segera pergi dan masalah selesai. Jayden akhirnya menghela napas lelah. Kemudian ia merasakan tarikan kecil pada kemejanya. Ternyata Anna."Papa."Agatha tersentak mendengar panggilan itu. Hatinya terasa terpental jauh. Pria yang terlihat muda ini, ternyata ayah dari gadis kecil di sebelahnya? Agatha merutuki dirinya sendiri karena sempat jatuh cinta pandangan pertama.Jayden berjongkok di depan Anna, lalu tersenyum. "Anna, kamu baik-baik saja, kan?"Anna mengangguk-angguk sambil melihat ke arah Agatha. "Tante ini menyelamatkan aku. Dia sangat baik dan keren."Jayden ikut mendongak. Agatha menggarukkan tengkuk saat pria itu menatapnya, lalu tersenyum kikuk. "Ah, bukan apa-apa. Saya hanya tidak suka melihat anak kecil dikasari."Jayden mengusap kepala Anna sambil tersenyum. "Terima kasih. Kamu perempuan pertama yang dipuji oleh Anna.""S–sungguh?" Agatha membelalak. Jayden mengangguk dengan senyum tipis.Anna memutar tubuh, menghadap Agatha. Ia menarik kedua sudut bibir, lalu menyodorkan tangan mungilnya. "Aku Anna, nama tante siapa? Bisakah kita berteman?"Agatha terkikik kecil, tidak tahan untuk berjongkok dan menjajarkan tubuhnya dengan Anna. Ia mencubit gemas pipi gembul milik gadis itu sebelum membalas jabatan tangan Anna."Nama aku Agatha. Salam kenal, Anna. Mulai sekarang kita adalah teman."Mata Anna seketika berbinar. Wajahnya berseri-seri. "Yeay! Aku punya teman baru! Salam kenal Tante Agatha yang cantik!"Agatha tertawa geli sambil mengacak rambut Anna pelan. Sedari dulu ia sangat menyukai anak-anak. Melihat mereka ceria menjadi salah satu semangatnya. Berbeda dengan Jayden yang terdiam, ia memang senang, tapi di sisi lain sangat heran karena Anna tidak pernah sebahagia itu saat bertemu orang asing.Hati Jayden tiba-tiba tersentuh. Rasa kagum seketika terpancar saat melihat interaksi Agatha dan Anna. Agatha, perempuan yang ia selamatkan dari kakak tirinya, apakah ia mengingat perihal tadi malam?"Kapan kita bisa bermain, Tante? Aku sangat kesepian karena papa lebih suka bekerja. Dia menyebalkan dan tidak seru," omel Anna. Bibirnya mengerucut lucu. Agatha terkekeh. Tak menyangka mendapat ajakan main secepat ini.Jayden yang tersadar spontan mendelik. "Hei, kenapa kamu bilang begitu, Anna? Bukankah setiap hari kita bermain?""Hanya sebentar, kemudian papa sibuk lagi dengan laptop. Akhirnya aku bermain sendiri," gerutu Anna sebal. Agatha tertawa. Menggemaskan sekali raut wajah Anna yang terlihat kesal itu.Jayden menghela napas pelan. Ia tidak menampik kebenaran itu. Juga tidak bisa mengelak bahwa Anna memang membutuhkan seseorang yang bisa menemaninya ketika ia sedang bekerja."Memangnya mama kamu di mana, Anna? Bukankah bisa bermain dengannya?" celetuk Agatha penasaran. Tanpa ia sadari bahwa Jayden sedang menyembunyikan kepalan tangan.Anna menggeleng dengan raut muka polos. "Aku tidak punya mama, Tante."Jayden memejamkan mata sejenak, kepalan tangannya meregang karena Anna lebih dulu menjawab. Sesuatu di dalam dada Jayden mendadak sesak dan pedih. Pupil mata Agatha melebar karena merasa mulutnya sangat lancang. Ia tidak melihat wajah Anna yang bersedih, tetapi itu justru membuatnya merasa bersalah. Agatha pun segera membawa Anna ke dalam dekapannya. "M–maaf, Anna. Aku tidak tahu."Anna terkesiap selama beberapa detik, karena ia merasa nyaman dan aman, Anna tersenyum kecil di dalam pelukan Agatha. "Kata papa mama udah bahagia di tempat yang jauh. Dan papa bilang kalau aku tidak punya mama, itu artinya aku anak spesial karena Tuhan sayang sama aku."Usia Anna menginjak lima tahun, tapi Jayden tidak pernah mengatakan yang sebenarnya. Kejadian buruk di masa lalu, membuat Jayden teramat membenci wanita yang melahirkan Anna. Ia membohongi Anna dengan mengatakan bahwa mamanya sudah ada di surga meski faktanya masih b
Agatha memijit pelipisnya yang berdenyut, tugas dari kampus sudah banyak, tapi ia harus memikirkan cara untuk mencari uang dalam waktu dekat. Gajinya bekerja paruh waktu di kafe tidak mungkin cukup untuk membeli ponsel berlogo apel itu.Agatha berjalan lesu ke taman dekat kampus setelah kelas selesai. Mencari kursi yang kosong, mendaratkan tubuhnya di sana sendirian. Menatap apapun yang ada di depan dengan pikiran berantakan."Haruskah aku meminjam uang ke bank?" gumam Agatha. "Tapi pasti bunganya juga besar."Agatha mendecak pelan. "Apakah aku memang harus menjadi wanita rendahan seperti kata Kak Grace? Menjual tubuhku ke pria kaya lalu mendapatkan segepok uang dalam satu malam."Agatha tertawa kecut, terdengar lebih mirip menertawai dirinya sendiri. "Itu sungguh keputusan yang gila."Agatha kemudian terdiam. Masih tersisa dua jam sebelum waktunya ke kafe. Namun rasa semangatnya seolah ditelan bumi. Agatha lelah, ingin menyerah, ingin menangis, tapi matanya terlanjur kering tak bisa
Alis Agatha menaut kesal sambil menoleh dengan sinis. Meski wajahnya mendadak memanas dan nyaris memerah. Belum lagi Jayden sekarang terkekeh geli seolah menganggap ucapannya itu bukan apa-apa."Jangan bermain-main denganku. Apa maksud ucapanmu barusan? Kamu ingin aku mengasuh Anna atau dirimu?"Jayden meredam tawa kecilnya, lalu sekilas melirik Agatha. "Aku bercanda. Tentu saja aku menawarimu untuk menjadi pengasuh Anna."Agatha mengernyitkan dahi. Tak mengerti alasan apa yang membuat pria itu tiba-tiba memberikannya pekerjaan. "Kenapa? Kita bahkan baru pertama kali bertemu, itu pun juga tidak sengaja. Tapi kenapa kamu seolah sudah mempercayakan Anna kepadaku?"Jayden mengangkat bahu. "Karena aku tidak yakin bisa menemukan perempuan lain yang menyukai Anna dengan tulus. Ini juga pertama kalinya Anna bisa akrab dengan orang asing.""Kamu yakin? Ah, maksudnya, dilihat dari penampilan, bukankah sangat mustahil jika tidak ada perempuan di sekitarmu?" Agatha menyipitkan mata penuh selidik
Agatha telah selesai merapikan semua meja dan kursi. Sembari menyeka peluh, ia duduk di kursi dapur, memperhatikan bosnya yang sedang mengaduk minuman di meja pantry."Mas Aidan, aku ... mau bicara sesuatu," celetuk Agatha ragu."Katakan saja.""Aku sedang butuh uang, bisakah kamu memberikan gajiku lebih awal?" Agatha menggigit bibir bawahnya untuk memikirkan kemungkinan buruk.Aidan Ghifari, pemilik kafe tempat Agatha bekerja itu memutar tubuh. "Kamu ingat, kan, ini bukan pertama kalinya? Sekarang ada masalah apa lagi?"Benar, bukan? Agatha sudah bisa menebak jawaban itu. Aidan bahkan sampai hafal bahwa keadaannya sedang tidak beres saat ia meminta gaji di awal bulan."Aku tidak bisa mengatakannya." Agatha menatap lantai putih di bawah.Aidan menghela napas panjang. "Kamu tahu kafe di seberang jalan, kan? Baru pertama kali buka sudah sangat ramai. Aku tidak yakin kafe ini banyak pengunjungnya lagi."Agatha mengangkat kepala, segelas kopi disodorkan oleh Aidan. Ia menerimanya dengan s
Jayden menggandeng tangan Anna sembari menekan tombol lift kemudian masuk. Mereka menuju lantai bawah secara VIP. Jayden sedang bertelepon dengan seseorang menggunakan headset bluetooth di telinga kanannya."Ya, aku akan ke sana setelah ini."Jayden mengakhiri percakapan disusul helaan napas panjang. Akhir-akhir ini kondisi perusahaannya sangat sibuk, sehingga tak jarang Jayden harus pergi ke kantor tanpa kenal waktu. Pintu lift pun terbuka, Anna langsung berlari menuju pintu keluar. Jayden menatap punggung mungil itu, hatinya sesak karena ia tidak memiliki banyak waktu luang untuk bermain dengan putrinya. Menjadi ayah sekaligus ibu untuk Anna nyatanya tidak semudah yang dulu ia bayangkan. Jayden tidak mengira Anna sulit berinteraksi dengan orang lain, sehingga sejak kecil lebih sering diurus oleh neneknya. Jangankan menyewa baby sitter, dengan ibu tirinya saja Anna cuek. Entah apa alasan yang pasti, tapi Anna menjadi lebih dingin semenjak mendapat pukulan fisik dari seorang wanita
Dengan mata berkaca-kaca, Anna langsung berlari menerobos kerumunan orang-orang yang mengelilingi Agatha. Jayden menatap tajam ke arah mobil pelaku yang sudah melaju kencang. Tangannya terkepal kuat, nomor plat mobil itu terlihat tidak asing."Tunggu saja, aku akan memberimu pelajaran," batin Jayden. Otot rahangnya mengeras menahan emosi."Papa! Ayo kita ikut ke rumah sakit! Aku ingin melihat Tante Agatha! Aku takut! Dia berdarah, Pa!"Jayden nyaris terperanjat saat Anna tiba-tiba muncul sambil menggoyangkan lengannya. Ia tertegun, mata putrinya itu sudah berderai air mata. Jayden segera menggendong Anna lalu mengusap jejak air matanya. "Pa, Tante Agatha pasti sedang kesakitan. Kita harus memberinya semangat," ujar Anna dengan sendu dan lirih. Jayden terenyuh melihat ekspresi yang jarang Anna perlihatkan itu. "Kamu serius ingin ke sana sekarang juga?"Anna mengangguk-angguk yakin dengan mata penuh harap. Jayden terdiam. Di dalam hatinya paling dalam, ia juga ingin melihat kondisi Aga
Agatha tidak menyangka dalam sehari ini bisa bertemu dengan Jayden dan Anna. Pasca insiden di bar itu, Agatha merasa takdirnya sedikit berbeda. Setelah bertahun-tahun hidup sendirian, baru kali ini Agatha dijenguk oleh seseorang selain sahabatnya. Bahkan Aluna pun tidak bisa berlama-lama menemaninya karena hubungan mereka tidak disukai oleh mama Aluna. Namun saat ini, seorang gadis kecil bersama ayahnya, dengan tiba-tiba malah mengkhawatirkan kondisinya."Tante Agatha pasti kesakitan. Tapi kenapa tante tidak menangis?" Celetukan Anna itu membuat lamunan Agatha terbuyar. "Ah, iya. Karena tubuh aku kuat, Anna. Segini, sih, tidak seberapa sakitnya."Berhubung Anna sangat menyukai orang yang kuat, ia tidak bisa menyembunyikan binar matanya. "Wah, hebat! Aku juga ingin menjadi kuat seperti tante. Tidak gampang menangis dan merasa sakit."Agatha menggeleng dan tersenyum geli. Dari sekian banyak anak kecil yang ia temui, baru Anna yang memujinya seperti itu. "Sebenarnya aku tidak sekuat it
Agatha terdiam, bergelut dengan pikirannya lagi. Tinggal bersama dengan orang kaya bukanlah tawaran sembarangan. Apalagi Jayden seorang duda. Namun di lain sisi, ini kesempatan emas. Karena saat ini ia memang membutuhkan tempat tinggal, uang untuk biaya kuliah, serta menggantikan ponsel seniornya. "Tawaran aku masih berlaku, Agatha. Belum cukupkah untuk membuatmu yakin? Kamu bisa mendapatkan keuntungan besar. Alasan apa lagi yang akan kamu katakan kali ini?" Pertanyaan jebakan. Agatha tidak bisa menjawabnya dengan penolakan. Terlebih lagi Anna sangat berharap kepadanya. Jika ia tetap menolak, gadis itu pasti akan membencinya. Dan Agatha tidak ingin membuat anak kecil memusuhinya. Bukan hanya Anna, anak-anak lain yang ia temui, pun selalu berusaha ia beri kebahagiaan meski tidak seberapa."Papa menawari apa ke Tante Agatha?" celetuk Anna sambil melihat papanya dengan kernyitan di dahi.Jayden sengaja mengangkat bahu. "Ini rahasia orang dewasa. Kamu tidak akan mengerti dan tidak perlu