Jayden menggandeng tangan Anna sembari menekan tombol lift kemudian masuk. Mereka menuju lantai bawah secara VIP. Jayden sedang bertelepon dengan seseorang menggunakan headset bluetooth di telinga kanannya."Ya, aku akan ke sana setelah ini."Jayden mengakhiri percakapan disusul helaan napas panjang. Akhir-akhir ini kondisi perusahaannya sangat sibuk, sehingga tak jarang Jayden harus pergi ke kantor tanpa kenal waktu. Pintu lift pun terbuka, Anna langsung berlari menuju pintu keluar. Jayden menatap punggung mungil itu, hatinya sesak karena ia tidak memiliki banyak waktu luang untuk bermain dengan putrinya. Menjadi ayah sekaligus ibu untuk Anna nyatanya tidak semudah yang dulu ia bayangkan. Jayden tidak mengira Anna sulit berinteraksi dengan orang lain, sehingga sejak kecil lebih sering diurus oleh neneknya. Jangankan menyewa baby sitter, dengan ibu tirinya saja Anna cuek. Entah apa alasan yang pasti, tapi Anna menjadi lebih dingin semenjak mendapat pukulan fisik dari seorang wanita
Dengan mata berkaca-kaca, Anna langsung berlari menerobos kerumunan orang-orang yang mengelilingi Agatha. Jayden menatap tajam ke arah mobil pelaku yang sudah melaju kencang. Tangannya terkepal kuat, nomor plat mobil itu terlihat tidak asing."Tunggu saja, aku akan memberimu pelajaran," batin Jayden. Otot rahangnya mengeras menahan emosi."Papa! Ayo kita ikut ke rumah sakit! Aku ingin melihat Tante Agatha! Aku takut! Dia berdarah, Pa!"Jayden nyaris terperanjat saat Anna tiba-tiba muncul sambil menggoyangkan lengannya. Ia tertegun, mata putrinya itu sudah berderai air mata. Jayden segera menggendong Anna lalu mengusap jejak air matanya. "Pa, Tante Agatha pasti sedang kesakitan. Kita harus memberinya semangat," ujar Anna dengan sendu dan lirih. Jayden terenyuh melihat ekspresi yang jarang Anna perlihatkan itu. "Kamu serius ingin ke sana sekarang juga?"Anna mengangguk-angguk yakin dengan mata penuh harap. Jayden terdiam. Di dalam hatinya paling dalam, ia juga ingin melihat kondisi Aga
Agatha tidak menyangka dalam sehari ini bisa bertemu dengan Jayden dan Anna. Pasca insiden di bar itu, Agatha merasa takdirnya sedikit berbeda. Setelah bertahun-tahun hidup sendirian, baru kali ini Agatha dijenguk oleh seseorang selain sahabatnya. Bahkan Aluna pun tidak bisa berlama-lama menemaninya karena hubungan mereka tidak disukai oleh mama Aluna. Namun saat ini, seorang gadis kecil bersama ayahnya, dengan tiba-tiba malah mengkhawatirkan kondisinya."Tante Agatha pasti kesakitan. Tapi kenapa tante tidak menangis?" Celetukan Anna itu membuat lamunan Agatha terbuyar. "Ah, iya. Karena tubuh aku kuat, Anna. Segini, sih, tidak seberapa sakitnya."Berhubung Anna sangat menyukai orang yang kuat, ia tidak bisa menyembunyikan binar matanya. "Wah, hebat! Aku juga ingin menjadi kuat seperti tante. Tidak gampang menangis dan merasa sakit."Agatha menggeleng dan tersenyum geli. Dari sekian banyak anak kecil yang ia temui, baru Anna yang memujinya seperti itu. "Sebenarnya aku tidak sekuat it
Agatha terdiam, bergelut dengan pikirannya lagi. Tinggal bersama dengan orang kaya bukanlah tawaran sembarangan. Apalagi Jayden seorang duda. Namun di lain sisi, ini kesempatan emas. Karena saat ini ia memang membutuhkan tempat tinggal, uang untuk biaya kuliah, serta menggantikan ponsel seniornya. "Tawaran aku masih berlaku, Agatha. Belum cukupkah untuk membuatmu yakin? Kamu bisa mendapatkan keuntungan besar. Alasan apa lagi yang akan kamu katakan kali ini?" Pertanyaan jebakan. Agatha tidak bisa menjawabnya dengan penolakan. Terlebih lagi Anna sangat berharap kepadanya. Jika ia tetap menolak, gadis itu pasti akan membencinya. Dan Agatha tidak ingin membuat anak kecil memusuhinya. Bukan hanya Anna, anak-anak lain yang ia temui, pun selalu berusaha ia beri kebahagiaan meski tidak seberapa."Papa menawari apa ke Tante Agatha?" celetuk Anna sambil melihat papanya dengan kernyitan di dahi.Jayden sengaja mengangkat bahu. "Ini rahasia orang dewasa. Kamu tidak akan mengerti dan tidak perlu
"Katakan yang sejujurnya."Agatha sudah mempunyai tebakan, tapi lagi-lagi ia merasa ragu. Jayden di hadapannya tampak tersenyum kecil, entah apa yang ia pikirkan, tapi Agatha sedikit kesal melihatnya."Aku pikir semua orang tahu siapa aku?" Jayden berjalan selangkah lebih dekat. Alisnya terangkat sebelah. "Kamu tidak pura-pura, kan?"Agatha mundur perlahan, punggungnya sudah menabrak pintu. Ia meneguk ludah susah payah. Jantungnya berdebar-debar lagi. "Aku memang tidak tahu. Dan tidak sedang pura-pura."Jayden mengangguk-angguk, ditatapnya wajah Agatha dengan teliti. "Heum, aku memang tidak melihat raut kebohongan di wajahmu. Tapi aku heran, mengapa kamu tidak tahu siapa aku?"Agatha tidak mau menyiakan kesempatan untuk balas menatap wajah Jayden yang rupawan. Meski jantungnya berdetak kencang, ia memberanikan diri. Mungkin jika gadis lain pasti akan langsung mengalihkan pandangan karena gugup setengah mati."Aku sibuk dengan tugas-tugas kuliah, jadi tidak sempat melihat berita terbar
Selama beberapa detik, Jayden terdiam dengan pertanyaan itu. Jika dipikir-pikir, sebenarnya ia sendiri juga heran mengapa bisa menolong Agatha. Padahal biasanya ia cenderung cuek dan tidak peduli terhadap perempuan. Sekalipun seseorang itu sedang dalam masalah.Namun entah kenapa malam itu saat melihat Agatha, Jayden merasakan sesuatu yang berbeda. Terlebih wajah Agatha mengingatkannya dengan seseorang di masa lalu, yaitu teman masa kecilnya yang tidak pernah ia temui lagi pasca insiden waktu itu."Bukannya sesama manusia harus saling tolong menolong?"Alhasil dari sekian banyak jawaban yang bersarang di otak, Jayden memilih mengutarakan yang satu itu. Setidaknya lebih masuk akal dan tidak bermakna khusus yang membuat Agatha berpikir macam-macam.Agatha mengangguk, tapi masih belum mempercayai bahwa itu alasan yang sebenarnya. "Aku tahu, tapi lelaki sepertimu rasanya mencurigakan karena mau menyelamatkan gadis biasa sepertiku.""Justru karena itu," balas Jayden spontan. Alih-alih asal
Anna yang masih mengenakan baju tidur mengangguk santai sambil fokus melipat selimut. "Iya, Tante. Aku memang setiap hari memasang alarm untuk bangun pagi. Kecuali hari Minggu."Agatha mengulas senyum kagum dengan gadis cantik yang akan diasuhnya itu. Betapa beruntungnya Jayden mempunyai seorang putri yang rajin. Agatha pun turut merapikan selimutnya juga."Wah, kamu keren. Dulu saat aku seusiamu tidak pernah bangun sepagi ini. Malahan waktu pergi ke sekolah aku sering telat sampai langganan dimarahi guru." Agatha terkekeh mengingat masa lalunya yang bandel.Anna yang selesai, giliran membantu Agatha. "Papa yang mengajarkanku untuk bangun pagi. Aku sendiri juga tidak mau terlambat pergi ke sekolah. Soalnya aku mandi dan sarapannya itu lama banget, Tante."Agatha menoleh, lalu mengangguk-angguk paham. Tak ia sangka sifat itu diturunkan dari ayahnya. "Tapi serius, loh. Kamu hebat. Aku beneran kagum."Anna menyembunyikan senyumnya dengan malu. Sebab ini pertama kalinya ia mendapat pujian
Jayden mengangkat sebelah alis, tapi kemudian tersenyum geli, mengapa ia menyukai wajah kesal gadis itu? Jayden bertanya-tanya di dalam hati kepada dirinya sendiri. Bahkan sejak awal ia melihat Agatha, sesuatu di dalam gadis telah menariknya."Aku hanya tidak yakin kamu berbohong," balas Jayden sambil mengangkat bahu dengan nada tenang. Agatha hendak kesal, tapi mendengar jawaban di luar dugaan itu, jelas membuatnya luluh. Ia hanya mendengkus kecil untuk menutupi senyum gengsinya. Jawaban Jayden jelas berbelit, tapi mengandung arti yang mendebarkan hati Agatha. "Nanti kamu akan takjub dengan hasil masakanku.""Baiklah, aku tidak sabar ingin memberi penilaian." Jayden tersenyum tanpa sadar seraya terus memperhatikan Agatha yang sedang sibuk. Agatha sendiri sudah menahan napas sesekali. Ditatap oleh Jayden membuat jantungnya tidak aman. Padahal Jayden hanya diam sambil bersedekap dada dan menyender pada pantri dapur. Agatha berulang kali mengingatkan pada dirinya sendiri bahwa ia ke