Selama beberapa detik, Jayden terdiam dengan pertanyaan itu. Jika dipikir-pikir, sebenarnya ia sendiri juga heran mengapa bisa menolong Agatha. Padahal biasanya ia cenderung cuek dan tidak peduli terhadap perempuan. Sekalipun seseorang itu sedang dalam masalah.Namun entah kenapa malam itu saat melihat Agatha, Jayden merasakan sesuatu yang berbeda. Terlebih wajah Agatha mengingatkannya dengan seseorang di masa lalu, yaitu teman masa kecilnya yang tidak pernah ia temui lagi pasca insiden waktu itu."Bukannya sesama manusia harus saling tolong menolong?"Alhasil dari sekian banyak jawaban yang bersarang di otak, Jayden memilih mengutarakan yang satu itu. Setidaknya lebih masuk akal dan tidak bermakna khusus yang membuat Agatha berpikir macam-macam.Agatha mengangguk, tapi masih belum mempercayai bahwa itu alasan yang sebenarnya. "Aku tahu, tapi lelaki sepertimu rasanya mencurigakan karena mau menyelamatkan gadis biasa sepertiku.""Justru karena itu," balas Jayden spontan. Alih-alih asal
Anna yang masih mengenakan baju tidur mengangguk santai sambil fokus melipat selimut. "Iya, Tante. Aku memang setiap hari memasang alarm untuk bangun pagi. Kecuali hari Minggu."Agatha mengulas senyum kagum dengan gadis cantik yang akan diasuhnya itu. Betapa beruntungnya Jayden mempunyai seorang putri yang rajin. Agatha pun turut merapikan selimutnya juga."Wah, kamu keren. Dulu saat aku seusiamu tidak pernah bangun sepagi ini. Malahan waktu pergi ke sekolah aku sering telat sampai langganan dimarahi guru." Agatha terkekeh mengingat masa lalunya yang bandel.Anna yang selesai, giliran membantu Agatha. "Papa yang mengajarkanku untuk bangun pagi. Aku sendiri juga tidak mau terlambat pergi ke sekolah. Soalnya aku mandi dan sarapannya itu lama banget, Tante."Agatha menoleh, lalu mengangguk-angguk paham. Tak ia sangka sifat itu diturunkan dari ayahnya. "Tapi serius, loh. Kamu hebat. Aku beneran kagum."Anna menyembunyikan senyumnya dengan malu. Sebab ini pertama kalinya ia mendapat pujian
Jayden mengangkat sebelah alis, tapi kemudian tersenyum geli, mengapa ia menyukai wajah kesal gadis itu? Jayden bertanya-tanya di dalam hati kepada dirinya sendiri. Bahkan sejak awal ia melihat Agatha, sesuatu di dalam gadis telah menariknya."Aku hanya tidak yakin kamu berbohong," balas Jayden sambil mengangkat bahu dengan nada tenang. Agatha hendak kesal, tapi mendengar jawaban di luar dugaan itu, jelas membuatnya luluh. Ia hanya mendengkus kecil untuk menutupi senyum gengsinya. Jawaban Jayden jelas berbelit, tapi mengandung arti yang mendebarkan hati Agatha. "Nanti kamu akan takjub dengan hasil masakanku.""Baiklah, aku tidak sabar ingin memberi penilaian." Jayden tersenyum tanpa sadar seraya terus memperhatikan Agatha yang sedang sibuk. Agatha sendiri sudah menahan napas sesekali. Ditatap oleh Jayden membuat jantungnya tidak aman. Padahal Jayden hanya diam sambil bersedekap dada dan menyender pada pantri dapur. Agatha berulang kali mengingatkan pada dirinya sendiri bahwa ia ke
Agatha mendelik kaget mendengar pernyataan yang entah benar atau tidak itu. Ditambah raut wajah Anna yang terlihat polos semakin membuat wajah Agatha mendadak memanas."E–eh? Maksud kamu apa, Anna?" Agatha jelas gugup, perempuan lain pasti juga seperti dirinya jika berada di posisi saat ini."Itu, karena—" Belum selesai menjawab, Jayden yang terkejut buru-buru memotong. Anna langsung menoleh sebal."Anna, sebaiknya segera habiskan sarapanmu lalu kita berangkat. Kamu tidak lupa, kan, jika sedang makan tidak boleh banyak bicara?" peringat Jayden dengan ekspresi yang dibuat pura-pura tenang. Jayden memang harus menghentikan pembicaraan ini sebelum semakin jauh. Perkataan anak-anak yang terlalu jujur memang kerap kali membahayakan."Nanti aku beritahu setelah pulang sekolah saja, Tante. Di sini ada papa yang menyebalkan." Anna mencebik kesal, tapi menurut dan melanjutkan aktivitas makannya. Jayden menyembunyikan embusan napas lega, dan diam-diam melirik Agatha yang sepertinya sudah tena
Jantung Agatha bergejolak saat pujian itu masuk ke telinga, serta merta juga ke dalam hatinya. Namun Agatha tidak ingin kepedean, kata-kata tersebut bahkan cukup berlebihan untuk ia dapatkan.Karenanya Agatha langsung menggeleng. "Bukan apa-apa. Mimpiku masih panjang. Aku tidak bisa mengakui pujian itu sebelum mimpiku terwujud.""Apa?" Jayden mengernyitkan dahi penasaran, melirik Agatha sebentar. Pujian yang ia beri ternyata dianggap lalu. Tetapi sekarang gadis itu justru terdiam."Mimpimu itu. Apa memangnya?" tanya Jayden lagi karena Agatha sepertinya tidak mendengar.Agatha yang menoleh ke samping menatap jalanan sekilas tersenyum tipis dengan pertanyaan Jayden. Ia pikir lelaki itu akan melupakan rasa penasarannya karena tadi ia sengaja diam. "Ah, ada, pokoknya." Jayden menghela napas pelan, meredam kekesalannya dan kembali fokus ke depan.Jawaban dari rasa penasarannya tentang mimpi Agatha langsung dikubur oleh gadis itu. Jayden pun membiarkan keheningan menyelimuti di antara mer
"Oh, tunggu sebentar. Yang aku tahu kalau tidak salah nama CEO di apartemen itu, Jayden Byanthara."Mata Agatha yang sudah lebar dengan bulu mata lentik serta panjang itu semakin melebar begitu mendengar jawaban Aluna. Ternyata tebakannya yang ia pikir salah justru memang kebenarannya."A–apa?" Saking terkejutnya, Agatha sampai gagap dan tidak bisa mengontrol raut wajahnya.Aluna mengernyit heran. "Memang kamu pernah bertemu dengannya?"Agatha cepat-cepat menggeleng pasca berdehem sebentar. "Ah, t–tidak. Mana mungkin? Aku bahkan baru mendengar namanya."Aluna mengangguk-angguk sambil terus memakan baksonya. "Aku juga belum pernah bertemu, sih. Tapi yang aku tahu dia sudah memiliki seorang putri. Benar-benar sangat disayangkan, ya.""Heum? Kenapa?" Agatha makan kembali dengan kening berkerut-kerut."Dia itu duda tanpa istri. Padahal masih muda dan berwajah tampan. Kalau saja dia tidak terkena skandal, pasti banyak wanita yang tidak patah hati." Aluna menghela napas panjang dan memasang
Agatha reflek mendelik. Jawaban yang sungguh di luar dugaan. Namun sekali lagi ingatkan dirinya untuk bersikap sopan terhadap direktur itu. Jangan sampai karena risih ia bisa kelewatan mengumpat di hadapannya."Tapi, maaf. Aku sedang buru-buru." Agatha membungkuk dan bersiap untuk pergi. "Permisi."Cakra yang peka dengan sigap menghadang langkah Agatha. "Tunggu."Agatha menautkan kedua alisnya pertanda tidak terima. Spontan ia mundur satu langkah agar tubuhnya berjarak dengan lelaki itu. Cakra pun menghela napas panjang melihat reaksi Agatha, kemudian tersenyum kecil. Ditatapnya perempuan yang unik itu."Aku belum selesai. Kenapa pergi, heum?" Agatha mengeraskan rahang, memejamkan mata sejenak, lalu menatap datar. Tak mau terpengaruh senyuman sok akrab dari Cakra. "Memangnya kamu mau apalagi?""Apa kamu menolakku?" balas Cakra langsung. Sesaat sebelum merutuki perkataannya itu. Air muka Agatha tampak semakin bingung bercampur kesal.Cakra terkekeh pelan. "Maksudku, semua orang sampai
Sama halnya dengan mood Agatha yang sudah hancur dan belajarnya di kampus tidak fokus, Jayden yang menatap layar komputernya itu nyatanya tidak benar-benar bisa berkonsentrasi sebab pikirannya tertuju kepada seseorang."Dia menghadiri seminar di kampusnya, ya? Dasar pencari perhatian." Jayden mengeluarkan decakan kecil setelah melihat informasi yang terdapat di iPad yang dipegangnya."Setelah di bar waktu itu, ternyata dia masih memiliki banyak fans wanita, ya," imbuh Jayden yang kemudian menyerahkan kembali iPad itu kepada Reyhan. Sekretarisnya itu memang ia tugaskan untuk mengawasi gerak-gerik Cakra setiap saat.Reyhan menerima iPad-nya seraya mengangguk, membenarkan ucapan Jayden. "Menurut informasi, Nona Agatha juga berkuliah di kampus itu. Apa Anda baik-baik saja?"Jayden mendelik, seketika mengalihkan pandangan dari layar komputer ke arah Reyhan yang duduk di sofa. "Pertanyaan macam apa itu? Apa sekarang wajahku terlihat tertekan?""Ah, bukan begitu." Reyhan sungguh menyesali mu
"Agatha, aku benar-benar menyesal atas semua yang telah kulakukan. Aku ingin memperbaiki kesalahan itu, sungguh," ucap Grace, matanya penuh penyesalan. Agatha yang sejak awal sudah mencoba untuk memaafkan, tersenyum lembut, "Kak Grace, aku percaya bahwa setiap orang bisa berubah. Aku sudah memaafkan kamu, Kak."Mendengar kata-kata itu, mata Grace berkaca-kaca, merasa beban besar terangkat dari pundaknya. "Terima kasih, Agatha. Aku berharap kebahagiaan selalu menyertaimu."Agatha kemudian mendekat dan memeluk Grace. Sementara itu, Grace yang lega sampai menangis, merasa terharu karena Agatha masih begitu baik padanya meskipun semua kesalahannya di masa lalu."Sukses untuk karirmu di luar negeri, ya, Kak Grace. Aku yakin kamu akan menemukan kebahagiaanmu sendiri di sana," ucap Agatha sambil tersenyum.Dengan hati yang lega dan bersih, Grace pun pergi, meninggalkan Agatha yang semakin siap menyongsong hari pernikahannya dengan Jayden. Sebelum itu, tak lupa Grace mengucapkan selamat kepa
"Bagaimana dengan skripsimu? Apa masih perlu direvisi lagi?" tanya Jayden di suatu malam. Lelaki itu duduk di sebelah Agatha yang tengah menatap laptopnya. Agatha pun menoleh, mukanya tampak cemas dan ragu. Hal itu tentu membuat Jayden seketika ikut khawatir. "Hei? Apa ada yang salah lagi? Katakan saja, aku akan membantumu," ucap Jayden sambil memegang kedua pundak Agatha.Beberapa detik raut wajah Agatha berubah cerah, ia tertawa renyah. Seketika membuat Jayden terkesiap. Seketika ia menaikkan alisnya. Merasa telah dikerjai.Agatha tersenyum lebar. "Tidak, Jayden. Aku hanya ingin melihat reaksimu. Skripsiku sudah selesai dan tidak perlu revisi lagi. Aku mendapatkan nilai bagus, dan sekarang semuanya sudah selesai. Tinggal menunggu giliran sidang saja."Jayden melepaskan napas lega. "Astaga, kamu sungguh membuatku khawatir. Tapi sungguh, aku bangga padamu, Agatha. Kamu melakukan dengan sangat baik."Agatha tersenyum lebih lebar lagi. "Terima kasih, Jayden. Ini semua juga berkat duku
Anna yang terlampau bahagia, tanpa sadar mengeluarkan air mata. "Benarkah? Ini sungguh-sungguh hadiah yang paling indah! Terima kasih, Papa! Terima kasih, Tante Agatha!"Anna langsung memeluk keduanya erat, tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. Mereka bertiga berpelukan dalam momen yang sarat makna. Kinara dan Oma Sarah yang melihatnya, tak bisa membendung titik air yang keluar dari mata. Mereka ikut bahagia.Jayden tersenyum sambil merangkul Anna dan Agatha. "Kita berdua sangat mencintaimu, Anna. Kita pasti akan menjadi keluarga yang bahagia seterusnya."Di tengah pelukan hangat itu, Kinara mengusap matanya lalu tersenyum sumringah. "Terima kasih, Agatha. Kehadiranmu membawa begitu banyak kebahagiaan pada keluarga ini."Oma Sarah turut menyampaikan rasa terima kasihnya. Ia tersenyum lembut dengan sisa air matanya. "Benar, Anna pasti sangat bahagia memiliki ibu seperti kamu, Agatha."Agatha mengangguk, tersenyum tulus. "Saya juga sangat bahagia bisa menjadi bagian dari keluarga ini.
"Sadarlah, Cakra! Kamu tidak bisa selalu mendapatkan apa yang kamu mau! Kamu juga tidak bisa memaksa perasaan seseorang untuk menyukaimu!" bentak Kinara tanpa ampun. Meski air mata turun dari kelopaknya, ia tetap menampilkan wajah yang penuh amarah."Jangan sekali-kali kamu merendahkan seseorang yang ada di bawahmu!" Kinara kemudian melepaskan cekalannya pada dagu Cakra dan mengembuskan napas panjang."Pergi ke kamarmu dan pikirkan perbuatan bejatmu itu! Sampai sebelum papamu pulang, kamu jangan berharap bisa keluar dari sana! Renungi kesalahan yang telah kamu perbuat sampai kamu benar-benar sadar bahwa perbuatanmu sudah sangat memalukan keluarga kita!""Kamu telah membuat ibu kecewa, Cakra!" teriak Kinara untuk yang terakhir kali sebelum menutup pintu kamar Cakra dengan kasar hingga menimbulkan suara sangat keras.Cakra tetap diam, menanggung setiap amarah dan makian yang dilontarkan oleh Kinara. Wajahnya terlihat tanpa ekspresi, namun matanya mengandung rasa penyesalan yang dalam. M
Agatha menatap kagum. "Ini ..... Ini sangat indah, Jayden. Apakah ini bagian dari hadiah untuk Anna?"Jayden menggeleng sambil tersenyum. "Ini untuk kamu, dan kita berdua yang akan menikmati momen ini bersama.""S–sungguh?"Jayden mengangguk. Agatha terpana, tak menyangka Jayden merencanakan sesuatu seindah ini. Setelah Jayden menggandeng Agatha keluar mobil, mereka duduk bersama di tepi danau, menyaksikan gemerlap lentera-lentera kecil yang mengapung di permukaan air. Suasana menjadi semakin hangat di bawah sinar rembulan.Jayden menatap Agatha dari samping. "Aku harap kita bisa menjadikan malam ini sebagai kenangan indah bersama."Agatha menoleh, tersenyum bahagia, merasa terharu dengan kejutan yang dilakukan Jayden. Malam itu, di tepi danau yang tenang, Jayden dan Agatha merasakan suasana romantis yang tak terlupakan.Tak lama Jayden mengambil kotak kecil di kantongnya. Ia merasa berdebar-debar. "Agatha, sebenarnya ada sesuatu yang ingin kuberikan padamu."Agatha menatap Jayden den
"Terima kasih sudah menemukanku. Sekarang aku baik-baik saja, Jayden."Agatha tersenyum hampir menangis, rasanya terharu saat seseorang yang mencemaskan dirinya sampai seperti ini. Ia tidak menyangka apalagi orang itu adalah Jayden Byhantara."Apa kamu terluka? Lelaki bejat itu telah melakukan apa terhadapmu?" Jayden melepaskan pelukannya dan memegang kedua pundak Agatha. Menatapnya ke dalam matanya. Penuh kecemasan dan kekhawatiran yang membara.Agatha menatap mata Jayden yang penuh perhatian dan belum pernah ia lihat sebelumnya. Suara dari orang-orang di belakang Jayden yang bergegas masuk mengalun samar, tapi fokus Agatha hanya sepenuhnya tertuju pada pria yang ada di depannya ini.Agatha tersenyum senyum tipis dan lembut. "Tidak, Jayden. Aku tidak terluka. Berkat keahlianku, aku bisa mengatasi situasinya. Dia juga belum sempat melakukan sesuatu yang bejat terhadapku."Jayden menghela napas lega. Diusapnya kepala Agatha. "Aku sungguh khawatir. Jangan pernah lagi menyusahkan dirimu
"Dasar merepotkan," gumam Agatha sambil berjalan menghampiri Cakra yang masih pingsan.Agatha tanpa permisi mencari kunci di kedua saku celana Cakra. Setelah ketemu, ia menghela napas keras. Sialan sekali karena kuncinya tidak hanya satu. Melainkan gerombolan. Agatha meringis di dalam hati. Sepertinya ia memang harus mengerahkan semua tenaganya hanya untuk keluar dari kamar ini.Agataha mengembuskan napas. Dengan lunglai berjalan menuju pintu lagi dan membukanya dengan mencoba beberapa kunci yang ada di tangannya. Namun setidaknya ia masih beruntung karena kamar itu tidak menggunakan pintu yang menyerupai apartemen di mana mengharuskan memakai kode pin.Nantinya setelah pintu itu terbuka, Agatha berencana akan menelepon Jayden dan mengirim lokasi. Jika tidak ada sinyal, Agatha mempunyai rencana kedua yaitu ia akan mencari tombol kebakaran di sana.Ia bisa langsung kabur dengan berlari sekencang mungkin. Soal jalan pulang, ia akan memikirkan itu di belakang, yang terpenting ia bisa kel
"Hei, kenapa diam saja, Sayang? Coba berteriaklah seperti tadi." Cakra terkekeh sambil bersedekap dada dan menyender pada kursi."Ah, kamu sedang memikirkan jawaban yang tepat, yah?" Cakra mengangguk-angguk. "Bagus, jangan sampai salah pilih, ya, Sayang."Agatha memejamkan mata sejenak, sungguh ia menyesal kenapa tadi sempat tertipu dengan Grace saat di minimarket. Kalau saja ia lebih waspada, mungkin dirinya tidak akan terjebak dengan direktur gila itu."Sial. Apa yang harus aku lakukan?" Agatha menatap ke sekeliling ruangan. Selama beberapa detik, tiba-tiba otaknya memikirkan sesuatu."Kenapa aku baru terpikirkan itu, ya?" Agatha tersenyum miring. "Meskipun belum tentu berhasil, setidaknya rencana ini cukup mudah aku lakukan. Dengan tenaga yang aku punya, aku yakin dia akan tumbang."Agatha memusatkan pikiran pada rencananya. Ia mencoba mengabaikan godaan Cakra yang terus mencoba meruntuhkan ketenangannya. Dengan berusaha menahan emosi, Agatha mulai merencanakan langkah-langkah keci
Dalam kejutan yang tidak disangka, Jayden dan Reyhan tiba-tiba bertemu dengan Grace. Reyhan, yang memiliki rencana cepat, dengan cekatan menarik tangan Grace dan membawanya masuk ke dalam sembarang pintu yang ada di dekat mereka. Jayden tersentak, tapi bergegas mengikuti langkah Reyhan dan segera mengunci pintu ruangan yang tampaknya merupakan sebuah gudang.Di dalam ruangan yang gelap, Grace kaget setengah mati. Reyhan dengan sigap melepas dasinya sebagai penutup mata Grace dan membungkamnya dengan telapak tangan agar tidak berteriak. Karena gelap, Grace tidak dapat melihat wajah Reyhan, sehingga identitasnya tetap disembunyikan.Grace bingung dan cemas. Ia terlambat syok bahwa ada penyususp yang datang. Apalagi ia menjadi tertangkap. Sial. Ia tidak bisa bergerak sedikit pun saat ini. Padahal ia hendak ke tempat Cakra dan Agatha untuk ikut melihat betapa kesusahannya Agatha, tapi menyebalkan sekali karena tiba-tiba ia ikut merasakan seperti ini."Sial! Seharusnya aku lewat jalan lai