"Oh, tunggu sebentar. Yang aku tahu kalau tidak salah nama CEO di apartemen itu, Jayden Byanthara."Mata Agatha yang sudah lebar dengan bulu mata lentik serta panjang itu semakin melebar begitu mendengar jawaban Aluna. Ternyata tebakannya yang ia pikir salah justru memang kebenarannya."A–apa?" Saking terkejutnya, Agatha sampai gagap dan tidak bisa mengontrol raut wajahnya.Aluna mengernyit heran. "Memang kamu pernah bertemu dengannya?"Agatha cepat-cepat menggeleng pasca berdehem sebentar. "Ah, t–tidak. Mana mungkin? Aku bahkan baru mendengar namanya."Aluna mengangguk-angguk sambil terus memakan baksonya. "Aku juga belum pernah bertemu, sih. Tapi yang aku tahu dia sudah memiliki seorang putri. Benar-benar sangat disayangkan, ya.""Heum? Kenapa?" Agatha makan kembali dengan kening berkerut-kerut."Dia itu duda tanpa istri. Padahal masih muda dan berwajah tampan. Kalau saja dia tidak terkena skandal, pasti banyak wanita yang tidak patah hati." Aluna menghela napas panjang dan memasang
Agatha reflek mendelik. Jawaban yang sungguh di luar dugaan. Namun sekali lagi ingatkan dirinya untuk bersikap sopan terhadap direktur itu. Jangan sampai karena risih ia bisa kelewatan mengumpat di hadapannya."Tapi, maaf. Aku sedang buru-buru." Agatha membungkuk dan bersiap untuk pergi. "Permisi."Cakra yang peka dengan sigap menghadang langkah Agatha. "Tunggu."Agatha menautkan kedua alisnya pertanda tidak terima. Spontan ia mundur satu langkah agar tubuhnya berjarak dengan lelaki itu. Cakra pun menghela napas panjang melihat reaksi Agatha, kemudian tersenyum kecil. Ditatapnya perempuan yang unik itu."Aku belum selesai. Kenapa pergi, heum?" Agatha mengeraskan rahang, memejamkan mata sejenak, lalu menatap datar. Tak mau terpengaruh senyuman sok akrab dari Cakra. "Memangnya kamu mau apalagi?""Apa kamu menolakku?" balas Cakra langsung. Sesaat sebelum merutuki perkataannya itu. Air muka Agatha tampak semakin bingung bercampur kesal.Cakra terkekeh pelan. "Maksudku, semua orang sampai
Sama halnya dengan mood Agatha yang sudah hancur dan belajarnya di kampus tidak fokus, Jayden yang menatap layar komputernya itu nyatanya tidak benar-benar bisa berkonsentrasi sebab pikirannya tertuju kepada seseorang."Dia menghadiri seminar di kampusnya, ya? Dasar pencari perhatian." Jayden mengeluarkan decakan kecil setelah melihat informasi yang terdapat di iPad yang dipegangnya."Setelah di bar waktu itu, ternyata dia masih memiliki banyak fans wanita, ya," imbuh Jayden yang kemudian menyerahkan kembali iPad itu kepada Reyhan. Sekretarisnya itu memang ia tugaskan untuk mengawasi gerak-gerik Cakra setiap saat.Reyhan menerima iPad-nya seraya mengangguk, membenarkan ucapan Jayden. "Menurut informasi, Nona Agatha juga berkuliah di kampus itu. Apa Anda baik-baik saja?"Jayden mendelik, seketika mengalihkan pandangan dari layar komputer ke arah Reyhan yang duduk di sofa. "Pertanyaan macam apa itu? Apa sekarang wajahku terlihat tertekan?""Ah, bukan begitu." Reyhan sungguh menyesali mu
"J–jayden? Kenapa kamu di sini?"Agatha yang tengah meringis kesakitan sangat terkejut ketika mengangkat wajah lalu melihat kedatangan Jayden di hadapannya secara mendadak. Apalagi wajah lelaki itu yang terlihat cemas menambah debaran kencang di jantungnya."Apa yang kamu lakukan di sini? Aku dan Anna sudah menunggumu sedari tadi di mobil." Jayden mengambil duduk di sebelah Agatha, melirik gerakan tangan gadis itu yang semula memegang kaki berganti meraih tas yang tergeletak di sisi kirinya. Seolah menutupi sesuatu darinya. Namun, Jayden bahkan sudah tahu apa yang terjadi sejak awal melihatnya tadi. Agatha jelas sedang kesakitan di sana."Anna juga ikut?" Agatha tersentak kecil, membayangkan wajah Anna yang pasti sudah kesal karenanya. Ia pun mengembuskan napas penuh penyesalan. "Ya ampun, aku bahkan tidak tahu kalian sudah sampai," imbuh Agatha pelan. Seketika merutuki kebodohannya yang baru saja mengalami insiden di lantai dua tadi."Kakimu kenapa? Apa yang terjadi denganmu? Siapa
"Aku minta maaf." Agatha menunduk sejenak, bisa dipastikan betapa bingungnya raut wajah Aidan sekarang. Namun, mau bagaimana lagi karena keputusannya sudah bulat, Agatha menghela napas pelan, lalu memberanikan diri mengangkat wajah menatap sang bos. "Sebenarnya aku mau meminta izin untuk keluar dari pekerjaan ini," lanjut Agatha, sepenuhnya menatap Aidan dengan serius. Mata Aidan langsung membelalak, nyaris saja napasnya tercekat. "A–apa? Kamu berbicara apa, sih? Kenapa tiba-tiba?""Sekali lagi aku minta maaf, Mas Aidan. Aku sungguh tidak bisa terus bekerja di sini. Ada alasan kenapa aku harus keluar, tapi aku tidak bisa mengatakannya." Agatha merasa pekerjaannya saat ini lebih baik ia sembunyikan dari siapa pun.Aidan menghela napas gusar, lelahnya bekerja seharian tidak sebanding dengan rasa frustasinya saat ini ketika mendengar pengakuan dari anak buahnya yang paling ia segani. Aidan kemudian menarik kursi di sisi kirinya, duduk di sana untuk menenangkan diri."Apa karena aku ti
"M–maksudnya apa?"Agatha pikir setelah minum rasa gugupnya hilang, ternyata setelah menoleh lalu mendapati Jayden yang sedang tersenyum sangat tipis tapi ia bisa menyadarinya bahwa itu menawan—seketika jantung Agatha berdegup kencang.Jayden tidak sadar Agatha melihat senyumannya, jadi ia tetep tenang. "Dia pasti menahanmu agar tetap bekerja di sana karena dia tidak mau kehilanganmu. Meskipun dia menggunakan kalimat lain yang seolah jika kamu keluar maka kafe dia tidak akan berjalan baik, padahal itu hanya alibinya saja."Agatha terdiam beberapa saat, bukan karena balasan Jayden, melainkan karena ia terpaku menatap wajah lelaki itu meski dari samping. Ia belum pernah merasa sejatuh cinta ini dengan seorang lelaki. Pahatan wajah yang nyaris sempurna itu menjadi alasan kedua Agatha menyukainya, tapi sesuatu yang lain di dalam Jayden yang membuatnya memesona sehingga meluluhkan hatinya tanpa diminta."Tidak, tidak mungkin dia menyukaiku." Agatha segera mengalihkan pandangan ke depan gun
Agatha kembali ke kamar Anna setelah selesai membersihkan seluruh ruangan. Jayden sedang di kamar, Agatha tidak tahu apa yang ia lakukan karena kamar lelaki itu selalu ditutup. Namun ia sadar memang tidak seharusnya ikut campur dan kepo."Ternyata benar, Anna sudah bangun dan langsung mandi." Agatha tersenyum saat mendengar suara shower yang menyala di kamar mandi.Sambil menunggu Anna selesai, ia duduk di sofa dan menatap sekeliling kamar dengan pandangan takjub. "Kamar yang unik, untuk gadis perempuan seperti Anna dekorasi kamar ini lebih cocok bagi anak laki-laki.""Aku pikir Anna menyukai benda-benda lucu seperti boneka beruang atau Barbie, tapi bahkan koleksi di lemarinya adalah robot dengan karakter pahlawan. Mainannya yang tertata rapi juga tidak ada satu pun benda perempuan yang berwarna cerah," pujinya disertai gelengan kecil. "Gambar-gambar yang terpajang di dinding pun kebanyakan karakter pahlawan." Agatha mengakui bahwa Anna itu gadis yang unik."Dia jadi mengingatkan aku
Agatha terenyuh, dadanya mendadak sesak. Ia mendekatkan tubuh Anna, kemudian merengkuhnya, tidak tega melihat raut sedih itu karena misi Agatha ialah membuat Anna bahagia."Jadi dia menderita jantung lemah?" ucap Agatha di dalam hati. Ia memejamkan mata sejenak, mencium pucuk kepala Anna dengan lembut.Beberapa saat Agatha melepaskan pelukannya, menatap Anna dengan senyum, sambil memegang kedua pipinya yang kenyal. "Kalau bagi aku, mau kamu kuat atau lemah, itu tidak masalah, kok. Lagi pula kita tidak harus menjadi kuat setiap waktu, ada saatnya di mana kita juga lemah."Anna terdiam, entah apa yang ada di pikiran gadis itu, tapi Agatha tersenyum sebelum melanjutkan kembali perkataannya. "Menurutku kamu tetap keren, karena jarang sekali anak perempuan yang menyukai kartun pahlawan."Mata Anna seketika mengerjap-ngerjap, terkejut, tapi hanya selang beberapa detik matanya pun berbinar dan tersenyum lebar. Anna sangat senang karena ada seseorang yang merespon kesukaannya dengan pujian."