"M–maksudnya apa?"Agatha pikir setelah minum rasa gugupnya hilang, ternyata setelah menoleh lalu mendapati Jayden yang sedang tersenyum sangat tipis tapi ia bisa menyadarinya bahwa itu menawan—seketika jantung Agatha berdegup kencang.Jayden tidak sadar Agatha melihat senyumannya, jadi ia tetep tenang. "Dia pasti menahanmu agar tetap bekerja di sana karena dia tidak mau kehilanganmu. Meskipun dia menggunakan kalimat lain yang seolah jika kamu keluar maka kafe dia tidak akan berjalan baik, padahal itu hanya alibinya saja."Agatha terdiam beberapa saat, bukan karena balasan Jayden, melainkan karena ia terpaku menatap wajah lelaki itu meski dari samping. Ia belum pernah merasa sejatuh cinta ini dengan seorang lelaki. Pahatan wajah yang nyaris sempurna itu menjadi alasan kedua Agatha menyukainya, tapi sesuatu yang lain di dalam Jayden yang membuatnya memesona sehingga meluluhkan hatinya tanpa diminta."Tidak, tidak mungkin dia menyukaiku." Agatha segera mengalihkan pandangan ke depan gun
Agatha kembali ke kamar Anna setelah selesai membersihkan seluruh ruangan. Jayden sedang di kamar, Agatha tidak tahu apa yang ia lakukan karena kamar lelaki itu selalu ditutup. Namun ia sadar memang tidak seharusnya ikut campur dan kepo."Ternyata benar, Anna sudah bangun dan langsung mandi." Agatha tersenyum saat mendengar suara shower yang menyala di kamar mandi.Sambil menunggu Anna selesai, ia duduk di sofa dan menatap sekeliling kamar dengan pandangan takjub. "Kamar yang unik, untuk gadis perempuan seperti Anna dekorasi kamar ini lebih cocok bagi anak laki-laki.""Aku pikir Anna menyukai benda-benda lucu seperti boneka beruang atau Barbie, tapi bahkan koleksi di lemarinya adalah robot dengan karakter pahlawan. Mainannya yang tertata rapi juga tidak ada satu pun benda perempuan yang berwarna cerah," pujinya disertai gelengan kecil. "Gambar-gambar yang terpajang di dinding pun kebanyakan karakter pahlawan." Agatha mengakui bahwa Anna itu gadis yang unik."Dia jadi mengingatkan aku
Agatha terenyuh, dadanya mendadak sesak. Ia mendekatkan tubuh Anna, kemudian merengkuhnya, tidak tega melihat raut sedih itu karena misi Agatha ialah membuat Anna bahagia."Jadi dia menderita jantung lemah?" ucap Agatha di dalam hati. Ia memejamkan mata sejenak, mencium pucuk kepala Anna dengan lembut.Beberapa saat Agatha melepaskan pelukannya, menatap Anna dengan senyum, sambil memegang kedua pipinya yang kenyal. "Kalau bagi aku, mau kamu kuat atau lemah, itu tidak masalah, kok. Lagi pula kita tidak harus menjadi kuat setiap waktu, ada saatnya di mana kita juga lemah."Anna terdiam, entah apa yang ada di pikiran gadis itu, tapi Agatha tersenyum sebelum melanjutkan kembali perkataannya. "Menurutku kamu tetap keren, karena jarang sekali anak perempuan yang menyukai kartun pahlawan."Mata Anna seketika mengerjap-ngerjap, terkejut, tapi hanya selang beberapa detik matanya pun berbinar dan tersenyum lebar. Anna sangat senang karena ada seseorang yang merespon kesukaannya dengan pujian."
Selesai kelas pagi, Agatha sengaja tidak ke kantin. Inginnya tidur sebentar sambil menunggu jam ke dua siang nanti. Gara-gara tadi malam begadang, sekarang rasa kantuknya sudah menyerang lagi. "Agatha, cepat lihat ini! Ada lelaki yang meminta nomormu! Katanya dia ingin mengajakmu berkenalan."Sayangnya pekikan dengan nada girang itu terpaksa membuat mata Agatha terbuka kembali. Kepalanya yang semula ia letakkan ke meja mau tidak mau harus mendongak karena Aluna menarik-narik lengannya.Agatha mengumpat gemas di dalam hati, tapi dengan malas menjawab perkataan Aluna karena tak urung sedikit penasaran juga. "Kamu dapat nomornya dari mana?""Kemarin dia mendatangiku sendiri." Aluna menggeser kursi di sebelahnya lebih dekat dengan bangku Agatha. "Kenapa tidak mengajakku berkenalan secara langsung? Dan malah menghubungimu?" Agatha mengernyitkan dahi, metode pendekatan yang membosankan, pikirnya. Aluna mengangkat bahu, tapi memiliki tebakan yang pasti benar. "Mungkin dia tidak pede? Kamu
Tidak berselang lama, mobil Jayden akhirnya berhenti di depan sebuah gedung yang menjulang tinggi. Agatha yang pertama kali melihat perusahaan dari jarak sedekat ini jelas terkagum-kagum. "Aku tidak akan lama, kalian ingin menunggu di sini saja?" tanya Jayden saat akan membuka pintu mobil. "Papa! Aku ingin ke taman di sana!" Anna tiba-tiba menyahut sambil menunjuk ke arah taman yang berada tidak jauh dari gedung. Agatha turut mengikuti arah pandang gadis itu. Seketika rasa kagumnya bertambah lagi karena tidak mengira di sekitar perusahaan ada taman cukup luas dan terlihat asri.Jayden pun mengangguk tenang. "Baiklah, jangan berkeliaran jauh, tetap bersama Tante Agatha. Mengerti?""Mengerti!" pekik Anna semangat. Jayden tersenyum kecil, lalu keluar mobil disusul Agatha, kemudian Anna yang rupanya membuka pintu sendiri. Jayden tersenyum lagi melihat kemandirian anaknya yang tidak biasa itu, setelah berpesan pada agatha untuk menjaga Anna, ia bergegas masuk karena seseorang sudah men
Sampai di apartemen, Anna langsung berlari ke kamar, Agatha menyusul dengan kekehan geli. Sedangkan Jayden pergi ke dapur untuk minum. Pertemuannya dengan Jonathan memang cukup menguras emosi."Tante! Aku mandi duluan, ya!" pekik Anna saat baru saja menutup pintu kamar mandi. "Siap! Yang bersih, ya! Tidak perlu buru-buru!" "Oke!" Anna menyahut dengan nada ceria.Agatha terkekeh sambil membuka lemari Anna yang letaknya tidak jauh dari toilet. "Mau aku siapin baju apa, nih?""Apa aja asal tante yang pilih!" teriak Anna."Oke, siap, Tuan Putri!" balas Agatha tidak kalah keras, Anna seketika tertawa-tawa di dalam sana. Selesai menyiapkan baju untuk Anna di atas ranjang, Agatha menunggu gadis itu selesai mandi dengan membereskan kamar dan membawa baju-baju kotor ke mesin cuci. Lain halnya dengan Agatha yang sibuk, Jayden sendiri sedang duduk terdiam di meja makan. Segelas air di tangannya masih tersisa setengah. Ia mendadak teringat perkataan Jonathan tadi."Apa papa berpikir kalau Aga
"Memang boleh, ya, terang-terangan begitu?" Agatha hanya mampu mengatakan itu di dalam hati. Dalam sepersekian detik, rona merah terkuras di wajahnya. Agatha tersipu, tapi pura-pura tidak terlihat salting. Matanya tadi nyaris membulat jika saja ia tidak menundukkan kepala. Beruntung air di gelasnya masih tersisa, jadi ia bisa segera meneguknya guna menetralisir wajahnya yang memerah."Kenapa dia enteng sekali saat mengatakannya? Apa dia pikir kalimat itu terdengar seperti kalimat yang biasa saja? Dia tidak tahu jika kalimat itu membuat hatiku berantakan?" batin Agatha yang terus menerus menggerutu sambil mati-matian menahan senyum."Atau dia memang sengaja membuatku merasakan itu? Hah, tidak aku sangka pekerjaan ini membuatku jatuh cinta dengan seorang duda. Lagi pula siapa di dunia ini yang tidak menyukai lelaki seperti dia, kan?" Segelas air yang Agatha teguk langsung ia habiskan. Agatha tidak pernah gugup dan sesenang ini saat berbicara dengan lelaki. Seharusnya ia bisa bersikap
Jayden reflek membalikkan badan ketika merasakan sentuhan tangan. Ia menaikkan sebelah alisnya bingung karena melihat Agatha ada di depannya sedang terengah-engah. "Ada apa?""Ini, ponsel kamu." Agatha menyodorkan ponsel bermerek apel. "Syukurlah aku melihatnya."Jayden tertegun, diambilnya ponsel itu dari tangan Agatha, kemudian tersenyum kecil. "Terima kasih. Ternyata aku ceroboh juga.""Sama-sama." Agatha mengangguk, berdehem pelan, lalu tersenyum malu. "Selamat malam."Tidak mau menyia-nyiakan kesempatan, Agatha berucap lagi, "Dan hati-hati."Jayden terkesiap, tapi kemudian tersenyum geli. Ia pun mengangguk singkat. "Terima kasih."Agatha gugup seketika dan tidak bisa menahan senyumannya ketika Jayden berbalik badan lalu pergi. Ingin rasanya ia melompat-lompat kegirangan saking senangnya mendapat balasan senyuman yang menawan."Berhentilah berdetak kencang, jantung sialan!" batinnya kesal, tapi juga baper tidak tertolong. Sepanjang ia kembali ke apartemen, senyumannya tidak memud