Tidak berselang lama, mobil Jayden akhirnya berhenti di depan sebuah gedung yang menjulang tinggi. Agatha yang pertama kali melihat perusahaan dari jarak sedekat ini jelas terkagum-kagum. "Aku tidak akan lama, kalian ingin menunggu di sini saja?" tanya Jayden saat akan membuka pintu mobil. "Papa! Aku ingin ke taman di sana!" Anna tiba-tiba menyahut sambil menunjuk ke arah taman yang berada tidak jauh dari gedung. Agatha turut mengikuti arah pandang gadis itu. Seketika rasa kagumnya bertambah lagi karena tidak mengira di sekitar perusahaan ada taman cukup luas dan terlihat asri.Jayden pun mengangguk tenang. "Baiklah, jangan berkeliaran jauh, tetap bersama Tante Agatha. Mengerti?""Mengerti!" pekik Anna semangat. Jayden tersenyum kecil, lalu keluar mobil disusul Agatha, kemudian Anna yang rupanya membuka pintu sendiri. Jayden tersenyum lagi melihat kemandirian anaknya yang tidak biasa itu, setelah berpesan pada agatha untuk menjaga Anna, ia bergegas masuk karena seseorang sudah men
Sampai di apartemen, Anna langsung berlari ke kamar, Agatha menyusul dengan kekehan geli. Sedangkan Jayden pergi ke dapur untuk minum. Pertemuannya dengan Jonathan memang cukup menguras emosi."Tante! Aku mandi duluan, ya!" pekik Anna saat baru saja menutup pintu kamar mandi. "Siap! Yang bersih, ya! Tidak perlu buru-buru!" "Oke!" Anna menyahut dengan nada ceria.Agatha terkekeh sambil membuka lemari Anna yang letaknya tidak jauh dari toilet. "Mau aku siapin baju apa, nih?""Apa aja asal tante yang pilih!" teriak Anna."Oke, siap, Tuan Putri!" balas Agatha tidak kalah keras, Anna seketika tertawa-tawa di dalam sana. Selesai menyiapkan baju untuk Anna di atas ranjang, Agatha menunggu gadis itu selesai mandi dengan membereskan kamar dan membawa baju-baju kotor ke mesin cuci. Lain halnya dengan Agatha yang sibuk, Jayden sendiri sedang duduk terdiam di meja makan. Segelas air di tangannya masih tersisa setengah. Ia mendadak teringat perkataan Jonathan tadi."Apa papa berpikir kalau Aga
"Memang boleh, ya, terang-terangan begitu?" Agatha hanya mampu mengatakan itu di dalam hati. Dalam sepersekian detik, rona merah terkuras di wajahnya. Agatha tersipu, tapi pura-pura tidak terlihat salting. Matanya tadi nyaris membulat jika saja ia tidak menundukkan kepala. Beruntung air di gelasnya masih tersisa, jadi ia bisa segera meneguknya guna menetralisir wajahnya yang memerah."Kenapa dia enteng sekali saat mengatakannya? Apa dia pikir kalimat itu terdengar seperti kalimat yang biasa saja? Dia tidak tahu jika kalimat itu membuat hatiku berantakan?" batin Agatha yang terus menerus menggerutu sambil mati-matian menahan senyum."Atau dia memang sengaja membuatku merasakan itu? Hah, tidak aku sangka pekerjaan ini membuatku jatuh cinta dengan seorang duda. Lagi pula siapa di dunia ini yang tidak menyukai lelaki seperti dia, kan?" Segelas air yang Agatha teguk langsung ia habiskan. Agatha tidak pernah gugup dan sesenang ini saat berbicara dengan lelaki. Seharusnya ia bisa bersikap
Jayden reflek membalikkan badan ketika merasakan sentuhan tangan. Ia menaikkan sebelah alisnya bingung karena melihat Agatha ada di depannya sedang terengah-engah. "Ada apa?""Ini, ponsel kamu." Agatha menyodorkan ponsel bermerek apel. "Syukurlah aku melihatnya."Jayden tertegun, diambilnya ponsel itu dari tangan Agatha, kemudian tersenyum kecil. "Terima kasih. Ternyata aku ceroboh juga.""Sama-sama." Agatha mengangguk, berdehem pelan, lalu tersenyum malu. "Selamat malam."Tidak mau menyia-nyiakan kesempatan, Agatha berucap lagi, "Dan hati-hati."Jayden terkesiap, tapi kemudian tersenyum geli. Ia pun mengangguk singkat. "Terima kasih."Agatha gugup seketika dan tidak bisa menahan senyumannya ketika Jayden berbalik badan lalu pergi. Ingin rasanya ia melompat-lompat kegirangan saking senangnya mendapat balasan senyuman yang menawan."Berhentilah berdetak kencang, jantung sialan!" batinnya kesal, tapi juga baper tidak tertolong. Sepanjang ia kembali ke apartemen, senyumannya tidak memud
Agatha mendelik tajam dengan alis tertaut kesal. "Aku tidak memberikan nomorku ke sembarang orang."Ia lalu mengerutkan kening. "Lagi pula untuk apa seorang direktur yang diidolakan banyak perempuan meminta nomor ponsel mahasiswinya? Kamu bukan dosen, tentunya kita tidak ada urusan yang penting untuk saling berkirim pesan.""Ada, kok. Bagiku mulai sekarang kamu penting." Cakra memberikan senyum tampannya yang ia yakini Agatha pasti akan terpana.Namun sayang sekali Agatha tidak bisa kagum dengan senyuman lelaki mana pun kecuali senyuman Jayden Byanthara. Yang ada ia memutar bola mata malas, tapi Cakra malah mengartikan bahwa itu respon salah tingkah. Meskipun kesal, Agatha tidak memiliki pilihan lain agar bisa segera pergi dari hadapan lelaki itu. Ia akhirnya menyodorkan telapak tangan. "Oke, mana ponselmu? Biar aku yang mengetik sendiri."Cakra memandanginya, lalu tersenyum geli. "Aku tidak bisa ditipu, loh. Bisa saja kamu memberikanku nomor telepon palsu, kan? "Aku bukan orang sep
"Kalau kamu masih tidak jujur dengan apa yang terjadi, aku tidak bisa membiarkan kamu tinggal di sini. Aku membutuhkan pengasuh yang jujur."Agatha terdiam, tertegun karena respon Jayden lebih tenang dari yang ia kira. Agatha juga terkejut dengan penjelasan itu. Ia pikir dirinya sudah melakukan kesalahan besar sampai harus keluar dari apartemen ini. "Jujur dalam hal apapun itu," lanjut Jayden, kemudian menghela napas, memutuskan duduk di sebelah Agatha. "A–apa? Tidak, aku tidak mau." Agatha menjawab ancaman Jayden tadi, ia tidak ingin dipecat. "Tidak mau berkata jujur?"Agatha menggeleng cepat, bukan itu maksudnya, tapi ia juga belum siap untuk mengatakan yang sebenarnya. "Maaf. Aku benar-benar minta maaf. Tolong jangan usir aku. Anna ... aku tidak ingin melihatnya sedih."Jayden melirik sekilas, Agatha menunduk saat mengatakan itu. Jayden lalu menarik napas dalam, gadis ini berbeda dengan biasanya yang selalu ceria. Jayden tidak mau Agatha dalam kondisi buruk, ia hanya ingin melih
"Hai, gadis miskin?"Agatha menoleh spontan mendengar suara yang tidak asing itu, alisnya terangkat sebelah mendapati Grace berdiri di hadapannya dengan senyum manis. "Selamat pagi," sapa gadis itu lagi. Masih dengan mukanya yang ramah.Agatha mendengkus kecil, pagi-pagi kakak tingkatnya itu sudah membuatnya muak. "Kenapa kamu sengaja menyapaku?""Memang apa salahnya seorang senior menyapa juniornya?" Grace menjawab dengan tenang. "Kamu ingin uangnya sekarang juga?" tanya Agatha mengalihkan topik, kakak tingkatnya ini memang berwajah munafik.Grace pura-pura terkejut, sambil menutup mulutnya. "Ups, aku hampir lupa. Hari ini aku akan mendapatkan hadiah, ya? Aduh, tapi ini masih di luar. Aku malu nanti dilihat banyak orang. Pasti mereka akan iri."Agatha mendelik, respon yang benar-benar menjengkelkan. Tapi ia hanya menghela napas panjang dan berusaha bersabar. "Jadi, kapan dan di mana aku harus memberikannya, Kak?""Eh, kenapa kamu buru-buru sekali?" "Sudah jelas, kan? Aku sudah tid
"Saya tidak mengerti kenapa Anda berkata seperti itu," desis Agatha dengan emosi tertahan. Selama beberapa detik, ia mengalihkan pandangan ke luar kaca mobil. Bibir Agatha tertarik tipis, lalu menolehkan kepala lagi pada pria yang kini tengah menatapnya dengan pandangan meremehkan. Agatha menyembunyikan kepalan tangan guna mengendalikan diri."Tapi saya tidak menyangka seorang pria berwibawa yang sepertinya berpendidikan seperti Anda ini mempunyai sikap buruk kepada khalayak bawah tanpa tahu kebenarannya.""Pantas saja anak saya luluh, ternyata kamu pandai berbicara juga, ya," sahut Jonathan tertawa singkat.Agatha sungguh ingin menyumpal mulut pria itu kalau saja akal sehatnya sudah gila. "Tolong katakan dengan jelas maksud dan tujuan Anda membawa saya." "Agatha Marvelly, nama kamu." Sejenak Jonathan melirik Agatha, lalu kembali menatap lurus ke depan. "Menempuh pendidikan di universitas ternama karena beasiswa, peraih juara tingkat nasional sampai internasional berturut-turut seti
"Agatha, aku benar-benar menyesal atas semua yang telah kulakukan. Aku ingin memperbaiki kesalahan itu, sungguh," ucap Grace, matanya penuh penyesalan. Agatha yang sejak awal sudah mencoba untuk memaafkan, tersenyum lembut, "Kak Grace, aku percaya bahwa setiap orang bisa berubah. Aku sudah memaafkan kamu, Kak."Mendengar kata-kata itu, mata Grace berkaca-kaca, merasa beban besar terangkat dari pundaknya. "Terima kasih, Agatha. Aku berharap kebahagiaan selalu menyertaimu."Agatha kemudian mendekat dan memeluk Grace. Sementara itu, Grace yang lega sampai menangis, merasa terharu karena Agatha masih begitu baik padanya meskipun semua kesalahannya di masa lalu."Sukses untuk karirmu di luar negeri, ya, Kak Grace. Aku yakin kamu akan menemukan kebahagiaanmu sendiri di sana," ucap Agatha sambil tersenyum.Dengan hati yang lega dan bersih, Grace pun pergi, meninggalkan Agatha yang semakin siap menyongsong hari pernikahannya dengan Jayden. Sebelum itu, tak lupa Grace mengucapkan selamat kepa
"Bagaimana dengan skripsimu? Apa masih perlu direvisi lagi?" tanya Jayden di suatu malam. Lelaki itu duduk di sebelah Agatha yang tengah menatap laptopnya. Agatha pun menoleh, mukanya tampak cemas dan ragu. Hal itu tentu membuat Jayden seketika ikut khawatir. "Hei? Apa ada yang salah lagi? Katakan saja, aku akan membantumu," ucap Jayden sambil memegang kedua pundak Agatha.Beberapa detik raut wajah Agatha berubah cerah, ia tertawa renyah. Seketika membuat Jayden terkesiap. Seketika ia menaikkan alisnya. Merasa telah dikerjai.Agatha tersenyum lebar. "Tidak, Jayden. Aku hanya ingin melihat reaksimu. Skripsiku sudah selesai dan tidak perlu revisi lagi. Aku mendapatkan nilai bagus, dan sekarang semuanya sudah selesai. Tinggal menunggu giliran sidang saja."Jayden melepaskan napas lega. "Astaga, kamu sungguh membuatku khawatir. Tapi sungguh, aku bangga padamu, Agatha. Kamu melakukan dengan sangat baik."Agatha tersenyum lebih lebar lagi. "Terima kasih, Jayden. Ini semua juga berkat duku
Anna yang terlampau bahagia, tanpa sadar mengeluarkan air mata. "Benarkah? Ini sungguh-sungguh hadiah yang paling indah! Terima kasih, Papa! Terima kasih, Tante Agatha!"Anna langsung memeluk keduanya erat, tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. Mereka bertiga berpelukan dalam momen yang sarat makna. Kinara dan Oma Sarah yang melihatnya, tak bisa membendung titik air yang keluar dari mata. Mereka ikut bahagia.Jayden tersenyum sambil merangkul Anna dan Agatha. "Kita berdua sangat mencintaimu, Anna. Kita pasti akan menjadi keluarga yang bahagia seterusnya."Di tengah pelukan hangat itu, Kinara mengusap matanya lalu tersenyum sumringah. "Terima kasih, Agatha. Kehadiranmu membawa begitu banyak kebahagiaan pada keluarga ini."Oma Sarah turut menyampaikan rasa terima kasihnya. Ia tersenyum lembut dengan sisa air matanya. "Benar, Anna pasti sangat bahagia memiliki ibu seperti kamu, Agatha."Agatha mengangguk, tersenyum tulus. "Saya juga sangat bahagia bisa menjadi bagian dari keluarga ini.
"Sadarlah, Cakra! Kamu tidak bisa selalu mendapatkan apa yang kamu mau! Kamu juga tidak bisa memaksa perasaan seseorang untuk menyukaimu!" bentak Kinara tanpa ampun. Meski air mata turun dari kelopaknya, ia tetap menampilkan wajah yang penuh amarah."Jangan sekali-kali kamu merendahkan seseorang yang ada di bawahmu!" Kinara kemudian melepaskan cekalannya pada dagu Cakra dan mengembuskan napas panjang."Pergi ke kamarmu dan pikirkan perbuatan bejatmu itu! Sampai sebelum papamu pulang, kamu jangan berharap bisa keluar dari sana! Renungi kesalahan yang telah kamu perbuat sampai kamu benar-benar sadar bahwa perbuatanmu sudah sangat memalukan keluarga kita!""Kamu telah membuat ibu kecewa, Cakra!" teriak Kinara untuk yang terakhir kali sebelum menutup pintu kamar Cakra dengan kasar hingga menimbulkan suara sangat keras.Cakra tetap diam, menanggung setiap amarah dan makian yang dilontarkan oleh Kinara. Wajahnya terlihat tanpa ekspresi, namun matanya mengandung rasa penyesalan yang dalam. M
Agatha menatap kagum. "Ini ..... Ini sangat indah, Jayden. Apakah ini bagian dari hadiah untuk Anna?"Jayden menggeleng sambil tersenyum. "Ini untuk kamu, dan kita berdua yang akan menikmati momen ini bersama.""S–sungguh?"Jayden mengangguk. Agatha terpana, tak menyangka Jayden merencanakan sesuatu seindah ini. Setelah Jayden menggandeng Agatha keluar mobil, mereka duduk bersama di tepi danau, menyaksikan gemerlap lentera-lentera kecil yang mengapung di permukaan air. Suasana menjadi semakin hangat di bawah sinar rembulan.Jayden menatap Agatha dari samping. "Aku harap kita bisa menjadikan malam ini sebagai kenangan indah bersama."Agatha menoleh, tersenyum bahagia, merasa terharu dengan kejutan yang dilakukan Jayden. Malam itu, di tepi danau yang tenang, Jayden dan Agatha merasakan suasana romantis yang tak terlupakan.Tak lama Jayden mengambil kotak kecil di kantongnya. Ia merasa berdebar-debar. "Agatha, sebenarnya ada sesuatu yang ingin kuberikan padamu."Agatha menatap Jayden den
"Terima kasih sudah menemukanku. Sekarang aku baik-baik saja, Jayden."Agatha tersenyum hampir menangis, rasanya terharu saat seseorang yang mencemaskan dirinya sampai seperti ini. Ia tidak menyangka apalagi orang itu adalah Jayden Byhantara."Apa kamu terluka? Lelaki bejat itu telah melakukan apa terhadapmu?" Jayden melepaskan pelukannya dan memegang kedua pundak Agatha. Menatapnya ke dalam matanya. Penuh kecemasan dan kekhawatiran yang membara.Agatha menatap mata Jayden yang penuh perhatian dan belum pernah ia lihat sebelumnya. Suara dari orang-orang di belakang Jayden yang bergegas masuk mengalun samar, tapi fokus Agatha hanya sepenuhnya tertuju pada pria yang ada di depannya ini.Agatha tersenyum senyum tipis dan lembut. "Tidak, Jayden. Aku tidak terluka. Berkat keahlianku, aku bisa mengatasi situasinya. Dia juga belum sempat melakukan sesuatu yang bejat terhadapku."Jayden menghela napas lega. Diusapnya kepala Agatha. "Aku sungguh khawatir. Jangan pernah lagi menyusahkan dirimu
"Dasar merepotkan," gumam Agatha sambil berjalan menghampiri Cakra yang masih pingsan.Agatha tanpa permisi mencari kunci di kedua saku celana Cakra. Setelah ketemu, ia menghela napas keras. Sialan sekali karena kuncinya tidak hanya satu. Melainkan gerombolan. Agatha meringis di dalam hati. Sepertinya ia memang harus mengerahkan semua tenaganya hanya untuk keluar dari kamar ini.Agataha mengembuskan napas. Dengan lunglai berjalan menuju pintu lagi dan membukanya dengan mencoba beberapa kunci yang ada di tangannya. Namun setidaknya ia masih beruntung karena kamar itu tidak menggunakan pintu yang menyerupai apartemen di mana mengharuskan memakai kode pin.Nantinya setelah pintu itu terbuka, Agatha berencana akan menelepon Jayden dan mengirim lokasi. Jika tidak ada sinyal, Agatha mempunyai rencana kedua yaitu ia akan mencari tombol kebakaran di sana.Ia bisa langsung kabur dengan berlari sekencang mungkin. Soal jalan pulang, ia akan memikirkan itu di belakang, yang terpenting ia bisa kel
"Hei, kenapa diam saja, Sayang? Coba berteriaklah seperti tadi." Cakra terkekeh sambil bersedekap dada dan menyender pada kursi."Ah, kamu sedang memikirkan jawaban yang tepat, yah?" Cakra mengangguk-angguk. "Bagus, jangan sampai salah pilih, ya, Sayang."Agatha memejamkan mata sejenak, sungguh ia menyesal kenapa tadi sempat tertipu dengan Grace saat di minimarket. Kalau saja ia lebih waspada, mungkin dirinya tidak akan terjebak dengan direktur gila itu."Sial. Apa yang harus aku lakukan?" Agatha menatap ke sekeliling ruangan. Selama beberapa detik, tiba-tiba otaknya memikirkan sesuatu."Kenapa aku baru terpikirkan itu, ya?" Agatha tersenyum miring. "Meskipun belum tentu berhasil, setidaknya rencana ini cukup mudah aku lakukan. Dengan tenaga yang aku punya, aku yakin dia akan tumbang."Agatha memusatkan pikiran pada rencananya. Ia mencoba mengabaikan godaan Cakra yang terus mencoba meruntuhkan ketenangannya. Dengan berusaha menahan emosi, Agatha mulai merencanakan langkah-langkah keci
Dalam kejutan yang tidak disangka, Jayden dan Reyhan tiba-tiba bertemu dengan Grace. Reyhan, yang memiliki rencana cepat, dengan cekatan menarik tangan Grace dan membawanya masuk ke dalam sembarang pintu yang ada di dekat mereka. Jayden tersentak, tapi bergegas mengikuti langkah Reyhan dan segera mengunci pintu ruangan yang tampaknya merupakan sebuah gudang.Di dalam ruangan yang gelap, Grace kaget setengah mati. Reyhan dengan sigap melepas dasinya sebagai penutup mata Grace dan membungkamnya dengan telapak tangan agar tidak berteriak. Karena gelap, Grace tidak dapat melihat wajah Reyhan, sehingga identitasnya tetap disembunyikan.Grace bingung dan cemas. Ia terlambat syok bahwa ada penyususp yang datang. Apalagi ia menjadi tertangkap. Sial. Ia tidak bisa bergerak sedikit pun saat ini. Padahal ia hendak ke tempat Cakra dan Agatha untuk ikut melihat betapa kesusahannya Agatha, tapi menyebalkan sekali karena tiba-tiba ia ikut merasakan seperti ini."Sial! Seharusnya aku lewat jalan lai