"Memang boleh, ya, terang-terangan begitu?" Agatha hanya mampu mengatakan itu di dalam hati. Dalam sepersekian detik, rona merah terkuras di wajahnya. Agatha tersipu, tapi pura-pura tidak terlihat salting. Matanya tadi nyaris membulat jika saja ia tidak menundukkan kepala. Beruntung air di gelasnya masih tersisa, jadi ia bisa segera meneguknya guna menetralisir wajahnya yang memerah."Kenapa dia enteng sekali saat mengatakannya? Apa dia pikir kalimat itu terdengar seperti kalimat yang biasa saja? Dia tidak tahu jika kalimat itu membuat hatiku berantakan?" batin Agatha yang terus menerus menggerutu sambil mati-matian menahan senyum."Atau dia memang sengaja membuatku merasakan itu? Hah, tidak aku sangka pekerjaan ini membuatku jatuh cinta dengan seorang duda. Lagi pula siapa di dunia ini yang tidak menyukai lelaki seperti dia, kan?" Segelas air yang Agatha teguk langsung ia habiskan. Agatha tidak pernah gugup dan sesenang ini saat berbicara dengan lelaki. Seharusnya ia bisa bersikap
Jayden reflek membalikkan badan ketika merasakan sentuhan tangan. Ia menaikkan sebelah alisnya bingung karena melihat Agatha ada di depannya sedang terengah-engah. "Ada apa?""Ini, ponsel kamu." Agatha menyodorkan ponsel bermerek apel. "Syukurlah aku melihatnya."Jayden tertegun, diambilnya ponsel itu dari tangan Agatha, kemudian tersenyum kecil. "Terima kasih. Ternyata aku ceroboh juga.""Sama-sama." Agatha mengangguk, berdehem pelan, lalu tersenyum malu. "Selamat malam."Tidak mau menyia-nyiakan kesempatan, Agatha berucap lagi, "Dan hati-hati."Jayden terkesiap, tapi kemudian tersenyum geli. Ia pun mengangguk singkat. "Terima kasih."Agatha gugup seketika dan tidak bisa menahan senyumannya ketika Jayden berbalik badan lalu pergi. Ingin rasanya ia melompat-lompat kegirangan saking senangnya mendapat balasan senyuman yang menawan."Berhentilah berdetak kencang, jantung sialan!" batinnya kesal, tapi juga baper tidak tertolong. Sepanjang ia kembali ke apartemen, senyumannya tidak memud
Agatha mendelik tajam dengan alis tertaut kesal. "Aku tidak memberikan nomorku ke sembarang orang."Ia lalu mengerutkan kening. "Lagi pula untuk apa seorang direktur yang diidolakan banyak perempuan meminta nomor ponsel mahasiswinya? Kamu bukan dosen, tentunya kita tidak ada urusan yang penting untuk saling berkirim pesan.""Ada, kok. Bagiku mulai sekarang kamu penting." Cakra memberikan senyum tampannya yang ia yakini Agatha pasti akan terpana.Namun sayang sekali Agatha tidak bisa kagum dengan senyuman lelaki mana pun kecuali senyuman Jayden Byanthara. Yang ada ia memutar bola mata malas, tapi Cakra malah mengartikan bahwa itu respon salah tingkah. Meskipun kesal, Agatha tidak memiliki pilihan lain agar bisa segera pergi dari hadapan lelaki itu. Ia akhirnya menyodorkan telapak tangan. "Oke, mana ponselmu? Biar aku yang mengetik sendiri."Cakra memandanginya, lalu tersenyum geli. "Aku tidak bisa ditipu, loh. Bisa saja kamu memberikanku nomor telepon palsu, kan? "Aku bukan orang sep
"Kalau kamu masih tidak jujur dengan apa yang terjadi, aku tidak bisa membiarkan kamu tinggal di sini. Aku membutuhkan pengasuh yang jujur."Agatha terdiam, tertegun karena respon Jayden lebih tenang dari yang ia kira. Agatha juga terkejut dengan penjelasan itu. Ia pikir dirinya sudah melakukan kesalahan besar sampai harus keluar dari apartemen ini. "Jujur dalam hal apapun itu," lanjut Jayden, kemudian menghela napas, memutuskan duduk di sebelah Agatha. "A–apa? Tidak, aku tidak mau." Agatha menjawab ancaman Jayden tadi, ia tidak ingin dipecat. "Tidak mau berkata jujur?"Agatha menggeleng cepat, bukan itu maksudnya, tapi ia juga belum siap untuk mengatakan yang sebenarnya. "Maaf. Aku benar-benar minta maaf. Tolong jangan usir aku. Anna ... aku tidak ingin melihatnya sedih."Jayden melirik sekilas, Agatha menunduk saat mengatakan itu. Jayden lalu menarik napas dalam, gadis ini berbeda dengan biasanya yang selalu ceria. Jayden tidak mau Agatha dalam kondisi buruk, ia hanya ingin melih
"Hai, gadis miskin?"Agatha menoleh spontan mendengar suara yang tidak asing itu, alisnya terangkat sebelah mendapati Grace berdiri di hadapannya dengan senyum manis. "Selamat pagi," sapa gadis itu lagi. Masih dengan mukanya yang ramah.Agatha mendengkus kecil, pagi-pagi kakak tingkatnya itu sudah membuatnya muak. "Kenapa kamu sengaja menyapaku?""Memang apa salahnya seorang senior menyapa juniornya?" Grace menjawab dengan tenang. "Kamu ingin uangnya sekarang juga?" tanya Agatha mengalihkan topik, kakak tingkatnya ini memang berwajah munafik.Grace pura-pura terkejut, sambil menutup mulutnya. "Ups, aku hampir lupa. Hari ini aku akan mendapatkan hadiah, ya? Aduh, tapi ini masih di luar. Aku malu nanti dilihat banyak orang. Pasti mereka akan iri."Agatha mendelik, respon yang benar-benar menjengkelkan. Tapi ia hanya menghela napas panjang dan berusaha bersabar. "Jadi, kapan dan di mana aku harus memberikannya, Kak?""Eh, kenapa kamu buru-buru sekali?" "Sudah jelas, kan? Aku sudah tid
"Saya tidak mengerti kenapa Anda berkata seperti itu," desis Agatha dengan emosi tertahan. Selama beberapa detik, ia mengalihkan pandangan ke luar kaca mobil. Bibir Agatha tertarik tipis, lalu menolehkan kepala lagi pada pria yang kini tengah menatapnya dengan pandangan meremehkan. Agatha menyembunyikan kepalan tangan guna mengendalikan diri."Tapi saya tidak menyangka seorang pria berwibawa yang sepertinya berpendidikan seperti Anda ini mempunyai sikap buruk kepada khalayak bawah tanpa tahu kebenarannya.""Pantas saja anak saya luluh, ternyata kamu pandai berbicara juga, ya," sahut Jonathan tertawa singkat.Agatha sungguh ingin menyumpal mulut pria itu kalau saja akal sehatnya sudah gila. "Tolong katakan dengan jelas maksud dan tujuan Anda membawa saya." "Agatha Marvelly, nama kamu." Sejenak Jonathan melirik Agatha, lalu kembali menatap lurus ke depan. "Menempuh pendidikan di universitas ternama karena beasiswa, peraih juara tingkat nasional sampai internasional berturut-turut seti
Agatha memberikan anggukan kepala tepat saat pintu mobil sudah bisa ia buka. Sebelum gerakan langkahnya turun, suara peringatan yang tajam terdengar lagi di telinga Agatha. Ia terdiam dengan sabar untuk menunggu pria itu selesai berkata."Saya ingatkan sekali lagi, jika kamu tidak bisa menahan perasaanmu kepada anak saya, pergilah dari sana. Bukankah itu lebih baik untuk kesehatan mentalmu? Yah, tapi itu terserah kamu. Mau bertahan dengan tertekan, atau keluar dengan bebas."Agatha tersenyum tipis, lalu mengangguk dengan tenang. "Saya juga berharap, saya tidak bertemu dengan Anda lagi. Terima kasih atas tumpangannya. Permisi, dan selamat sore."Tanpa perlu menunggu balasan lagi, Agatha melengos keluar, kemudian langsung menutup pintu sampai menimbulkan bunyi keras. Tak memedulikan tatapan tajam pria itu atas sikap tidak sopannya, Agatha melangkah cepat menuju apartemen tanpa menoleh ke belakang lagi.Agatha teramat kesal. Sampai-sampai ingin melontarkan umpatan kasar di depan pria itu
"Kamu memang benar. Tapi kali ini kita tidak bisa menolak, Anna. Sudah satu bulan kita tidak pulang, oma sangat merindukanmu." Meskipun akan sulit, Jayden tetap membujuk Anna dengan lembut. Ia tahu betul mengapa Anna bersikeras tidak ingin pulang ke rumah utama. Alasannya sudah jelas karena Anna kerap diperlakukan kurang baik di sana. Termasuk yang paling tidak suka ialah papanya, Jonathan. "Aku juga merindukan dia, tapi aku tidak ingin bertemu wanita jelek dan pria jahat itu, Pa. Aku tidak menyukai mereka!" jawab Anna dengan suara keras. Ia menautkan alisnya dan menggeleng kuat.Jayden tidak bisa menampik kebenaran itu. Namun besok malam ia tidak bisa menolak meskipun dirinya malas untuk pulang. Ancaman dari papanya yang ia terima kemarin malam masih membuatnya tidak bisa berkutik. Jika bukan demi Anna yang akan dibawa ke panti asuhan jika besok ia tidak datang, Jayden juga tidak sudi bertemu pria itu."Kamu masih dendam dengan mereka?" Jayden membuka suara lagi setelah terdiam seje