Agatha mendelik tajam dengan alis tertaut kesal. "Aku tidak memberikan nomorku ke sembarang orang."Ia lalu mengerutkan kening. "Lagi pula untuk apa seorang direktur yang diidolakan banyak perempuan meminta nomor ponsel mahasiswinya? Kamu bukan dosen, tentunya kita tidak ada urusan yang penting untuk saling berkirim pesan.""Ada, kok. Bagiku mulai sekarang kamu penting." Cakra memberikan senyum tampannya yang ia yakini Agatha pasti akan terpana.Namun sayang sekali Agatha tidak bisa kagum dengan senyuman lelaki mana pun kecuali senyuman Jayden Byanthara. Yang ada ia memutar bola mata malas, tapi Cakra malah mengartikan bahwa itu respon salah tingkah. Meskipun kesal, Agatha tidak memiliki pilihan lain agar bisa segera pergi dari hadapan lelaki itu. Ia akhirnya menyodorkan telapak tangan. "Oke, mana ponselmu? Biar aku yang mengetik sendiri."Cakra memandanginya, lalu tersenyum geli. "Aku tidak bisa ditipu, loh. Bisa saja kamu memberikanku nomor telepon palsu, kan? "Aku bukan orang sep
"Kalau kamu masih tidak jujur dengan apa yang terjadi, aku tidak bisa membiarkan kamu tinggal di sini. Aku membutuhkan pengasuh yang jujur."Agatha terdiam, tertegun karena respon Jayden lebih tenang dari yang ia kira. Agatha juga terkejut dengan penjelasan itu. Ia pikir dirinya sudah melakukan kesalahan besar sampai harus keluar dari apartemen ini. "Jujur dalam hal apapun itu," lanjut Jayden, kemudian menghela napas, memutuskan duduk di sebelah Agatha. "A–apa? Tidak, aku tidak mau." Agatha menjawab ancaman Jayden tadi, ia tidak ingin dipecat. "Tidak mau berkata jujur?"Agatha menggeleng cepat, bukan itu maksudnya, tapi ia juga belum siap untuk mengatakan yang sebenarnya. "Maaf. Aku benar-benar minta maaf. Tolong jangan usir aku. Anna ... aku tidak ingin melihatnya sedih."Jayden melirik sekilas, Agatha menunduk saat mengatakan itu. Jayden lalu menarik napas dalam, gadis ini berbeda dengan biasanya yang selalu ceria. Jayden tidak mau Agatha dalam kondisi buruk, ia hanya ingin melih
"Hai, gadis miskin?"Agatha menoleh spontan mendengar suara yang tidak asing itu, alisnya terangkat sebelah mendapati Grace berdiri di hadapannya dengan senyum manis. "Selamat pagi," sapa gadis itu lagi. Masih dengan mukanya yang ramah.Agatha mendengkus kecil, pagi-pagi kakak tingkatnya itu sudah membuatnya muak. "Kenapa kamu sengaja menyapaku?""Memang apa salahnya seorang senior menyapa juniornya?" Grace menjawab dengan tenang. "Kamu ingin uangnya sekarang juga?" tanya Agatha mengalihkan topik, kakak tingkatnya ini memang berwajah munafik.Grace pura-pura terkejut, sambil menutup mulutnya. "Ups, aku hampir lupa. Hari ini aku akan mendapatkan hadiah, ya? Aduh, tapi ini masih di luar. Aku malu nanti dilihat banyak orang. Pasti mereka akan iri."Agatha mendelik, respon yang benar-benar menjengkelkan. Tapi ia hanya menghela napas panjang dan berusaha bersabar. "Jadi, kapan dan di mana aku harus memberikannya, Kak?""Eh, kenapa kamu buru-buru sekali?" "Sudah jelas, kan? Aku sudah tid
"Saya tidak mengerti kenapa Anda berkata seperti itu," desis Agatha dengan emosi tertahan. Selama beberapa detik, ia mengalihkan pandangan ke luar kaca mobil. Bibir Agatha tertarik tipis, lalu menolehkan kepala lagi pada pria yang kini tengah menatapnya dengan pandangan meremehkan. Agatha menyembunyikan kepalan tangan guna mengendalikan diri."Tapi saya tidak menyangka seorang pria berwibawa yang sepertinya berpendidikan seperti Anda ini mempunyai sikap buruk kepada khalayak bawah tanpa tahu kebenarannya.""Pantas saja anak saya luluh, ternyata kamu pandai berbicara juga, ya," sahut Jonathan tertawa singkat.Agatha sungguh ingin menyumpal mulut pria itu kalau saja akal sehatnya sudah gila. "Tolong katakan dengan jelas maksud dan tujuan Anda membawa saya." "Agatha Marvelly, nama kamu." Sejenak Jonathan melirik Agatha, lalu kembali menatap lurus ke depan. "Menempuh pendidikan di universitas ternama karena beasiswa, peraih juara tingkat nasional sampai internasional berturut-turut seti
Agatha memberikan anggukan kepala tepat saat pintu mobil sudah bisa ia buka. Sebelum gerakan langkahnya turun, suara peringatan yang tajam terdengar lagi di telinga Agatha. Ia terdiam dengan sabar untuk menunggu pria itu selesai berkata."Saya ingatkan sekali lagi, jika kamu tidak bisa menahan perasaanmu kepada anak saya, pergilah dari sana. Bukankah itu lebih baik untuk kesehatan mentalmu? Yah, tapi itu terserah kamu. Mau bertahan dengan tertekan, atau keluar dengan bebas."Agatha tersenyum tipis, lalu mengangguk dengan tenang. "Saya juga berharap, saya tidak bertemu dengan Anda lagi. Terima kasih atas tumpangannya. Permisi, dan selamat sore."Tanpa perlu menunggu balasan lagi, Agatha melengos keluar, kemudian langsung menutup pintu sampai menimbulkan bunyi keras. Tak memedulikan tatapan tajam pria itu atas sikap tidak sopannya, Agatha melangkah cepat menuju apartemen tanpa menoleh ke belakang lagi.Agatha teramat kesal. Sampai-sampai ingin melontarkan umpatan kasar di depan pria itu
"Kamu memang benar. Tapi kali ini kita tidak bisa menolak, Anna. Sudah satu bulan kita tidak pulang, oma sangat merindukanmu." Meskipun akan sulit, Jayden tetap membujuk Anna dengan lembut. Ia tahu betul mengapa Anna bersikeras tidak ingin pulang ke rumah utama. Alasannya sudah jelas karena Anna kerap diperlakukan kurang baik di sana. Termasuk yang paling tidak suka ialah papanya, Jonathan. "Aku juga merindukan dia, tapi aku tidak ingin bertemu wanita jelek dan pria jahat itu, Pa. Aku tidak menyukai mereka!" jawab Anna dengan suara keras. Ia menautkan alisnya dan menggeleng kuat.Jayden tidak bisa menampik kebenaran itu. Namun besok malam ia tidak bisa menolak meskipun dirinya malas untuk pulang. Ancaman dari papanya yang ia terima kemarin malam masih membuatnya tidak bisa berkutik. Jika bukan demi Anna yang akan dibawa ke panti asuhan jika besok ia tidak datang, Jayden juga tidak sudi bertemu pria itu."Kamu masih dendam dengan mereka?" Jayden membuka suara lagi setelah terdiam seje
"Kemarin-kemarin dia tampak lebih hangat, bahkan juga melempar senyum. Hari ini dia sedikit aneh." Jayden teringat hari-hari sebelumnya di mana sering melihat Agatha salah tingkah jika berada di dekatnya."Dia seperti sengaja mengabaikanku," imbuhnya lagi, beberapa saat kemudian pintu lift terbuka. Jayden melangkah keluar.Sampai di luar apartemen, mobil hitam yang terlihat mewah serta elegan itu sudah menyambutnya. Seseorang keluar dari sana dan membukakan pintu untuknya. Namun bukannya langsung masuk, tapi Jayden mendadak terdiam di sana dan menoleh pada sekretarisnya."Ada yang ketinggalan, Bos?" tanya Reyhan dengan kernyitan di dahi."Apa sikap seseorang bisa berubah dalam sehari? Atau bahkan selang beberapa jam? Misalnya yang semula ceria mendadak cuek?"Reyhan yang ditanyai seperti itu jelas bingung, antara jawabannya, juga pertanyaan itu sendiri. Tidak mungkin seseorang yang dimaksud bosnya itu ialah Anna, karena setiap ayah pasti sudah paham perilaku anaknya setiap hari. Maka s
Agatha menatap pantulan dirinya di dalam cermin. Rambutnya digerai seperti biasa dengan make up tipis. Hoodie kebesaran berwarna cokelat susu, celana hitam panjang yang longgar, serta tas kecil yang tersampir di bahu. Malam ini ia akan pergi ke rumah Jayden dengan penampilan simpel. Tidak peduli bagaimana tanggapan keluarga bosnya itu, Agatha hanya berharap pakaiannya sudah terlihat sopan di mata mereka. Karena tujuannya hanya satu, menemani Anna sekaligus menjalankan tugas sebagai pengasuhnya. Agatha mengembuskan napas, baru kemarin ia bertemu dengan ayah Jayden, malam ini justru pergi ke rumahnya. Entah bagaimana nasibnya nanti saat di sana, Agatha berdoa semoga tidak terjadi hal buruk yang tidak terduga. "Wah, tante cantik sekali." Anna tiba-tiba ikut berdiri di sebelah Agatha."Kamu juga. Malahan kamu lebih cantik dan manis, sedangkan penampilanku ini tampak membosankan," puji Agatha balik. Ia akui Anna memanglah gadis tercantik yang pernah ia temui. Karena sudah jelas gen yang