Agatha menatap pantulan dirinya di dalam cermin. Rambutnya digerai seperti biasa dengan make up tipis. Hoodie kebesaran berwarna cokelat susu, celana hitam panjang yang longgar, serta tas kecil yang tersampir di bahu. Malam ini ia akan pergi ke rumah Jayden dengan penampilan simpel. Tidak peduli bagaimana tanggapan keluarga bosnya itu, Agatha hanya berharap pakaiannya sudah terlihat sopan di mata mereka. Karena tujuannya hanya satu, menemani Anna sekaligus menjalankan tugas sebagai pengasuhnya. Agatha mengembuskan napas, baru kemarin ia bertemu dengan ayah Jayden, malam ini justru pergi ke rumahnya. Entah bagaimana nasibnya nanti saat di sana, Agatha berdoa semoga tidak terjadi hal buruk yang tidak terduga. "Wah, tante cantik sekali." Anna tiba-tiba ikut berdiri di sebelah Agatha."Kamu juga. Malahan kamu lebih cantik dan manis, sedangkan penampilanku ini tampak membosankan," puji Agatha balik. Ia akui Anna memanglah gadis tercantik yang pernah ia temui. Karena sudah jelas gen yang
"Sesekali menjadi anak berbakti tidak masalah, bukan?"Jonathan mendelik singkat, kemudian tertawa renyah. "Anak berbakti, ya? Heum, boleh juga. Jadi, apa sesekali aku juga harus menganggapmu sebagai seorang putra?"Jayden mendecih, tanpa perlu repot menjawab ia berjalan melewati Jonathan untuk menuju ke meja makan. Agatha yang dari tadi diam di belakang Jayden meneguk ludahnya susah payah saat Jonathan sekarang menatapnya dengan muka datar. "M–maaf, saya—""Hai, kalian terlihat cocok. Seperti pasangan ibu dan anak. Sama-sama tidak berharga di mata saya," potong Jonathan tiba-tiba. Ia lalu terkekeh. "Ah, tapi jangan dibawa perasaan, ya. Silakan nikmati saja makan malam hari ini. Jangan sungkan-sungkan."Jonathan tersenyum manis pada Agatha dan Anna sebelum berbalik badan meninggalkan mereka. Seketika itu rahang Agatha mengeras kuat, tangan kirinya mengepal erat. Tidak ia sangka pria itu sungguh gila."Tante lihat, kan? Inilah alasannya kenapa aku malas datang ke sini," celetuk Anna
Setelah pembicaraan yang penuh basa-basi itu akhirnya berakhir, Agatha bisa mengembuskan napas lega. Semuanya mulai makan dengan tenang tanpa suara. Agatha sesekali melirik Anna untuk memastikan gadis itu memerlukan sesuatu. Sejujurnya ia juga heran sebab Anna tampak lebih pendiam dari pada saat di apartemen."Bagaimana? Apa makanannya sesuai selera kamu?" Jonathan menyeletuk tiba-tiba. Jayden sudah bisa menebak dengan jalan pikiran papanya.Agatha yang fokus makan, seketika menoleh karena menyadari tatapan Jonathan tertuju padanya. Sajian ikan salmon, kerang mentah serta perasaan lemon yang baru saja ia makan seolah sudah direncanakan khusus dengan pertanyaan yang Jonathan berikan."Saya tidak terlalu suka, tapi bukan berarti rasanya tidak enak, justru menakjubkan." Agatha menjawab netral, pasti pria itu akan mulai menyindir."Ah, begitu, ya. Memang, sih, tidak semua orang bisa menyukai menu makanan itu. Tapi seharusnya kamu langsung suka karena ikan itu diimpor dari luar negeri dan
Tawa Jonathan mengalun renyah. Mengabaikan ucapan Jayden, ia berdiri depan di depan anaknya. “Jadi, dari mana kamu memungut perempuan cantik tapi kampungan itu?” “Jaga bicara Anda.” Otot-otot di tangan Jayden mengerat seiring tatapan Jonathan semakin meremehkan. “Rupanya demi anak haram itu kamu sampai membawa perempuan di jalanan, ya. Apa jadinya anak itu saat dewasa nanti? Yah, aku sebenarnya juga tidak peduli, sih, mau seperti apa nasibnya di masa depan,” kekeh Jonathan. Dalam amarah yang sudah meledak, tanpa sopan santun Jayden meraih kerah pria di hadapannya itu. Mata Jayden menatap tajam. Rahang mengeras dengan mulut yang sudah dipenuhi umpatan kejam. “Jangan ikut campur urusan saya, Tuan Jonathan yang terhormat. Anda tidak berhak melontarkan perkataan kejam kepada siapa yang berhubungan dengan saya.” “Oh, ya? Saya ini orang tua kamu kalau kamu lupa. Dasar anak durhaka.” Jonathan mendengkus tanpa melakukan perlawanan. Jayden semakin mengeratkan tangannya. “Apa Anda lupa? S
Anna telah berganti baju mengenakan dress mini berwarna abu-abu muda dengan motif kupu-kupu kecil di bagian bawah. Saat ini ia sedang bercerita tentang hal seru yang ia alami selama di sekolah kepada Oma Sarah. Sementara Agatha dan Kinara duduk di sofa yang tidak jauh dari sebelah ranjang sambil menatap mereka. “Anna, mau ikut tante meminta maaf tidak? Soal di meja makan tadi, sepertinya Om Jonathan sangat marah,” celetuk Kinara di sela pembicaraan mereka. Nada bicaranya lembut dan tatapan hangat. Anna yang asyik berbincang seketika terdiam. Wajahnya mendadak muram lalu menunduk. Kinara yang menyadari kesalahan ucapannya, buru-buru menjelaskan lagi perkataannya. Gadis itu pasti sudah salah paham terhadap maksudnya. “Maksud tante tidak seperti yang kamu pikirkan, Anna. Tante hanya tidak mau kamu mendapat amukan lagi dari Om Jonathan. Akan lebih baik jika kamu meminta maaf agar hatinya melembut dan bisa memahami kesalahan kamu.” Anna masih diam. Malah semakin menunduk dan memegang j
Sudah satu bulan lebih Agatha tinggal di apartemen bersama Jayden dan Anna. Selama itu pula ia tidak berhenti bersyukur karena bisa berada di titik yang tidak ia duga. Meski dengan segala cobaan, Agatha tetap berterima kasih kepada Tuhan dan orang tuanya di atas sana yang selalu mendoakan dirinya.Skripsi yang belum selesai, revisi berulang kali sampai mendapatkan hasil yang terbaik, membersihkan apartemen, merawat Anna dan menjaganya, memasak sampai mencuci, semua ia lakukan dengan giat. Nyaris seperti menjadi ibu rumah tangga.Agatha tersenyum tipis, laptop di depannya menampilkan beberapa rangkaian kata yang membuatnya pusing. Tapi itu belum seberapa karena ada yang lebih membuat kepikiran sampai membuat kepala pening.“Aku sudah bersikap cuek padanya, tapi rasanya aku tidak tenang. Semakin aku bersikap dingin, semakin besar pula rasa bersalahku. Dia begitu baik, tapi respon yang aku berikan malah sebaliknya.” Agatha mengembuskan napas setelah gumaman itu ia ucapkan karena merutuk
Melajukan mobilnya dengan kecepatan yang cukup tinggi, Jayden menuju ke kantor Jonathan saat ini juga tanpa memberi tahu pria itu. Ia benar-benar marah sampai ingin mengeluarkan segala umpatan yang terpendam. “Sial, sial! Seharusnya aku sudah sadar lebih awal!” gertak Jayden lalu memukul setir mobilnya. Lampu merah yang menyala semakin membuat kesabarannya menipis. Sampai di depan sebuah perusahaan yang menjulang tinggi, Jayden keluar mobil dengan raut yang membuat beberapa orang menyingkir saat ia berjalan. Jayden tidak peduli, ia bergegas ke ruangan Jonathan yang ada di lantai paling atas. Begitu tiba di sana, tanpa permisi atau mengetuk pintu, Jayden menerobos masuk dengan lancang. Sampai-sampai membuat Jonathan yang fokus dengan pekerjaannya di komputer, nyaris berteriak marah. Tapi saat tahu siapa yang datang, Jonathan reflek berdiri dan tersenyum. “Wah-wah, ada apa putraku datang kemari?” sapanya menghampiri Jayden yang menatap nyalang. “Jelaskan maksud foto ini.” Jayden me
Tiba-tiba mendapat permintaan maaf jelas membuat Agatha terkejut. Ia mengeratkan pegangan tangannya pada tas. "Untuk ... apa?""Semuanya. Apa yang telah terjadi padamu."Tenggorokan Agatha seperti tercekat. Apa pada akhirnya yang berusaha ia tutupi akan terbongkar juga? Apa Jayden sudah tahu yang sebenarnya soal dirinya dan Jonathan, ayahnya?Jayden menunduk saat tidak mendapat balasan. Ia memegang setirnya kuat. "Akan lebih baik jika aku menyadari lebih awal."Lalu memejamkan mata sejenak. "Pria itu, aku sudah tahu dia yang membuat sikapmu berubah. Dia ... pasti mengancam kamu, kan?"Agatha spontan terkesiap. Rupanya tebakan yang ia khawatirkan telah terjadi. Bahkan secepat ini. Agatha tak mengira pada akhirnya ia tidak lagi bisa menutupi. Sudah terlanjur ketahuan, bukankah lebih baik ia menyerahkan diri?"Aku juga minta maaf." Agatha mengalihkan pandangan ke luar mobil.Jayden membuka kembali matanya, menoleh menatap Agatha. "Tidak. Kamu tidak salah. Semua terjadi karena pria jahat
"Agatha, aku benar-benar menyesal atas semua yang telah kulakukan. Aku ingin memperbaiki kesalahan itu, sungguh," ucap Grace, matanya penuh penyesalan. Agatha yang sejak awal sudah mencoba untuk memaafkan, tersenyum lembut, "Kak Grace, aku percaya bahwa setiap orang bisa berubah. Aku sudah memaafkan kamu, Kak."Mendengar kata-kata itu, mata Grace berkaca-kaca, merasa beban besar terangkat dari pundaknya. "Terima kasih, Agatha. Aku berharap kebahagiaan selalu menyertaimu."Agatha kemudian mendekat dan memeluk Grace. Sementara itu, Grace yang lega sampai menangis, merasa terharu karena Agatha masih begitu baik padanya meskipun semua kesalahannya di masa lalu."Sukses untuk karirmu di luar negeri, ya, Kak Grace. Aku yakin kamu akan menemukan kebahagiaanmu sendiri di sana," ucap Agatha sambil tersenyum.Dengan hati yang lega dan bersih, Grace pun pergi, meninggalkan Agatha yang semakin siap menyongsong hari pernikahannya dengan Jayden. Sebelum itu, tak lupa Grace mengucapkan selamat kepa
"Bagaimana dengan skripsimu? Apa masih perlu direvisi lagi?" tanya Jayden di suatu malam. Lelaki itu duduk di sebelah Agatha yang tengah menatap laptopnya. Agatha pun menoleh, mukanya tampak cemas dan ragu. Hal itu tentu membuat Jayden seketika ikut khawatir. "Hei? Apa ada yang salah lagi? Katakan saja, aku akan membantumu," ucap Jayden sambil memegang kedua pundak Agatha.Beberapa detik raut wajah Agatha berubah cerah, ia tertawa renyah. Seketika membuat Jayden terkesiap. Seketika ia menaikkan alisnya. Merasa telah dikerjai.Agatha tersenyum lebar. "Tidak, Jayden. Aku hanya ingin melihat reaksimu. Skripsiku sudah selesai dan tidak perlu revisi lagi. Aku mendapatkan nilai bagus, dan sekarang semuanya sudah selesai. Tinggal menunggu giliran sidang saja."Jayden melepaskan napas lega. "Astaga, kamu sungguh membuatku khawatir. Tapi sungguh, aku bangga padamu, Agatha. Kamu melakukan dengan sangat baik."Agatha tersenyum lebih lebar lagi. "Terima kasih, Jayden. Ini semua juga berkat duku
Anna yang terlampau bahagia, tanpa sadar mengeluarkan air mata. "Benarkah? Ini sungguh-sungguh hadiah yang paling indah! Terima kasih, Papa! Terima kasih, Tante Agatha!"Anna langsung memeluk keduanya erat, tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. Mereka bertiga berpelukan dalam momen yang sarat makna. Kinara dan Oma Sarah yang melihatnya, tak bisa membendung titik air yang keluar dari mata. Mereka ikut bahagia.Jayden tersenyum sambil merangkul Anna dan Agatha. "Kita berdua sangat mencintaimu, Anna. Kita pasti akan menjadi keluarga yang bahagia seterusnya."Di tengah pelukan hangat itu, Kinara mengusap matanya lalu tersenyum sumringah. "Terima kasih, Agatha. Kehadiranmu membawa begitu banyak kebahagiaan pada keluarga ini."Oma Sarah turut menyampaikan rasa terima kasihnya. Ia tersenyum lembut dengan sisa air matanya. "Benar, Anna pasti sangat bahagia memiliki ibu seperti kamu, Agatha."Agatha mengangguk, tersenyum tulus. "Saya juga sangat bahagia bisa menjadi bagian dari keluarga ini.
"Sadarlah, Cakra! Kamu tidak bisa selalu mendapatkan apa yang kamu mau! Kamu juga tidak bisa memaksa perasaan seseorang untuk menyukaimu!" bentak Kinara tanpa ampun. Meski air mata turun dari kelopaknya, ia tetap menampilkan wajah yang penuh amarah."Jangan sekali-kali kamu merendahkan seseorang yang ada di bawahmu!" Kinara kemudian melepaskan cekalannya pada dagu Cakra dan mengembuskan napas panjang."Pergi ke kamarmu dan pikirkan perbuatan bejatmu itu! Sampai sebelum papamu pulang, kamu jangan berharap bisa keluar dari sana! Renungi kesalahan yang telah kamu perbuat sampai kamu benar-benar sadar bahwa perbuatanmu sudah sangat memalukan keluarga kita!""Kamu telah membuat ibu kecewa, Cakra!" teriak Kinara untuk yang terakhir kali sebelum menutup pintu kamar Cakra dengan kasar hingga menimbulkan suara sangat keras.Cakra tetap diam, menanggung setiap amarah dan makian yang dilontarkan oleh Kinara. Wajahnya terlihat tanpa ekspresi, namun matanya mengandung rasa penyesalan yang dalam. M
Agatha menatap kagum. "Ini ..... Ini sangat indah, Jayden. Apakah ini bagian dari hadiah untuk Anna?"Jayden menggeleng sambil tersenyum. "Ini untuk kamu, dan kita berdua yang akan menikmati momen ini bersama.""S–sungguh?"Jayden mengangguk. Agatha terpana, tak menyangka Jayden merencanakan sesuatu seindah ini. Setelah Jayden menggandeng Agatha keluar mobil, mereka duduk bersama di tepi danau, menyaksikan gemerlap lentera-lentera kecil yang mengapung di permukaan air. Suasana menjadi semakin hangat di bawah sinar rembulan.Jayden menatap Agatha dari samping. "Aku harap kita bisa menjadikan malam ini sebagai kenangan indah bersama."Agatha menoleh, tersenyum bahagia, merasa terharu dengan kejutan yang dilakukan Jayden. Malam itu, di tepi danau yang tenang, Jayden dan Agatha merasakan suasana romantis yang tak terlupakan.Tak lama Jayden mengambil kotak kecil di kantongnya. Ia merasa berdebar-debar. "Agatha, sebenarnya ada sesuatu yang ingin kuberikan padamu."Agatha menatap Jayden den
"Terima kasih sudah menemukanku. Sekarang aku baik-baik saja, Jayden."Agatha tersenyum hampir menangis, rasanya terharu saat seseorang yang mencemaskan dirinya sampai seperti ini. Ia tidak menyangka apalagi orang itu adalah Jayden Byhantara."Apa kamu terluka? Lelaki bejat itu telah melakukan apa terhadapmu?" Jayden melepaskan pelukannya dan memegang kedua pundak Agatha. Menatapnya ke dalam matanya. Penuh kecemasan dan kekhawatiran yang membara.Agatha menatap mata Jayden yang penuh perhatian dan belum pernah ia lihat sebelumnya. Suara dari orang-orang di belakang Jayden yang bergegas masuk mengalun samar, tapi fokus Agatha hanya sepenuhnya tertuju pada pria yang ada di depannya ini.Agatha tersenyum senyum tipis dan lembut. "Tidak, Jayden. Aku tidak terluka. Berkat keahlianku, aku bisa mengatasi situasinya. Dia juga belum sempat melakukan sesuatu yang bejat terhadapku."Jayden menghela napas lega. Diusapnya kepala Agatha. "Aku sungguh khawatir. Jangan pernah lagi menyusahkan dirimu
"Dasar merepotkan," gumam Agatha sambil berjalan menghampiri Cakra yang masih pingsan.Agatha tanpa permisi mencari kunci di kedua saku celana Cakra. Setelah ketemu, ia menghela napas keras. Sialan sekali karena kuncinya tidak hanya satu. Melainkan gerombolan. Agatha meringis di dalam hati. Sepertinya ia memang harus mengerahkan semua tenaganya hanya untuk keluar dari kamar ini.Agataha mengembuskan napas. Dengan lunglai berjalan menuju pintu lagi dan membukanya dengan mencoba beberapa kunci yang ada di tangannya. Namun setidaknya ia masih beruntung karena kamar itu tidak menggunakan pintu yang menyerupai apartemen di mana mengharuskan memakai kode pin.Nantinya setelah pintu itu terbuka, Agatha berencana akan menelepon Jayden dan mengirim lokasi. Jika tidak ada sinyal, Agatha mempunyai rencana kedua yaitu ia akan mencari tombol kebakaran di sana.Ia bisa langsung kabur dengan berlari sekencang mungkin. Soal jalan pulang, ia akan memikirkan itu di belakang, yang terpenting ia bisa kel
"Hei, kenapa diam saja, Sayang? Coba berteriaklah seperti tadi." Cakra terkekeh sambil bersedekap dada dan menyender pada kursi."Ah, kamu sedang memikirkan jawaban yang tepat, yah?" Cakra mengangguk-angguk. "Bagus, jangan sampai salah pilih, ya, Sayang."Agatha memejamkan mata sejenak, sungguh ia menyesal kenapa tadi sempat tertipu dengan Grace saat di minimarket. Kalau saja ia lebih waspada, mungkin dirinya tidak akan terjebak dengan direktur gila itu."Sial. Apa yang harus aku lakukan?" Agatha menatap ke sekeliling ruangan. Selama beberapa detik, tiba-tiba otaknya memikirkan sesuatu."Kenapa aku baru terpikirkan itu, ya?" Agatha tersenyum miring. "Meskipun belum tentu berhasil, setidaknya rencana ini cukup mudah aku lakukan. Dengan tenaga yang aku punya, aku yakin dia akan tumbang."Agatha memusatkan pikiran pada rencananya. Ia mencoba mengabaikan godaan Cakra yang terus mencoba meruntuhkan ketenangannya. Dengan berusaha menahan emosi, Agatha mulai merencanakan langkah-langkah keci
Dalam kejutan yang tidak disangka, Jayden dan Reyhan tiba-tiba bertemu dengan Grace. Reyhan, yang memiliki rencana cepat, dengan cekatan menarik tangan Grace dan membawanya masuk ke dalam sembarang pintu yang ada di dekat mereka. Jayden tersentak, tapi bergegas mengikuti langkah Reyhan dan segera mengunci pintu ruangan yang tampaknya merupakan sebuah gudang.Di dalam ruangan yang gelap, Grace kaget setengah mati. Reyhan dengan sigap melepas dasinya sebagai penutup mata Grace dan membungkamnya dengan telapak tangan agar tidak berteriak. Karena gelap, Grace tidak dapat melihat wajah Reyhan, sehingga identitasnya tetap disembunyikan.Grace bingung dan cemas. Ia terlambat syok bahwa ada penyususp yang datang. Apalagi ia menjadi tertangkap. Sial. Ia tidak bisa bergerak sedikit pun saat ini. Padahal ia hendak ke tempat Cakra dan Agatha untuk ikut melihat betapa kesusahannya Agatha, tapi menyebalkan sekali karena tiba-tiba ia ikut merasakan seperti ini."Sial! Seharusnya aku lewat jalan lai