Sudah satu bulan lebih Agatha tinggal di apartemen bersama Jayden dan Anna. Selama itu pula ia tidak berhenti bersyukur karena bisa berada di titik yang tidak ia duga. Meski dengan segala cobaan, Agatha tetap berterima kasih kepada Tuhan dan orang tuanya di atas sana yang selalu mendoakan dirinya.Skripsi yang belum selesai, revisi berulang kali sampai mendapatkan hasil yang terbaik, membersihkan apartemen, merawat Anna dan menjaganya, memasak sampai mencuci, semua ia lakukan dengan giat. Nyaris seperti menjadi ibu rumah tangga.Agatha tersenyum tipis, laptop di depannya menampilkan beberapa rangkaian kata yang membuatnya pusing. Tapi itu belum seberapa karena ada yang lebih membuat kepikiran sampai membuat kepala pening.“Aku sudah bersikap cuek padanya, tapi rasanya aku tidak tenang. Semakin aku bersikap dingin, semakin besar pula rasa bersalahku. Dia begitu baik, tapi respon yang aku berikan malah sebaliknya.” Agatha mengembuskan napas setelah gumaman itu ia ucapkan karena merutuk
Melajukan mobilnya dengan kecepatan yang cukup tinggi, Jayden menuju ke kantor Jonathan saat ini juga tanpa memberi tahu pria itu. Ia benar-benar marah sampai ingin mengeluarkan segala umpatan yang terpendam. “Sial, sial! Seharusnya aku sudah sadar lebih awal!” gertak Jayden lalu memukul setir mobilnya. Lampu merah yang menyala semakin membuat kesabarannya menipis. Sampai di depan sebuah perusahaan yang menjulang tinggi, Jayden keluar mobil dengan raut yang membuat beberapa orang menyingkir saat ia berjalan. Jayden tidak peduli, ia bergegas ke ruangan Jonathan yang ada di lantai paling atas. Begitu tiba di sana, tanpa permisi atau mengetuk pintu, Jayden menerobos masuk dengan lancang. Sampai-sampai membuat Jonathan yang fokus dengan pekerjaannya di komputer, nyaris berteriak marah. Tapi saat tahu siapa yang datang, Jonathan reflek berdiri dan tersenyum. “Wah-wah, ada apa putraku datang kemari?” sapanya menghampiri Jayden yang menatap nyalang. “Jelaskan maksud foto ini.” Jayden me
Tiba-tiba mendapat permintaan maaf jelas membuat Agatha terkejut. Ia mengeratkan pegangan tangannya pada tas. "Untuk ... apa?""Semuanya. Apa yang telah terjadi padamu."Tenggorokan Agatha seperti tercekat. Apa pada akhirnya yang berusaha ia tutupi akan terbongkar juga? Apa Jayden sudah tahu yang sebenarnya soal dirinya dan Jonathan, ayahnya?Jayden menunduk saat tidak mendapat balasan. Ia memegang setirnya kuat. "Akan lebih baik jika aku menyadari lebih awal."Lalu memejamkan mata sejenak. "Pria itu, aku sudah tahu dia yang membuat sikapmu berubah. Dia ... pasti mengancam kamu, kan?"Agatha spontan terkesiap. Rupanya tebakan yang ia khawatirkan telah terjadi. Bahkan secepat ini. Agatha tak mengira pada akhirnya ia tidak lagi bisa menutupi. Sudah terlanjur ketahuan, bukankah lebih baik ia menyerahkan diri?"Aku juga minta maaf." Agatha mengalihkan pandangan ke luar mobil.Jayden membuka kembali matanya, menoleh menatap Agatha. "Tidak. Kamu tidak salah. Semua terjadi karena pria jahat
Dengan hati penuh rasa syukur, Agatha menyampaikan terima kasih pada orang tuanya yang kini berada di atas sana, "Terima kasih, Ma, Pa, karena doa dan dukungan kalian selalu mengiringi langkahku. Kalian memberi kekuatan untuk menyelesaikan masalah hidup ini dengan baik. Aku merasa hadirnya kalian di setiap langkah perjalanan hidupku." Berkat kepercayaan dari langit, Agatha merasa didorong untuk terus maju dan mengatasi tantangan hidupnya dengan penuh keyakinan.Jayden, yang tak bisa tidur, memutuskan untuk pergi ke dapur mencari sedikit ketenangan. Namun, langkahnya terhenti ketika tanpa sengaja melihat Agatha di balkon. Mata mereka bertemu dalam keheningan malam yang hanya ditemani gemericik daun dan cahaya remang-remang.Sejenak, Jayden merasakan kehadiran Agatha di bawah cahaya bulan. Suasana yang tenang dan penuh makna membuatnya memutuskan untuk bergabung, mungkin menemukan jawaban atau kelegaan dalam keheningan bersama.Tanpa sepatah kata pun, Jayden berdiri di sebelah Agatha de
"Kelihatannya aku memang tangguh, padahal sangat rapuh." Agatha tersenyum seolah tahu apa yang dipikirkan Jayden. "Lagi pula orang mana yang tidak pernah mengeluh dan merasa takdirnya tidak adil hanya karena hidup dengan serba kekurangan?" Agatha menggeleng. "Jelas Tidak ada."Jayden terdiam dan mendengarkan. Tiba-tiba entah kenapa perasannya ikut sakit mendengar penjelasan itu. Ia seakan-akan tidak terima gadis di sebelahnya itu harus merasakan kerasnya kehidupan. Seandainya jayden bertemu Agatha lebih awal, ia tidak akan membuatnya merasakan penderitaan yang dalam."Orang lain terkadang ingin menjadi kuat sepertiiku. Padahal mereka tidak tahu Kalau bisa meminta, aku malah ingin menjadi gadis yang lemah, tapi hidup berkecukupan dan tinggal bersama keluarga yang bahagia."Jayden menyentuh lembut bahu Agatha, matanya penuh kehangatan. "Agatha, setiap langkah yang kamu ambil, setiap cerita yang kamu bawa, semuanya membuatmu menjadi wanita yang luar biasa. Kamu tidak sendirian. Kita bis
Mereka berdua saling pandang, merasakan kekuatan dalam hubungan mereka yang semakin kokoh di tengah cobaan hidup.Jayden tersenyum geli melihat respon Agatha. "Aku khawatir kamu mungkin merasa terlalu berat mendengar ceritaku, tapi ternyata kamu sangat peduli. Terima kasih, Agatha."Agatha tersenyum. "Tentu saja, Jayden. Kita di sini untuk saling mendukung, bukan? Meskipun kita punya masa lalu yang rumit, kita bisa membuat masa depan yang lebih baik bersama."Jayden mengangguk setuju. "Betul. Dan aku beruntung memiliki seseorang sebaik kamu di sisiku. Bersama-sama, kita bisa mengatasi segala hal."Dalam senyuman hangat, mereka melanjutkan obrolan, merencanakan hari-hari yang akan datang, dan menemukan kenyamanan dalam kehadiran satu sama lain. Hubungan mereka terus berkembang, menjadi tanda kekuatan dan dukungan dalam menghadapi segala liku kehidupan.Agatha membatin lega, merasa memiliki kesempatan untuk terus menyukai Jayden. "Akhirnya, mungkin ini saatnya untuk benar-benar membuka h
Jayden menatap Agatha dengan penuh kehangatan. "Agatha, ini luar biasa. Aku senang kau mulai mengingat. Kita bisa mencari tahu lebih banyak lagi tentang masa lalumu bersama-sama."Dengan perasaan campur aduk, Agatha dan Jayden memutuskan untuk menjelajahi kenangan yang tersembunyi. Proses penyembuhan dan pemulihan ingatan Agatha menjadi perjalanan baru bagi mereka berdua, yang membuat hubungan mereka semakin erat.Dengan senyuman, Agatha berkata, "Aku berterima kasih padamu, Jayden. Siapa sangka, mencari tahu tentang masa lalu bisa membawa kebahagiaan seperti ini."Mereka berdua melanjutkan hari mereka dengan rasa syukur dan semangat baru untuk menjalani perjalanan yang tak terduga ini bersama-sama.Saat Agatha menceritakan bahwa ia pernah mengalami kecelakaan dan hilang ingatan, Jayden terkejut. Matanya mencerminkan campuran antara kebingungan dan kepedulian."Agatha, mengapa kamu tidak pernah memberitahuku tentang ini sebelumnya?" tanya Jayden dengan nada khawatir.Agatha menghela n
"Camilan? Cokelat?" Jayden mengamati setiap gerak gerik Agatha."Cokelat?" Agatha berpikir sebentar, tapi kemudian menggeleng. "Tapi sekarang kita sedang belanja kebutuhan, Jay. Cokelat bisa aku beli kapan-kapan.""Cokelat buat camilan kamu waktu datang bulan juga termasuk kebutuhan. Biasanya saat itu kamu suka makan yang manis-manis supaya mood kamu stabil, kan? Dari pada beli dadakan bukannya lebih baik menyediakan stok lebih awal."Langkah Agatha reflek berhenti. "Ah, benar juga. Kenapa kamu bisa kepikiran ide cemerlang itu, ya? Padahal aku baru ingat bulan ini aku belum dapat."Jayden tersenyum kecil. "Kamu harus mencatat tanggalnya setiap bulan supaya bisa bersiap-siap.""Astaga, kamu jadi peka begini, ya, Jay." Agatha menahan senyum, lalu berhenti di depan rak cokelat batang yang beraneka merk dan rasa. "Mau cokelat juga?""Boleh."Agatha mulai mengamati setiap cokelat yang ada di depannya itu. "Kamu mau rasa apa? Original? Green tea? Stroberi?" Jayden terkekeh pelan. "Apa saja