Mereka berdua saling pandang, merasakan kekuatan dalam hubungan mereka yang semakin kokoh di tengah cobaan hidup.Jayden tersenyum geli melihat respon Agatha. "Aku khawatir kamu mungkin merasa terlalu berat mendengar ceritaku, tapi ternyata kamu sangat peduli. Terima kasih, Agatha."Agatha tersenyum. "Tentu saja, Jayden. Kita di sini untuk saling mendukung, bukan? Meskipun kita punya masa lalu yang rumit, kita bisa membuat masa depan yang lebih baik bersama."Jayden mengangguk setuju. "Betul. Dan aku beruntung memiliki seseorang sebaik kamu di sisiku. Bersama-sama, kita bisa mengatasi segala hal."Dalam senyuman hangat, mereka melanjutkan obrolan, merencanakan hari-hari yang akan datang, dan menemukan kenyamanan dalam kehadiran satu sama lain. Hubungan mereka terus berkembang, menjadi tanda kekuatan dan dukungan dalam menghadapi segala liku kehidupan.Agatha membatin lega, merasa memiliki kesempatan untuk terus menyukai Jayden. "Akhirnya, mungkin ini saatnya untuk benar-benar membuka h
Jayden menatap Agatha dengan penuh kehangatan. "Agatha, ini luar biasa. Aku senang kau mulai mengingat. Kita bisa mencari tahu lebih banyak lagi tentang masa lalumu bersama-sama."Dengan perasaan campur aduk, Agatha dan Jayden memutuskan untuk menjelajahi kenangan yang tersembunyi. Proses penyembuhan dan pemulihan ingatan Agatha menjadi perjalanan baru bagi mereka berdua, yang membuat hubungan mereka semakin erat.Dengan senyuman, Agatha berkata, "Aku berterima kasih padamu, Jayden. Siapa sangka, mencari tahu tentang masa lalu bisa membawa kebahagiaan seperti ini."Mereka berdua melanjutkan hari mereka dengan rasa syukur dan semangat baru untuk menjalani perjalanan yang tak terduga ini bersama-sama.Saat Agatha menceritakan bahwa ia pernah mengalami kecelakaan dan hilang ingatan, Jayden terkejut. Matanya mencerminkan campuran antara kebingungan dan kepedulian."Agatha, mengapa kamu tidak pernah memberitahuku tentang ini sebelumnya?" tanya Jayden dengan nada khawatir.Agatha menghela n
"Camilan? Cokelat?" Jayden mengamati setiap gerak gerik Agatha."Cokelat?" Agatha berpikir sebentar, tapi kemudian menggeleng. "Tapi sekarang kita sedang belanja kebutuhan, Jay. Cokelat bisa aku beli kapan-kapan.""Cokelat buat camilan kamu waktu datang bulan juga termasuk kebutuhan. Biasanya saat itu kamu suka makan yang manis-manis supaya mood kamu stabil, kan? Dari pada beli dadakan bukannya lebih baik menyediakan stok lebih awal."Langkah Agatha reflek berhenti. "Ah, benar juga. Kenapa kamu bisa kepikiran ide cemerlang itu, ya? Padahal aku baru ingat bulan ini aku belum dapat."Jayden tersenyum kecil. "Kamu harus mencatat tanggalnya setiap bulan supaya bisa bersiap-siap.""Astaga, kamu jadi peka begini, ya, Jay." Agatha menahan senyum, lalu berhenti di depan rak cokelat batang yang beraneka merk dan rasa. "Mau cokelat juga?""Boleh."Agatha mulai mengamati setiap cokelat yang ada di depannya itu. "Kamu mau rasa apa? Original? Green tea? Stroberi?" Jayden terkekeh pelan. "Apa saja
Agatha duduk di meja kantin dengan wajah gelisah, lalu akhirnya mengungkapkan pada Aluna, "Sebenarnya, aku bekerja sebagai pengasuh untuk anak CEO, Jayden Byhantara. Kami tinggal bersama di apartemen mewah." Aluna memandang Agatha dengan heran. "Serius? Kenapa kamu tidak memberitahuku sebelumnya?" Agatha menjawab, "Aku khawatir akan merubah hubungan kita, tapi aku tidak bisa menyembunyikannya lebih lama." Aluna menggumam. "Jadi kamu berbohong padaku selama ini?" Wajahnya berubah dari keheranan menjadi kekesalan. "Aku selalu mengira kita berbagi segalanya, Agatha. Mengapa kamu tidak percaya padaku?"Agatha terdiam sejenak, mencoba menjelaskan. "Aku takut kehilanganmu sebagai teman. Jayden ingin menjaga kerahasiaan ini."Aluna meresapi kata-kata Agatha dengan ekspresi ragu. "Ini bukan hanya masalah kerahasiaan, Agatha. Ini tentang kepercayaan. Aku merasa dikecewakan."Agatha melihat mata Aluna dengan penyesalan. "Aluna, aku benar-benar minta maaf. Aku tidak bermaksud menyembunyikan i
"Aku rasa dia memang selalu mengerti tentangmu?" Aluna mengangkat bahunya dnegan alis setengah terangkat.Agatha mendelik saat Aluna tersenyum menggoda. Ia pun berdecak kecil. "Yah, aku harap juga begitu. Meskipun kemungkinannya sangat kecil?""Ya ampun. Sejak kapan Agatha yang aku kenal tidak percaya diri seperti ini? Bukannya sudah jelas bahwa lelaki itu menganggapmu spesial? Kalau tidak, mana mungkin dia mengantar jemputmu setiap hari." Agatha terkekeh geli. "Sepertinya kamu sangat kekekuh ingin aku pergi ke rumahmu, ya.""Tentu saja! Ini pertama kalinya aku mengajakmu ke rumah! Dan sebuah keberuntungan karena ibuku mengizinkan!Agatha tertawa dan mengangguk-angguk. "Baiklah , aku akan mengirim pesan pada Jayden. Berdoalah semoga dia cepat membacanya.""AAMIIN!" balas Aluna kencang, membuat agatga langsung menutup mulutnya dan seketika tertawa renyah melihat Aluna membelalakkan mata.Sedangkan Jayden yang berada di kantor hendak pulang untuk menjemput Anna dan agatga tiba-tiba men
"Permisi, Om. Selamat malam?"Jonatan mengangkat wajahnya dari layar ponsel ketika mendengar suara yang ia kenal itu. Sedetik kemudian sudut bibirnya tertarik ketika melihat seorang gadis cantik berpakaian rapi sedang berdiri di hadapannya dengan senyuman anggun. "Grace, ya? Silakan duduk," suruh Jonathan mempersilahkan. Grace mengangguk sopan dan mendudukkan diri di depan Jonathan. "Sudah tahu, kan, alasan saya memanggil kamu ke sini?" ucap Jonathan setelah meletakkan ponselnya ke meja."Untuk membicarakan sesuatu yang penting?"Jonathan tersenyum. "Saya teman ayah kamu. Lebih tepatnya saya calon mertua kamu, Grace.""Ah, maaf, Om? Apa saya tidak salah mendengar?" Grace terkejut, tapi berusaha menahan raut wajahnya agar tetap tenang di hadapan orang penting ini."Tentu tidak. Kamu memang perempuan yang akan saya jodohkan dengan anak saya."Jantung Grace rasanya sanhat berdebar kencang. Sampai-sampai ia tidak bisa mengeluarkan suara lagi untuk menjawab. Wajah di depannya ini tidak a
Grace tersenyum. "Aku suka tantangan. Kamu akan berubah pikiran suatu hari nanti."Jayden hanya tersenyum sinis tanpa memberikan respons lebih lanjut, sibuk dengan ponselnya seperti sebelumnya. Grace merasa tantangannya baru dimulai, meskipun dalam hatinya masih ada rasa kekecewaan yang sulit diabaikan."Lakukan saja sampai kamu merasa semuanya akan berakhir sia-sia," desis Jayden tanpa melirik dari layar ponselnya.Grace menyipitkan mata. "Apa kamu yakin aku bisa membuatmu merubah pendapat?"Jayden mengangkat bahu acuh tak acuh. "Coba saja jika itu membuatmu bahagia. Tapi jangan terlalu berharap."Grace tertawa, mencoba menyembunyikan ketidakpastiannya. "Kamu belum tahu kemampuanku, Jayden. Aku suka tantangan."Jayden hanya mengangguk setuju, tanpa benar-benar memberikan perhatian pada percakapan tersebut. Dalam diamnya, ia berpikir bahwa ini hanya pertemuan yang akan segera dilupakan, tidak menyadari bahwa mungkin ada kejutan di masa depan.Grace mengepalkan tangannya, lalu meneguk
"Tapi jika kamu menolak, sudah pasti aku akan membuatmu hidup menderita," lanjut Jonathan tegas dan penuh penekanan. "Jangan kamu kira aku main-main, Jay.""Sial? Kenapa orang tua ini selalu membuatku ingin mengumpatinya!" desis Jayden di dalam hati. Selama beberapa detik ia terdiam. Pikirannya seolah kosong dan belum menemukan jawaban.Satu yang ia pikirkan saat ini, yaitu Anna. Jika perusahaannya benar-benar hancur, ia tak yakin dengan masa depan gadis itu. Meskipun sebenarnya ia percaya bahwa tanpa bantuan dari Jonathan, ia bisa mengelola perusahaan dengan baik. Tapi masalahnya adalah jika pria itu melakukan sesuatu yang nekat, bukan hanya kehilangan perusahaan, tapi bisa-bisa orang kenalannya juga ikut terhasut dan pergi meninggalkannya. Jonathan pasti tidak akan membiarkan ia mempunyai partner kerja yang menguntungkannya.Jonathan hanya menghela napas ringan. "Kamu tahu sendiri, Jayden, bisnis ini perlu. Grace adalah bagian dari rencana itu.""Rencana apa, sih? Anda tidak bisa m